Hari minggu adalah hari libur seharusnya hari yang menyenangkan. Segala bentuk aktivitas dari ringan ke berat tetap terasa menyenangkan jika itu adalah kegiatan berlibur bersama keluarga.
Mina telah menantikan liburan setelah sekian lama bersama keluarga dan itu terwujud tetapi sayangkan setelah kebahagiaan datang, duka pun mengikuti.
Tidak ada takdir yang tahu sebab inilah yang sudah terjadi. Kecelakaan tragis menimpa keluarganya dan membuat Mina sebatang kara di saat dirinya masih remaja labil.
Rumah sederhana tanpa bertingkat. Dominan dengan cara berwarna hitam dan putih. Sesampainya di rumah, Mina lekas membuka pagar dengan kunci yang diambilnya dari balik bebatuan.
Berjalan perlahan sambil membawa sebuah kendi berisi abu keluarga, Mina kembali menangis setelah mengingat momen terakhir mereka pada saat itu. Kedua tangan dan kakinya mulai gemetar, dia merasa sudah tidak sanggup berjalan namun mencoba tuk bertahan.
“Ibu, Ayah, Ema. Kita sudah pulang,” ucapnya lugas sambil tersenyum tapi tidak dengan wajahnya dan air mata yang mengalir itu.
Langkah demi langkah berpijak di teras rumah yang basah. Dengan tangan yang masih gemetaran itu dia membuka pintu rumah dengan kunci yang ada di sakunya.
“Ibu selalu memberikan duplikat kunci pintu rumah ini padaku karena berjaga-jaga saat aku pulang sekolah, mereka pergi.”
Tidak ada siapa pun di dalam. Rumah apalagi di setiap ruangan mulai sepi dari sekarang. Tidak akan ada yang menyambut kepulangan dan tidak ada yang memberikannya teh hangat atau sekadar cemilan.
Di sini, di rumah ini, Mina sendirian tanpa ada yang menemani.
Keesokan pagi harinya, ada segerombolan warga setempat yang tampaknya menyadari ada sesuatu yang telah terjadi di kediaman Mina. Mereka datang dan berniat membantu mengurus sisa jasad keluarganya. Mereka juga datang dengan memberikan sedikit bantuan finansial.
Hari senin dengan curah hujan yang tinggi, hari yang paling dibenci oleh Mina kini menjadi hari berduka untuknya. Mulai dari hari itu, Mina semakin membenci hari senin.
“Mina, kalau kamu nggak keberatan, boleh tinggal di rumah bibi atau di tempat lain yang ada teman kamu. Gimana?”
Mina menggelengkan kepala, dia menolak tawaran itu dengan suara lembut dan senyum yang tulus. Ibu-ibu tetangga di sana cukup terkejut melihat ekspresinya yang sekilas sama tapi itu berbeda karena tidak ada cahaya yang sama di matanya itu.
Anak gadis ini sudah kehilangan harapan, anak ini mungkin telah terbiasa hidup mandiri karena sering ditinggal oleh kedua orang tuanya saat dia pulang sekolah tapi anak ini juga terlihat memaksakan diri.
"Demi bertahan hidup, apa pun akan aku lakukan. Tapi siapa yang bisa menemaniku untuk ke depannya?" Dalam batin Mina bertanya-tanya. Bingung dengan cobaan seberat ini. Sulit ditanggung.
Menjelang siang hari, setelah menyelesaikan urusan pemakaman keluarganya yang dijadikan satu liang lahat, Mina kedatangan tamu dari teman-teman sekolahnya.
“Mina! Maaf kami baru datang,” ucap seorang gadis dengan warna rambut kecoklatan yang kemudian memeluk tubuh sahabatnya itu dengan erat.
Mereka datang dengan pakaian duka meski tak sempat datang lebih awal karena sekolah.
“Padahal aku baru saja melapor ke pihak sekolah tadi, kenapa kalian tiba-tiba sudah datang? Ini membuatku kaget,” kata Mina.
“Biar aku siapkan jamuannya dulu ya,” lanjutnya lantas berdiri dari tempat duduk.
“Nggak, nggak perlu Mina. Kami datang karena memang baru tahu tentang kabar keluargamu. Awalnya kami memang berniat berkunjung karena kamu nggak ke sekolah.”
