POV Adam - Hari Ulang Tahun Nafa
Adam sedang memilih kue ulang tahun untuk Nafa. Rencananya, malam nanti dia akan memberi kejutan saat Nafa pulang kerja. Setiap tahun, ulang tahun Nafa selalu menjadi hari yang membahagiakan sekaligus menyedihkan buat Adam — karena itu juga hari ibu Nafa meninggal dunia.
"Adam, aku butuh bantuanmu hari ini," ucap seorang temannya tiba-tiba.
"Bantuan apa?"
"Istriku akan melahirkan hari ini. Operasi. Tolong gantikan aku menjaga arena balap malam nanti."
Adam menatap pria itu. Ia tahu betul perjuangan temannya ini selama sepuluh tahun untuk bisa punya anak.
"Baiklah. Selamat, ya. Akhirnya penantianmu terbayar juga. Semoga semuanya lancar—istri dan bayimu selamat dan sehat. Salam buat keluarga."
"Terima kasih, Adam. Kamu memang bisa diandalkan."
"Enggak masalah. Aku pulang dulu, mau simpan kue ini di kulkas. Hari ini ulang tahun Nafa juga. Dia sudah 21 tahun."
"Tak terasa ya, dulu dia masih bayi mungil yang sering kau bawa ke Pengkalan."
Adam tersenyum tipis. Ia masih mengingat jelas masa-masa itu.
---
Di Rumah – Malam Hari
Nafa pulang ke rumah lebih awal karena pekerjaannya selesai.
“Akhirnya bisa rebahan juga... dua hari belum keramas,” gumamnya, lalu menyalakan AC dan masuk ke kamar mandi.
Setelah 15 menit, Nafa berganti pakaian santai dan tertidur di kasur. Sekitar pukul 19.30, ia terbangun dengan panik.
"Astaga! Aku lupa janji ketemu Christian malam ini! Baju apa ya?"
Ia memilih mini dress dari lemari, lalu ragu. "Pasti ada Papa di sana… hoodie aja deh, tapi ini kan ulang tahunku. Masa tampil biasa?"
Akhirnya, dia tetap memakai mini dress baby pink selutut, dipadukan dengan short pants, hoodie, sneaker, dan masker.
WhatsApp dari Christian masuk.
Christian: "Babe, kamu di mana?"
Nafa: "Di rumah."
Christian: "Aku jemput sekarang ya, kita makan malam dulu."
Nafa: "Oke."
Nafa memastikan semuanya aman sebelum keluar rumah. Air, listrik, kompor—semua dimatikan.
Christian yang menunggu di luar mengangkat alis.
“Babe, tampilanmu beda malam ini. Mana celana jeans-mu? Kamu yakin aman berpakaian seperti itu?”
Nafa diam. Ia tahu Adam belum mengizinkannya pacaran.
Christian tersenyum dan menggandeng tangannya. “Ayo naik. Mau makan apa malam ini?”
“Mau yang enak…”
“Gimana kalau steak ayam? Ada kafe baru dekat tempat balapan.”
“Boleh juga.”
Sepanjang perjalanan, Nafa mengeluh dalam hati. Kenapa dia enggak kasih ucapan atau kado? Padahal aku sudah dandan beda malam ini…
Selesai makan, Christian akhirnya berkata, “Babe, aku mau kasih kamu sesuatu.”
Ia mengeluarkan kotak kecil berisi kalung.
“Cantiknya…” Nafa bahagia bukan main.
“Sini aku pakaikan. Selamat ulang tahun, babe. Maaf ya telat ngucapinnya. Kamu pasti kira aku lupa, kan?” Christian mengecup dahinya.
Hati Nafa lumer seperti permen kapas.
---
Arena Balapan Malam
“5 menit lagi balapan mulai, ayo ke arena,” kata Christian.
Arena ramai. Balapan liar itu memang rutin dan diam-diam disponsori oleh bosnya Adam, makanya tak tersentuh polisi.
“Hi my brother, Christian,” sapa Marco, ketua geng motor lawan. “Malam ini aku pasti menang.”
“Kita lihat saja.”
Marco melirik Nafa. “Kalau aku menang, serahkan wanita ini padaku.” Tangannya menyentuh dagu Nafa.
Tanpa pikir panjang, Nafa menendang selangkangan Marco.
“Perempuan sialan!” Marco hendak menampar Nafa, namun tangan itu ditahan oleh Christian. Ia mengepal, siap memukul Marco, namun Nafa menahan.
“Christian, jangan,” kata Nafa lembut, menggenggam tangannya. “Jangan terpancing. Aku yakin kamu akan menang malam ini.”
Marco meludah. “Lihat saja nanti. Wanita jalang itu akan jadi milikku.”
---
Balapan Dimulai
"Are you readyyy... One, two, three... GO!" bendera dikibaskan.
Lima motor melaju. Marco curang—mencoba menjatuhkan Christian. Tapi Christian menang. Rusuh pecah.
Adam dan anak buahnya langsung turun tangan mengendalikan situasi. Nafa panik. Tiba-tiba, seseorang menarik tangannya.
“Lepasin!” Nafa hampir memukulnya.
“Stop, ini aku. Kevin!”
“Kevin? Ngapain kamu di sini?”
“Nonton balapan. Menurutmu aku ngapain?”
“Terima kasih ya.”
Kevin membawa Nafa ke tempat aman. “Aku pastikan Pak Adam enggak lihat kamu.”
“Kamu kenal ayahku?”
“Siapa yang enggak kenal dia?”
---
Setelah Perkelahian
Adam membantu Christian yang babak belur.
“Kamu Christian, kan?” katanya sambil mengobati luka.
