Banu menghela napas berkali-kali. Ia selalu menoleh ke arah Bu Loli yang duduk di bagian khusus untuk para pembimbing olimpiade. Detak jantung nya berdegup kencang sejak ia menginjak Universitas Nusa Abadi tempat dilaksanakannya olimpiade IPS. Begitu Banu melangkah semakin dalam memasuki area kampus. Tepatnya di aula.
Ia merasa keringat dingin.
Tubuh Banu mendadak terasa sesak napas. Ia pun beberapa kali menarik napas panjang. Setelah ia mengantre untuk registrasi akhirnya ia pun duduk di aula. Beberapa kali Banu melihat ke kanan dan kiri. Hanya dia yang seorang diri. Semuanya ada pasangan. Karena suatu permasalah Kala tidak dapat ikut melihat pengumuman olimpiade.
Seandainya Kala di sini duduk di sampingnya sebagai patner olimpiade nya. Mungkin ia tidak perlu merasa terlalu khawatir dan merasa kan cemas berlebihan. Banu kembali mengatur napasnya.
Disisi lain, Kala sedang berusaha menenangkan pikirannya. Ia sudah cukup terlalu lelah dengan semua. Memendam segala emosi dan perasaan tidak dianggap.
Sore hari seperti malam minggu biasa Aksa bersantai pada balkon kamar. Sembari menikmati kopi hitam serta camilan yang ia ambil dari kulkas, entah milik siapa. Malam itu rumah sepi hanya ada dirinya dan Kala. Ayah bunda dan adik bungsunya sedang pergi ke rumah nenek.
Kala yang saat itu sedang tidak enak badan terbangun dengan napas tercekat. Keringat membanjiri pelipis. Ia pun duduk sembari bersandar pada sandaran tempat tidur. Ia berusaha mengatur napasnya yang terasa tercekik. Mengolesi minyak angin pada beberapa bagian ditubuhnya. Namun, terasa sia-sia.
Kala mencoba memejamkan mata, mengatur pikirannya supaya tidak anxienty. Sebab jika terjadi akan semakin parah keadaanya. Ia melakukan butterfly hug beberapa menit.
Memposisikan duduk senyaman mungkin. Melakukan tarikan napas melalui perut selama empat ketukan, menahan tujuh kali hitungan, dan membuang perlahan delapan kali ketukan. Kemudian, Kala mengusap-usap bahu dengan kedua tangannya.
"It's Okay Kala gak apa-apa. It's Okay.."
Setelah merasa sedikit membaik Kala mengkit dari tempat tidur dan keluar kamar untuk mengambil segelas air hangat.
Aksa melihat tubuh Kala yang seperti sempoyongan turun dari tangga. Ketika Aksa hendak meletakkan gelas kopinya.
"Udah enakkan badannya?" tanya Aksa. Bukannya menjawab pertanyaan Aksa. Kala justru hanya terdiam.
"Kal?"
Aksa pun meletakkan telapak tangannya pada kening Kala. Memeriksa apakah demamnya sudah turun atau belum.
"Kal? Lo kok diem aja?"
"Lo masih sakit?"
Kala tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia kembali kesulitan untuk bernapas. Kala terbatuk-batuk napasnya pun berbunyi. Aksa kelimpungan dibuatnya.
"Lo—lo duduk.. Duduk dulu."
"Gua cari obat lo."
"O—obat gua abis." Aksa terlihat mengacak rambutnya.
"Ki—kita ke rumah sakit."
"Ia kita ke rumah sakit. Lo tunggu di sini. Gua ambil kunci mobil."
Dengan langkah terburu-buru Aksa masuk ke dalam kamar. Mengambil jaket Kala tidak lupa ia mengambil kunci mobil di dalam kamarnya. Setelah itu Aksa bergegas kembali pada Kala.
"Ayo... Ayo, gua gendong."
"Bisa jalan sendiri.."
Aksa tidak memedulikan protes Kala. Ia lantas mengendong Kala dan memasukkan ke dalam mobil. Tidak lupa mengunci pintu rumah bergegas membuka pagar. Masuk ke dalam mobil untuk mengeluarkan mobil kemudian keluar lagi untuk menutup pagar.
