Cemburu dan Miras
Kedekatan Yanto dan Nafa mulai mengusik ketenangan Stella—wanita yang telah tiga tahun menjadi pacar Yanto.
“Siapa cewek itu? Kenapa dia selalu datang ke sini setiap hari?” suara Stella terdengar meninggi. Tatapannya tajam ke arah Nafa yang sedang berbincang akrab dengan Tante Maya di teras rumah.
“Dia adik angkat aku, Stell. Dulu waktu kecil dia sempat tinggal sama Mama,” jawab Yanto mencoba tenang.
“Bohong kamu!” bentak Stella.
“Percaya sama aku. Aku nggak mungkin duain kamu. Dia itu... masih anak-anak, Stell. Coba deh pikir dewasa sedikit,” suara Yanto ikut meninggi.
“Justru aku yang seharusnya marah dan kesal!”
Tanpa berkata panjang, Yanto langsung memeluk Stella.
“Percaya sama aku. Aku bukan seperti yang kamu pikirkan.”
“Tapi kamu nggak harus antar jemput dia tiap hari juga, kan?” protes Stella lagi, dengan nada lebih lembut tapi tetap kesal.
“Gak tiap hari kok. Aku cuma anter dia pulang kalau Kak Adam nggak sempat jemput.”
“Tetap aja aku nggak suka! Dan pasti hari ini kamu bakal anterin dia lagi, kan?”
“Iya, sore ini aku antar dia pulang.”
“Nah, tuh kan! Baru juga aku bilang. Ah, bete sama kamu! Antar aku pulang sekarang!”
Yanto pun menurut, mengantar Stella pulang sambil terus membujuknya di sepanjang jalan. Namun, suasana hati Stella belum juga membaik.
---
Sementara itu, Nafa berpamitan pada Tante Maya.
“Besok-besok ajak Adam main ke sini, ya,” kata Tante Maya sambil menyerahkan kotak berisi kue.
“Iya, Tante. Katanya Papa juga udah lama nggak ketemu Tante,” jawab Nafa ramah.
“Ini kue kesukaan Papa kamu. Sampaikan salam dari Tante Maya.”
Tak lama, Yanto kembali ke rumah.
“Stella ngamuk lagi ya?” tanya Tante Maya begitu melihat wajah putranya yang lelah.
“Iya, Mi…” jawab Yanto lesu.
“Anak itu temperamen sekali,” Tante Maya menepuk bahu Yanto lembut. “Kamu sabar ya.”
Dari belakang, Nafa ikut menyahut dengan nada menggoda. “Maaf ya, Kakak Yanto… aku penyebab kekacauan cinta kamu~”
Yanto hanya geleng-geleng kepala. “Ayo, aku antar kamu pulang. Udah sore. Aku ada janji ngumpul sama anak-anak ATM malam ini.”
“ATM?” tanya Nafa penasaran.
“Alan, Tiyo, dan yang lainnya. Kami mau party... miras cowok-cowok.”
“Idihhh. Gak usah ngajak deh!” seru Nafa geli.
Yanto tertawa, lalu keduanya pun berpisah di jalan.
---
Malam itu, geng ATM berkumpul. Rambli—ketua geng—menyambut semua anggotanya dengan gaya khasnya, membawa satu botol besar minuman keras.
“Yooowww, brother!”
Tak butuh waktu lama, mereka semua teler. Mabuk. Termasuk Jonli yang mulai berceloteh aneh.
---
Senin pagi.
Seperti biasa, Nafa bersiap ke kantor sebelum lanjut kuliah. Di tengah kesibukan kerja, seorang pria masuk ruangan dan melongok ke dalam.
“Jon, yang namanya Nafa mana sih?” suara itu berasal dari Ade, salah satu teman Yanto.
Semua mata di ruangan langsung tertuju padanya.
“Aku, kenapa?”
“Oh kamu toh? Pacarnya Yanto, ya? Tau nggak, semalam Jonli sampai nangis-nangis nyebut nama kamu!”
Nafa mengangkat alis. “Hah? Emang aku apain dia?”
Ade menunjuk Jonli sambil tertawa. “Dia suka sama kamu!”
“ADE!! Jaga omongan! Kapan aku bilang suka sama dia? Kapan aku nangis?!” tepis Jonli dengan muka merah padam.
“Aku mana tahu,” jawab Nafa cuek, kembali sibuk dengan komputer. “Yang penting aku bukan pacarnya Yanto.”
“Pantesan Jonli nangis, kamu ketus banget!” Ade tertawa keras lalu kabur keluar ruangan.
Jonli mengejarnya. “Eh! Ade! Lo ngaco!”
“Lupa ya lo semalam ngapain?” Ade menepuk bahunya, lalu pergi.
Seluruh ruangan tergelak menertawakan Jonli yang malu bukan main.
Beberapa saat kemudian, Nafa menghampiri meja Jonli. “Jon, emang bener kamu suka aku?” godanya, dengan senyum iseng.
“Enggak lah! Asal ngomong aja kamu!” sahut Jonli, masih kesal.
“Oh yaudah. Gak usah marah-marah dong kalau gak bener,” balas Nafa santai.
---
Di pojok ruangan, Yanto hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum. Ia menghampiri Nafa sambil mengeluarkan ponsel.
“Eh, Na, tapi bener loh. Semalam sebelum semua mabuk, aku sempat rekam. Nih…”
Dalam video itu, terlihat Jonli yang sudah setengah teler.
