Ghani, Kenzie yang saat itu fokus dengan ponsel masing-masing. Tiba-tiba teralihkan oleh Suara Banu yang menyapa mereka di loby rumah sakit.
Kenzi menyenggol lengan Banu, kemudian memainkan mata. Padahal mereka sedang bermain game karena kedatangan Banu fokus mereka teralihkan.
"Mana Janu sama Nendra?" tanya Banu pada Kenzie. Usai ia bersalaman dengan Kenzie.
"Masih di Andra."
"Oh.."
"Eh iya, kenalin ini Kala."
Kenzie menyunggingkan senyum tipis ia menepuk bahu Banu. "Ga lo kenalin juga gua udah kenal Nu, Nu.."
"Ya ga, Kal?" ucap Kenzie seraya mengedipkan sebelah mata.
"Dih, genit banget lo!" protes Banu. Ia meninju pelan bahu Kenzie.
Yang ditinju hanya bisa mengaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kenzie pun mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Kala. Kala menerima dengan senang hati jabatan tangan Kenzie. Begitu pun dengan Ghani.
Tidak lama Janu dan Nendra datang. Terlihat mereka berbisik-bisik seraya melihat Banu yang duduk di samping Kala.
Banu dan Kala melangkah menuju kamar Andra di rawat. Perlahan Banu membuka pintu. Terlihat beberapa tirai yang tertutup. Banu mengajak Kala melangkah ke ujung kamar satu-satunya tirai yang tidak ditutup.
Terlihat Andra yang masih terbaring lemah. Meskipun sekarang sudah tidak ada lagi alat bantu pernapasan. Melihat Andra yang hanya sendirian dada Banu bergemuruh. Perasaan sedih meyeruak disaat seperti ini tidak ada keluarga yang menemani Andra.
Ketika ia masuk di sana ada tante Dahlia. Ia adalah ibunya Alea—sepupu Andra. Melihat Andra yang sedang banyak dikumjungi oleh teman-temannya, tante Dalisha pun pamit sebentar untuk memberikan ruang antara Andra dan teman-temannya.
"Lho—"
"Ba—"
"Banu? Kala?"
Kala yang sedang meletakkan titipan Dalisha menoleh ke arah Andra. Andra saat itu berusaha untuk bangun dari posisi tidur menjadi duduk, tapi Banu cepat-cepat mencegahnya.
"Udah tiduran aja dulu. Jangan dipaksa kalo masih belum kuat buat duduk."
Andra menuruti perkataan Banu. Andra mengusap kelopak matanya tanpa sadar bulir air mata sedikit jatuh. Beberapa kali Andra melihat langit-langit kamar serta menginapkan mata supaya air mata tidak kembali jatuh. Andra merasa terharu sebab teman-teman nya begitu perhatiian terhadapnya disaat kedua orang tua nya tidak peduli terhadapnya.
"Lo ngapa nangis?"
"Dih, cengeng banget," cibir Banu.
Andra tidak menjawab ia lebih memilih untuk kembali mengusap mata nya. Banu memukul pelan bahu Andra.
"Jangan nangis, di sini ga ada balon sama permen!"
"Sialan lo!"
"Jangan bikin gua malu di depan Kala!" keluh Andra. Kala hanya bisa tertawa kecil.
"Andra cepat sehat ya," ucap Kala.
"Tadi ada titipan dari Bunda. Jangan lupa di makan ya!"
Andra menatap Kala, kemudian berkata, "Siap tuan putri!" ucapan tersebut otomatis membuat Banu mengecutkan bibir nya.
***
Banu mengajak Kala pergi ke sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah mereka, usai menjenguk Andra. Kala turun dari motor Banu. Ia sedikit menatap sekitar. Tidak lama setelah Banu melepaskan helm full face yang ia kenakan.
"Bisa gak?" tanya Banu pada Kala yang masih sibuk dengan pengait helm.
"Bisa," ucap Kala.
Banu tidak membantu ia hanya memperhatikan Kala yang masih terlihat kesulitan. Beberapa detik hampir berlalu dan Kala masih berusaha dengan pengait helm nya ia kenakan. Pengait helm tersebut memang sudah sedikit berkarat jadi, tidak salah jika Kala merasa kesulitan.
"Sini gua bantuin."
Banu menarik pelan lengan Kala sudah cewek itu bisa sedikit lebih dekat dengannya. Banu mengambil alih pengait helm. Mata mereka saling bertemu, namun Kala langsung mengalihkan pandangan. Karena jujur saja detak jantung nya sedang tidak baik-baik saja bahwa ia sempat menahan napas saat Banu menatapnya.
Setelah berhasil melepaskan pengait helm. Banu lantas melepaskan helm dari kepala Kala juga dan meletakkan di atas kaca spion. Jujur ini adalah pertama kalinya Kala pulang malam. Sebelum Banu mengajaknya masuk ke dalam kafe. Kala terdiam, mengamati kafe yang menurut Kala begitu indah.
