“Tumben sudah pulang?” Leon yang melihat kekasihnya pulang segera menyambut dengan semangkuk besar sup sayuran yang baru saja diangkat dari kompor. “Lho? Muka kamu kenapa? Kok lesu begitu? Ada masalah?”
Raina menggeleng lemah, lalu menjatuhkan bokongnya ke lantai. “Aku pikir kisah keluargaku doang yang kayak sinetron, ternyata ada yang lebih drama lagi.”
“Siapa? Randy?” tebak Leon. “Ya begitulah, Sayang. Makin kaya sebuah keluarga, makin banyak dramanya. Bukan berarti yang miskin kayak kita nggak ada drama, tapi apa sih yang direbutin orang miskin? Palingan cuma hutang, kalau nggak begitu warisan. Tapi buat orang kaya ..., selain itu semua masih ditambah percintaan berseason-season, itulah kenapa tokoh utama di sinetron kebanyakan atau malah hampir semua orang kaya.”
Raina tertawa mendengar omongan kekasihnya. “Kamu bisa saja. Kelihatan banget kalau suka nonton sinetron.”
“Ya bagaimana, televisi di kedai tayanginnya sinetron mulu. Mau nggak mau kan aku jadi ikutan nonton.” Leon membela diri. “Sudah! Sudah! Makan dulu, mumpung masih hangat.”
Raina merangkak mendekati meja makan, kemudian menerima sepaket nasi dan lauk-pauk yang sudah disiapkan oleh kekasihnya untuk dinikmati. “Masakan kamu selalu enak, tapi sayang, –“
“Sayangnya apa?”
“Jarang masak. Sering-seringin masak di rumah dong, Yang.”
“Ya, kalau nggak sibuk pasti aku masakin. Apa sih yang nggak buat kamu? Oh iya, kondisi Randy bagaimana? Katamu tadi siang sempat kritis.”
Raina menjawab dengan mulut penuh nasi. “Untungnya cepat ditangani. Lagian ini belum saatnya dia pergi. Belum empat puluh hari kan.”
Leon hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba paham meskipun sebetulnya tidak begitu mengerti. Sebab menurut Leon, apa yang terjadi sekarang seperti drama fantasi. Terlalu sulit diterima oleh logika. “Jadi, Sayang, apakah itu berarti dia akan meninggal?”
“Tergantung.” Raina menghentikan aksi makannya, kemudian meletakkan sendok dan garpu ke pinggir piring. “Tapi ya, Yang, nggak tahu kenapa aku kasihan banget sama Randy. Padahal kami baru kenal pas dia sudah jadi arwah, tapi kok kesannya aku nggak rela kalau dia pergi.” Dia berdecih, menggeleng-gelengkan kepala cepat seolah tak mau menerima pikiran buruk di sana. “Semoga saja dia dapat maaf tambahan. Besok Kak Dion bakal coba melacak keberadaan mantan dan anaknya Randy. Doain ya?”
“Amin!” Leon mengusap kedua telapak tangannya ke muka. “Ayo, lanjutin lagi makannya. Nanti keburu dingin.”
*_*
“Selamat pagi.”
Raina yang baru membuka mata dan hendak keluar kamar langsung dibuat melek saat mendapati sosok Randy sudah nongol di depan pintu kamar. Pria itu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang berjajar rapi. Seolah tanpa lupa bahwa kemarin dia telah mengabaikan Raina. “Astaga! Hampir saja jantung gue copot!”
“Sori!” Randy menempelkan kedua telapak tangannya ke dada, membentuk simbol permohonan. “Oh iya, hari ini kamu sibuk, nggak?”
Sebelum menjawab, Raina terlebih dahulu melonggokkan lehernya, mencoba mengintip ke kamar Leon yang berada di sebelah. Kosong. Pria itu pasti sudah pergi bekerja. “Nggak sih. Gue kan sekarang pengangguran. Kenapa?”
“Eh, aku mau ngajak kamu jalan-jalan.”
“Ke mana?”
“Sudah! Siap-siap saja dulu!”
*_*
Antara heran sekaligus takjub, Raina hanya bisa tertawa saat Randy tiba-tiba mengajaknya pergi ke kebun binatang.
“Kan dulu lo pernah bilang kalau ingin pergi ke kebun binatang.”
Bukan karena tidak menghargai, justru sebaliknya, Raina tidak menyangka kalau apa yang dia ceritakan sekilas bisa membekas di ingatan Randy. Adalah saat setelah Raina menjebloskan ayahnya ke kantor polisi, gadis itu dilanda perasaan bersalah sekaligus kesedihan mendalam.
“Lo sedih?”
“Buat?”
“Sudah masukin bokap lo sendiri ke penjara?”
“Entahlah, Ran. Gue nggak tahu harus merasa apa seharusnya. Dan jujur, gue penasaran apa maksud Tuhan bikin takdir gue kayak begini?”
