Ketika hendak masuk ke dalam rumah. Banu terkejut mendapati Cakka—Abang Andra sudah menunggunya. Ia meneguk ludah dengan susah payah dan melangkah ragu menghampiri.
"Halo, Bang." Banu menyalami Cakka. Namun, respon tidak bersahat yang ditampilkan Cakka.
"Jadi lo yang seenaknya apa ke mobil gua?!"
"Kurang ajar ya lo! Pasti lo disuruh Andra, kan?! Mana tuh bocah!"
"Kemana Andra? Kenapa lo yang bawa mobil gua?!" kelakar Cakka dengan nada emosi. Suara itu membuat hati Banu ciut ia sungguh takut dibuatnya.
"Maaf, Bang. Saya baru antar Andra dari rumah sakit. Dia asam lambungnya kambuh. Dan sekarang dirawat di rumah sakit."
"Gua minta maaf banget. Udah lancang pake mobil Abang. Soalnya gua panik gak tau harus apa. Mau pesan mobil online takut tidak keburu."
'Andra? Sakit?' tanya Cakka dalam hati.
"Ini gua balikin kunci mobil. Terima kasih, bang. Saya pamit pulang." Banu menunduk sebelum pergi. Ia berjalan menuju motor yang terparkir di halaman rumah Andra dan menaiki motor tersebut.
"Enak aja lo!"
"Lo belom boleh pulang!"
Cakka menarik kerah baju belakang Banu. Hingga cowok ia hampir terjatuh dan tercekik beruntung ia berhasil melepaskan diri dari Cakka.
"Mobil gua gak gratis lo pake!" ucap Cakka sekali lagi. Cakka menaiki motor Banu menghadang Banu supaya tidak bisa pergi. Banu mengernyit bingung.
"Lo bilang Andra di rawat. Berarti lo udah pake mobil gua tanpa izin dan bensin gua!" Cakka menarik seragam Banu dan memberi pukulan pada wajah Banu hingga cowok itu terdorong dan terjatuh.
"Banu!"
Kala berlalari membuka pagar dan membantu Banu untuk berdiri. Cakka yang melihat Kala tak bisa memalingkan pandangan dari Kala. Saat Kala hendak masuk ke dalam rumah ia mendengar suara keributan dan merasa ada perasaan tidak enak terhadap Banu jadi ia langsung berlari menuju rumah Andra. Dan benar saja dugaannya tidak salah.
"KOK LO MUKUL GUA, BANG?!" Banu hendak membalas pukulan Cakka, namun Kala menghalanginya berusaha menenangkan Banu.
"Jangan, Nu. Kontrol emosi kamu."
Cakka mendekati mereka ia hendak menyentuh Kala tetapi Banu langsung menepis tangan Cakka.
"Berani lo sentuh dia. Gua patahin tangan lo."
Cakka menyunggingkan bibir tertawa sinis.
"Lo patahin tangan gua? Gua patahin tangan Andra," balas Cakka tenang. Tapi lawan bicaranya yang merespon tidak tenang.
BUGH
Satu pukulan mengenai wajah Cakka dan sekarang mereka impas. Cakka memegangi sudut bibirnya yang terasa perih. Dan ia berusaha untuk membalas Banu.
"STOP!!" teriak Kala berada di tengah-tengah mereka.
"Kalian apa-apa sih!"
"Kalau begini terus permasalahan gak akan selesai! Coba bicarakan baik-baik!"
Cakka mengepalkan tangan berusaha menahan emosi.
"Oke kalo itu mau kalian. Sekarang gua minta dua ratus ribu buat uang sewa mobil gua. Buat anter Andra!"
Kala dan Banu tercengang dibuatnya. "Dua ratus ribu?!"
"Iya. Kenapa? Gak sanggup?"
"Kalo gak sanggup motor lo gua sita!"
"Gak bisa gitu dong!" protes Banu.
"Kenapa gitu? Ya suka-suka gua lah mobil-mobil gua! Siapa suruh pake mobil orang lain tanpa izin!"
"Kak! Kita pake mobil kakak juga untuk Andra! Adek kakak!"
"Terus emang gua peduli, cantik?" tanya Cakka halus.
Banu malas terus berurusan dengan Cakka tidak ada gunanya. Ia pun merogoh saku celana sekolahnya mengambil dompet dan mengambil uang dua ratus ribu sesuai permintaan Cakka.
"Nih! Ini kan yang lo mau?!" Banu memberikan uang itu dengan kasar di tangan Cakka.
"Ayo, Kal."
Banu menuju motornya kemudian ia menuntun motor hingga keluar dari pekarangan rumah Andra.
"Yang tadi itu siapa sih? Nyebelin banget!" tanya Kala penasaran. Sebab ia tidak pernah melihat sosok itu.