Banyak lampu-lampu yang dipasang mengantung. Ada juga dedaunan merambat serta beberapa pohon menambah kesan aestetik kalau bahasa zaman now nya. Banu lantas mengajak Kala untuk masuk ke dalam kafe. Saat pertama kali masuk ke dalam ruangan Banu lantas berjalan menghampiri tempat barista berada. Banu memperhatikan menu yang disediakan di kafe tersebut, begitu pun Kala.
Banu memesan Cappucino dan roti bakar cokelat sedangkan Kala memesan Caramel Macchiato dan kentang goreng. Selepas memesan Banu oun membayar pesanan dan mengajak Kala sedikit mengelilingi kafe untuk mencari tempat duduk yang menurut mereka nyaman.
Banyak tempat duduk yang mereka lewati mulai dari tempat duduk di lantai dua yang menghadap pada jalan raya. Sehingga bisa melihat view jalanan. Hampir lima menit mereka mencari tempat untuk duduk. Tapi, pilihan Banu dan Kala jatuh pada sebuh tempat duduk dekat jendela berbentuk bulat di lantai satu.
Banu dan Kala duduk di sana. Pandangan Kala tidak henti-hentinya memperhatikan view pemandangan taman di kafe dengan lampu-lampu bohlam. Terasa nyaman dan tenang. Membuat Kala ingin berlama-lama di sini.
Kala ikut meninggalkan kafe setelah makanan yang mereka pesan habis dan Banu yang berjalan di sampingnya. Sekarang di bawah langit malam Jakarta yang indah dihiasi pemandangan gedung-gedung pencakar langit di seberang kafe. Dibiarkan mata nya memandang pemandangan suasana Jakarta disaat malam hari. Jujur saja ini pertama kalinya Kala keluar malam dengan teman sebaya. Kala mengerjap ketika tangan Banu meraih bahunya untuk mendekat.
"Kal, foto dulu yuk!" ucap Banu.
Kala simanusia wajah datar tentu saja bingung harus berekspresi bagaimana. Ia hanya bisa tersenyum tipis waktu Banu menjepret wajah mereka bersama. Dan tidak lupa Banu memotret foto bayangan mereka berdua dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit.
"Habis ini mau ke mana lagi?" tanya Banu.
"Hah?"
Banu melihat jam pada pergelangan tangannya. Ternyata sudah hampir jam tujuh malam. Dan sejak pagi mereka masih saja asik pergi. Sementara Kala ingin mengatakan pulang saja, tapi ia tak enak hati dengan Banu.
"Kita pulang aja ya, Kal?"
"Udah malem juga. Takutnya kamu dicariin orang rumah."
Banu langsung merangkul pundak Kala. Mengajaknya menuju parkiran motor. Ketika sampai, Banu lantas memakaikan helm ke kepala Kala serta mengaitkan tali helm. Setelah itu, Banu menaiki motor begitu pun Kala.
Mereka pun melajukan motor membelah jalanan Jakarta. Padatnya jalan membuat Banu mau tidak mau harus sigap untuk melajukan motor meliuk-liuk dengan gesit untuk mencari celah jalan. Namun, bukan Jakarta namanya jika tidak tetap terjebak kemacetan.
Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit berkutat dengan kemacetan Kala tiba di rumah di antar Banu. Motor Banu berhenti tept di depan gerbang rumah. Dari luar terlihat sepi, sebab Bunda sedang pergi, Ayahnya sedang keluar kota dan Aksa kemungkinan besar masih berada di kampus.
Kala turun dari motor dan melepaskan pengait helm sebelum melepas helm. Diberikan helm tersebut pada Banu.
"Makasih ya, Nu."
"Mau mampir dulu?"
Banu tertawa, "Kapan-kapan aja, Kal. Udah malem juga."
"Oke," jawab Kala.
"Ya udah kalo gitu gua pamit ya. Jaga kesehatan," peringat Banu. Ia kemudian menyalakan mesin motor.
"Iya, hati-hati. Kalo udah sampe kabarin ya."
Banu lantas tersenyum hati berbunga-bunga saat Kala selalu mengatakan hal itu. Kata sederhana tapi efeknya luar biasa.
Setelah Banu menghilang dari pandangannya, ponsel Kala tiba-tiba bergetar. Seperti banyak sekali pesan masuk.
GAK USAH SOK KECAKEPAN DEH LO
DIH... NAJIS
SOK CANTIK
MENDING LO NGACA... JANGAN SOK PINTER, GAYA-GAYAAN IKUT OLIMPIADE... YANG ADA MALU-MALUIN!!!
Dan masih banyak pesan yang Kala terima.