Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

Hari-hari bergulir, merangkai takdir yang berkelindan dalam kisah-kisah lain dalam hidup manusia. Jutaan orang mematuhi takdir mereka—hidup karena memang begitulah semestinya. Hidup sekadar hidup—menjalani rutinitas, pulang pada keluarga atau kesendirian, mengkhawatirkan masa depan, dan bertahan. Sebagian kecil yang telah menemukan makna sejati dari kehidupan, mungkin akan memandang hari-hari dengan sedikit berbeda. Menikmati hidup yang utuh di hari ini, menata masa depan tanpa banyak cemas yang tak perlu, meluangkan waktu untuk memberi perhatian pada diri sendiri yang telah berjuang keras. 

Seseorang tak akan bisa mencapai titik itu tanpa melalui rasa tak nyaman. Bagaimana berdamai dengan diri sendiri, menyembuhkan luka, atau memaafkan dengan tulus—membuat suguhan-suguhan takdir yang silih berganti tak terlalu banyak berpengaruh pada bahagia atau tidaknya mereka. 

Raina menjalani hari-hari dengan penuh kesibukan. Bagas, untuk satu dua bulan masih terus menguntitnya, tapi gadis itu tidak menghiraukan sama sekali. Lambat laun pemuda itu pun lelah sendiri, atau hanya tak tahan tidak punya pacar. Satu waktu, dia dengan sengaja menghampiri Raina di kantin kampus dengan seorang adik tingkat yang mengaku pacarnya. Raina, yang pada saat itu sebenarnya ingin sekali menyiram Bagas dengan es teh karena masih terus mengganggunya, mengurungkan niat. Dia hanya tersenyum sambil berkata, “Jangan selingkuh-selingkuh lagi, ya. Kasihan cewek kamu. Untung aku kuat sih, jadi nggak stres.” 

Kelakuan Raina sukses membuat Bagas dapat lirikan tajam dari pacar barunya. Gadis berlesung pipi itu—sambil terkikik—pamit dari hadapan mereka, yang kelihatan akan baku hantam setelah ini. Ada atau tidaknya Bagas sudah tidak ada pengaruhnya sama sekali baginya. Raina lega dengan itu semua.

Namun, ada satu hal yang membuat Raina lebih heran dibandingkan proses move on-nya dari Bagas yang begitu mulus. Hubungannya dan sang mama juga semakin membaik. Mama, siapa sangka benar-benar menepati ucapannya. Perempuan itu tak pernah lagi ikut campur persoalan Raina. Saat menelepon, dia tak lagi bertanya urusan pacar atau sudah sampai mana proses skripsi putrinya. Yang ada hanya perhatian-perhatian kecil, obrolan-obrolan ringan tentang cuaca, kabar terbaru di Hongkong, atau kawan-kawan mamanya sesama TKI yang sangat kompak. 

Raina tidak tahu sebelumnya bahwa ternyata dia menyukai hal-hal ringan seperti itu. Selama ini Mama tidak pernah terbuka padanya, apalagi menceritakan tentang dirinya. Kini, Raina sudah kenal lebih dari separuh teman-teman Mama, sesama pejuang devisa negara. Meski pelan, hubungan mereka berjalan ke arah yang lebih baik, lebih dekat, jauh dari sekadar transaksi kewajiban ibu-anak.

Si gadis berlesung pipi juga baru menyadari sesuatu setelah dia memutar sudut pandangnya dari sisi yang berbeda—Mama adalah perempuan hebat, pejuang yang gigih, hingga bisa membawa mereka sampai di titik ini. Tidak ada yang salah dengan Mama, seperti dulu dia selalu memandangnya. Raina kini memahami Mama hanyalah seorang perempuan yang sisi feminimnya terlukai. Dia mengharap bisa menjadi perempuan selayaknya perempuan, berakhir di tangan lelaki bertanggungjawab yang mampu membahagiakannya, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dia yang harus membanting tulang, menghidupi anaknya, sekuat mungkin dalam mode bertahan. 

Perempuan mana yang ingin seperti itu? Yang siap dengan semua itu? Rasa bangga pada sang mama tumbuh di hati Raina. Kini, dia memasuki rumah mereka dengan senang hati—tak memandang bangunan itu sebagai rumah tanpa kehidupan lagi. Karena dia tahu itulah bukti kehidupan Mama—kerja keras tanpa jeda perempuan itu untuknya. Dia juga tak berkeberatan lagi dijadikan mamanya sebagai trofi pencapaian. Setelah dipikir-pikir, Mama berhak melakukannya—sebagai bentuk rasa bangga pada diri sendiri. Dan memang sudah semestinya Mama bangga pada dirinya sendiri. Dari sang mama Raina menyadari, menggantungkan tanggung jawab untuk membahagiakan diri sendiri pada orang lain adalah kesalahan.

