Reward yang Melelahkan
Hari ujian skripsi akhirnya tiba.
Nafa, Iriantie, dan Emilia berhasil menyelesaikan presentasi skripsi mereka dengan baik. Para dosen penguji dan pembimbing bahkan memberi mereka pujian. Di hari yang sama, acara yudisium pun digelar—mereka resmi menjadi sarjana!
Kini hanya tinggal menunggu waktu wisuda ceremonial.
Untuk merayakan keberhasilan mereka, masing-masing sepakat memberi reward untuk diri sendiri.
“Aku punya ide yang unik dan seru,” kata Iriantie penuh semangat. “Gimana kalau kita kasih hadiah atas kerja keras kita selama empat tahun ini. Aku akan meliburkan semua karyawan Oasis Shade, dan kita bertiga yang akan melayani pelanggan!”
“Wah, wah, mulai gila ini,” cibir Nafa. “Mana bisa kerja sepuluh orang dipegang tiga orang aja?”
(1 chef, 2 asisten chef, 1 tukang cuci piring, 1 kasir, 4 pelayan, 1 tukang bersih-bersih.)
“Bisa kok, asal kita pilih hari yang agak sepi. Walaupun café ini jarang sepi sih... Mungkin Senin?” kata Emilia.
“Aku cek dulu ya,” Nafa membuka iPad-nya. “Hmm... ternyata hari Selasa lebih sepi dari biasanya.”
“Gimana? Deal or no deal?” tanya Iriantie.
“Deal,” jawab Emilia.
“No deal,” sahut Nafa tegas.
“Oke, kalo gitu kita deal ya,” kata Iriantie, menjulurkan lidah ke arah Nafa sambil nyengir.
---
Hari H
Hari Selasa pun tiba.
Yang tidak mereka sangka: hari itu café justru ramai luar biasa. Mereka kewalahan.
Christian tiba-tiba datang. Nafa tidak mengangkat telepon atau membalas pesannya.
“Ramai sekali. Mana karyawannya?” tanya Christian sambil mengerutkan dahi.
“Gak ada waktu buat ngobrol,” jawab Nafa sambil lalu, mondar-mandir mengantar pesanan.
Melihat kekacauan itu, Christian langsung ambil inisiatif.
“Halo, Titto. Kamu menyelam gak hari ini?”
“Ada sih, tapi malam. Kenapa?”
“Kebetulan. Cepet ke Oasis Shade.”
Lima menit kemudian, Titto muncul.
“Ini buat kamu,” Christian menyerahkan celemek plastik.
“Buat apa ini?”
“Udah, pakai aja,” katanya sambil mendorong Titto ke dapur.
“Kamu bagian cuci piring.”
Titto yang bingung langsung bertanya pada Iriantie.
“Apa ini semua?”
Iriantie sambil menata makanan menjawab, “Aku kasih reward ke karyawan—libur setengah hari. Jadi kami yang gantiin kerja.”
“Maaf ya, repotin,” tambahnya.
Christian membantu Nafa melayani pelanggan. Pekerjaan jadi sedikit lebih ringan.
“Ckck... memang sebucin itu mereka,” komentar Emilia, geleng-geleng kepala.
Akhirnya, hari melelahkan itu pun selesai.
---
Sore Hari
“Capek banget sumpah. Kaki aku udah gak napak,” keluh Nafa sambil duduk dan memijat pahanya.
Mereka semua terkapar di lantai kantor Iriantie.
“Tangan aku juga pegal,” keluh Emilia.
“Tapi seru kok,” tambahnya. “Next, kita ngapain lagi ya?”
“Please, jangan yang aneh-aneh lagi,” kata Nafa setengah mati.
TOK TOK!
Mereka bertiga langsung bangkit.
“Ya, siapa?” tanya Iriantie membuka pintu.
“Oh, Titto. Ada apa?”
“Ayo keluar. Makan malam. Christian udah masak.”
---
Makan Malam
“Ternyata kamu bisa masak juga,” kata Emilia terkejut.
“Baru belajar,” jawab Christian santai.
“Enak loh. Ini masakan apa namanya?” tanya Iriantie.
“Belum ada namanya sih. Tapi kalau enak, makan banyak-banyak ya.”
“Yang penting enak!” kata Emilia sambil mengunyah.
“Tenang, ini diet-friendly kok,” tambah Christian.
“Na, kamu kok diem aja?” tanya Titto.
“Aku capek banget. Gak mood bicara.”
Titto tertawa. “Aku ada ide buat reward kalian selanjutnya.”
“Apa tuh?” tanya Emilia dan Iriantie bersamaan.
“Di kampungku, seberang pulau sana, banyak anak-anak yang jarang bahkan gak pernah makan enak. Gimana kalau kita kesana dan masak buat mereka?”