Randy yang pada saat itu tengah berdiri di depan deretan foto di dinding rumah Raina, kemudian menunjuk salah satu dari foto tersebut. Potret Raina dan kedua orang tuanya bersama seekor merak yang indah. “Lucu.”
“Itu foto liburan terakhir kami. Pas ulang tahun gue yang ke sepuluh.”
“Oh ya?”
“Sayangnya, kami nggak sempat lihat orang hutan. Padahal gue penasaran banget.”
“Kenapa?”
Raina menggigit bibir bagian bawahnya, lalu berdiri. “Bokap kumat. Dia ketahuan nyopet duit pengunjung lain dan berakhir digebukin warga. Gue dan Nasya akhirnya hanya bisa nangis. Liburan kacau, bapak kami babak belur dan dikirim ke penjara.”
*_*
“ide lo bagus sih, Ran, tapi masalahnya, siapa yang bayar tiket masuknya?”
Pertanyaan Raina seketika membuat Randy terdiam, sesuatu yang tak terpikir olehnya sebelumnya. “Eh ....”
“Ya sudah, pakai duit gue dulu saja!” Sambil tertawa, Raina merogoh kantong. “Asalkan diganti ya?”
Randy meringis, mengekori Raina yang untungnya hanya butuh satu tiket saja.
*_*
Begitu bus yang ditumpangi anak-anak berseragam olahraga dengan logo sekolah menengah pertama sebesar telapak tangan di dada sebelah kiri itu berhenti, Randy yang duduk di barisan kursi paling belakang segara maju ke depan, dan membuat kawan-kawan cowoknya yang lain keheranan.
“Nggak turun?” tanya Amir, cowok berambut keribo.
Randy menggeleng. “Kalian duluan saja. Aku masih ada urusan.”
“Ya sudah, kami tunggu di luar.”
Lagi, Randy hanya menjawab dengan anggukan kecil, kemudian menghampiri Rindu yang tengah membereskan tas di kursinya. “Bagaimana?”
“Randy?” Gadis itu tampak kaget, tetapi sama seperti yang dilakukan Randy sebelumnya, dia pun meminta Gendis yang duduk di sebelahnya untuk keluar duluan. Lalu, dengan suara lirih dia berkata pada kekasihnya itu, “Kan aku sudah bilang, jangan bicara di sini!”
“Kenapa? Kamu kan sekarang pacarku.”
“Mana ada?” balas Rindu. “Aku tidak pernah bilang begitu.”
“Tapi kamu diam saja saat aku menembakmu. Diam artinya mau, Rin.”
Kekeh kecil keluar dari mulut Rindu. Dia dengan cepat melipat jaket abu-abunya sebelum menjejalkannya ke dalam tas. “Mana bisa? Sudahlah, Ran. Kita masih kecil. Ibuku mau aku sekolah dulu. Kamu sendiri juga akan pindah ke Jakarta kan?”
“Oh ayolah, Rin. Alangkah membosankannya sekolah tanpa kisah cinta?” Bualan Randy mendapat tamparan kecil, pelan dan lembut dari tangan Rindu, yang entah kenapa justru dia balas dengan sebuah kecupan lembut di bibir gadis itu.
Namun, sebelum dia berhasil mendorong tubuh Rindu jatuh ke atas kursi, suara Pak Kasiman, guru olahraga mereka terdengar dari pintu belakang. “Heh! Apa yang kalian lakukan di dalam? Cepat keluar!”
*_*
Orang tua mereka benar.
Sialnya, Randy baru menyadari semuanya sekarang; larangan-larangan yang dia buat oleh orang tuanya bukan karena mereka tidak sayang, melainkan sebagai proteksi untuk hal-hal yang tidak diinginkan.
Kalau saja dia tak melanggar peraturan, mungkin masa depan Rindu akan berbeda, Raina akan lahir dengan kondisi yang lebih baik, dan Randy bisa menemani Raina lebih lama.
Sekarang? Dia bahkan tidak bisa mengambil gambar di liburan --yang pertama dan mungkin juga akan jadi yang terakhir kalinya –yang dia miliki bersama sang putri.
“Makanya, lo harus sembuh supaya kita bisa liburan bareng-bareng lagi. Kalau perlu ajak Kak Maria, Kak Milly, dan kalau perlu anak-anaknya Kak Dion sekalian. Makin ramai kan makin seru,” celetuk Raina. Untuk menghindari dianggap gila, gadis itu memasang earphone di telinga.
Alih-alih mengaminkan, Randy justru menundukkan kepalanya. “Aku minta maaf ya, Rain.”
“Buat?”
“Semuanya.” Randy menarik napas panjang, kemudian menghelanya perlahan lewat mulut, namun sekeras apa pun dia mencoba, kepalanya tak bisa diangkat, lebih tepatnya dia tak sanggup menatap mata Raina.
