Sosok kehadiran Lia bagaikan cahaya matahari yang bersinar terang, sementara sosok Mina sekarang terlihat seperti bayangan gelap yang menyembunyikan banyak hal. Murid-murid di sekolah itu melihat tidak ada kecocokan di antara mereka.
Di dalam kelas.
“Lia, apa kamu nggak penasaran kenapa aku jadi begini?” Karena Lia tidak menyinggung maka Mina lah yang bertanya.
“Jadi begini, bagaimana?” balas Lia dengan pertanyaan lain.
“Kata teman-teman di sini aku berubah. Kita berdua sama sekali nggak cocok berteman lagi,” ungkapnya lugas dengan mimik wajah yang datar.
Ketika mereka berdua saling bertatapan satu sama lain, Lia menunjukkan ekspresi bahagia. Dia menunjukkan senyum tanpa ragu tapi juga bingung dengan maksud pernyataan Mina barusan.
Mina menghela napas sebelum akhirnya berbicara, “Aku sudah frontal loh ngomongnya. Lia, biar aku bilang sekali lagi, semua orang bilang aku berubah dan seharusnya kamu sadar. Aku juga sadar ada perubahan padaku.”
“Kamu berubah atau nggak, itu bukan masalah besar. Aku tahu perubahanmu karena kehilangan keluargamu di sini. Jadi kenapa aku harus memikirkannya?” Lia tersenyum ramah sembari memegang kedua tangan sahabatnya itu.
Lia dipenuhi dengan kepercayaan diri sebesar kebaikannya yang sulit dihitung. Mina cukup terkejut karena sifat Lia yang memang sejak awal seperti ini. Dia tetap merangkul sahabatnya meski ada perubahan sedikit dengan sifat yang dulu.
“Selama kamu tetap Mina, bagaimana pun sifatmu, kamu tetaplah kamu.”
Energi positif terpancar begitu jelas. Lia bagaikan bidadari yang jatuh dari surga hanya untuk menyelamatkan jati diri Mina yang sesungguhnya.
Mina pernah sekali berpikir bahwa Lia akan meninggalkannya setelah semua hal tapi ternyata tidak.
“Aku ingin kecewa meskipun cuman sekali tapi ternyata aku tetap dihargai walau hanya ada satu orang yang menemaniku,” kata Mina.
Lia tertawa lirih seakan menahannya agar tidak banyak orang mendengar. Sementara Mina akhirnya tersenyum lega, dia terlihat seperti Mina di masa lalu.
“Kalau begitu apa boleh aku cerita tentang sesuatu ke kamu?”
“Boleh saja tapi mungkin lebih baik nanti, karena di sini masih ada banyak teman sekelas.”
Mina mulai membuka diri dan menceritakan banyak hal yang telah terjadi selama beberapa hari ini pada Lia sepulang sekolah. Di jalan masuk ke dalam perumahan yang memang sepi setiap saat ini, membuat Mina menceritakannya dengan santai.
Lia akhirnya mengetahui alasan di balik perubahan sifat Mina selama ini. Ternyata tidak hanya karena kehilangan keluarga, juga karena teror menyeramkan yang hampir membuatnya tidak bisa tertidur pulas.
“Orang-orang seperti itu harus dihajar baru jera!” Lia mengepalkan tangannya ke depan lalu meninju udara seakan ingin benar-benar menghajar seseorang.
“Serius ingin begitu? Menghajar orang bukan perkara mudah. Jangan gegabah, aku juga hanya bisa cerita,” kata Mina sambil menepuk pundak sahabatnya.
“Tapi nggak mungkin kamu terus begini, Mina. Lapor saja lalu bereskan semua masalahnya.”
“Nggak. Nggak bisa.” Mina menolak sarannya mentah-mentah dengan suara yang tegas dan mata yang tajam.
“Apa karena kasus keluargamu?”
“Iya. Mungkin ada hubungannya tapi juga nggak. Aku belum tahu.”
Keputusan Mina sudah bulat sejak awal. Meskipun dia begitu ketakutan menghadapi teror yang jelas tidak menyenangkan, akan tetapi Mina tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk mengungkap siapa pelaku di balik kecelakaan yang dialami oleh keluarganya.
