Pantai, Sabtu Siang
Angin sepoi-sepoi menyapa pinggiran pantai saat tiga cewek jomblo duduk di bawah pohon, masih memakai baju kantor. Sabtu kerja hanya sampai jam 12 siang, dan kuliah pun libur. Hari yang pas untuk melarikan diri dari rutinitas.
“Kita bertiga ini jomblo semua, ya. Kapan sih punya pacar?” keluh Popi sambil menyeruput es kelapa.
“Nafa mah enak, banyak yang naksir,” sahut Sitty sambil melirik ke arah Nafa.
“Siapa?” Nafa mendelik tak percaya.
“Jonly sama Yanto,” jawab Sitty santai.
“Dih, Jonly bukan tipe aku. Yanto? Gak lah. Dia udah punya pacar, namanya Stella. Kita udah kayak kakak-adik dari aku kecil, dulu tetanggaan.”
“Oh gitu... pantes kalian lengket banget,” gumam Popi.
“Gimana kalau... kita bikin challenge? Dalam 30 hari, harus dapet pacar!” usul Popi dengan mata berbinar.
“Agak gila sih idenya,” kata Nafa sambil terkekeh.
“Tapi aku suka!” seru Sitty.
“Aku gak ikutan, ah. Papa aku gak bolehin pacaran.”
“Ya ampun, Nafa. Udah gede masa gak boleh pacaran?” komentar Popi.
“Makanya jangan ketahuan dong!” Sitty nyengir nakal.
“Mana bisa nggak ketahuan? Papa aku punya banyak ‘mata-mata’.”
“Belum coba, siapa tahu berhasil,” ucap Popi sambil mengangkat alis.
“Trus... 30 hari? Aku udah 18 tahun hidup belum pernah pacaran, lho,” kata Nafa sambil memeluk lutut.
“Coba dulu lah, masa belum apa-apa udah nyerah!” seru Popi semangat.
Jam menunjukkan pukul tiga sore saat ponsel Nafa berbunyi. Nama "Papa" muncul di layar.
> “Kamu di mana? Kok belum pulang?”
> “Maaf, Pa. Tadi jalan-jalan sama Popi dan Sitty. Pulangnya malam boleh?”
> “Iya, hati-hati ya. Kalau udah selesai kabarin Papa, nanti dijemput.”
> “Gak usah, Pa. Pulang bareng Popi aja.”
> “Oke. Tapi jam 10 harus udah di rumah. Jangan lupa makan.”
> “Iya, Pa.”
Sitty tersenyum. “Papa kamu perhatian banget ya.”
“Begitulah... gak lucu kan lagi pacaran, tiba-tiba ditelpon kayak gitu.”
Mereka bertiga tertawa.
“Itu kan Yanto!” tunjuk Popi pada pria berkaos putih yang duduk santai di bawah kanopi, rokok di tangan.
“Ayo kita gangguin!” kata Sitty semangat.
“Jangan ah, pasti sama Stella,” celetuk Nafa.
“Justru itu yang seru! Liat ceweknya ngomel-ngomel!” Popi nyengir jail.
Ketiganya berlari kecil mendekati Yanto.
“Antooo~!” teriak Sitty sambil melambaikan tangan.
“Eh, kalian juga di sini?” Yanto tampak terkejut.
“Sama siapa?” tanya Nafa.
“Janjian sama Stella. Hari ini aku mau... negesin hubungan kita.”
“Kamu mau lamar dia?” tanya Nafa, setengah bercanda.
“Rahasia,” jawab Yanto, mengedip.
Nafa menarik kacamata dari kerah bajunya. “Pinjam dulu ya!” katanya sambil memakainya dan langsung lari.
Sitty dan Popi menyusul. Dari kejauhan, Stella terlihat kesal.
Yanto hendak mengejar, tapi berhenti melihat wajah Stella yang sudah seperti baju kusut belum disetrika.
> “Kedekatan kamu sama dia bikin aku kesal. Sumpah, aku kesal!”
> “Stel, dia udah kayak adek aku. Jangan salah paham terus.” Yanto menggenggam kedua tangan Stella.
