“…, sampai sekarang aku nggak bisa tidur dengan tenang.”
Raina yang tengah berada di dalam bus membuka ponsel untuk memastikan apakah arwah gentayangan tersebut benar-benar Randy Bagaskara. Dan di sinilah dia sekarang, menonton acara gosip selebriti di salah satu akun Youtube milik stasiun televisi swasta dengan Joana Dane sebagai bintang utama.
“Meskipun jutaan orang mengirimi aku pesan penyemangat dan bilang kalau semua ini bukan salahku, tetap saja ini nggak bisa bikin aku berhenti nyalahin diri sendiri. Kenyataannya, Randy kecelakaan gara-gara aku. Kalau saja aku nggak nolak dia, sudah pasti dia nggak bakalan nekat.”
Raina sebagai penonton mengapresiasi kesigapan pembawa acara yang langsung menyodorkan tisu begitu melihat air mata Joana jatuh.
“Jadi, apakah ini berarti kamu masih mencintai Randy?”
Kepala Joana yang sebelumnya tertunduk kemudian terangkat. “Berulang kali aku bilang, bahkan di berbagai acara, kalau sampai saat ini nggak sedikit pun aku berhenti mencintai Randy.”
“Kalau seandainya Randy bisa melihat acara ini sekarang, kamu mau bilang apa?”
“Tolong bertahan, Randy.” Mata Joana yang berkaca-kaca tertangkap dengan jelas oleh kamera, membuat Raina dan para penonton lainnya ikut merasakan kesedihannya, terbukti dari ribuan komentar di kolom komentar akun tersebut.
“Aku sayang banget sama kamu. Jadi, tolong jangan siksa aku kayak begini. Aku mau kamu berubah jadi orang yang lebih baik, bukan mau kehilangan kamu lewat kematian.”
Saat layar ponselnya kembali menampilkan laman utama, Raina baru sadar jika air matanya ikut banjir. Karena tidak memiliki tisu, dia pun buru-buru mengelapnya menggunakan telapak tangan, lalu memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas, terlebih saat menyadari bahwa halte tempatnya turun tinggal beberapa puluh meter lagi.
Sebagai anak yang tumbuh di keluarga tidak bahagia, Raina paham betul bahwa sebagai perempuan dilarang cinta buta.
Menurutnya, apa yang dilakukan Joana sudah tepat, karena memaksakan hidup dan menikah dengan pria problematik hanya akan mengantarkan perempuan pada penderitaan lebih panjang. Dan sialnya, luka tersebut tidak hanya dinikmati oleh mereka sendiri tetapi juga anak-anaknya.
Terkadang Raina bahkan mengandai-andai, kalau saja ibunya tidak terlalu buta dan punya sedikit saja keberanian untuk melepaskan Siswoyo, mungkin dia dan adik-adiknya tidak perlu hidup seperti ini. Raina tidak masalah kalaupun harus tidak dilahirkan ke dunia, asalkan sang ibu bahagia.
Namun, sebagaimana pengandaian lain, semua sudah kadung terjadi.
Itulah kenapa saat mendapati pria baik seperti Leon –yang mau menemani dan berjuang bersamanya –Raina sangat bersyukur. Walau mereka kini masih miskin tetapi setidaknya tak harus ditambahi penderitaan lewat jalur lain.
Toh, Raina tidak sanggup kalau masih harus menangis akibat dipukuli karena menurutnya, lapar saja sudah cukup menyiksa. Dan atas dasar itu juga lah Raina dan Leon tidak mau buru-buru menikah, meskipun banyak yang bilang keduanya sudah cukup dewasa untuk segera melangsungkan pernikahan. Pun menikah akan membuatnya bebas dari tanggung jawab pada keluarga besarnya.
Karena baik Raina maupun Leon, mereka ingin mengentaskan tanggungan dan hutang-hutangnya dulu, supaya anak-anak mereka nanti bisa hidup dengan tenang tanpa harus diwarisi penderitaan. Cukup keduanya saja yang jadi sandwich genetarion, tidak anak-anaknya.
Semesta seolah mendengar suara hatinya, Raina yang baru sampai di kontrakan kedatangan dua orang pria berbadan besar.
“Benar ini rumah Raina Siswoyo?” tanya salah satu dari mereka.
Raina mengangguk. “Siapa ya?”
“Kami dari Lunasdotcom ingin meminta pembayaran hutang Anda yang sudah menunggak selama dua bulan.”
Mata Raina seketika membulat, kaget. “Hutang? Hutang apa?”
“Pinjaman online.” Pria yang satunya menjelaskan. “Anda telah meminjam sebanyak 5 Juta rupiah pada dua bulan lalu, dan belum melakukan transaksi pembayaran sama sekali sejak saat itu. Terhitung hari ini, berdasarkan bunganya hutang Anda menjadi 15 Juta rupiah.”