Diperjalanan Aksa terlihat kesetanan menyetir. Terlihat dari beberapa umpatan yang tidak terdengar tapi terlihat dari mimik wajah pengendara sepeda motor. Beruntung rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh dari rumah. Ketika sampai Aksa langsung mengambil kursi roda.
"Kenapa kak?"
"Tanya petugas resepsionis sebelum Kala tidur di bangsal."
"Sesak napas sus.."
Setelah mengatakan itu Aksa antas di arahkan untuk mengatur Kala tidur di atas bangsal yang kosong. Tidak lama dokter dan suster datang dengan Oximeter dan tensimeter.
Tingkat saturasi Kala cukup rendah sebebas 85 dan tensi darah pun 85. Dokter juga memeriksa suhu Kala yang cukup tinggi.
"Sesak banget dek?" tabya dokter. Kala hanya menganggu kak kepala.
"Demamnya dari hari apa?" tanya dokter pada Aksa.
"Dua hari yang lalu." Dokter hanya menganggukkan kepala.
"Tolong pasang oksigen ya sus. Abis itu ambil darah."
"Baik dok." Selepas itu dokter pun pamit bersama suster.
Tidak berselang lama suster memasang infus serta alat bantu napas berupa oksigen untuk Kala. Aksa berusaha menelpon Bunda tapi sejak tadi tidak ada jawaban.
"Bang, jangan bilang Ayah sama Bunda. Kalo aku masuk IGD lagi."
"Kenapa?"
"Nanti Bunda marah. Kalo tau aku sakit lagi."
"Tapi kalo Bunda gak dikasih tau. Bunda pas pulang ke rumah bingung nyariin kita," jawab Aksa.
"Ya udah, abang pulang aja. Biar kalo Bunda pulang ke rumah. Ada orang di rumah."
"Tapi jangan bilang kalo aku sakit. Bilang aku nginep di rumah temen"
Aksa menggeleng kuat sembari menggenggam telapak tangan Kala. "Engga. Abang tetep di sini."
"Tap—"
"Sst.. Udah. Kamu istirahat jangan banyak pikiran."
Aksa mengusap rambut kepala Kala. Mencoba menenangkan sebisa yang ia bisa. Aksa duduk di samping Kala. Kala, memegangi tangan kanan Aksa yang tidak mengusap kepalanya ia memegang erat lengan itu. Hingga tertidur pulas.
***
Banu menelan air liur berkali-kali serta menarik napas dalam. Tangannya tidak henti-hentinya mengeratkan tangan. Sedih rasanya jika hari ini ia belum mampu mendapatkan juara, seperti apa yang kedua orang tua nya harapkan. Semoga saja kali ini Tuhan memberikan sedikit kesempatan untuk dirinya merasakan kebahagian.
Banu mengenang bayangan sang Ayah yang kini sudah bahagia di surga. Selama masa hidup Ayah nya ia hanya anak pembangkang susah diatur. Yang hidupnya hanya untuk main dan main tidak memikirkan sama sekali apa itu masa depan.
Bunda nya terus memarahinya mencap dirinya sebagai anak sial yang tidak tahu diuntung. Mungkin karena itu juga Bunda nya memilih untuk meninggal kan dirinya dan Ayah nya. Karena merasa malu memiliki anak yang bodoh.
Harsana selalu saja mendapat laporan buruk terkait Banu dari rekan kerjanya. Membuat Harsana selalu tersulut emosi jika melihat Banu.
Harsana pun memutuskan untuk bercerai dengan Pradipta. Tidak lama bercerai dengan Pradipta—Ayah Banu Harsana pun menikah. Namun, dibalik semua itu Pradipta tetap sabar menghadapi Banu. Sampai pada akhirnya Pradipta sakit dan meninggal dunia.
"Oke, tanpa menunggu waktu lagi kita akan sampaikan pengumuman pemenang dari Olimpiade IPS ini!"
"Pasti pada gak sabar kan?"
"Oke."
"JUARA HARAPAN SATU JATUH KEPADA... GALUH DAN QUEEN DARI SMA NUSANTARA!"
"DIMOHON PADA GALUH DAN QUEEN UNTUK NAIK KE PODIUM."
"OKE SELANJUTNYA—"
"JUARA KETIGA JATUH KEPADA.. GLEN SYAWAL DAN GHAIDA DARI SMA BINTANG."