Stella menarik napas kasar, lalu melepas tangannya. Ia hendak pergi, tapi Yanto menahannya, lalu memeluknya erat.
> “Dengerin penjelasan aku dulu.”
Stella mematung. Jantungnya berdebar seperti lagu EDM. Campuran senang dan kesal memenuhi dadanya.
Lalu Yanto menatap wajahnya.
> “Aku cinta sama kamu, Stella. Kamu mau nikah sama aku?”
Stella tersenyum malu, lalu lari ke arah pantai. Yanto mengejarnya. Mereka berlarian dan bermain air di pinggiran pantai.
---
Kita mau ikut !!!!
Malam Hari, di Kamar Sitty
“Nafa, kamu beneran gak punya perasaan ke Jonly?” tanya Sitty dengan mata melotot.
“Gak lah,” jawab Nafa cepat.
“Buka hati dikit aja. Kasian dia, tiap mabuk pasti curhat tentang kamu,” kata Popi.
“Kamu tau dari mana?”
“Kak Rambli yang bilang,” sahut Sitty.
(Jonly teman satu geng Rambli, kakak Sitty.)
“Kan udah kubilang, dia bukan tipeku. Kalau suka ya bilang langsung, bukan mabuk terus curhat!”
Dalam bayangan Nafa, cowok idamannya itu kayak Randy — tinggi, tampan, badan bagus, motor keren. Jonly? B aja. Bahkan motor pun nggak punya.
“Anggap aja buat challenge. Masa gak boleh pacaran ‘sementara’ doang?” Popi meyakinkan, kedua tangannya memegang pundak Nafa.
“Gimana mau pacaran, ngobrol aja nggak pernah. Dia selalu ketus, kayak musuhan dari zaman dinosaurus!”
Tapi Nafa jadi ingat, dia juga nggak bisa bersikap manis di depan Randy…
“Mungkin dia introvert,” kata Sitty.
“Introvert gabung geng Popy? Gak masuk akal,” Nafa melipat tangan.
---
Basecamp Geng ATM
“Ngumpul di basecamp sekarang!” Rambli menelpon gengnya.
30 menit kemudian, mereka berkumpul di rumah Rambli.
“Sabtu depan, kita naik gunung. Camping,” titah Rambli.
Semua setuju. Ini kegiatan rutin dua bulan sekali.
“Tunggu! Kak, aku ikut dong,” suara Sitty memecah suasana.
“Hah? Kamu?” Rambli kaget.
“Aku ajak Popi dan Nafa, biar rame!”
“Aku mau dong!” Popi keluar dari kamar.
“Naf, kamu ikut kan?” tanya Sitty.
“Eh, Nafa di sini juga?” celetuk Ade dari dapur.
“Aku tanya Papa dulu, ya.”
“Gak usah bawa-bawa cewek. Ribet,” kata Jonly jutek.
“Bilang aja seneng kalo Nafa ikut,” ejek Yanto.
“Jangan cari perkara, To!” Jonly melotot sambil angkat tinju.
“Aku gak ikut kalau kamu gak suka aku ikut,” celetuk Nafa.
“Ih Nafa, kamu tuh gak peka!” Popi mencubit lengan Nafa.
“Udah, jangan ribut. Yang mau ikut, silakan. Yang gak mau juga gak apa-apa,” Rambli menengahi.
“Ayo Naf, ikut yaaa,” bujuk Yanto.
“Aku tanya Papa dulu. Tapi gak janji ya.”
“Nanti aku bantu bilang ke Kak Adam,” kata Yanto.
“Semoga berhasil. Fighting!” sorak Popi.
“Nafa, Papa kamu nelfon!” teriak Sitty dari dapur.
“Mampus!” Nafa ngintip jam, sudah 21:30. Ia buru-buru ke ruang tengah, ambil HP.
> “Nafa, kamu belum pulang?”
> “Iya Pa, ini mau pulang.”
Popi dan Nafa pun pamit dan pulang ke rumah.
30 Hari Mencari Pacar: Hari ke-7
Sudah seminggu berlalu sejak misi gila itu dicanangkan: 30 Hari Mencari Pacar.