Gadis berambut coklat ini merupakan sahabat Mina dari kecil, secara kebetulan mereka selalu satu sekolah dari tk hingga sekarang. Dia bernama Lia.
“Maaf aku baru bisa mengabari karena waktunya mepet.”
“Bukan masalah. Selama kamu baik-baik saja, aku senang, Mina.”
Lia adalah anak yang sama cerianya seperti Mina dulu. Dia dan Mina akrab seperti saudara sendiri. Sifatnya berbeda jauh dari Ema yang suka marah-marah sendiri.
Mengingat kemarahan Ema dengan pipi yang menggembung itu, tanpa sadar Mina tertawa sejenak. Beberapa dari temannya diam kebingungan karena ekspresi Mina yang terkadang berubah-ubah tak menentu.
“Mina selalu begini. Setiap saat ekspresinya berubah tapi di dalam hatinya berbeda jauh,” sindir Lia sambil mengeluarkan puding beragam macam rasa ke atas meja.
Lia membawakan semua puding itu untuk Mina dan teman-teman lainnya yang datang kemari. Tidak hanya itu, Lia yang selalu berbicara tanpa merasa lelah telah membuat kedua telinga Mina sibuk mendengarkan.
Hal itu membuat aura positif dari sahabatnya terpancar semakin keluar dan mengalahkan sisi negatif yang ada pada diri Mina saat ini.
“Baiklah ini semua keliatannya enak. Kamu buat sendiri atau beli?” tanya Mina.
“Ibuku yang buat, katanya harus dibagikan ke teman-teman. Kamu makan yang banyak ya, jangan sampai kurus.” Lia mencubit kedua pipi Mina sambil menguncir bibir ke depan seakan mengejek.
Dengan kehadiran teman-temannya, rasa sedih dan sakit terobati secara perlahan. Terutama saat ada Lia yang terus mengoceh panjang lebar karena memang beginilah karakter Lia yang juga berniat menghibur sahabatnya.
“Terima kasih Lia dan lainnya juga.”
Tak disangka hari berlalu begitu cepat. Banyak sumbangan dari harta maupun pangan yang tidak terhitung sedikit ada di segala tempat baik itu di meja ataupun kursi sofa. Bahkan dapur juga penuh karena makanan dari teman-teman sekolahnya yang kini sudah pergi.
Rasa sedih Mina yang begitu dalam mungkin sudah terobati tapi itu tidaklah sepenuhnya karena mau bagaimanapun memberi salam perpisahan kepada keluarga tercinta bukanlah perkara mudah.
Adapun momen sedih yang paling menyayat hati adalah saat mobil milik ayahnya meledak dan menghancurkan hampir seluruhnya bahkan tulang yang tersisa dari keluarganya hanya bisa ditemukan sedikit.
“Mobilnya memang hancur sampai tersisa rangkanya saja. Tapi apakah tulang manusia sangat rapuh sehingga hanya menyisakan sedikit tulang dan abu?” pikir Mina.
Dia merasa janggal tapi tidak berani berspekulasi. Dia yang masih belajar, terkadang bertanya pada diri sendiri apakah dia berhak atau tidak untuk sekadar mencurigai sesuatu dari mobil yang meledak dan terbakar cukup lama itu.
“Aku nggak begitu paham sih. Tapi mungkin ibu nggak mau kalau aku terlalu lama berlarut dalam kesedihan,” gumam Mina lantas dia pergi menutup pintu rumah lalu masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamarnya yang serba pink ini seketika membuat Mina merasa jijik. Dia memicingkan mata dan menatap semua barang yang berwarna merah muda itu seakan sedang menatap hal yang paling dia benci.
Kesal, Mina lantas keluar dari kamar dengan mendobrak pintu. Dia terlihat seperti sedang melampiaskan amarah dan juga seperti orang yang berbeda dari Mina yang biasanya.
“Warna merah muda yang ada di kamarku bikin risih. Siapa sih yang menyarankan warna itu ke aku? Hah, ngeselin banget!” gerutu Mina sembari menggaruk kepalanya kencang. Dia sekarang frustasi.
Padahal sejak awal dia lah yang memilih warna merah muda ini, dia yang meminta warna ini pada kedua orang tuanya tapi entah mengapa sekarang sudah berbeda.