“Oke! Kamis kita ke sana,” jawab Iriantie cepat, karena memang hobi masak dan senang berbagi.
“Aku bawain mereka camilan,” timpal Emilia.
“Kamu bawa apa, Na?” tanya Iriantie.
“Aku bawa diri, semangat, hati yang tulus, dan... tenaga sisa seadanya,” jawab Nafa lemas.
“Ceritain dong soal kampungmu,” pinta Emilia.
“Kampungku di pulau kecil seberang sana, masih hijau dan asri. Penduduknya ramah. Kebanyakan anak-anak dan lansia, karena yang muda sekolah atau kerja di luar pulau kayak aku.”
“Gimana akses ke sana?” tanya Emilia.
“Naik kapal feri satu jam, lanjut kapal kayu tiga jam, terus naik rakit buat nyebrang ke kampung.”
“Seru juga! Aku belum pernah ke desa terpencil,” kata Iriantie.
“Aku sih pernah ke desa, tapi gak se-extreme itu. Ada sinyal gak?” tanya Emilia lagi.
“Ada. Tapi cuma buat nelpon, dan itu pun harus ke ujung kampung.”
“Kalian tetap mau pergi kan?”
“Excited banget!” jawab Iriantie.
“Ikut dong,” kata Emilia.
Christian tidak ikut dalam percakapan. Matanya fokus menatap Nafa yang tertidur di meja.
Dengan lembut, ia membelai rambut Nafa.
“Mereka emang sebucin itu,” bisik Iriantie ke Titto dan Emilia.
“Ayo kita ke pantai aja, jangan ganggu mereka,” kata Titto.
---
Christian & Nafa
Saat menyadari mereka ditinggal, Christian mengangkat Nafa dengan bridal style dan membawanya ke kamar yang berjarak 150 meter dari café.
Ia membaringkan Nafa di ranjang, menyelimutinya, dan mengecup keningnya.
“Selamat tidur, Nafa,” bisiknya.
Christian duduk di teras, menyalakan rokok, lalu menghubungi Titto.
“Jangan balik ke mes malam ini. Nafa nginap di sini.”
“Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh bro,” balas Titto.
“Aku tahu batasnya.”
---
Di Pantai
“Kenapa, To?” tanya Emilia.
“Christian bawa Nafa ke kamarnya.”
“Wah, wah, wah...” Iriantie mulai panik dan mondar-mandir.
“Gak bahaya, ya?” tanya Emilia.
“Aman kok, aku yakin,” kata Titto.
“Aku gak yakin,” balas Emilia.
“Kenapa gak yakin?”
“Kucing dikasih ikan mana ada yang nolak.”
“Tenang, Christian bukan kucing. Dia... anjing!”
“Lebih bahaya dong!”
“Kalaupun kejadian, berarti suka sama suka, ya gak?”
“Tapi aku yakin Nafa gak berani. Bisa mati kalau Tuan Adam tahu,” ucap Iriantie.
“Udah dibilang aman, ya aman. Eh, aku ada kerjaan malam ini. Balik duluan ya.” Titto pamit
Jam enam pagi, Nafa terbangun karena kebelet pipis. Ia masih setengah sadar dan belum menyadari bahwa dirinya berada di kamar yang berbeda.
Dengan langkah setengah ngantuk, ia menuju kamar mandi.
“Lho, kok kamar mandinya beda? Aku di mana ini?” gumamnya heran.
Setelah buang air kecil, Nafa buru-buru mencuci wajahnya. Ketika keluar dari kamar mandi, ia kaget melihat seorang laki-laki tidur di sofa depan kamar.
“Christian? Kenapa dia ada di sini?” bisiknya, masih bingung.
Ia belum juga sadar kalau dirinya berada di kamar orang lain. Pelan-pelan, ia mendekat dan menepuk bahu Christian.
“Ian, bangun, kenapa kamu tidur di sini?”
Christian menguap kecil, lalu membuka mata.
“Eh, kamu udah bangun, Na'? Aku ke kamar mandi sebentar, ya.”
Lima menit kemudian, Christian kembali sambil membawa dua gelas.
“Ini, kopi coklat. Favorit kamu, kan?”
Nafa menerima gelas itu dan duduk. Baru saat itu ia memperhatikan sekeliling kamar.
“Jadi… semalam aku tidur di sini?”
Christian mengangguk. “Iya. Kamu ketiduran di meja makan. Aku bingung harus bawa kamu ke mana, yang lain juga udah pulang. Jadi ya... aku gendong kamu ke sini.”
Nafa menyeruput kopinya sambil tersenyum malu. “Pasti tangan kamu sakit, ya? Aku kan berat.”
