Blaster
Nafa Stefania, gadis cantik berdarah Amerika itu, baru saja lulus SMA tahun ini. Kini, ia melanjutkan kuliah di universitas ternama di daerahnya, bersama sahabatnya sejak kecil, Iriantie Paramitha—yang akrab disapa Rha.
Mereka mengambil jurusan Ekonomi.
Dag… dig… dug…
Jantung Nafa berdetak cepat. Tangan kirinya mencengkeram dadanya, berkeringat dingin. Ia meremas kuat tangan Rha yang duduk di sampingnya.
> “Kamu kenapa, Na?” tanya Iriantie khawatir.
“Penyakitku kumat…” gumam Nafa, panik.
“Biasanya kamu kayak gini kalau lihat Blaster. Tapi dia kan nggak kuliah di sini?”
Nafa spontan membalikkan badan, dan—deg! Ia membelalak.
Seorang cowok ganteng berkulit putih, tinggi, bermata abu muda, dengan senyum menawan, sedang menaiki tangga ruang kuliah. Ia memakai kaos lengan panjang bermotif horizontal, dan duduk di barisan paling belakang.
> “Rha… dia ada di sini…” bisik Nafa sambil mempererat genggamannya.
“Ah, jangan ngaco kamu,” jawab Rha, setengah percaya.
“Coba kamu lihat ke arah jam 6.”
Rha menoleh ke belakang, lalu tertawa pelan.
> “Pantas aja.”
Cowok itu bernama Randy. Mereka biasa menyebutnya Blaster, karena ia adalah pria blasteran Jerman yang sudah Nafa taksir sejak SMA. Fisiknya sempurna, motornya Thunder 125—keren banget di zamannya.
> “Ah, gimana bisa move on kalau dia juga kuliah di sini,” gerutu Nafa kesal.
“Fokus aja kuliah. Nanti juga lupa. Sibukin diri, cari kegiatan,” saran Rha.
“Aku udah coba segala cara. Kupikir aku bakal berhasil move on kalau nggak lihat dia lagi… tapi ternyataaa…”
“Apa sih yang kamu suka dari dia?”
“Semuanya. Fisiknya... dan motornya,” jawab Nafa polos.
“Kamu terobsesi sama dia cuma karena fisiknya? Astagaaa…” Rha menggeleng tak percaya.
Di antara keramaian mahasiswa baru yang saling mengenal, mata Nafa menangkap sosok perempuan bertubuh besar yang duduk sendirian.
> “Rha, yuk gabung sama dia. Kasihan duduk sendiri,” bisik Nafa.
“Hai, boleh gabung?” sapa Rha ramah.
“Iya, silakan duduk. Aku Irish Emilia,” jawabnya.
“Aku Nafa.”
“Iriantie Paramitha.”
Sejak malam itu, mereka bertiga menjadi akrab.
> “Aku insecure sama badan aku,” kata Emilia pelan. Berat badannya 120 kg.
“Kamu udah coba diet? Banyak kok tutorialnya di YouTube. Ada juga olahraga ringan buat obesitas,” saran Rha.
“Aku yakin kamu bisa, Mil. Fighting!” semangat Nafa sambil mengepalkan tangan.
Tiba-tiba…
> “Nafa.”
Suara itu. Suara yang sangat dikenalnya. Nafa menoleh, dan benar saja—itu Randy.
> “Ya? Ada apa?” jawabnya gugup.
Dag… dig… dug…
Penyakit Nafa kambuh lagi. Ia mematung. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya, meski pikirannya penuh dengan kalimat-kalimat.
> “Kamu kuliah di sini juga?” tanya Rha, berusaha mencairkan suasana.
“Iya, seperti yang kamu lihat,” jawab Randy datar.
> “Naf, bantu aku bikin tugas Manajemen Pemasaran, ya?”
Randy menyerahkan flashdisk lalu pergi, sambil berlari kecil dan membentuk tanda hati dengan jari ke arah Nafa.
Begitu saja, hati Nafa sudah meleleh seperti es krim kena matahari.
Randy memang begitu sejak dulu—suka membebankan tugas apapun ke Nafa. Dan Nafa, entah kenapa, tidak bisa menolak.
> “Kamu terima begitu aja?” tanya Emilia tak percaya.
“Udah terbiasa,” sahut Nafa pelan.
“Ish… apa yang kamu harapkan dari dia yang bahkan nggak peduli sama kamu?” Rha agak kesal.
“Dari dulu harapanku cuma satu… bisa ngobrol normal sama dia.”
Memang, setiap kali berhadapan langsung dengan Randy, Nafa selalu kikuk dan gugup. Bicaranya jadi ketus, meski di dalam kepalanya ada seribu kata.
> “Rumit,” komentar Emilia sambil menghela napas.
Hari Pertama di Perusahaan
Setelah semester dua, selain kuliah, Nafa juga melamar kerja di sebuah perusahaan makanan kucing. Ia ditempatkan di ruang produksi.
Hari pertama bekerja…
> “Ini posisi kerjamu,” kata Steven, ketua divisi tempat Nafa bekerja.
“Iya, makasih,” jawab Nafa sopan.
“Popi, Sitty, ajarkan dia cara kerjanya.”
