Hari ini tumben sekali cerah. Awan putih tersingkap menunjukkan langit biru yang cerah. Namun firasat Mina buruk bukan karena cuacanya yang cerah melainkan karena sesuatu hal lain.
Seperti biasa dia pergi berangkat sekolah dengan jalan kaki. Kucingnya masih saja mengikuti padahal saat kemarin beli pakan di toko dia tidak ikut. Mina mengabaikan kucing itu dengan sengaja, bahkan berharap kucing itu akan pergi meninggalkannya.
Begitu sampai di sekolah, firasat buruk yang dirasakan semakin menjadi tapi Mina tidak tahu penyebab firasat buruknya itu sampai beberapa orang di lorong sekolah menatapnya dengan canggung. Bahkan setelah masuk ke dalam kelas pun, tatapan dari murid-murid sekelasnya juga sama.
Antara takut, canggung, juga terlihat seperti menatap orang asing yang baru dikenalnya. Mina menggigit bibir bawahnya dengan perasaan tak nyaman namun tetap melangkah masuk dan duduk di kursi baris tengah nomor dua miliknya.
Tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Mina lantas berpikir mungkin ada kaitannya dengan kecelakaan hari itu tetapi seharusnya mereka semua sudah tahu.
Terlihat segelintir orang berbisik-bisik di baris belakang. Samar-samar Mina mendengar percakapan mereka.
“Jika dilihat-lihat dia memang berubah. Apa karena kedua orang tuanya meninggal?”
“Itu bisa jadi tapi entah kenapa aku kurang suka dengan kepribadian dia yang sekarang.”
“Benar. Dia berubah dalam sekejap hanya karena orang tuanya? Tapi itu agak aneh, seharusnya dia bersedih bukan terus tersenyum.”
Rupanya mereka membicarakan tentang kepribadian seseorang yang berubah drastis. Namun keanehan yang barusan dibicarakan itu membuat Mina tersinggung. Lagi pula mereka sedang membicarakan Mina bukan orang lain.
“Ah, pantas saja. Apa ini firasat buruk yang aku rasakan?” celetuk Mina dengan sengaja mengeraskan suaranya sampai terdengar murid sekitar.
Seketika dia kembali menjadi pusat perhatian namun kali ini jauh lebih mencolok sebab beberapa patah kata yang terucap di bibir Mina membuat mereka sadar kalau pembicaraan mereka telah bocor ke telinga orang yang sedang dibicarakan.
"Bodoh. Aku sengaja begitu biar kalian berhenti tapi kenapa malah semakin menjadi?" Mina menggerutu kesal dalam batin.
Namun pembicaraan mereka terhenti ketika bunga sekolah datang, dia adalah Lia. Gadis ceria, polos yang juga naif datang dengan santai dan riang padahal dua menit lagi pelajaran akan dimulai. Tak lupa dia menyapa sahabat karibnya dengan wajah cerah.
“Mina!”
“Lia, kamu hampir terlambat tapi keadaanmu bagaimana?”
“Setelah seharian tidur aku jadi sehat lagi,” jawabnya lugas.
“Bagus deh.”
Di waktu jam pelajaran kedua, tepat sebelum guru datang, seseorang memanggil Lia dengan suara yang sangat lirih. Lia pun menghampiri dengan heran.
“Kalau manggil yang keras. Untungnya aku dengar,” cerocos Lia. “Atau mungkin kamu sakit tenggorokan?” pikirnya.
Teman sekelasnya itu menggelengkan kepala, keningnya juga mengerut karena jengkel.
“Bukan itu masalahnya. Aku nggak mau kalau dia juga dengar.”
“Dengar apa sih?”
Temannya itu pun kemudian bercerita tentang perubahan sifat Mina yang mengerikan. Mereka yang kembali berkerumunan di baris belakang kini membawa Lia turut ikut serta agar dapat membahas suatu hal.
Mereka membicarakan tentang Mina yang seharusnya jangan didekati lagi. Mereka takut terhadap sisi Mina saat ini. Namun Lia membantah semua pernyataan barusan, dia tidak percaya adanya perubahan pada sifat Mina meski terkadang dia sendiri merasa asing dengan sahabatnya sendiri.