“LIMA BELAS JUTA?” Raina mengulang ucapan pria tersebut sambil menelan ludah kasar. Karena jangankan lima belas juta, lima jutanya saja dia tidak pernah melihat sama sekali. “Tapi saya nggak pernah merasa pinjam apalagi ke aplikasi –”
“Lunasdotcom.”
“Iya, itu. Nggak! Saya nggak pernah!” sangkal Raina.
“Sudahlah, Mbak, nggak usah ngelak karena data Anda di sini.” Pria yang berkepala botak mengeluarkan gulungan kertas dari balik jaket, lalu melayangkan ke udara seolah hendak dihantamkan ke muka Raina. “Saya nggak sekali dua kali nemu orang kayak, Mbak. Yang kalau pinjam cepat, tapi saat pembayaran malah mau lepas tangan.”
“Kami di sini hanya kerja, Mbak.” Pria yang punya tahi lalat di kening ikut bicara, lagi. “Daripada ribet, mending Mbak bayar sekarang. Kami kasih tahu ya kalau ditunda-tunda bunganya bakal makin bengkak.”
Raina tahu itu, sekalipun dia belum pernah meminjam uang ke pinjaman online apa pun tetapi selama tinggal di rusun sudah berkali-kali dia menyaksikan adegan penagihan semacam ini, dan sama sekali tidak berpikir kalau akan jadi salah satu dari mereka.
Kalau benar Raina berhutang, dia pasti akan lunasi. Masalahnya, dia tidak merasa berhutang. Pun selama ini baik dia maupun Leon selalu berhati-hati tentang uang, mereka sudah terlalu banyak dililit hutang. Dan dari semua pinjaman paling mengerikan, pinjaman online adalah satu di antara yang terburuk untuk dimintai tolong.
“Gimana, Mbak?” bentak si Pria Botak. “Jangan diam saja! Kita butuh kejelasan ini.”
“Maaf, tapi masalahnya saya sama sekali nggak merasa berhutang. Boleh saya lihat dokumennya dulu, Mas?”
Terlihat sekali Pria Botak kesal, tetapi beruntung kawannya yang lebih tenang mengangguk, lalu memintanya memberikan gulungan kertas itu pada Raina. Baru saja lembar pertama dibuka, Raina langsung mendapatkan kejelasan di sana. “Bapak?” Mata Raina membulat saat mendapati nomor ponsel yang terdaftar ialah milik sang ayah. Nomor ponsel yang tidak akan pernah bisa Raina lupakan, bukan karena dia sayang tetapi karena nomor itulah yang selalu menerornya sewaktu-waktu.
Ingatan Raina dibawa pada beberapa bulan sebelumnya, saat Siswoyo yang sudah minggat dari rumah mendadak muncul di depan kontrakan Raina dengan tubuh babak belur. Pria paruh baya itu mengaku bahwa dia baru saja kalah judi, dan ingin tinggal selama beberapa hari guna menghindari kejaran kawannya.
*_*
“Kamu yakin kalau ini ulah bapakmu?”
Raina mengangguk sambil menatap pacarnya yang sedang mengelap piring di restoran melalui layar ponsel. “Harusnya waktu itu kita usir saja dia. Kan aku sudah bilang kalau bapakku itu bukan kayak manusia. Dia rela melakukan apa pun demi keuntungan pribadinya. Kamu sih nggak percaya.”
“Rain.” Leon menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke arah kamera. “Memangnya waktu itu kamu tega biarin bapakmu tidur di jalanan?”
“Dia saja tega sama aku.”
“Kamu nggak boleh ngomong begitu. Bagaimanapun juga Pak Siswoyo itu orang tua kandungmu. Memang dia menyebalkan, aku nggak menampik itu tapi Raina tugas kita sebagai anak ya berbakti ke mereka.
“Aku ngerti banget kok perasaan kamu karena orang tuaku pun suka banget berhutang, bahkan sampai mati hutangnya masih ada. Tapi ya mau gimana lagi, kalau bukan kita? Siapa lagi?”
Tidak menjawab, Raina hanya meringkuk di lantai dengan pandangan dialihkan dari layar ponsel, dia menatap ke luar jendela kontrakan yang menampilkan langit gelap Jakarta.
“Ya sudah, sekarang mending kamu bayar saja dulu pakai tabungan kita.” Ucapan Leon sekonyong-konyong membuat Raina mendelik. “Nanti kamu bisa ganti kalau sudah gajian,” lanjutnya memberi penjelasan supaya Raina tidak tersinggung.
Sayangnya, apa yang dipikirkan Raina tidak sama. Gadis itu langsung menegakkan posisi duduknya, dan menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu gila? Itu kan uang tabungan kita buat nikah?”
“Ya mau bagaimana lagi, Raina? Memang kamu mau dikejar-kejar pinjol?”