Dua perempuan langsung mendekat.
> “Kenalin, aku Sitty,” ucap cewek berpenampilan seksi.
“Aku Popi,” sambung yang satunya, tak kalah bohay.
Baru setengah hari bekerja, seperti sudah jadi tradisi, karyawan baru harus ‘dikerjai’.
Saat Nafa sedang serius bekerja, seorang pria tiba-tiba mulai mengejek dan memotong ucapannya dengan seenaknya. Nafa berusaha membalas, tapi kalah cepat dan kalah kata. Ucapan-ucapan itu terus menghantam rasa percaya dirinya.
Dengan kesal, Nafa melempar nampan besi yang ada di tangannya ke arah pria itu. Untungnya tak kena, tapi ejekan itu malah makin menjadi.
Semua orang di ruangan itu tertawa. Sitty terlihat kesal melihat perlakuan pria itu.
Nafa mulai menangis. Tangisannya meledak, seakan segala beban tumpah. Popi mencoba menarik Nafa ke pojokan dan menenangkan, tapi sia-sia.
Steven masuk dan melihat kekacauan itu.
> “Ada apa ini ribut-ribut? Kenapa dia menangis?”
“Ryan mengejeknya, Ketua,” lapor Sitty.
“Ryan! Kamu memang biang kerok. Kalian berdua ikut saya ke ruangan sekarang juga!”
Namun Nafa menolak. Ia menangis sambil menutupi wajahnya, tak kuat menahan malu dan marah yang bercampur jadi satu.
Lalu datanglah seseorang dengan gaya santai.
> “Yow, what’s up? Ada apa ini?” kata pria bermata sipit dengan senyum lebar.
“Kenapa kamu nangis? Cup-cup, ketawa dong, hihihi…”
Yanto. Pria 27 tahun berdarah Tionghoa, dikenal humoris, ramah, dan selalu berhasil mencairkan suasana. Ia mendekat dan tanpa izin mengusap air mata Nafa.
> “Adik kecil, jangan nangis, ya?”
Nafa langsung bangkit dan lari ke toilet. Malu. Tapi diam-diam hatinya sedikit lega.
> “Yanto memang hebat, dari tadi dia nangis terus dan gak ada yang bisa bikin dia berhenti,” komentar Alan.
“Siapa dulu dong, Yanto,” sahutnya bangga sambil menepuk dada.
Jonly yang dari tadi memperhatikan hanya mencibir,
> “Dasar kekanak-kanakan…”
Tapi dalam hati, ia berbisik, “Tapi dia manis.”
---
Selesai kerja…
> “Maaf ya, atas perlakuan aku tadi,” kata Ryan.
“Tadi aku kesal, tapi sekarang gak apa-apa. Malah gara-gara kamu, aku sadar aku harus kuat. Gak boleh manja atau cengeng lagi,” jawab Nafa.
Nafa memang anak tunggal, dibesarkan ayahnya seorang diri. Ia selalu dimanja. Tapi hatinya, kuat dan berani. Hanya saja, ia tak pernah suka mengeluh—baik kepada ayahnya, maupun orang lain.
Kemudian Yanto mendekat.
> “Nama kamu Nafa, kan? Aku Yanto.”
“Hai Yanto, makasih ya tadi.”
“Iya, sama-sama. Senang bisa bantu.”
“Rumah kamu di mana? Aku antar pulang ya.”
“Makasih banyak. Emang kebetulan aku lagi gak bisa pulang. Ojek gak ada yang lewat, ojol juga pada cancel. Aku jam lima ada kelas.”
“Ayo naik, dengan senang hati.”
---
Sesampainya di rumah…
Ayah Nafa, Pak Adam, sudah menunggu di teras.
> “Makasih, Yanto...”
“Kak Adam! Apa kabar, Kak? Lama gak main ke rumah.”
“Yanto? Anak Pak Glen ya?”
“Iya, Kak.”
Nafa memandang mereka heran.
> “Papa, kalian saling kenal?”
“Kamu masih ingat Om Glen dan Tante Maya? Dulu mereka tetangga kita.”
“Ingat dong, mereka yang sering rawat aku waktu kecil! Jangan bilang… kamu Kakak Yanto yang paling aku sayang itu?”
Yanto hanya tersenyum kecil. Ia masih ingat betul adik kecil yang dulu selalu merengek tiap hari.
> “Kamu lupa, dulu sering minta dinikahin sama aku,” ejek Yanto.
> “Yanto, sekarang ayahmu ke mana?” tanya Pak Adam.
“Ayah sekarang jadi pelaut.”
“Hebat ayah kamu. Saya masih jaga pasar.”
Meski hanya terpaut 10 tahun, Yanto memang lebih dewasa. Ia memanggil Adam dengan sebutan "Kakak".
---
Nafa dan Yanto memang sangat dekat semasa kecil, sebelum akhirnya terpisah karena Yanto pindah sekolah ke luar kota, dan Nafa juga pindah dari komplek lama bersama ayahnya.
Setelah pertemuan itu, kenangan masa kecil mereka kembali menghangat. Hubungan Nafa dan Yanto perlahan jadi akrab kembali—seperti dulu.