Meskipun Lia adalah gadis yang ceria dan polos, tetapi dia orangnya tidak begitu peka terhadap suatu perubahan sehingga mengira bahwa sesuatu tidak akan pernah berubah kecuali hilang.
“Mina masih temanku yang baik. Kalian mengira sikapnya menjadi jahat hanya karena keluarganya meninggal? Itu artinya pikiran kalian cetek,” tukas Lia seraya membuang muka di hadapan mereka.
Lia berpegang teguh pada suatu prinsip untuk selalu mendukung pertemanannya bersama Mina. Jangankan berbuat jahat, bahkan menjelekkan sedikit tentang teman sendiri membuat Lia merasa sangat bersalah.
Pada jam istirahat, Lia menggandeng lengan Mina. Mereka sedang menuju ke sebuah kantin. Dalam perjalanan ke sana, masih saja ada segelintir murid yang tidak ada habis-habisnya membicarakan sosok perubahan Mina.
“Hei! Temanku ini orangnya baik, kenapa kalian tega banget nyakitin perasaan temenku sih!?” teriak Lia.
“Dia tidak berubah. Dari awal dia memang begini tahu!” jeritnya sekali lagi yang kerap membantah pernyataan-pernyataan dari mereka yang sok tahu itu.
Mina hanya bisa menghela napas sejenak melihat pembelaan yang sangat gigih dari sahabatnya itu. Semua amarahnya sudah diwakilkan oleh Lia.
Belum juga sampai ke kantin, panggilan dari suara pengeras suara yang berada di sudut lorong membuat perhatian para murid fokus mendengarkan. Nama Mina disebut hingga dua kali dan menyuruhnya pergi ke ruangan BK atau yang disebut sebagai ruangan bimbingan konseling.
“Aku ikut,” ucap Lia.
“Cuman aku yang dipanggil. Kamu ke kantin sendirian aja ya.”
Setelah kepergian Mina, Lia menunggunya berjam-jam tapi Mina tidak kunjung kembali sampai keseluruhan jam pelajaran hari ini selesai. Mina pun tidak lagi diketahui keberadaannya sampai seorang guru mengatakan alasannya pada Lia yang datang ke ruang guru.
“Lia, temanmu Mina sudah pergi bersama pengajar bahasa Jepang. Dia memintamu untuk pulang duluan saja karena ada urusan yang mendesak.”
“Sebenarnya ada apa sampai dia pergi?” tanya Lia khawatir.
“Ini ...ibu juga tidak mengerti,” kata bu guru yang bahkan dia sendiri pun tidak mengetahui kejelasannya.
Kepergian mereka secara mendadak membuat Lia sangat khawatir. Namun dia tidak bisa melakukan apa pun selain pulang ke rumah seperti biasanya. Hanya saja Mina tidak menemaninya.
***
Sementara di lain sisi, pada beberapa jam sebelumnya. Saat Mina baru saja sampai ke ruangan BK, di sana sudah ada senpai yang menunggu dengan raut wajah gelisah. Dia menatap Mina dengan canggung, persis seperti tatapan murid-murid hari ini.
“Senpai, apa ini berhubungan dengan yang pernah dikatakan sebelumnya?” pikir Mina.
Gadis ini memang cerdas, dia langsung paham maksud panggilannya ke sini. Senpai menghela napas panjang lalu menjelaskannya dengan kalimat tersingkat.
“Benar. Sebenarnya ini berhubungan dengan kecelakaan yang menimpa keluargamu pada hari minggu itu. Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa itu bukanlah kecelakaan.”
Seketika Mina terkejut diam dengan kedua mata melotot tajam. Dia tidak menyangka akan mendengar hal ini setelah menghapus kecurigaannya bahwa ada kejanggalan pada kecelakaan hari itu.
“Bukan kecelakaan?”
“Iya, benar. Mereka mengatakannya kemarin dan aku memutuskan untuk mengatakannya sekarang karena kamu berhak mengetahuinya.”
“Itu artinya seseorang melakukannya dengan sengaja?”
Mulai detik itu segala kecurigaan sebelumnya telah kembali memenuhi isi pikiran Mina yang malang. Kemarahannya tidak lagi tersembunyi, hal itu terlihat jelas dari wajah serta kedua tangan yang mengepal kuat.
Inilah alasan Mina bersama senpai terburu-buru pergi meninggalkan sekolah dan menuju ke kantor penyidik.