Ide random, tanpa hadiah, tanpa hukuman bagi yang gagal.
Benar-benar cuma lucu-lucuan dari tiga wanita impulsif ini.
“Papa kamu udah izinin kamu ikut naik gunung?” tanya Yanto.
“Kemarin aku yang minta izin buat kamu,” lanjutnya sambil nyengir.
“Wah, Yanto hebat bisa meluluhkan hati Adam Azizbek,” celetuk Sitty.
“Yantoooo...” Nafa menepuk dadanya sambil menahan tawa.
“Makasih ya, by the way. Besok aku pura-pura izin lagi, seolah-olah gak tahu apa-apa,” kata Nafa terkekeh kecil.
Awal Pertemuan Kita
Sabtu pagi, jam 6.00.
Mereka sudah berkumpul di titik temu yang disepakati.
Sekantong besar perbekalan siap dibawa: mie instan cup, air mineral, cemilan, dan tentu saja... miras.
ATM memang doyan mabuk-mabukan, bahkan di gunung pun tetap bawa bekal “spesial” itu.
“Semua udah siap?? Oke, karena kali ini ada cewek-cewek, Alan, Jonli, dan Ryan kawal di belakang ya,” titah Rambli.
“Siap, bos!” kata Alan penuh semangat.
“Miras juga aman!” sahut Ryan.
“Let’s goooo!” teriak Ade sambil berlari duluan.
“Nafa, teman kampus kamu gak ikut?” tanya Yanto.
“Mereka sibuk. Kalau diajak ke gunung gini ogah. Coba diajak shopping, langsung semangat.”
Mereka memarkir kendaraan di lokasi pendakian, lalu melanjutkan perjalanan kaki.
Udara sejuk, pohon-pohon rindang... buat Nafa, ini petualangan pertamanya bersama teman-teman tanpa pengawasan keluarga.
Ponsel pun sengaja ditinggal agar tak bisa dihubungi sang ayah—lagian di gunung mana ada sinyal?
Sitty begitu antusias. Skincare lengkap, sunblock tak lupa, dan jaket diikat di pinggang.
“Naf, Pi, ini sunscreen. Oles dulu,” katanya.
“Oke,” Popi langsung mengoleskan ke wajah.
“Aku skip aja deh.”
“Jangan!” bentak Sitty dan Popi kompak.
Sitty langsung mengoleskan ke wajah Nafa.
Popi pun tak kalah niat. Kamera mirrorless dibawa demi dokumentasi.
“Makanya gue bilang, bawa cewek tuh ribet,” omel Jonli.
“Udah jalan aja,” kata Ryan.
“Repotnya di mana, Jon? Kita juga gak minta digendong,” sahut Popi sinis.
Rambli, Yanto, dan Ade di depan. Lalu Nafa, Sitty, dan Popi.
Jonli, Alan, dan Ryan di barisan belakang.
---
Di Tengah Perjalanan
“Aduh... kaki aku keram,” keluh Nafa, berhenti dan menepuk-nepuk pahanya.
Sitty dan Popi sudah jauh di atas, tak menyadari Nafa tertinggal.
“Sini aku bantu,” ujar Jonli sambil memijat betis Nafa.
Alan dan Ryan juga sudah menyusul yang lain.
“Maaf ya Jon, udah repotin.”
“Gak apa-apa. Btw, aku mau ngomong sesuatu.”
“Ya?”
“Soal gosip yang Ade sebar... Maaf kalau bikin kamu gak nyaman.”
“Aku tahu Ade cuma bercanda. Aku gak anggap serius kok.”
“Aku tuh... gak suka sama kamu. Jadi santai aja.”
Nafa terkekeh. “Aku juga tahu, kamu bukan tipeku.”
“Kalau pun suka beneran... ya, maaf, Jon. Aku gak bisa bales perasaan kamu.”
“Ealah, santai aja...” tapi ekspresi Jonli berubah sedikit murung.
“Yuk lanjut kalau udah gak keram,” ajaknya.
“Kamu jangan jutek-jutek lagi ya kalau ngomong. Kalau ada apa-apa bilang aja.”
