Semua terlalu cepat.
Hal pertama yang Randy pikirkan begitu mobilnya dihantam oleh truk muatan besar dan terpental ialah kematian. Itulah kenapa saat dia membuka mata, lalu tidak merasakan adanya sesuatu yang salah dengan tubuhnya, tidak ada kata yang sanggup keluar dari mulutnya kecuali bersyukur.
Sambil menangis Randy memegangi setir mobil, terlebih setelah dia melihat dengan jelas truk yang baru saja menghantam dan melemparkan mobilnya kini berhenti di pinggir jalan, menabrak tiang listrik hingga penyok.
Beberapa motor dan mobil lain di sekeliling yang ikut terkena dampak kecelakaan. Sungguh Randy tidak punya cukup daya untuk keluar, dia sangat ketakutan terlebih di luar banyak orang menonton, mengarahkan kamera ke jalanan penuh kekacuan lengkap dengan ceceran besi kendaraan.
Perasaan Randy campur aduk. Sebab selain haru bisa lolos dari maut, dia kini juga dihadapkan pada fakta bahwa sebentar lagi pasti akan ada yang menghubungkan kecelakaannya ini dengan kasus sebelumnya. Joana sudah bisa dipastikan akan menjadikan ini bahan penunjang untuk drama buatannya. Dan mungkin karier Randy sebagai selebriti akan segera berakhir. Sesuatu yang sama mengerikannya dengan mati itu sendiri.
“Mas? Anda bisa dengar saya?”
Pertanyaan itu spontan membuat Randy menoleh keluar jendela, tempat seorang pria muda berdiri sembari mengetuk-ngetuk pintu kaca mobilnya.
Namun, belum sempat Randy memberikan jawaban pemuda itu kembali berteriak, “Tolong! Di sini ada korban!”
“Saya nggak apa-apa,” kata Randy bersamaan dengan datangnya segerombolan pria berseragam rumah sakit ke sana. Mereka memasang muka kaget, seolah-olah baru saja melihat hantu.
“Astaga!”
“Apakah dia masih hidup?”
“Sepertinya masih.”
“Cepat keluarkan.”
Ucapan mereka tentu membuat Randy bingung sebab dia hanya sendirian.
Lalu, siapa korban yang dimaksud? Mungkinkah ada korban lain yang tidak sengaja terpental masuk ke dalam mobil? Randy segera menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari korban selain dirinya.
Dirasa nihil, Randy yang ketakutan segera melompat keluar begitu pintu mobil yang ringsek berhasil dibuka paksa. Saking paniknya, Randy tidak meminta pertolongan dan membiarkan orang-orang itu menyematkan orang yang dimaksud.
Randy yang gemetaran berjalan ke pinggir jalan, lalu duduk di trotoar. Dirogohnya saku celana tapi tidak berhasil menemukan apa-apa di sana. Ponsel pintarnya mungkin tertinggal di mobil. Padahal, dia harus menghubungi Dion sebelum polisi yang juga ada di sana menghampirinya.
“Itu mobilnya Randy, kan?”
“Yang ada di vlog-nya Joana, kan?”
“Nggak salah lagi.”
Randy menoleh ketika mendengar obrolan sekelompok gadis muda di belakangnya. Sama seperti yang lain, mereka juga tidak mau ketinggalan dengan menyalakan kamera ponselnya masing-masing ke jalan raya.
“Menurut lo, gimana?”
“Kasihan banget.”
“Mati nggak sih?”
“Kayaknya. Siapa juga yang bakal bisa bertahan.”
“Kalian kan lihat sendiri hantamannya tadi kayak apa.”
“Mending mati daripada cacat seumur hidup.”
Walau mengerti kalau dirinya sekarang jadi bahan gunjingan orang, tapi Randy tetap manusia biasa. Dia hanya manusia biasa. Kesabarannya bisa habis. Dia merasa sedang diejek terang-terangan oleh ketiga remaja tersebut. Randy berdiri, lalu berteriak dengan kencang, “Kalian bisa diam, nggak? Gue masih hidup, Anjing!”
Bukannya takut, mereka malah tertawa.
“Dasar bocah nggak punya sopan santun!” gumam Randy. “Awas saja, sebentar lagi bakal gue tuntut kalian ke pengadilan atas tindakan tidak menyenangkan.”