Tidak bisa menjawab, Raina akhirnya menurut. Tanpa mematikan ponsel dia berjalan ke kamar Leon yang tidak dikunci –sekalipun tinggal berdua tetapi keduanya berkomitmen untuk tetap tidur terpisah. Raina tidak ingin mengulangi kesalahan sang ibu dengan hamil di luar pernikahan, lalu menikahi pria yang dicintainya dengan terburu-buru –untuk mengambil kotak kayu tempat mereka menyimpan emas investasi. Akan tetapi, alangkah kagetnya Raina saat mendapati isi kotak tersebut juga raib. Tidak tersisa.
Seketika sekujur tubuh Raina lemas. Lulutnya yang kokoh jatuh ke atas lantai, tanpa bisa berkata apa-apa dia menangis histeris. Jelas sekali kalau ini pun ulah bapaknya.
*_*
Randy tidak pernah menyangka kalau dia akan menyaksikan adegan yang lebih sinetron ketimbang sinetron mana pun yang pernah dia tonton.
Hanya dengan menonton kepanikan Raina dan Leon, serta tangisan mereka saja sudah mampu membuar Randy emosi. Kalau saja dia tidak berwujud arwah mungkin pria bernama Siswoyo itu akan dibuatnya menjadi perkedel. Karena seburuk-buruknya orang tua Randy, tidak pernah sekalipun mereka berbuat sekejam ini. Apalagi selama seminggu terakhir Randy melihat sendiri sekeras apa Raina bekerja di rumah sakit.
“Kita harus gimana, Leon?”
Randy yang bersembunyi di balik lemari memperhatikan gadis berambut keriting itu menangis di samping kekasihnya, sementara Leon hanya mematung. Sebagai sesama pria, Randy paham apa yang ada di kepala pemuda itu sekarang.
“Sudah, kamu nggak usah khawatir,” jawab Leon dengan nada sedatar mungkin. Dia mengangkat Raina supaya berdiri, lalu menyambar jaket berlogo kedai ayam goreng dari atas meja. “Aku akan cari solusi untuk masalah ini.”
“Kamu mau kemana?”
Leon mengambil mengambil sepatu dan mengenakannya di ambang pintu. “Kamu nggak usah nangis. Habis ini langsung mandi, makan dan tidur. Jangan lupa kunci pintu karena aku nggak akan pulang dulu malam ini.”
“Ya masalahnya kamu mau ke mana, Leon?”
Leon yang sudah selesai dengan tali sepatunya kembali berdiri, menyentuh pipi basah Raina dan menepuknya lembut. “Nggak usah nangis. Ini pasti bisa dilalui.”
Bukannya menenangkan, sikap Leon yang beginilah yang membuat Raina semakin merasa bersalah. Dia hanya bisa menatap punggung Leon menjauh dari ambang pintu, sebelum akhirnya lenyap saat berbelok menuruni tangga.
“Lo nggak dengar tadi dia bilang apa?”
Perhatian Raina seketika buyar saat mendengar suara yang sangat dikenalinya muncul dari belakang. Randy berdiri berjalan menghampirinya dengan sebelah tangan.
“Nangis nggak bakal bisa bikin masalah kalian kelar,” lanjutnya dengan enteng. “Omong-omong, sorry, gue nggak sengaja nguping tapi lo tenang saja karena gue nggak bakal bisa cerita ke siapa-siapa.”
Raina buru-buru menyeka air mata dan bertanya, “Kok lo bisa ada di sini?”
“Itu nggak penting!” Randy menarik napas panjang. “Yang penting sekarang lo butuh duit, kan? Jadi, kenapa lo nggak ambil saja tawaran gue? Lumayan lho. Nanti gue kasih bonus deh. Berapa yang lo minta? Seratus juta? Dua ratus juta?”
“Nggak!” tegas Raina. “Gue nggak mau makan duit haram.”
“Ya sudah, tapi memangnya lo bisa ngumpulin uang segitu banyak dalam waktu singkat? Makin lama duit kalian terkumpul, bukankah artinya semakin membengkak juga pinjaman online itu?”
Tidak menjawab, Raina tahu betul kalau apa yang dikatakan oleh Randy benar. Hanya saja, melihat latar belakang Randy membuat Raina tidak bisa langsung mengamini.
“Lagian, orang miskin masih mikirin haram atau halal,” ujar Randy. “Dan asal lo tahu, nggak semua yang tampil di media itu sama kayak aslinya. Orang-orang yang ngakunya baik bisa jadi ular berbulu domba.”
“Serigala berbulu domba.”
“Itu maksud gue. Yang jelas, kalau lo mau nolongin gue artinya lo sudah bantu seseorang terselamatkan dari maut. Bukankah itu hal yang baik? Dan karena lo kerja untuk kebaikan, maka uangnya bakal jadi halal. Perkara gue dapatinnya dengan haram, itu urusan gue. Dosa gue.”