“Iya, kita temenan baik aja sekarang,” Jonli mengangguk dan sedikit tersenyum.
---
Puncak Gunung, Pukul 12.00
“Finally!” Sitty bersorak kegirangan.
“Gila, aku gak nyangka bisa sampai sini. Dulu cuma bisa mimpi,” kata Popi sambil tertawa.
Mereka sibuk berfoto, sementara cowok-cowok menyiapkan tenda dan makan siang.
Ternyata ada pendaki lain, tiga cowok: Titto, Christian, dan Kevin.
Mereka sedang sibuk mendirikan tenda.
“Kak Titto??” sapa Nafa.
“Nafa Stevania, adik kelas paling ngeselin no.1. Hahaha. Lama gak ketemu, makin cantik aja.”
“Alah, kebiasaan.” Nafa menunduk malu.
Titto adalah kakak kelas Nafa saat SMA.
“Cowok-cowok di sana teman kamu?”
“Iya, kita sembilan orang. Satu gak ikut karena pacarnya sakit.”
“Banyak juga. Ini kenalin, temanku: Christian dan Kevin.”
“Hai,” Christian tersenyum kecil.
“Teman kampus?”
“Teman kerja. Kerja sambil kuliah. Kalau Kak Titto sekarang ngapain?”
“Jadi guide diving. Kapan-kapan mainlah ke resort Jewel Palace.”
“Masih kontak sama Michael?” tanya Titto.
“Kakak masih?”
“Sejak 2014 sampai sekarang gak ada kabar. Hilang.”
---
Flashback: Juli 2014
Nafa dulu naksir Michael—kakak kelas yang populer: pemain basket, penyanyi, good-looking.
Akhir Juli 2014, Nafa mengundang Michael ke ulang tahunnya.
Setelah acara selesai, mereka ngobrol di teras rumah.
Adam, ayah Nafa, tak suka melihat anak gadisnya dengan laki-laki.
Jam 11 malam, Michael belum pulang. Adam kesal, lalu mengantar Michael sendiri.
Tapi...
Setelah itu, Michael hilang.
Pesan tak terkirim. Nomor tak aktif.
Dia tak pernah muncul lagi di sekolah.
Titto hanya tersenyum kecut. “Pak Adam memang menyeramkan.”
“Sekali dia turun tangan, semua orang hilang kata-kata,” bisiknya.
"Jangan macam-macam kalo gak mau hilang dari dunia" Kata Nafa terkekeh
---
“Eh, kamu di sini ternyata,” Yanto menarik tangan Nafa.
“Kak Titto, aku ke sana dulu ya.”
“Pelan-pelan, Yanto. Sakit tau.”
“Siapa dia? Hati-hati ya, nanti aku laporin ke Kak Adam,” ledek Yanto.
“Dasar tukang ngadu,” Nafa memukul lengannya pelan.
---
Sore Hari
Setelah makan siang, mereka diberi waktu bebas.
“Keliling boleh, tapi jangan jalan sendiri. Apalagi cewek-cewek,” kata Rambli.
Jam 3 sore, Nafa mengajak Sitty dan Popi menjelajah.
“Jangan jauh-jauh, aku takut nyasar,” kata Popi.
“Ayolah, nanti di jalan kita kasih tanda,” bujuk Nafa.
Setelah 30 menit, mereka menemukan air terjun.
“Wah, mandi yuk!” teriak Nafa.
“Kamu gila? Kalau ada buaya gimana?!” Sitty panik.
“Mana ada buaya di air terjun,” sahut Popi sambil ketawa.
Mereka asyik main air, sampai lupa waktu.
Jam 5.30, langit mulai gelap. Cowok-cowok panik, 3 gadis belum balik.
“Kita nyasar, jejak yang kita tandai hilang,” kata Popi panik.
“Makanya, Nafa sih!” omel Sitty.
"Lewat sini" Teriak seseorang dari kejauhan
“Tuh, itu suara!” kata Popi
“Christian ya?!” teriak sini
“Iya. Ayo lewat sini.”