“Hei, Yanto… aku suka sama Nafa. Putusin dia! Aku mau dia jadi pacar aku… Hiksss, Nafa…”
Nafa tertawa keras. “Hahahah aku sampai nggak bisa ngomong!”
Namun tawa itu langsung terhenti saat suara berat terdengar dari belakang mereka.
“Ketawa terus kalian berdua... kerja sana!” suara Steven—atasan mereka—menyentak.
“Iya, Ketua. Bawel banget sih,” balas Yanto sambil cepat-cepat kembali ke mejanya.
Nafa hanya nyengir. Hari itu baru saja dimulai, dan rasanya akan panjang sekali
Seperti Sudah Terbiasa
Sore di Kampus
Sore itu, Nafa duduk santai di kantin kampus. Di depannya, sepiring pisang goreng masih mengepul hangat. Ia menikmati suasana santai setelah seharian sibuk bekerja dan kuliah.
“Bagi dong pisangnya,” suara riang terdengar dari arah samping.
Nafa menoleh. “Iriantie! Duduk aja, makan bareng. Gimana restoran?” tanyanya sambil menyodorkan piring.
“Ramee banget tadi siang. Aku sampai nggak sempat mandi sejak kemarin, saking hectic-nya,” keluh Iriantie sambil mengambil satu gorengan.
Nafa melongo. “Astaga… kebiasaan ya.”
“Lagian siapa juga yang merhatiin. Yang penting dandan, make-up on!”
“Hahaha… dasar kamu.”
Iriantie tertawa, lalu melirik Nafa dengan curiga. “Eh, Randy masih nyuruh kamu ngerjain tugasnya?”
“Iyah,” jawab Nafa lemas. “Aneh, aku tuh nggak bisa nolak sama sekali.”
“Na… dia itu manfaatin kamu.”
“Iya, aku tahu. Padahal aku dari awal nggak pengen lebih, cuma pengen jadi teman. Karena aku tahu dia nggak mungkin suka sama aku. Tapi bukan gini juga, cuma dijadiin mesin tugas.”
“Salah kamu sendiri, siapa suruh naruh perasaan?”
Nafa tertawa kecil. “Sudah jadi kebiasaan.”
“Dulu juga waktu baru masuk SMA kamu begitu, tergila-gila sama kakak kelas pemain basket itu. Siapa sih namanya, aku lupa?”
“Michael?”
“Iyaaa! Michael. Padahal kalian dekat banget, aku pikir kalian bakal jadian.”
“Aku belum pernah cerita ya soal dia? Atau kamu udah lupa, kejadian malam ulang tahun aku?”
“Oh iya iya, aku ingat!” wajah Iriantie mendadak serius.
“Dari malam itu, sampai sekarang dia nggak pernah kasih kabar lagi.”
“Di sosial media?”
“Udah aku cari. Aku sempat nemu akun pacarnya, tapi malah diblok sebelum aku bisa konfirmasi apapun.”
“Gila, apaan sih yang ayah kamu lakuin ke dia?”
Nafa mengangkat bahu. “Mana aku tahu. Makanya aku takut pacaran. Aku cuma pengen dekat kayak sahabat aja.”
“Cewek sama cowok sahabatan? Gak bisa, Na.”
“Bisa kok. Aku sama Yanto sahabatan.”
“Dia care karena anggap kamu adik, bukan teman.”
Belum sempat Nafa menjawab, suara familiar memotong obrolan mereka.
“Nafa, tugas aku udah kelar?” Randy muncul entah dari mana.
“Iya. Ini.” Nafa menyodorkan flashdisk.
“Thanks,” jawab Randy singkat, lalu pergi begitu saja tanpa basa-basi.
“Ishhh… nyebelin banget tuh cowok!” Iriantie mendengus kesal.
Nafa hanya nyengir.
“Oh iya, kamu tahu Kak Gabriel kan?” tanya Iriantie tiba-tiba, nada suaranya penuh semangat.
“Iya, dia satu kelompok sama aku. Kenapa?”
“Ihhh... tipe aku banget gak sih? Tinggi, kalem, pintar.”
“Tapi kamu bukan tipe dia,” goda Nafa sambil tertawa.
“Iya sih. Aku cuma remahan biskuit di lantai…” Iriantie ikut tertawa getir.
“Dia udah punya pacar, kemarin aku lihat,” lanjut Nafa. “Dan ceweknya… sexy mampus.”
“Apalah dayaku…” Iriantie menggeleng dengan dramatis.
“Ngomong-ngomong, Ridwan, kekasih tercintamu mana? Lama gak lihat dia jemput kamu.”
“Dia kerja di perusahaan tambang sekarang. Makanya jarang pulang.”
“Oh pantesan. Kamu nggak takut dia macam-macam di sana?”
“Ya terserah dia aja. Kalau jodoh, gak bakal nyasar.”
Nafa mengangguk. “Iya juga sih. Kebanyakan cowok nggak suka cewek yang overprotective.”
“Makanya, aku biarin aja. Percaya sama dia.”
Tiba-tiba, bel kelas berbunyi dari kejauhan. Iriantie berdiri sambil meraih tasnya.
“Yaudah yuk, masuk kelas dulu. Siapa tahu dosennya udah datang.”
Nafa mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan sahabatnya, meninggalkan kantin yang mulai lengang.