Meskipun tahu bahwa semua orang pada akhirnya akan mati, tetapi Randy sama sekali tidak pernah berpikir kalau waktunya akan secepat ini. Dia masih sangat muda, tampan dan bertalenta. Dia juga tidak pernah memakai narkoba, rajin berolah raga dan makan-makanan sehat. Memang, dia sesekali masih minum alkohol tetapi masih sangat wajar.
Terlebih menurut Randy, masih ada lebih banyak orang yang pantas mati ketimbang dirinya.
Hampir dua jam Randy berdiri di samping ranjang tempat tubuhnya terbaring, tersambung dengan peralatan medis penunjang hidup di ruang perawatan intensif setelah semalam menjalani pembedahan besar. Yang sayangnya tidak sepenuhnya bisa menyelamatkan, karena bahkan setelah dioperasi tubuhnya malah dinyatakan koma, tidak merespons sama sekali. Satu-satunya tanda bahwa jasad itu masih hidup hanyalah garis acak di mesin perekam detak jantung dan dada yang dipaksa naik turun oleh bantuan ventilator yang dimasukkan ke dalam mulut.
Hidup tapi tidak bernyawa.
Randy menyeka wajah, lalu membuka telapak tangannya. Dia menatap tabung kecil pemberian perempuan semalam, ada angka nol tertulis di salah satu sudutnya, sangat kecil dan mungkin akan terlewat bila tidak diamati betul-betul.
Sejujurnya, ada begitu banyak pertanyaan di sana. Mulai dari benarkah wanita itu sungguh malaikat maut, sampai kenapa dirinya harus diperlakukan seperti ini? Toh, Randy tidak merasa pernah menyakiti siapa pun. Memang, dia pernah menipu Mona tapi itu bukanlah sepenuhnya kesalahan Randy. Monalah yang secara suka rela memberinya uang. Tanpa paksaan, sama sekali.
Hanya saja, sebelum memikirkan pada siapa, yang lebih memusingkan tidak lain dan tidak bukan adalah cara melakukannya.
Karena bahkan di ruangan ICU ini saja Randy sendirian, dia satu-satunya arwah gentayangan. Tidak seperti di drama Korea yang ditonton Maria, di mana Rain yang jadi arwah bisa bertemu beberapa arwah lain untuk diberi penjelasan dan tata cara menjadi arwah yang baik, Randy seolah sengaja dijebak. Seakan-akan Tuhan sengaja mempermainkan dan tidak benar-benar ingin memberinya kesempatan.
Namun, rasa putus asanya langsung sirna begitu keesokan harinya, seseorang datang dan berbicara padanya. Seorang petugas kebersihan yang masih sambil memegangi tongkat pengepel lantai menatapnya kebingungan.
“Kamu serius bisa lihat saya?”
Di sisi lain, Raina yang ditanya mengangguk. “Ada apa ya, Pak?”
“Beneran?” Randy seketika berdiri, menutup mulutnya menggunakan kedua tangan sebelum akhirnya bersorak kegirangan. Akan tetapi sebelum Raina sempat mengeluarkan sepatah kata lagi, seseorang memanggilnya dari kejauhan. Mulan berdiri di ujung lorong, melambaikan tangan minta kawannya datang.
“Sebentar!” Raina mengangguk, lalu menata peralatan kerjanya sebelum menghampiri Mulan. “Kenapa, Kak?”
“Harusnya gue yang tanya, lo kenapa ngomong sendiri?”
Raina mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan kawannya itu. “Aku ngomong sama Mas yang itu,” dia berbalik, menunjuk Randy yang masih berdiri di posisinya. “Dia aneh banget tahu. Masa dia tanya bisa lihat dia apa enggak. Kan nggak mungkin orang buta disuruh ngepel di rumah sakit,” gerutunya.
Mendengar jawaban tersebut Mulan seketika terdiam, mukanya berubah pucat dan bertanya, “Jangan bercanda, Rain. Sumpah ini nggak lucu.”
“Kan. Aku tadi juga merasa begitu. Memang aneh itu mas-mas.”
“Mas siapa sih, Rain? Di sana tuh nggak ada siapa-siapa.”
“Hah?”
“Terus yang lo ajak ngobrol apa, Raina?”
*_*
Kabar mengenai Raina yang baru saja melihat hantu menyebar dengan cepat dan langsung menjadi bahan perbincangan. Bahkan saat makan sore bersama, semua kawannya berkumpul untuk mendengarkan cerita langsung dari mulut Raina.
“Kalau Kak Mulan nggak datang dan bilang dia nggak melihat siapa-siapa, gue pasti bakal ngira itu orang betulan. Karena bentukannya beneran kayak manusia pada umumnya, nggak seram sama sekali.”
“Nggak ada darah-darahnya, gitu?”
“Sama sekali, Kiki.” Raina menyendok nasi di dalam kotak, lalu memasukkannya ke mulut. “Orangnya juga ganteng. Bajunya bagus. Cuma agak pucat saja. Tapi, nggak pucat banget sampai kayak di film.”
“Namanya juga rumah sakit,” celetuk Indah. “Ada banyak banget orang yang meninggal di sini. Mungkin dia cuma mau kenalan sama Raina.”
“Bisa jadi, tapi kenapa hanya Raina yang dilihatin? Kita semua dulu aman-aman saja waktu pertama kali masuk kerja.” Cakra yang duduk di dekat pintu bertanya.
“Mungkin karena Raina memang sensitif.”
“Semacam indigo?”
Raina menggeleng tegas. “Bukan! Gue bukan orang kayak begitu. Seumur hidup gue nggak pernah lihat hantu. Baru kali ini.”
“Ya sudah, anggap saja ini kebetulan. Energi Raina sebagai manusia secara nggak sengaja ketemu sama energi mereka. Selama dia nggak mengganggu, biarkan saja.”
