'KALA PULANG SEKARANG!'
'BUNDA GAK IZININ KAMU IKUT OLIMPIADE YA!'
Ponsel Kala tiba-tiba bergetar masuk sebuah panggilan dari Bunda. Kala meneguk ludah susah payah. Detak jantungnya menjadi tidak keruan. Ia memilin rok yang digunakan.
Banu yang menyadari ada hak yang tidak beres pada Kala lantas menanyakan kondisinya.
"Kal, are you okey?" ucap Banu ia meraih tangan Kala untuk menggenggam tangannya. Kala tidak menjawab.
Kala ingin sekali menangis saat itu juga, tetapi ia tahan. Karena sangat tidak mungkin. Kondisinya sekarang tidak berada di dalam kamar sendirian ia sedang berada di tempat umum. Di tempat ia mengikuti olimpiade. Mau sesakit apapun ia harus tetap menahan air mata.
Kala tidak ingin dilihat cengeng dan lemah oleh orang lain. Kala berusaha mengatur napas serta pikirannya supaya menenangkan ketakutan dan pikiran yang carut marut di dalam dirinya. Sementara Banu masih mengusap punggung tangan Kala. Menatap dengan penuh tanya.
"Bunda tau. Kalo aku masih nekat ikut olim," ucap Kala parau. Ekspresi Banu sangat terkejut mendengar perkataan Kala.
"Bunda tau dari, siapa?!" tanya Banu. Kala hanya bisa menggelengkan kepala.
"Ayo," Banu tiba-tiba saja berdiri dari tempat duduk.
"Mau ke mana?"
"Ayo, bilang Bu Loli. Kita pulang."
"Tap-" Banu menutup mulut Kala dengan jari telunjuk.
"Udah ayo. Jangan sampe lo kena marah."
Tanpa pikir panjang Banu pun berjalan sendirian menuju bangku pembimbing olimpiade tempat Bu Loli berada. Entah apa yang Banu katakan. Tapi pada intinya Bu Loli memperbolehkan Kala untuk pulang. Tapi, selesai Banu mengantarkan Kala pulang. Ia harus kembali lagi ke tempat olimpiade.
"Ayo Kal."
"Banu membawakan tas ransel milik Kala."
Ia kembali menggenggam tangan Kala. Berjalan keluar dari ruangan olimpiade. Banu izin pamit pada panitia. Ketika ingin izin pulang panitia sebenarnya tidak mengizinkan karena olimpiade belum selesai. Tapi, bukan Banu namanya jika tidak memiliki ide cemerlang sehingga Kala bisa ia antar pulang.
'Kak, maaf teman saya mau izin pulang. Soalnya kakeknya meninggal.'
Izin Banu pada salah satu panitia bermana Kak Arhan. Padahal kakek Kala sudah meninggal dua tahun lalu.
***
Kala menarik napas panjang. Semakin laju motor Banu mendekat menuju rumah nya. Detak jantung nya berdetak tidak keruan. Kala hanya bisa menatap kosong selama diperjalanan. Ada banyak hal-hal sekenario buruk yang bertebaran di dalam pikirannya sekarang.
Motor Banu sudah berhenti tempat di depan rumahnya. Dan lagi-lagi Kala menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk turun dari motor Banu. Usai Kala turun Banu mematikan mesin motor, ia turun dari motor.
"Ayo, gua temenin."
Seketika Kala menahan napas. Ia menggenggam tangan Banu seraya menggelengkan kepala kuat.
"Jangan... Jangan..."
"Gak apa-apa," ucap Banu.
Kala kembali menggeleng. Bukir air mata tiba-tiba jatuh dipelupuk mata Kala. Banu otomatis menghapus air mata Kala dengan punggung tangan nya.
"Semua akan baik-baik aja, Kal." ujar Banu menenangkan. Banu memeluk Kala dan mengusap pucuk kepala Kala.
"Semoga..." lirih Kala. Ia mengeratkan genggamannya pada jaket denim yang Banu pakai.
Hampir sepuluh menit Banu memberikan pelukan untuk menenangkan Kala. Setelah itu, Kala yang meminta untuk menyudahinya karena Banu harus segera kembali ke tempat olimpiade.
"Makasih ya, Nu."
Kala berusaha untuk tersenyum. Banu memegang kedua Bahu Kala.
"Semangat!"
"Percaya sama gua. Semua akan baik-baik aja!"
Kala bekas air matanya. Ia mengangguk. "Makasih, ya." Banu tersenyum.
"Ya udah. Kalo gitu gua pamit ya. Takut Bu Loli nyariin."
"Kalo ada apa-apa bilang ke gua, ya." Banu mengusap pucuk kepala Kala.
"Baik-baik, ya! Gua pamit."
"Iya. Hati-hati di jalan. Dadah, jangan ngebut-ngebut. Kalo udah sampe kabarin ya." Banu hanya bisa tersenyum mendengar kata itu. Rasanya dijantung terasa 'nyes'.
Setelah itu, Banu menaiki motor. Menghidupkan mesin motor kemudian melajukan motor meninggalkan Kala yang masih berkecamuk. Kala menarik napas panjang usia menatap punggung Banu yang telah hilang dari pandangannya. Dengan langkah gontai Kala masuk ke dalam rumah.
Kala memasuki rumah dengan jantung berdebar tidak keruan. Dilihat Dalisha yang sudah berdiri di ruang tamu. Kedua tangannya melipst di depan dada. Raut wajah terlihat tidak baik-baik saja. Dilihat Aksa yang sudah duduk menunduk. Sudah dipastikan Aksa sudah mendapatkan omelan terlebih dahulu.