“Ya ampun darahnya!” Gadis yang bertubuh gempal memekik, lalu bersembunyi di punggung kawannya. Disusul teriakan serupa dari beberapa orang lainnya, mau tak mau Randy yang penasaran akhirnya menoleh ke arah yang dimaksud.
Tepat di samping mobilnya, Randy melihat para medis berkumpul. Kepanikan nyata di depan muka, menandakan kalau di sana benar-benar ada korban jiwa. Seseorang telah terperangkap di dalam mobil tanpa Randy sadari. Karena penasaran, Randy bergegas memastikan. Hanya saja, setelah beberapa meter langkahnya terhenti.
“Nggak!” gumamnya. “Nggak mungkin!”
Lutut Randy jatuh ke atas aspal tepat begitu melihat sosok yang coba diselamatkan oleh tim medis dengan CPR ialah dirinya sendiri. Tubuhnya sekarat.
*_*
Berulang kali Randy mencoba berbicara dan meminta tolong, tapi tidak seorang pun bisa mendengar ataupun melihatnya, termasuk Dion dan Maria yang datang ke rumah sakit setengah jam kemudian.
Randy hanya bisa menangis di samping keduanya, menunggu dokter dan perawat yang tengah berupaya menyelamatkannya di ruang gawat darurat. Tentu Randy belum ingin mati, masih ada begitu banyak hal yang ingin dia capai dalam hidup. Dan bagian terburuk dari semua ini, jika dia mati sekarang maka kematiannya akan dianggap memalukan. Orang-orang akan mengingatnya sebagai pecundang. Penipu dan pelaku kekerasan yang mati tragis akibat bunuh diri di lampu merah. Karena bahkan kurang dari setengah jam, media telah membagikan narasi demikian. Randy bisa melihatnya di televisi rumah sakit.
“Dengan keluarga Randy?”
Ketiganya spontan berdiri saat dokter paruh baya keluar dari ruangan dengan air muka panik.
“Saya manajernya, Dok.”
“Bisa kita bicara sebentar?”
“Baik!” Sebelum pergi, Dion menoleh pada Maria. “Lo tunggu sini saja.”
Sambil mengusap air mata dengan tisu, Maria mengangguk lemah. Tidak berkata apa-apa. Gadis itu membuat Randy sangat terharu, sebab sejak tiba hingga sekarang Maria tak berhenti menangis. Entah sudah berapa banyak tisu yang Maria Agnesia habiskan.
“Gue pasti baik-baik saja, Mar. Lo tenang saja.” Randy berupaya menyentuh pundak asistennya itu, sayangnya, Maria tidak bisa merasakannya.
Sayangnya, semua dugaan Randy keliru. Karena begitu dia menyusul Dion ke ruangan dokter, yang didengarnya tidak demikian.
“Kondisi pasien sangat mengkhawatirkan,” ungkap Dokter. “Dua tulang rusuknya patah dan membuat paru-paru kanannya robek. Selain itu, terdapat luka sangat serius di kepalanya. Kami harus segera mengambil tindakan secepatnya.”
Muka Dion memucat. “Lakukan apa pun untuk menyelamatkannya, Dok.”
“Pasti, Pak. Kami akan melakukan yang terbaik.” Dokter memasang raut penuh empati. “Namun, perlu keluarga ketahui operasi ini juga sangat berisiko. Saya harap keluarga bisa memahami dan mempersiapkan segala kemungkinan yang ada.”
“Ma –maksud, Dokter?”
Tanpa sepatah kata pun, anggukan lemah Dokter cukup untuk memecah tangisan Dion, dan Randy sendiri.
Karena tidak sanggup mendengar penjelasan lebih detail tentang hidup dan matinya, Randy berlari meninggalkan ruangan. Anehnya, meskipun tahu dirinya tidak terlihat tetapi sebelum berteriak histeris Randy tetap memilih mencari tempat sepi.
“Tuhan, gue mau hidup!” Dia menengadahkan tangannya ke atas langit perkotaan yang kelabu. “GUE NGGAK MAU MATI, TUHAN! JANGAN AMBIL NYAWA GUE SEKARANG! SEENGGAKNYA BIARKAN GUE BALAS DENDAM KE JOANA DULU, TUHAN!