Sayangnya, ucapan Indah salah.
Karena sejak pertemuan tersebut hidup Raina berubah. Randy seolah tidak mengizinkannya hidup tenang, pria itu mengikuti ke mana pun Raina pergi, bahkan begitu Leon menurunkannya di depan rumah sakit, Randy telah menunggu di depan gerbang. Tersenyum sambil melambaikan tangan, kemudian mengintili setiap kegiatan Raina.
Seminggu pertama Raina berusaha mengabaikan, mengikuti saran kawan-kawannya untuk berlagak tidak melihat. Dia juga tidak menjawab setiap kali Randy coba mengajaknya berinteraksi. Tetapi masuk minggu ke dua, benteng yang Raina bangun akhirnya runtuh juga. Karena Randy secara ekstrem ingin ikut masuk ke toilet saat Raina hendak buang air.
“Mau lo apa? Gue salah apa sama lo?” kata Raina putas asa. “Tolong pergi! Biarin gue kerja dengan tenang. Gue cuma mau cari duit. Ya?”
Randy menggeleng. “Gue nggak bermaksud ganggu.”
“Terus kenapa lo mengikuti gue?”
“Gue mau minta tolong.”
Raina menghela napas pendek, lalu mengusap wajahnya sendiri. “Ya sudah, nanti habis salat gue doain lo. Gue bacain yasin kalau perlu. Gue khususin buat lo. Siapa nama lo? Nanti biar gue sebut pas doa.”
“Makasih, tapi gue butuh lebih dari itu.”
“Ya Allah. Ya Rabb!” Raina menggaruk kulit kepalanya sendiri, kesal. “Begitu saja, gue panggilin ustaz ya?”
“Gue kristen.”
“Kalau begitu gue panggilan pendeta, mau? Teman gue ada yang kristen.”
“Gue nggak butuh itu.”
“Astaga! Pantesan lo mati gentayangan.” Raina geleng-geleng, masuk ke bilik toilet tapi sebelum melepas celana dan duduk di kloset, dia lebih dulu berkata, “Jangan masuk! Gue sudah nggak tahan mau berak!”
Untungnya, hantu Randy menurut. Pun dia tidak mau kehilangan kesempatan bagus. Sambil menatap cermin yang tidak memantulkan bayangannya, Randy berkata, “Gue minta maaf karena selama ini gangguin lo, tapi gue bingung harus minta tolong ke siapa lagi. Cuma lo bisa bantu gue.”
Tidak ada jawaban, Raina di dalam bilik toilet memilih diam. Mendengarkan cerita tidak masuk yang kemudian diceritakan oleh Randy. Termasuk juga malaikat maut dan tabung permintaan maafnya.
“Mana ada cerita kayak begitu? Nggak masuk akal sama sekali,” kata Raina saat membuka pintu toilet. Dia berjalan wastafel untuk mencuci tangan. “Lagian kerjaan gue banyak. Lo kalau mau, datang saja ke orang indigo yang lebih ahli buat mengatasi beginian.”
“Gue harus cari orang indigo di mana? Sedangkan waktu gue tinggal tiga puluh tiga hari. Atau begini saja, gue bakal kasih berapa pun uang yang lo mau kalau nanti gue berhasil bangun. Gimana?”
Raina berhenti menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu menoleh. “Berapa pun?”
“Ya. Berapa pun. Gue ini kaya. Kalau nggak percaya, cari saja nama gue di google. Randy Bagaskara. Lo bisa lihat berapa harta bersih gue.” Senyum Randy merekah, seolah bisa melihat harapan di depan mata.
Raina sendiri buru-buru mengelap tangan, lantas mengeluarkan gawai untuk menggunakan mesin pencari. Namun, begitu melihat hasil pencarian seketika ekspresinya berubah. “Oh, jadi orang yang dibahas sama teman-teman itu lo?”
“Heh?”
“Nggak. Gue nggak sudi makan duit haram hasil nipu orang!”
Randy sama sekali tidak menduga kalau akan mendapatkan penolakan seperti itu. Joana bukan hanya telah merenggut kepercayaan penggemar mereka, tetapi juga masyarakat secara umum.
Baru Randy sadari bahwa alih-alih menunggunya sembuh, orang-orang di luar saja justru menyumpahinya mati. Termasuk beberapa orang dari petugas medis yang kedapatan tugas merawat tubuhnya.
Beberapa kali Randy mendengar mereka bergosip, membicarakan kemungkinan kesembuhan Randy, serta apakah bila mati nanti masalah yang menimpanya tetap akan bisa diproses atau tidak.
Memang tidak bisa dimungkiri Randy salah, tapi sayangnya apa yang mereka bicarakan bukan sepenuhnya kebenaran. Beberapa malah sekadar rumor. Dan bagaimanapun juga, Randy harus bangun untuk mengklarifikasi. Tidak peduli apa pun yang terjadi.
Hal pertama yang harus dia lakukan sekarang adalah menjelaskan kejadian sebenarnya pada Raina, membujuk supaya gadis itu mau menolongnya. Beruntung, malam itu Raina tidak dijemput oleh Leon. Hingga keputusan Raina naik kendaraan umum memberikan Randy kesempatan menyusul, mengikutinya di dalam bus.
Bisa dibilang, hampir seumur hidup Randy tidak pernah naik kendaraan umum. Dan dia kini menebeng gratis, duduk tenang tanpa dimintai bayaran oleh kernet. Sebetulnya, Randy sudah lama ingin datang ke rumah Raina, tapi hampir setiap hari gadis itu diantar jemput. Dan meskipun Randy arwah gentayangan, sayangnya, dia tidak punya kekuatan super untuk berteleportasi.