Segala hal telah membuatnya berubah drastis. Dari luar saja sudah terlihat bagaimana hancurnya gadis remaja berusia 17 tahun ini setelah kematian keluarganya. Dan sekarang seleranya pun berubah.
Semula warna merah muda yang paling dia senangi sejak kecil menjadi sangat jijik di matanya sekarang. Perubahan sikap pun tak luput, meskipun Mina termasuk gadis yang ceria sama seperti Lia namun dia cukup frontal tetapi tidak untuk saat ini.
Wajahnya mungkin tersenyum tapi tidak dengan hatinya. Lia yang bersahabat dengan Mina pernah menyindirnya dengan kalimat yang hampir sama tetapi dia tidak sadar bahwa itu menjadi awal perubahan dari sifat Mina sahabatnya.
***
Hari selasa.
Berdiri di hadapan jendela, menikmati angin sepoi-sepoi yang masuk dari luar. Mina termenung memandang langit yang terhalang puluhan kabel listrik. Kemudian menghela napas dalam-dalam lantas berbalik badan.
Angin menyibak tirai hijau, Mina berhenti mendadak dan mengurungkan niatnya yang ingin pergi meninggalkan kelas setelah melihat sosok pria di balik jendela bagian dalam dekat pintu.
Mina sedikit salah tingkah. Kedua matanya berkedip selama beberapa kali dan mencoba untuk menghindar dari tatapan pria di sana.
“Mina?” Pria itu memanggil namanya dengan suara tegas namun lembut.
“Y-ya?” Mina menjawab dengan grogi. Terburu-buru dia mendekat agar tahu apa yang sedang dibutuhkan oleh pria itu padanya.
“Bapak memanggil saya? Ada urusan apa ya pak?” tanya Mina tanpa menatapnya.
“Saya sudah bilang panggil saya, "Senpai", karena saya mengajar bahasa Jepang dan belum pantas disebut pak guru atau sensei.”
Mina tertawa hambar lalu meminta maaf atas ketidaknyamanan serta kecerobohannya ini. Lekas dia mengubah panggilannya sesuai yang diinginkan oleh orang itu.
“Baik, senpai.”
“Seharusnya totalitas saja sekalian. Ya sudahlah, saya hanya ingin menanyakan kabarmu.”
Ekspresi Mina berubah. Dia terdiam cukup lama hanya untuk memikirkan jawabannya.
“Saya baik-baik saja. Saya sudah merelakannya,” ucap Mina sambil tersenyum seperti biasanya.
Senpai menganggukkan kepala dan paham bagaimana perasaannya Mina pada saat itu. Namun dia juga berharap Mina mampu mengatakan perasaannya dengan jujur.
“Senpai hanya ingin bertanya hal itu?”
“Senpai baru saja mendapatkan kabarnya dan saya turut prihatin. Lalu ada hal yang ingin saya katakan tapi sepertinya sekarang tidak bisa.” Pria itu menggelengkan kepala.
Entah apa yang akan dikatakannya namun pria itu langsung pergi dengan tergesa-gesa. Mina berpikir ada kesibukan lain yang tidak bisa diundur lagi dan dia memahaminya.
“Kelas sepi karena istirahat dan Lia sedang sakit. Aku jadi kesepian,” ucap Mina.
Dia kembali berjalan masuk ke dalam kelas. Tidak lupa dia menutup pintu rapat-rapat dan kembali menikmati semilir angin yang terasa menyejukkan ini. Kegiatan apa yang dia lakukan hari ini benar-benar sangat membosankan meskipun begitu dia sedikit terhibur dengan kehadiran sepasang burung ataupun kucing hitam yang menyelinap masuk dari jendela luar.
Kucing itu bermanja ria di antara kedua kaki Mina, nampaknya dia kelaparan. Mina teringat dengan puding yang masih tersisa sedang dibawanya saat ini, dia pun memberikannya dan berharap kucing itu suka.
“Makan saja, jangan ragu apalagi malu-malu.”
Namun setelah kucing itu mengendusnya beberapa kali, kucing itu justru menolak lalu melompat ke arah Mina. Spontan Mina menangkapnya lalu membiarkan dia tertidur di atas pangkuan.
Selesai jam pelajaran, Mina yang masih terpikirkan dengan ucapan senpai pun lekas menuju ke ruang guru. Dia berencana untuk menemuinya tetapi ternyata senpai sudah pulang.