Lia pun hanya bisa pasrah dan menerima semua keinginan Mina karena itu yang diinginkan oleh Mina sendiri. Lia sadar, meski dekat namun tidak bisa ikut campur lebih dalam.
“Ya sudah, tapi ingat hubungi aku jika ada sesuatu, ya.”
Rumah Lia tidak berada dalam perumahan ini namun dia sengaja melewatinya karena ada jalan yang menembus jalan keluar mengarah ke suatu gang kecil, di sanalah rumah Lia berada.
Dengan sedikit merasa canggung, mereka pun berpisah di depan rumah Mina. Dan itu adalah pertemuan sekaligus perpisahan terakhir mereka lantaran Mina dinyatakan telah menghilang pada siang hari itu.
“Kenapa bisa? Ini sudah dua hari tapi Mina masih hilang?!” teriak Lia histeris dan sangat ketakutan.
Setiap jemari lentik Lia gemetar setelah menggebrak meja dengan keras. Suara nyaring yang menggaung ke sudut dalam kelas membuat perhatian mereka tertuju pada sosok bunga sekolah yang berdiri menghadap pengajar bahasa asing.
“Tenanglah dulu, Lia. Temanmu memang tidak ditemukan tapi kami sudah menemukan petunjuk.”
Lia menggigit jarinya hingga berdarah. Dia melakukan itu tanpa sadar. Selama beberapa saat termenung diam dengan arah pandang ke bawah, Lia berpikir keras serta khawatir pada sahabatnya yang menghilang itu.
“Mina nggak bilang apa-apa. Apa dia pergi atau seseorang membawanya, aku juga nggak tahu tapi mungkin orang bisu yang pernah diceritakan pasti tahu,” gumam Lia lantas pergi meninggalkan kelas tanpa ijin.
Ini adalah pertama kalinya dia dengan sengaja meninggalkan kelas, kecemasannya yang berlebih membuat Lia tidak bisa berpikir jernih. Beberapa teman dan juga guru yang ada di dalam kelas tidak diperhatikan meskipun semuanya sudah bersusah payah membujuk Lia agar tetap tenang.
“Pikiran Lia yang dalam keadaan panik, ini tidak seperti biasanya. Anak itu memang sangat dekat dengan Mina,” tutur senpai.
Senpai yang merupakan pengajar bahasa asing, bahasa Jepang hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepala setelah melihat Lia yang kelabakan. Di samping itu dia juga mengingat gumaman Lia sebelum pergi, lalu berpikir bahwa Lia mungkin tahu sesuatu.
“Senpai akan mengakhiri pelajaran hari ini. Tunggu sampai guru mata pelajaran berikutnya datang, kalian jangan keluar kelas.”
Hari demi hari tidak tenang semenjak kehilangan keluarganya. Mina yang hanya gadis remaja biasa dengan nekat menyelidiki kecelakaan yang disengaja itu karena memang dia sulit percaya dengan orang lain.
Setelah berpisah dengan Lia, Mina sebenarnya tidak masuk ke dalam rumah seperti biasanya. Perasaan aneh muncul ketika dia hendak membuka pintu pagar yang terkunci dan membuatnya sadar ada seseorang di belakangnya.
"Siapa? Apa pria bisu itu lagi? Atau orang lain?" Mina membatin.
Detik demi detik terasa mencekam. Dadanya terasa sesak, hati semakin gelisah. Jantungnya pun berdegup lebih kencang dari biasanya. Sekarang orang itu semakin mendekat, Mina mengulurkan tangan ke arah Lia pergi dan berencana untuk memanggilnya tapi entah kenapa dia sulit bicara.
"Lia! Lia!" Mina hanya mampu memanggil nama sahabat dari dalam batin saja.
Yang pada akhirnya Mina pun berlari ke sembarang arah, dia merasa tidak akan aman jika hanya berdiam diri dalam rumah. Kucing yang sepanjang waktu ikut kini bahkan berlari bersamanya.
Mina berlari menuju ke arah Lia namun sayangnya langkah kaki pengejar itu jauh lebih cepat. Tanpa sempat menoleh, sesuatu yang keras telah menghantam bagian belakang kepala gadis itu hingga membuatnya jatuh tak sadarkan diri di tempat.
Lia sudah pergi menjauh bahkan tidak sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada Mina pada hari itu.