Mereka mengikuti Christian dan sampai di tenda..
Beruntung, mereka selamat. Tapi Nafa langsung melapor ke Rambli..
"Makasi ya. Untung ada kamu, kalo gak.. Gak tau deh jadi apa di tengah hutang di atas gunung. Bayanginnya aja seram apalagi kejadian" Kata sitty
"Iya sama-sama. Lain kali jangan gitu ya. Ulah kalian bisa bikin tim SAR repot" Dengan nada sedikit mengejek
"Gabung yuk bareng kita"
---
Yanto mendekat. Wajahnya merah, rahangnya kaku. Ia hendak memukul, tapi mengurungkan niat.
Alih-alih marah, ia memeluk Nafa erat.
“Kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu... aku pasti di bunuh Adam... aku...”
Suara Yanto parau, hampir menangis.
Nafa terdiam. Di balik tingkah konyolnya, Yanto benar-benar peduli.
Bukan hanya teman, dia seperti kakak.
Popy dan Sitty kembali bersama Titto, Christian, dan Kevin.
Rambli hanya menatap tanpa berkata sepatah kata pun. Nafa-lah yang sebelumnya memintanya untuk tidak memarahi mereka.
“Benar kata Jonli. Jangan bawa cewek, nanti ribet,” celetuk Ade yang sejak tadi diam saja.
“Sudah, sudah. Karena semuanya sudah kumpul, ayo kita bikin api unggun,” ajak Ryan.
“Iya, aku lapar,” sahut Alan.
Mereka mulai bernyanyi dan menikmati malam.
Udara semakin dingin, malam semakin larut.
Tiba-tiba Alan muncul membawa dua kantong plastik.
“Kalian lupa ini, ya?” katanya sambil mengangkat kantong berisi minuman kaleng, soda, dan camilan.
“Wah, ini yang penting!” seru Rambli dengan semangat.
Sementara yang lain asyik bernyanyi dan minum, Ade melirik ke arah Jonli yang tampak murung.
“Jon, dari tadi kamu diam aja. Kenapa?” tanyanya sambil menyodorkan sekaleng minuman.
“Gak apa-apa,” jawab Jonli pelan. Ia membuka kaleng dan menenggaknya sekaligus.
“Pasti ada masalah. Cerita aja, bro,” bujuk Ade, namun Jonli hanya diam.
Popi hendak ikut membuka kaleng, tapi baru saja akan meneguk, tangan Nafa cepat-cepat meraih dan mengambilnya.
“Jangan. Bahaya,” ucap Nafa sambil membuang kaleng itu ke samping.
“Cuma satu kaleng, Naf. Gak apa-apa, kan?” protes Popi.
“Jangan, Pi. Kita cuma bertiga, cewek semua, dan mereka... banyak. Kita gak bisa percaya penuh sama orang mabuk. Bisa aja terjadi hal-hal aneh,” jelas Nafa, tegas.
“Kita harus tetap waspada sepanjang malam,” tambah Sitty, matanya melebar seperti hendak berjaga.
Mereka bertiga berbisik-bisik, saling menjaga.
Sementara itu, Titto dan teman-temannya perlahan tumbang satu per satu, mabuk.
Yanto diam-diam menolak minum. Ia sudah berjanji pada Adam untuk menjaga Nafa.
Sitty memperhatikan Jonli yang sudah menenggak lima kaleng. Langkahnya mulai oleng.
Yang lain sudah diamankan oleh Yanto, tergeletak di sekitar tenda.
Para gadis pun masuk ke dalam tenda, menyisakan Jonli yang masih mengoceh tak jelas di luar.
Sitty keluar. Hatinya tak tenang.
Ia menemukan Jonli terkapar di depan pohon, tubuhnya miring, mulutnya masih bergumam tak karuan.
“Jon, kamu kenapa? Sadar, Jon!” Sitty menepuk pipinya.
Jonli perlahan bangkit, duduk, lalu menggenggam bahu Sitty dengan erat.
“Jadi aku bukan tipe kamu? Kamu gak suka aku. Terus, cowok kayak gimana yang kamu suka, hah?!” teriak Jonli sambil mengguncang bahunya, mabuk dan menangis.