Raina menyendok es krim cokelat di tangannya. “Kenapa? Maksud gue, kenapa lo minta maaf? Memang sih lo kadang-kadang nyebelin, tapi kita bahkan baru kenal. Secara fisik, lo nggak punya salah apa-apa ke gue.
“Malah harusnya gue yang minta maaf karena nggak bisa banyak bantuin lo. Malah ngerepotin dan bikin kalian semua repot keseret masalah keluarga gue.”
Randy menggeleng. “Nggak. Itu bukan salah lo, Rain.”
“Salah gue atau bukan, tetap saja mereka orang tua gue.” Raina mengaduk es krim di dalam cup itu dengan sendok kayu, membiarkannya meleleh. “Jujur sampai sekarang gue masih penasaran kenapa cuma gue yang bisa lihat lo. Padahal gue bukan indigo.” Dia menoleh ke arah Randy yang masih bergeming. “Mungkin supaya lo bisa jadi mentor gue kali ya? Kan kalau lo nggak kecelakaan, mana mau ngelesin gue?” lanjutnya diiringi tawa.
Randy merasakan matanya memanas, tetapi sekuat tenaga dia tahan. “Rencana lo ke depan apa?”
“Rencana? Karier?”
“Iya. Mau fokus nyanyi?”
“Kalau ini lancar dan suara gue laku, kemungkinan iya. Tapi kalau nggak ya cari kerjaan lagi.” Raina menatap lalu lalang orang di hadapannya dengan penuh harap. “Semalam saja gue sudah ngirim beberapa lamaran ke perusahaan.”
“Jadi apa?”
“Apa saja. Kasir, petugas kebersihan. Apa saja yang bisa nerima ijazah gue,” terang Raina. “Orang lulusan SMA kayak gue nggak punya banyak pilihan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang kayak begini? Dapat kerja saja untung-untungan.”
“Lo nggak mau kuliah, Rain?”
“Mau lah. Aneh.” Raina meremas cup es krim yang kini kosong dan melemparkannya ke tempat sampah yang tak jauh dari posisi mereka berada. “Masalahnya duit dari mana? Gue juga lagi tabung buat nikah.”
“NIKAH?” Mata Randy seketika terbelalak saat mendengar kata itu. “Lo mau nikah? Kapan?”
“Kenapa sih? Aneh banget lo. Dengar kata nikah doang langsung begitu.”
“Umur lo baru dua puluh tahun, Raina.”
“Iya, terus? Gue kan cuma mau nabung buat nikah, bukan mau nikah. Lagian ngumpulin duit nggak akan secepat itu. Masih lama. Gue juga nggak mau kali, Ran, bawa anak-anak gue ke jurang kemiskinan hanya gara-gara mak dan bapaknya melarat. Gue nggak mau mengulangi siklus yang dibikin bokap dan nyokap. Cukup. Berhenti di gue.”
Lega. Sekaligus tersindir. Itulah yang dirasakan Randy detik itu.
“Rain, dengarin gue! Pokoknya, kalau lo mau nikah pastikan pasangan lo benar-benar orang yang baik. Leon memang baik, kelihatannya, tapi lo harus memastikan lagi semuanya lebih dalam.”
“Iya ..., iya ....”
“Jangan sampai lo disia-siakan sama dia. Awas saja kalau Leon benari ngapa-apain lo, bakal gue gebukin itu anak.”
“Apaan sih, Ran? Ngalah-ngalain orang tua gue saja lo!”
*_*
Sayangnya, apa yang Raina tertawakan sungguh terjadi. Malam itu, tepatnya pukul sembilan malam, ketika dia sedang menulis lagu bersama Randy di ruang tamu, Leon mendadak muncul dari balik pintu dan dengan panik berkata, “Sayang, kita harus ke rumah sakit sekarang!”
Yang langsung membuat Raina terkejut dan melemparkan pulpen serta gitarnya ke atas meja. “Hah?”
“Badan gue kenapa?” celetuk Randy.
Leon hanya menjawab, “Nggak tahu. Kak Dion mendadak telepon. Dia bilang ponselmu mati dari tadi nggak bisa dihubungi.”
“Iya, lagi aku cas.”
“Buruan. Katanya sih penting.”
Tanpa memindah kertas dan gitar miliknya, Raina berlari ke kamar guna mengambil jaket. Tanpa tahu bahwa malam itu akan menjadi malam yang paling tak dia sangka. Karena begitu dia sampai di depan ruang perawatan Randy, dia langsung disambut oleh sosok yang paling tak dia sangka akan muncul di sana.
“Ibu? Kok di sini?”
Rindu yang duduk bersebelahan dengan Mardian di kursi tunggu dengan kompak berdiri. “Nak?”
Di sisi lain, Raina bisa melihat Mardian yang menatapnya pedih. Mata wanita tua itu bengkak dan ..., tangannya mencoba meraih wajah Raina tapi detik berikutnya malah membungkam mulutnya sendiri. “Astaga! Rin?”