“Iya. Terima kasih bantuannya, Pak. Saya… saya menyukai Nafa.”
Adam berhenti mengusap luka. Ia menekan sedikit lebih keras. “Ulangi.”
“Pelan-pelan, Pak… Izinkan saya pacaran dengan Nafa.”
Adam menarik napas. “Belum saatnya. Kamu masih terlalu muda.”
“Tapi saya serius. Saya akan jaga dia.”
Adam menepuk bahunya. “Nanti ada waktunya.”
Christian menggenggam tangan Adam. “Pak, beri saya jawaban. Apakah Bapak akan merestui kami?”
Adam menatapnya dalam diam. “Sudah kubilang. Belum saatnya.”
---
Dini Hari – Di Rumah
Pukul 3 pagi. Nafa baru pulang. Ia langsung ganti piyama dan menuju dapur. Saat membuka kulkas, ia melihat kotak kue.
Senyum merekah. “Papa masih ingat…”
“Mana mungkin Papa lupa,” sahut suara dari ruang tamu.
“Papa?” Nafa kaget. “Sejak kapan di situ?”
“Sejak kamu buka kulkas. Maaf Papa telat pulang, ulang tahunmu kelewat beberapa jam.”
“Enggak apa-apa,” Nafa memeluk Adam. “Terima kasih, Pa.”
Adam menyalakan lilin di atas kue. “Make a wish, tiup lilinnya.”
Fuhhh
Adam menyerahkan selembar kertas.
Nafa membaca: “KAMU SUDAH BOLEH PACARAN.”
“Papa serius??” Nafa melompat kegirangan.
“Tapi ingat, jangan kelewat batas.”
Nafa hendak menyebut nama Christian, tapi urung.
“Christian maksudmu?” tanya Adam.
Nafa tersenyum malu dan mengangguk.
“Dia tadi minta izin ke Papa.”
“Papa izinkan?”
“Siapa bilang? Mana ada ayah yang rela anaknya pacaran sama anak motor begitu. Tapi... kalau dia bisa berubah, Papa akan terima dia.”
“Papa janji?”
“Janji.”
Mereka berpelukan.
Bagi dunia luar, Adam adalah pria yang ditakuti. Tapi bagi Nafa, dia selalu menjadi pelindung lembut yang penuh cinta.
Selamat Datang di Hati yang Sebenarnya
Hujan turun sejak sore, lembut dan konstan. Seperti sengaja menggantikan matahari untuk memberi alasan semua orang diam di rumah. Tapi tidak dengan Christian. Ia berdiri di depan pagar rumah Nafa, dengan jaket hitam dan rambut sedikit basah. Di tangannya ada kantong kertas berisi sesuatu yang membuatnya gugup sejak tadi.
Pintu pagar dibuka perlahan. Nafa muncul dengan hoodie kebesaran dan sandal rumah warna kelinci. Rambutnya dicepol asal, tapi wajahnya hangat seperti cahaya kuning dari jendela kamar.
“Udah nunggu lama?” tanya Nafa pelan, senyumnya menyembul malu-malu.
Christian menggeleng. “Nggak kok. Aku malah senang nunggu kamu.”
Nafa membuka pagar lebih lebar. “Masuk, hujan.”
Christian menunduk dan melangkah masuk. Aroma rumah yang lembab dan suara rintik hujan entah kenapa justru menenangkan. Seakan semesta tahu: malam ini penting.
“Aku mau kasih ini.” Christian menyerahkan kantong kertas tadi.
Nafa membuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah album kecil berisi foto-foto candid mereka berdua. Beberapa dari cafe pertama mereka makan, waktu camping bareng geng ATM, dan potongan screenshoot video call saat Nafa ketiduran.
“Ini… dari mana semua ini?” tanyanya, matanya mulai berkaca.
“Aku simpan diam-diam. Aku takut kita nggak punya kenangan kalau suatu saat aku harus pergi,” jawab Christian pelan. “Tapi sekarang… sekarang aku boleh temani kamu beneran, kan?”
Nafa tidak menjawab. Ia menatap Christian lama, lalu perlahan memeluknya. “Terima kasih… kamu satu-satunya orang yang selalu bikin aku ngerasa nggak sendirian.”
Pelukannya terasa berbeda. Bukan sekadar rindu atau sayang, tapi seperti rumah—yang nggak harus megah, tapi selalu bikin tenang.
Christian menarik nafas dalam. “Aku janji, Na… aku bukan cowok sempurna. Aku masih belajar. Tapi aku akan jaga kamu. Dengan cara aku. Dengan segala yang aku punya.”
Nafa mengangguk di pelukannya. “Aku juga bukan cewek hebat. Tapi aku juga janji… aku akan percaya sama kamu, walau kadang aku takut.”
Christian melepaskan pelukan perlahan. Lalu dari kantong jaketnya, ia mengeluarkan sebuah gelang kecil berukir nama “Nafa + Christian”. Tali merah sederhana, tapi kelihatan dibuat dengan hati-hati.
“Boleh aku pasangin?” tanyanya.
Nafa menyodorkan tangannya. Gelang itu terpasang pas di pergelangan. Ia tersenyum. “Aku nggak butuh yang mahal, aku cuma butuh yang tulus.”
Christian mendekat, menunduk sedikit, lalu mencium kening Nafa. Lama. Lembut. “Selamat datang… di hati yang sebenarnya.”
Di luar, hujan belum berhenti. Tapi di dalam, dua hati sedang saling berteduh. Bukan dari badai, tapi dari kesepian, dari masa lalu, dari semua ketakutan yang perlahan mereka taklukan… bersama.