Kejadian itu terjadi terlalu cepat. Musibah datang silih berganti, tak mengenal tempat dan juga waktu. Tanda bahaya yang selalu menghadirkan firasat buruk dalam hati selalu memberinya peringatan namun takdir tidak mengijinkannya menghindar.
Hari ke-3, hilangnya Mina masih menjadi sangat misterius. Tim penyelidik sudah berusaha keras mencari dengan sisa petunjuk tetapi petunjuknya selalu mengarah ke jalan buntu.
Penculik yang cerdik.
“Aku di mana?” Hanya tersisa sedikit kesadaran yang dimiliki Mina, mencoba bertanya pada seseorang tapi di tempat ini tidak ada siapa pun selain dirinya.
Hanya ditemani dengan kegelapan dalam ruangan, kondisi Mina yang tidak bisa bergerak karena tubuhnya terikat kini makin memprihatinkan.
“Setahuku aku tidak pernah punya musuh yang sampai mengincar nyawa begini. Apa ada orang yang dendam?”
Di dalam ruangan itu sangat gelap. Mina sama sekali tidak melihat apa pun selain keheningan yang menakutkan. Sisanya hanya suara mahluk malam seperti burung hantu ataupun jangkrik.
Satu jam berlalu, suara berat seperti menggeser potongan besi terdengar dari arah kanan. Suara pintu yang terbuka.
“Siapa di sana?” tanya Mina sekali lagi.
Suara lelaki yang mendengus, hanya itu yang dapat dia dengar. Sedikit cahaya dari celah pintu membuat mata gadis itu merasa sedikit silau sejenak tapi masih merasa di sekitarnya tetap gelap.
Tidak lagi setelah sesuatu yang menghalangi pandangannya itu dibuka, cahaya dari satu buah lampu kini benar-benar menyilaukan mata. Secara spontan Mina mengalihkan pandangan dan seketika sadar akan sesuatu.
"Ah, ternyata karena mataku tertutup kain hitam barusan. Pantas saja gelap," batin Mina.
Terdapat sejumlah orang yang berkumpul dalam satu tempat mengelilingi Mina yang duduk dalam kondisi terikat. Ikatan dari tali tambang itu sangat kuat sehingga mustahil baginya untuk melepaskan diri.
“Kalian siapa?” Sekali lagi Mina bertanya.
Mereka mengenakan topeng hewan bermacam-macam jenis hanya sekadar saling melirik satu sama lain. Mereka terlihat linglung namun Mina merasakan ketakutan yang sungguh besar sampai harus menundukkan kepala dalam-dalam.
“Hei, apa kamu tahu siapa kami sebenarnya?” Topeng kucing bertanya.
“Dia barusan tadi tanya tentang kita ini siapa, kenapa malah balik tanya begitu?”sahut si pemilik topeng kelinci.
“Anak ini sudah tidak berguna,” ujar lainnya yang mengenakan topeng rubah.
“Kalau sudah tidak berguna lalu apa alasan kita menculiknya?” Si pemilik topeng serigala bertanya.
Sesaat situasinya kembali hening. Tidak ada percakapan lain di antara mereka seakan sudah bosan bicara. Hanya sekadar menatap Mina dan Mina tidak tahu apa yang mereka pikirkan sebenarnya. Setelah itu semua pria bertopeng di sekitarnya pergi dan kegelapan kembali datang.
“Mereka lagi-lagi menutup pandanganku dengan kain.”
Keesokan harinya, mereka kembali datang dan menyuapi Mina makan dan minum. Terkadang mereka kembali membicarakan hal sama namun juga hanya diam saja. Pemilik topeng kelinci lah yang paling sering datang berkunjung, bahkan sempat membuka penutup matanya.
Topeng kelinci itu mungkin bersikap ramah namun Mina tetap tidak pernah mengendurkan kewaspadaan, dia selalu berjaga setiap jam agar dia tidak melewatkan satu hal pun yang mungkin akan terjadi.
4 hari, 5 hari hingga sepekan telah berlalu. Situasinya masih sama. Mina dimanjakan seperti bayi baru lahir dan tidak pernah bergerak dari kursi bahkan tubuhnya juga tetap terikat. Hanya penutup mata saja yang terkadang dilepas.
“Kenapa melakukan ini?” Pada hari ke-7, Mina akhirnya kembali menanyakan sesuatu pada si topeng kelinci.
