"Ayo."
Banu menepuk pelan jok belakang motor nya. Meminta agar Kala segera menaiki motor. Banu melirik lewat kaca spion memastikan apakah Kala sudah siap atau belum. Dirasa sudah duduk dengan baik. Banu pun menyalakan mesin motor, lalu melajukan motor. Melaju membelah jalanan kota Jakarta yang terlihat padat.
Saat jalanan dalam keadaan macet Banu kembali memperhatikan Kala dari balik kaca spion. Memandangi sosok gadis yang dengan wajah teduh itu membuat hati Banu berbunga-bunga dibuatnya. Tidak terasa lampu jalanan sudah menunjukkan lampu hijau. Dan para pengendara sudah mengklakson nyaring bahkan beberapa ada yang mengumpat kasar. Padahal lampu baru saja menyala hijau.
"Hari ini jadi kan kita makan bareng?" tanya Banu disela keheningan.
"Iya, boleh," jawab Kala.
Kebetulan Bunda sedang tidak berada di rumah. Jadi, Kala bisa sedikit bebas untuk pulang terlambat. Sebenarnya itu tidak baik, namun Kala butuh refreshing sejenak usai mengerjakan banyak soal latihan olimpiade.
Motor Banu berhenti di pinggir jalan. Tepat disebuah warung makan pinggir jalan. Perlahan Kala turun dari motor dan melepaskan helm yang ia pakai. Banu pun juga ikut turun dari motor.
"Ayo," ajak Banu.
Mereka masuk ke sebuah ruko yang menjual bakso dan mie ayam. Banu tidak tahu Kala suka nya apa. Sudah bertanya tapi jawaban Kala sama seperti cewek pada umumnya 'terserah.'
"Di sini bakso nya terkenal paling enak se-pasar rebo lho, Kal!"
"Oh iya?"
"Iya, Kal."
"Jadi gak sabar mau coba," pungkas Kala.
Banu langsung mengajak Kala untuk memesan makanan yang ia suka. Banu memesan mie ayam sedangkan Kala memesan bakso. Setelah itu mereka mengambil tempat duduk lesehan di atas tikar.
Pandangan Kala melihat-lihat sekilas setiap inci warung bakso termasuk melihat list harga makanan.
"Kamu udah sering makan di sini, Nu?" tanya Kala tiba-tiba.
"Ya lumayan. Kalo lagi pengen bakso Ghani atau Andra sering ngajak makan bakso di sini." Kala menganggukkan kepala.
Makan dipinggir jalan seperti ini adalah hal yang jarang Kala rasakan. Terlebih bersama teman sebaya merupakan hal pertama kali Kala rasakan.
Dunia nya hanya sekolah dan pulang saja selama ia masuk SMA. Tidak lama makanan yang dipesan datang.
"Makasih," ucap Banu usai mendapatkan apa yang ia pesan.
"Besok lo, mau ikut jenguk Andra gak?"
Kala yang baru saja menyuap bakso kecil ke dalam mulut lantas mengambil tissu untuk menutupi mulut.
"Boleh, mau jam berapa?" tanya Kala antusias.
Kebetulan Bunda meminta Kala untuk mengantar kan beberapa kue serta buah untuk Andra. Mengingat besok adalah hari libur. Jadi Kala bisa sejenak pergi keluar dari rumah.
"Paling siang."
"Boleh."
"Tapi sama teman-teman gua juga. Mereka juga mau jenguk. Gak apa-apa kan?"
"Tapi, kalo lo gak mau. Gak apa-apa. Kita belakang aja, nunggu mereka pulang," ujar Banu dengan spekulasinya sendiri. Padahal Kala belum memberi penolakan.
"Bareng-bareng juga gak apa-apa kok."
"Beneran?" Kala menganggukkan kepala. Banu terlihat sumringah.
Sebenarnya Kala tidak nyaman tidak bertemu dengan teman-teman nya Banu. Ia takut canggung dan dianggap aneh. Tetapi, ia tidak boleh membiarkan sifat jeleknya terus bersarang. Sifat rasa takut menghadapi orang lain, ditandai dengan rasa malu dan kecemasan yang tidak semestinya dalam pertemuan sosial yang tidak dikenal atau yang lebih dikenal dengan fobia sosial. Tidak terlalu parah sebenarnya, namun cukup menganggu Kala.
Setelah selesai Banu membayar makanan yang sudah dipesan. Banu senang sekali bisa makan bersama dengan Kala.
Hampir lima belas menit perjalanan menuju rumah Kala. Saat itu hari sudah semakin sore.
"Makasih ya, Banu."
"Sama-sama, Kal. Besok jadi kan?" Kala mengangguk.
"Gua jemput ya."
"Oke," jawab Kala sambil tersenyum.
"Ya udah. Kalo gitu gua pamit pulang ya." Banu tersenyum dan tanpa sadar ia mengusap pucuk kepala Kala.
Kala hanya bisa terdiam mematung akan perlakukan Banu. Pipinya tiba-tiba merasa panas dan detak jantung berdegup kencang.