"DIMOHON KEPADA GLEN DAN GHAIDA UNTUK NAIK KE PODIUM."
"WAH, SEMAKIN PANAS SEPERTINYA. MENDEKATI JUARA PERTAMA."
"KITA MINTA SUARA TEPUK TANGANNYA DULU..." Penonton semakin heboh ketika MC meminta untuk bertepuk tangan. Usai suara tepuk tangan mereda MC kembali melanjutkan pengumuman juara.
"Oke, kita lanjut kan."
"JUARA KEDUA JATUH KEPADA SADAM DAN DINIA CANTIKA DARI SMA GALAKSI."
"SILAHKAN UNTUK SADAM DAN DINIA UNTUK NAIK KE PODIUM."
"SEKARANG, JUARA YANG KITA NANTI-NANTIKAN."
"DAN JUARA PERTAMA OLIMPIADE IPS JATUH KEPADA..." MC memberi jeda beberapa menit para penonton mendengarkan dengan saksama beberapa ada yang berdoa.
"RADEN BANUSASTRA KENZIE DAN ARUMI NASHA ANIKALA!"
"DARI SMA BHAKTI SENTOSA!"
"KEPADA BANU DAN KALA DIMOHON UNTUK NAIK KE PODIUM."
Para penonton bersorak dan bertepuk tangan riuh. Namun, mereka saling menatap mencari siapa seseorang yang berhasil menjadi juara pertama. Hampir sepuluh menit berlalu tidak ada satupun orang yang berjalan naik ke atas panggung. Kemudian MC mengulangi menyebut nama Banu dan Kala.
"APAKAH ADA YANG BERNAMA RADEN BANUSASTRA DAN ARUMI NASHA ANIKALA?"
"DIMOHON UNTUK SEGERA NAIK KE ATAS PANGGUNG. KARENA AKAN SEGERA DIBERIKAN PENGHARGAAN SERTA MEDALI."
"KAMI ULANGI BANUSASTRA DAN ANIKALA, DIMOHON UNTUK SEGERA NAIK KE PANGGUNG."
Punggung Banu ditepuk kencang oleh seseorang. Ia pun tersadar dari lamunan berkat Bu Loli. Ia menatap Bu Loli penuh tanda tanya.
"SEKALI LAGI, KAMI ULANGI UNTUK YANG BERNAMA RADEN BANUSASTRA KENZIE DAN ARUMI NASHA ANIKALA. DARI SMA BHAKTI SENTOSA. UNTUK SEGERA NAIK KE ATAS PANGGUNG UNTUK MENERIMA PENGHARGAAN DAN MEDALI," ulang salah satu MC.
"Kenapa saya disuruh ke sana bu?" tanya Banu bingung sebab ia sejak tadi tidak memperhatikan.
"Kamu menang, Nu! Kamu sama Kala menang juara satu!" ucap Bu Loli bersemangat sambil memegang kedua bahu Banu.
Mendengar perkataan Bu Loli, Banu sungguh tercengang. Banu terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca dan bulir air mata jatuh. Ia terharu, tidak mau dilihat banyak orang dengan cepat Banu menghapus menggunakan punggung tangannya. Banu pun bersalaman dengan Bu Loli kemudian berdiri berjalan menuju podium tanpa Kala.
Semua pandangan mata tertuju pada Banu. Rasanya jantung Banu seperti ingin copot karena saking kencangnya dedak jantungnya. Dengan perasaan bahagia dan terharu Banu melangkah ke arah podium dan menaiki salah satu papan bertuliskan satu.
"Partner saya lagi sakit, jadi hanya saya yang bisa mewakilkan. Tidak apa-apa kan bu?" ucap Banu sebelum diberi pertanyaan pada seorang bapak yang Banu yakin adalah penyelenggara acara. Bapak itu pun hanya mengangguk.
Banu pun diberikan ucapan selamat, jabatan tangan serta medali, piala dan papan bertuliskan JUARA SATU OLIMPIADE IPS. Banu sangat tidak menyangka jika dirinya yang menjadi juara olimpiade. Ia tersenyum bahagia sambil menahan air mata yang akan keluar dari pelupuk matanya.