Topeng kelinci itu mendesah lelah seraya menggaruk belakang kepalanya. Sekilas dia merasa ingin menghindari pertanyaan tersebut tapi itu tidak mungkin.
“Katakan!” Dengan sedikit meninggikan suara, Mina menyuruh si topeng kelinci itu agar menjelaskan.
Topeng kelinci kembali mendesah lelah. Letih yang dia rasakan tidaklah sebanding dengan Mina yang terus duduk selama semingguan ini. Dia hanya berkesempatan pergi dari kursi itu jika ingin pergi ke toilet namun dia tetap tak leluasa karena selalu diawasi oleh pria-pria bertopeng.
“Dik, lebih baik kamu nggak usah banyak ngomong. Kamu sudah jadi sandera bagi kami. Mau kabur juga percuma jadi lebih baik turuti kami untuk saat ini,” ujarnya.
“Sandera? Kalian ingin meminta uang pada siapa? Aku sudah tidak punya keluarga lagi jadi semua perbuatan kalian ini sia-sia,” ungkap Mina.
“Apa?!” Betapa terkejutnya si topeng kelinci mendengar penjelasan barusan. Dia sendiri terlihat seperti tidak menyangka bahwa telah terjadi sesuatu hal lain.
“Kami menculikmu lalu menghubungi kedua orang tuamu, bahkan mereka juga menjawab jadi mana mungkin itu seperti yang kamu bilang.”
“Keluargaku sudah lama meninggal. Tersisa aku sendiri dan kucing yang kalian kurung entah di mana. Kenapa malah nggak percaya?”
“Oh, kalau memang benar begitu lalu kenapa ada balasan dari panggilan nomor, "Ayah", di nomor kontakmu?” Si topeng kelinci lantas menunjukkan ponsel milik Mina ke hadapannya, terdapat log panggilan terjawab selama beberapa kali di sana.
Mina bingung dengan maksud semua log panggilan itu karena seharusnya ponsel kedua orang tua Mina sudah hangus tapi ternyata ada seseorang yang menggunakannya.
“Itu nggak mungkin!” Mina membantah.
“Tapi ini semua nyata.”
“Lagi pula kalau memang masih hidup lalu kenapa sampai satu minggu aku tetap ada di sini?”
“Itu karena kami selalu memerasnya setiap hari agar bisa menukar nilai kehidupanmu.”
Para pria bertopeng yang entah berjumlah berapa ternyata merencanakan hal sekeji itu. Seperti bermain petak umpet jika setiap satu hari keluarga korban tak dapat menemukan sandera maka penjahat seperti mereka ini akan selalu memeras harta dari pihak keluarga sebagai ganti dari nyawa si sandera.
“Benar-benar sangat bodoh,” gerutu Mina.
Mina sungguh tak tahu jika ada orang lain yang menggunakan nomor orang tuanya tetapi Mina bisa menduga bahwa mungkin saja itu adalah pihak sekolah.
"Mengubah nomor itu mudah, bisa saja mereka melakukan itu tapi rasanya ada yang aneh," batin Mina.
“Kenapa? Kamu nggak percaya setelah aku bilang dan membuktikannya di hadapanmu?” Si topeng kelinci ini sudah jelas sedang mengejek.
Melihat masih ada keraguan dalam hati Mina, pria itu lantas menghubungi nomor yang sama.
“Mau bungkam sampai kapan? Tenanglah, kami bukan orang hina yang memanfaatkan kesempatan karena kamu perempuan. Lagi pula kamu masih kecil, cukup dengan sedikit uang maka nyawamu akan terjamin.”
Tampaknya uang yang dibicarakan tidaklah sedikit.
Butuh beberapa waktu sampai panggilan tersambung, begitu diangkat muncullah suara lelaki dengan bahasa sopan.
["Sebentar lagi aku akan menemukan kalian semua termasuk gadis itu. Jadi jangan harap kamu dan rekan-rekanmu bisa lolos."]
“Haha, lihat?” Pria bertopeng kelinci itu tertawa setelah menutup panggilan itu tanpa menjawabnya.
“Itu seperti suara AI,” pikir Mina.
“Benar tapi salah satu dari kami sudah tahu soal orang ini. Dia menggunakan suara AI karena dia bisu,” ungkapnya.