“Cepat sekali senpai pulang. Apa memang karena urusan mendesak yang tidak bisa diabaikan?” pikir Mina.
Mina menyerah dan berpikir tidak sebaiknya dia mengharapkan sesuatu. Lagi pula dia sudah menghilangkan kecurigaannya terhadap kecelakaan yang dialami oleh keluarganya.
Selama perjalanan menuju ke rumah, kucing itu masih saja mengikuti. Tidak peduli seberapa kasar Mina mengusirnya, kucing itu terus mendekat dan selalu bermanja dengannya.
Kucing yang aneh.
“Baiklah kalau kamu nggak mau pergi, maka aku yang akan membawamu.” Mina membawa kucing itu ke dalam dekapannya.
Cuaca masih memburuk dari dua bulan yang lalu. Hujan kadang turun tak menentu. Langit seakan mengamuk bersama kilat guntur yang membuatnya terkejut. Beruntungnya gadis itu sudah sampai di rumah dan tidak kehujanan.
“Hujan ini entah berkah atau kutukan. Kelihatan seperti mengejek saja.”
Hari demi hari sifat Mina berubah, terkadang dia lembut penuh perhatian tapi juga kejam tanpa pandang bulu. Cara dia bersikap maupun mengambil keputusan seakan hanya mempertimbangkan diri sendiri. Apa pun yang membuat dia untung maka Mina takkan ragu melakukannya.
“Untuk sementara waktu kamu cukup tidur di kardus ini,” kata Mina sambil menurunkan kucing dari pangkuannya ke dalam kardus lalu menggeser kardus itu dengan kaki ke arah kolong meja ruang tamu.
Mina tersenyum sembari menyangga dagu dengan tangan, menatap kucing berukuran sedang yang terus berisik sepanjang waktu.
“Aku tahu kamu lapar, tapi tunggu sebentar karena di luar masih hujan. Paham?”
Rutinitas yang biasa dilakukannya setelah pulang sekolah adalah tidur siang tetapi dia tidak bisa melakukannya. Setidaknya untuk saat ini.
***
Begitu hujan reda dia pun pergi ke toko terdekat yang menyediakan pakan untuk kucing. Tercantum label harga yang memiliki nominal banyak menandakan seberapa mahalnya pakan itu.
"Tau gini aku kasih nasi aja sekalian." Mina membatin.
Dia menyesal karena pergi ke toko hanya untuk membeli pakan kucing tapi karena sudah terlanjur, Mina terpaksa membeli kemasan yang paling kecil dan murah.
"Semoga dia nggak ketagihan makan ini," batin Mina sekali lagi.
Keluar dari toko, tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang muncul dan memayunginya agar hujan tidak membasahi tubuh Mina.
Gadis itu sejenak diam sembari melihat genangan air di bawah guna memastikan apakah sedang turun hujan lagi. Meski hanya rintik-rintik.
“Terima kasih, tapi tidak perlu. Simpan atau pakai saja payungnya,” ucap Mina merasa sungkan lekas menyingkir dari sana.
Mina telah mencoba menolak tawarannya tapi payung itu tetap berada di atas kepalanya. Pria ini hanya sekadar tersenyum ramah sembari memberikan isyarat kalau payungnya diberikan.
“Kalau aku mengambilnya lalu bagaimana denganmu?” tanya Mina serius sambil menengadahkan telapak tangan ke atas, membuktikan hujan rintik-rintik perlahan mulai deras.
“Lihat nih, hujannya semakin deras. Lebih baik buat paman sendiri saja. Saya juga tidak ingin berhutang budi tapi terima kasih sudah menawari,” kata Mina.
Lelaki yang memiliki rambut sedikit panjang itu kembali tersenyum namun tetap memilih memberikan payung padanya dengan maksud baik. Sampai sekarang pun orang ini masih tidak bicara, mungkin dia bisu.
“Baiklah, terima kasih.”
Mina dengan terpaksa menerima bantuan yang tidak diinginkan. Namun karena hujan semakin deras, pada akhirnya mereka berada di satu payung dan bergegas menyeberangi jalan. Lelaki itu mengantar Mina ke rumahnya dengan selamat.
“Terima kasih sudah meminjamkan payung bahkan sampai mengantarkan aku pulang hanya karena hujannya terlalu deras,” ucap Mina.