Sitty menahan napas. Ia paham maksud ucapan itu.
“Bodoh!” serunya. Tamparannya mendarat di pipi Jonli, matanya berair.
“Cowok macam apa aku ini? Cemen banget. Aku yang bilang gak suka kamu... tapi aku malah nangis!”
Jonli tertawa sambil menangis.
Sitty sudah lama menyukai Jonli—sahabat kakaknya sendiri. Tapi ia tak pernah berani bilang pada siapa pun.
Dengan susah payah, Sitty memapah tubuh Jonli ke depan tenda, lalu masuk kembali dengan wajah menunduk.
Ia menghapus air matanya agar tidak ketahuan.
Popi sudah tertidur pulas.
Nafa berpura-pura tidur, meski dari tadi ia melihat semuanya.
Mungkinkah Sitty menyukai Jonli? batinnya.
Begitu Sitty tertidur, Nafa diam-diam keluar. Ia memang tak bisa tidur.
Ia membuat minuman favoritnya—kopi sachet yang dicampur bubuk coklat.
Ia duduk sendiri di dekat api yang hampir padam, mendidihkan air dalam panci kecil.
Suara langkah mendekat mengejutkannya.
“Hai, kamu belum tidur?” suara Christian terdengar di belakangnya.
“Eh, Christian. Iya nih, belum ngantuk. Gak biasa tidur di alam begini,” sahut Nafa, gugup.
“Baru pertama kali ya camping?”
“Kalau hiking sih pernah, tapi camping nggak pernah diizinin dulu. Jadi gak terbiasa,” jawab Nafa sambil menggenggam mug oranye kesayangannya.
“Aromanya enak. Minum apa?”
“Kopi coklat. Mau coba? Nanti aku buatkan lagi.”
“Minum yang ini aja,” ucap Christian sambil mengambil mug dari tangan Nafa dan menyesap isinya.
“Gimana rasanya?”
“Pahit. Tapi enak.”
“Karena sejatinya kopi dan coklat itu pahit,” jawab Nafa sambil tersenyum.
Christian menatapnya, lalu berkata pelan, “Tapi karena kamu, kopinya terasa manis.”
Nafa tertawa kecil. “Alah, gombal ”
Udara makin dingin. Nafa menggosok-gosokkan telapak tangannya.
“Kedinginan ya? Harusnya tadi kamu minol biar hangat,” ucap Christian.
“Aku gak biasa minum begituan.”
Obrolan mereka makin santai. Jam sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
“Kapan kalian turun?” tanya Christian.
“Setelah lihat sunrise. Soalnya Senin udah harus kerja.”
“Ah, sama dong. Eh, boleh minta nomor HP kamu?”
“Nanti ya. Kalau kita ketemu lagi, aku pasti kasih.”
“Semoga kita ketemu lagi, ya.”
“Kamu udah selesai minumnya? Aku balik ke tenda, udah ngantuk.” Nafa menguap dan menutup mulutnya.
“Oh ya. Makasih udah temani aku di sini,” kata Christian sambil mengusap kepala Nafa.
“Selamat tidur, Nafa. Sampai jumpa nanti pas sunrise.”
Pagi hari di gunung...
Semua orang mulai terbangun dari tidur lelap mereka.
Satu per satu keluar dari tenda, berkumpul di depan, bersiap menyambut momen yang dinanti: matahari terbit.
Ketika sinar matahari mulai menyemburat dari balik pegunungan, mereka terdiam sejenak, menikmati keindahan yang tak bisa diabadikan hanya lewat kamera.
Setelah itu, semua bergegas membongkar tenda, memunguti sampah, memastikan lokasi bersih seperti semula.
Mereka pun tak lupa berfoto—senyum, gaya konyol, dan pose-pose andalan untuk kenang-kenangan.
Tak ada yang membahas tentang kejadian semalam.
Jonly, seperti biasa, tak sadar apa yang ia lakukan saat mabuk.
Sitty memilih diam, menyimpan rahasia bahwa ia menyukai Jonly dalam-dalam.