“GUE NGGAK RELA KALAU DIA MEMANFAATKAN KEMATIAN GUE UNTUK BISNISNYA. LO LIHAT SENDIRI KAN TADI GIMANA DIA, TUHAN! GUE BELUM MATI SAJA DIA SUDAH UPLOAD VIDEO SENSASI PAKAI ACARA NANGIS SEGALA, APALAGI KALAU GUE MATI? MAKIN DIDRAMAKAN INI PASTI, TUHAN?”
“BERISIK!”
Randy menoleh ketika mendengar suara perempuan di belakangnya. “Lo bisa lihat gue?”
Perempuan dengan pakaian berbahan jin berambut pendek itu berjalan ke arahnya, lalu duduk menyandarkan diri di besi pembatas pinggiran rooftop. “Lo pikir dengan teriak-teriak begitu bakal bikin Tuhan kasihan? Yang ada Tuhan makin kesal, Bodoh. Ketahuan banget kalau nggak pernah datang ke Tuhan.”
Seolah ditampar, Randy menunduk. Tidak bisa dimungkiri, dia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali pergi beribadah atau membaca kitab suci. “Siapa lo?”
“Nggak penting gue siapa,” jawab si perempuan. “Dengar! Orang yang setiap hari ngemis sambil nangis saja belum tentu dikabulin sama Tuhan, apalagi yang minta bantuan sambil teriak-teriak?” Dia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku, lalu menyalakannya. Setelah mengisap batang rokok dan memainkan asapnya ke udara, dia kembali melanjutkan kata-katanya, “Gue ditugaskan menjemput lo pulang.”
“Hah?” Randy mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Pulang. Ke rumah keabadian.”
Dengan hat-hati, Randy bertanya, “Mati?”
“Tepat sekali!”
“Jadi, ceritanya lo malaikat maut?”
“Nggak percaya?”
Randy malah tertawa. “Jangan bercanda. Nggak lucu. Mana ada malaikat maut kayak begini?”
“Terus, menurut lo gue harus kayak gimana?” Dia menjentikkan jari, lalu seketika berubah menjadi pria besar berjubah hitam dengan sabit besar di tangan. “Begini?”
Seketika Randy melongo, rahangnya terbuka lebar. Matanya memerah ketakutan. “Kok lo …, bisa?”
“Kan tadi gue sudah bilang.”
“Ja –jadi, benar?”
Makhluk itu kembali menjentikkan jari sebelum akhirnya mengubah dirinya menjadi perempuan cantik lagi. “Waktumu sudah habis, Randy Bagaskara. Tiga puluh enam tahun harusnya cukup untukmu kembali, tapi –”
“Tapi?”
“Itu seharusnya. Karena Tuhan yang baik hati memberimu kesempatan sekali lagi.”
“Yang benar?” Mata Randy berbinar. Antara kaget, tidak percaya sekaligus bahagia. Bercampur aduk menjadi satu di sana.
“Jangan senang dulu!” Perempuan itu memberikan telunjuknya. “Karena tidak ada yang mudah di dunia ini. Sebelum kamu dihidupkan kembali ada syarat yang mesti dipenuhi.”
“Apa? Katakan saja!”
Malaikat maut cantik tersebut merogoh sesuatu dari salah satu saku pakaiannya, lantas melemparkan benda kecil berbentuk tabung kepada Randy. “Untuk bisa dihidupkan kembali kamu harus mengisi paling tidak tujuh puluh persen dari tabung kecil itu.”
“Dengan apa?”
“Maaf.”
“Ma .., af?” ulang Randy. “Maaf apa?”
“Kamu harus mendapatkan permintaan maaf dari para perempuan yang sudah kamu sakiti selama hidup.”
“Caranya?”
“Terserah. Bebas. Yang penting dimaafkan.”
Randy menarik napas panjang, lalu mengembuskannya lewat mulut. Kebingungan berganti jadi kesal. Lagi. “Gimana caranya gue bisa minta maaf ke mereka kalau nggak terlihat?”
“Jangan tanya karena tugasku hanya menyampaikan saja. Dan satu lagi, waktumu hanya empat puluh hari saja. Kalau lebih dari itu maka aku akan kembali. Sampai jumpa.”
Dalam satu kedipan mata perempuan yang mengaku malaikat maut tersebut mendadak lenyap, seolah dia memang tidak ada sebelumnya.
Dilanda rasa frustrasi, Randy kembali berteriak. Bedanya, kali itu tanpa mencaci Tuhan.