"DARI MANA KAMU?!"
Diam.
"DARI MANA?!"
Lagi-lagi Kala hanya bisa terdiam. Lidahnya terasa kelu untuk berkata.
PRANGG!!!
Salah satu guci keramik yang menjadi hiasan pecah berkeping-keping setelah Dalisha yang penuh emosi membanting guci tersebut.
"DARI MANA?!"
"PUNYA MUKUT, KAN?!"
"JAWAB KALA! JAWAB!!" Senyap. Kala masih memilih bungkam. Bahkan matanya seakan tidak bisa diajak kerjasama. Kala menangis.
"KALA JAWAB PERTANYAAN BUNDA.... BUNDA GAK BUTUH TANGISAN KAMUU...!!!"
"EMANG NANGIS BISA MENYELESAIKAN MASALAH?!"
"KAMU LAPER MAKAN. BUKAN NANGIS KAN?!!'
"Da-"
"Dari tempat olimpiade, Bunda," lirih Kala.
"BAGUS! SIAPA YANG NGAJARIN KAMU HAH?!"
"Bunda... Kala capek, Bun.."
"Maaf, Bunda. Bisa ga marah-marahnya nanti. Kala capek abis olimpiade."
"Kamu? Capek?"
"Kamu capek ngapain? Kerja aja engga!"
"Maaf Bunda kalo Kala lancang. Tapi Kala izin mau ke kamar."
"KALA!! BUNDA BELUM SELESAI NGOMONG YA!!!!" Kala memilih untuk tidak menggubris perkataan Dalisha.
"KALA! BUNDA GAK BOKEHIN KAMU SELAMA SEMINGGU MASUK SEKOLAH!!!"
Kala merosot terdududk di lantai kamar. Bersandar pada pintu kamar.
'Gak apa-apa, Bunda. Biar Kala bisa istirahat.'
'Kalo perlu selamanya. Kala cape.'
"Liat tuh adek kamu, Aksa!"
"Bilangnya belajar tapi malah pacaran!"
"Sekarang kabur dari rumah padahal udah Bunda larang!"
"Bunda ga habis pikir sama adek kamu!"
Kala menutup kedua telinganya. Suara itu cukup membuat kepala Kala pusing dan berputar. Ia menangis sejadi-jadinya. Kala sudah terlalu lelah. Sudah berniat untuk membangakan orang tua, tapi tidak pernah dihargai.
Disisi lain Aksa sedang berusaha untuk menenangkan sang Bunda. Ia mengusap punggung serta tangan Dalisha yang masih penuh emosi.
Aksa menarik napas panjang. Ia sedikit memijat pelipis kepala. Ia harus mencari tahu siapa seseorang yang sudah berani mengirim foto Kala sedang berurusan dengan Banu. Yang menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak.
***
"Ini gak bisa ini!" ujar Aksa yang mondar mandir sambil melipat kedua tangan didada. Banu dan Aksa ikut serius berpikir.
"Iya bener. Ini udah keterlaluan. Kita harus cari tau siapa dalang yang udah kirim foto gua sama Kala," cetus Banu.
"Tapi gimana caranya?" tanya Andra.
Banu, Aksa dan Andra sejenak berpikir. Tidak ada suara sama sekali. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Apa jangan-jangan Ghani ya?" ucap Banu tiba-tiba.
Andra mengernyit. "Kenapa lo tertuju sama dia?"
"Ya soalnya, waktu gua ikut olips. Gua ketemu Ghani sama Vira."
"Siapa lagi coba kalo bukan dia?" ucap Banu mengebu.
Aksa dan Andra menganggukkan kepala. Berusaha mencerna ucapan Banu.
"Tapi kita gak bisa asal tuduh. Kalo bener Ghani ya gak apa-apa. Tapi kalo bukan Ghani?"
"Bisa aja Vira?" cetus Andra tanpa rasa bersalah.
Banu terdiam kemudian terbelalak mendengar ucapan terakhir Andra.
"Kalo ngomong.. Ya kali Vira."
"Ya kan bisa aja gitu.."
"Udah-udah jangan pada saling nuduh orang jatohnya fitnah nanti." Aksa berusaha menengahi.
Dalam pikiran Banu, ia jadi terpikirkan ucapan Andra. Apa mungkin ada benarnya ucapan Andra? Banu mengelekan kepala menghapus pikiran negatifnya tentang Vira.
"Terus gimana?" tanya Banu.
"Kita croscek dulu nomornya kali ya?" ujar Aksa.
Banu dan Anda saling tatap.
"Boleh tuh bang.."
"Ada nomornya bang?" tanya Banu.
"Ada dihp nyokap. Nanti deh gua cek dulu nomornya. Terus gua cek diaplikasi get kontak," ujar Aksa menyeruput kopi buatan Andra hingga tandas.
"Lo berdua besok masukkan?" ujar Aksa. Sambil melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul dua malam.
"Kalo gitu gua balik. Besok lo berdua kesianganan lagi nanti."
"Besok gua kabarin nomor siapanya."
Aksa pun lantas berdiri diikuti Banu juga Andra. Mereka bersalaman ala anak basket.
"Ya udah gua pamit ya."
Andra dan Banu menganggukkan kepala. Mereka pun ikut mengantarkan Aksa sampai depan pintu gerbang.