"Dia itu, abang nya Andra."
"Ha?!" ucap Kala terkejut.
"Andra itu punya abang sekaligus adik perempuan. Nama abangnya Cakka dia lagi kuliah di luar kota jadi jarang buat ketemu sama Andra. Terus adik perempuannya namanya Cikka. Dia tinggal sama ibunya Andra."
"Ortu Andra udah cerai. Sebenarnya Andra waktu itu tinggal sama Ibunya juga. Tapi karena dia dianggap beban jadi, dia diminta tinggal sama Ayahnya."
"Tapi selama tinggal sama Ayahnya hidup Andra sama aja kalo kata gua. Gak ada bedanya waktu dia tinggal sama ibunya. Sama-sama kurang diperhatikan," jelas Banu.
Kala tak menjawab ia hanya mendengarkan cerita Banu. Sebab ia bingung harus menanggapi apa.
"Ya udah Kal. Gua kalo gitu pamit ya? Lo masuk gih ke dalam rumah."
"Oh iya. Aku nunggu kamu pulang."
"Engga. Masuk gih, baru gua pulang."
"Okey. Hati-hati di jalan ya."
Banu mengangguk dan tersenyum senyumannya pun di balas Kala. Selepas itu Kala masuk ke dalam rumah dan Banu pun segera melajukan motor untuk pulang ke rumah. Sebelum kembali ke rumah sakit.
***
Beberapa bulan telah berlalu semenjak awal Banu dan Kala bertemu. Pada akhirnya Banu pun bisa menghabiskan waktu bersama seseorang yang selama ini ia sukai secara diam-diam.
Seperti saat ini, rasanya Banu ingin menghentikan waktu. Agar kebersamaan antara dirinya dengan Kala bisa berlangsung lebih lama. Meskipun sekarang tidak ada percakapan yang berarti di antara mereka. Kala masih fokus dengan soal latihan untuk olimpiade sementara Banu, ia sibuk memperhatikan Kala. Baginya hanya Kala lah yang terlihat sangat menarik dipandang.
"Kalo yang ini gimana, Nu?"
"Nomor dua puluh tiga. Rumus angka kematian kasar apa, Nu. Lupa," ucap Kala yang masih fokus melihat soal-soal yang dianggap sulit.
"Nu?"
"Banu?!—"
Kala mendongak lantaran Banu tidak kunjung menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. Lantas Kala pun mendongak, ingin tahu apa yang menyebabkan Banu tidak kunjung menjawab pertanyaan nya. Pandangan Kala terkunci pada Banu yang saat itu sedang senyum-senyum menatapnya. Kala mengalihkan pandangannya. Ia menoleh ke arah belakang memastikan apakah ada seseorang yang sedang Banu sapa.
Kala berdecak sebal, lalu menggelengkan kepala. Menghela napas panjang. Kala mengerakkan lengan Banu.
"Banu?!!" Tapi tidak ada respon dari cowok itu. Ia masih tersenyum-senyum tidak jelas. Kala yang merasa takut lantas memberi sentilan di dahi Banu dengan keras.
Tak!
"Argh.." Banu pun akhirnya tersadar dari lamunannya. Ia meringis sakit sembari mengusap dahi nya yang disentil oleh Kala.
Banu mengerutkan keningnya. "Kok lo, jahat sih?!" ucap Banu yang merasa paling tersakiti.
"Ya abis kamu nakutin. Senyum-senyum sendiri. Mana perpus udah sepi lagi." protes Kala.
"Eee—" Banu menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal. Sembari tersenyum tipis.
Banu melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Sudah hampir satu jam mereka berkutat dengan soal-soal olimpiade bersama Kala.
"Em.."
"Kita pulang yuk? Udah sore." ajak Banu yang sudah bersiap untuk merapikan buku.
"Tapi—"
"Udah sore Kal. Belajar nya besok lagi. Emang lo gak dicariin nanti?"
"Oke deh. Kita pulang."
Kala hendak mengembalikan buku catatan milik Banu. Tapi belum sempat menaruh di depan Banu cowok itu sudah berkata, "Lo bawa aja buat belajar."
"Tapi, nanti kami gimana?"
Banu menggenggam tangan Kala yang masih memegang buku catatannya. "Gua bisa belajar dari buku paket."
"Oh, oke. Kalo butuh bilang ya, biar Kala balikin."
Banu menganggukkan kepalanya. Mereka pun merapikan buku masing-masing dan memasukkan nya ke dalam tas. Dan mengisi daftar pengunjung pada buku.
"Makasih bu, udah mau nungguin kita belajar. Maaf lama." ucap Banu penuh sopan seraya menyalami penjaga perpustakaan. Kala mengikuti apa yang Banu lakukan.