“Lebih berat barbel di gym, sih, tapi lumayan juga pegalnya. Soalnya jauh.”
“Maaf, ya, nyusahin kamu,” ujarnya sambil membuat wajah imut.
Christian tersenyum dan mencubit pipinya. “Kamu lucu. Gak repot kok, aku kan pacar yang baik.”
Nafa tiba-tiba berkata, “Beberapa bulan lalu, pas ulang tahun aku, Papa kasih aku ‘surat izin pacaran’.”
Christian tertawa pelan. “Wah, keren dong.”
“Tapi Papa belum ngerestuin kita.”
“Kenapa?”
“Kata Papa, kamu harus berubah dulu. Baru bisa dapat restunya.”
Christian terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kalau itu yang harus aku lakukan, aku bakal usaha jadi lebih baik.”
“Oh iya,” tanya Nafa. “Semalam kalian ngobrol apa pas aku ketiduran?”
“Aku gak terlalu nyimak sih, tapi sempat dengar soal ‘reward’ atau semacamnya.”
“Ya udah nanti aku tanya ke mereka. Aku balik dulu, ya.”
“Aku antar sekalian.”
“Sekalian ke rumah aja, ya.”
“Sebentar aku mandi dulu, 10 menit aja.”
“Oke,” Nafa menjawab sambil membuka Instagram dan menonton reels.
Tak lama kemudian, Christian keluar. “Ayo, aku udah siap. Sekalian aku tungguin sampai kamu siap ke Oasis.”
Perjalanan ke rumah Nafa cuma 10 menit.
“Masuk dulu aja. Aku mandi dan siap-siap sekitar 20 menit. Kalau kelamaan, gak usah nunggu ya.”
“Aku tunggu di teras.”
Saat itu Adam, ayah Nafa, sudah pergi ke pasar sejak jam lima pagi.
Ponsel Nafa berbunyi, pesan dari Adam:
"Semalam nginap lagi di tempat Emilia ya? Jangan lupa sarapan."
“Iya,” balas Nafa sambil tersenyum.
Dalam hati, “Kalau sampai Papa tahu aku tidur di rumah cowok gimana ya? Maafin aku, Pa. Tapi beneran kok, gak ada hal aneh-aneh…”
Beberapa menit kemudian, Nafa muncul lagi. “Aku udah siap, ayo berangkat.”
Hari itu berbeda. Di atas motor, Nafa tanpa diminta menempel ke punggung Christian dan memeluknya pelan dari belakang.
Christian tersenyum. “Pegang yang erat ya, aku nambah kecepatan nih.”
Setibanya di Oasis Shade, tangan Nafa langsung ditarik Iriantie ke ruang belakang. Emilia sudah menunggu di sana.
“Christian udah melakukan itu?” tanya Emilia sambil senyum nakal.
“Melakukan apa?”
“ML,” jawab Iriantie to the point.
“Gila kalian! Gak mungkin lah! Gak ada hal aneh-aneh semalam.”
“Padahal sekamar. Ngaku deh, kalian ngapain aja?” goda Emilia.
“Beneran gak ngapa-ngapain. Aku tidur di kamar, Christian di sofa depan kamar.”
“Hmm... yakin?” Emilia menaikkan alis.
“Sumpah! Gak akan ada ML sampai nikah. Ciuman bibir aja belum pernah.”
“WHATTT?! Pacaran macam apa itu?” Emilia dan Iriantie tertawa bareng.
“Emangnya kamu gak pengen ciuman?” tanya Iriantie penasaran.
“Pengen sih... tapi takut. Biasanya kalau udah begitu suka kebablasan ke yang lain-lain.”
“Bagus itu!” sahut Emilia. “Pacaran boleh, tapi jangan sampai kelewatan. Kita harus jaga diri, harkat, dan martabak.”
“Martabat, Em. Bukan martabak,” koreksi Iriantie sambil ngakak.
“Oh iya salah ucap,” Emilia nyengir.
Iriantie segera mengubah topik. “Seperti yang udah kita bahas semalam, hari ini kita belanja bahan makanan. Besok pagi-pagi kita berangkat ke kampungnya Titto.”
“Agenda kita ngapain di sana?”
“Kita bakal masak buat anak-anak kampungnya Titto. Bagi-bagi makanan enak!” jelas Iriantie.
“Bukannya semalam kamu udah janji mau bawa diri dan segenap jiwa raga ke sana?” ejek Emilia.
“Kapan aku bilang gitu?”
“Yakin banget ngomong kayak gitu semalam,” Emilia tertawa lagi.
“Udah, yang penting sekarang siap-siap. Kali ini kita bakal bikin kegiatan seru yang bikin anak-anak bahagia,” kata Iriantie.