Setelah itu, Banu benar-benar pergi. Melajukan motor. Meninggalkan Kala yang masih terpaku akan perlakukan nya barusan.
***
Sudah hampir tiga puluh menit Banu mrnunggu Kala di depan pagar rumahnya. Tapi seperti tidak ada pergerakan dari dalam rumah. Banu berinisiatif untuk kembali menelepon Kala dan hasilnya sama saja tidak ada jawaban.
Apa Kala lupa?
Apa dia berubah pikiran?
Banu menghela napas panjang. Hidupkan mesin motor dan hendak melajukan motor. Namun, belum sempat ia melakukan hal tersebut. Seseorang dari balik pagar sedang mendorong pagar perlahan tapi cukup terdengar nyaring suara khas pagar rumah.
"Maaf lama," lirih Kala.
Perlahan senyum Banu mengembang pupil matanya membesar. Suara nan lembut itu terdengar jelas ditelinga Banu. Ia melihat Kala mengenakan kaus putih dibalut cardigan hitam dengan celana kulot, terlihat begitu cantik. Ini adalah pertama kalinya bagi Banu melihat Kala mengenakan baju bebas selain baju sekolah.

"Kenapa?" tanya Kala yang melihat ekspresi Banu yang berubah.
"E—engga." ucap Banu. Ia berusaha untuk terlihat biasa saja padahal hatinya sedang tidak keruan.
"Aku nitip ini ya di depan." Kala memberikan Banu beberapa goodybag yang berisi kue buatan Bunda dan buah-buahan untuk Andra.
"Oke," jawab Banu.
Kala mengenakan helm yang diberikan Banu selepas itu ia pun perlahan menaiki motor Banu.
Kala sekilas melihat wajah Banu dari balik kaca spion yang terlihat dari kursi penumpang. Banu yang menyadari Kala sedang memperhatikannya.
Tiba-tiba wajahnya yang datar, kemudian menampilkan seutas senyum yang tercetak manis diwajahnya. Melihat Banu yang tersenyum padanya Kala pun ikut tersenyum.
"Udah siap?"
"Siapp."
Banu lantas melaju kan motor perlahan, membelah jalan Jakarta yang padat. Ketika motor Banu berhenti dikarenakan ada lampu merah tanpa sadar Kala memilih jaket yang Banu kenakan. Banu menarik tangan Kala.
"Pegangan nanti jatuh," ucap Banu.
Kala hendak menolak, tapi lampu merah sudah berganti hijau. Laju motor Banu mendadak tancap gas dengan cepat. Sebab, mereka berada dibarisan paling depan. Mau tidak mau suka tidak suka laju motor harus cepat jika berada dibarisan depan lampu merah. Jika tidak maka harus siap-siap mendengar klakson yang saling bersahutan bahkan suara-suara umpatan dari orang yang tidak sabaran seakan sedang balapan.
Kala menuruti ucapan Banu. Sebab ia sebenarnya takut dibawa oleh Banu dengan laju motor yang cepat seperti ini. Selama dibawa ngebut, Kala hanya bisa pasrah sembari memejamkan mata. Banu yang melihat ekspresi Kala hanya bisa terkekeh kecil.
Tidak lama mereka trlah sampai di rumah sakit tempat Andra dirawat. Banu mencari tempat parkir setelah dapat ia melepaskan hrlm yang ia kenakan.
"Udah, ayo turun, Kal."
Merasa tidak mendapat repon Banu menggoyangkan motornya.
"Kala?" Banu mengusap tangan Kala.
"Kita udah sampai."
Perlahan Kala mendengar perkataan Banu. Ia membuka membuka mata melihat sekitar. Yang ternyata sudah sampai di parkiran rumah sakit.
"Udah sampai, ya?" ucap Kala kikuk.
Setelah Kala mengatakan itu, tangan Banu meraih tangan Kala menggenggam nya. Seraya berkata, "Lo, baik-baik aja?"
Kala menelan ludah susah payah. Ia gugup ditatap Banu dengan begitu dekat. Banu menolehkan kepala ia masih duduk di jok pengemudi.
"E—"
"Iya, gak apa-apa."
"Beneran?" Kala hanya bisa mengangguk kan kepala. Ia memilih untuk tidak menjawab karena jantungnya yang semakin berdegup kencang.
"Ya udah. Yuk, kita ke Andra." Banu melepaskan genggamannya.
Ia membalik tubuh. Melepaskan helm full face nyamuk. Serta mencabut kunci motor fan memasukkan ke dalam saku celana. Kala perlahan turun dari motor ia juga melepaskan helm yang dikenakan lantas memberikan nya pada Banu untuk diletakkan digagang spion motor.
Banu sekilas meneh ke arah Kala. Ia memberikan tas good bag yang Kala titipkan di depan motor. Selepas itu, mereka kemudian berjalan beriringan keluar dari parkiran motor menuju lift ruangan tempat Andra dirawat.