Atas dasar rasa terima kasih dan bangga pada sang Mama, di hari ulang tahun perempuan itu, Raina membuat video kompilasi yang dia ambil dari status-status media sosial Mama dan potret-potret yang diam-diam dia bidikkan saat Mama pulang. Di akhir video berlatar musik piano yang menyentuh hati itu, Raina membubuhkan kalimat yang dia dapat dari salah satu akun instagram seorang penulis.

Atas segala hal yang telah Kehidupan berikan, terima kasih sudah memilih menjalaninya dengan baik.

*

Alya tak menyangka perubahan sikap Ayah akan membuat hidupnya ikut berubah drastis. Bukan tiba-tiba Andre atau Sandra bertekuk lutut dan minta maaf padanya, tentu saja, mereka malah semakin gencar menyerang Alya dari berbagai sisi. Hanya, Alya merasa itu tak penting lagi. Dia bisa bersikap tak peduli pada mereka, pada cibiran sinis teman-teman terhadapnya. Dia bisa merasa baik-baik saja di tengah itu semua, sungguh membuatnya takjub sendiri.

Andre dan Sandra, juga ledekan terhadapnya, sudah tidak mempengaruhinya lagi. Hati Alya terasa penuh sekarang. Jiwanya bukan lagi jiwa kosong yang haus validasi dan selalu merasa kalah karena dibanding-bandingkan. Selama ini, rupanya, lubang menganga di hati Alya hanya perlu diisi dengan penerimaan dari sang Ayah.

Ayah bukan berarti berubah seratus persen. Lelaki itu masih jarang bicara, masih tersisa sikap dingin dan kakunya. Namun, Ayah tak pernah lagi marah-marah pada Alya hanya karena satu atau dua kesalahan. Kesalahan fatalnya kemarin tidak pernah Ayah ungkit-ungkit lagi—baginya, Alya sudah mendapat hukuman skors, artinya sudah. Selesai.

Mereka, Ayah dan Ibu, Alya lihat mulai akur lagi setelah sekian lama hanya saling menyendiri dan berinteraksi sekadarnya saja. Sekarang, mereka sudah duduk-duduk lagi di teras, mengobrol, sesekali tertawa, hal yang hilang sejak meninggalnya Abram. Hati Alya menghangat melihat orangtuanya sudah kembali normal

Luka kehilangan itu tentu belum sembuh sepenuhnya, Alya pikir tak akan bisa sembuh sepenuhnya. Di hati Alya sendiri ada sudut kosong, yang dulu adalah tempat Abram—posisi Kakak Idola. Namun, sekarang mereka bisa membawa nama Abram ke meja makan dengan ringan, obrolan tentang sang kebanggaan itu bergulir—yang Alya heran, tanpa menimbulkan kesedihan. Mereka bisa mengenang Abram dengan suka cita, seolah dia hanya sedang pergi ke Yogyakarta. Bahkan, Ibu sudah bisa kembali memasak sup ceker kesukaan Abram saat rasa kangen pada putranya sedang membuncah. 

Alya tentu saja kaget sewaktu mendapati menu yang nyaris musnah selama dua tahun itu, ada lagi di meja makan. Ayah apalagi. Semula Ayah enggan menyendok sayuran yang membangkitkan segala harapan akan putranya, tapi Ibu memaksa. Mereka makan dengan khidmat, mengunyah pelan sembari menahan air mata, dan menelannya susah payah, tapi itu berhasil. Sup ceker kesukaan Abram membantu mereka berdamai dengan keadaan, seolah mengatakan—ya, kamu sudah boleh pergi, Abram.

 Hari berganti. Musim berganti. Satu semester terlewati lagi. Alya, seperti biasa, meraih peringkat gemilang. Sekarang dia ada di tahun terakhir SMA, yang dia sebut sebagai babak final. Gadis bertahi lalat itu mengencangkan sabuk. Belajar lebih giat. Ikut les lebih giat.

Skandalnya dengan Andre sudah jadi cerita usang, redup dengan sendirinya tanpa perlu usaha Alya. Sandra apalagi, Alya sudah tidak mau mengenalnya, terlebih karena gadis itu sudah lulus dari SMA. Dengar-dengar, Sandra berhasil masuk fakultas kedokteran di kampus swasta ibukota. Alya tidak peduli dan tidak punya waktu. Dia sibuk dengan urusannya sendiri, dengan cita-citanya sendiri.

Semula, dia mengincar UGM yang digadang punya jurusan geografi terbaik di nusantara, sekaligus ingin napak tilas jejak sang kakak. Namun, dorongan Ayah mengubah arahnya. Dia tidak mau terkekang di sini, apalagi di UGM, tempat sang kakak pernah ada di mana-mana di sana. Membayangkan mungkin saja dia duduk di tempat Abram pernah duduk untuk menimba ilmu dan berakhir tragis, membuatnya mual. Alya tahu tidak akan dapat mengenang kakaknya dengan baik di sana. Tempat itu merenggut kakaknya, secara tidak langsung. 

Jadi, gadis itu berubah haluan, mengucapkan selamat tinggal pada kampus-kampus bergengsi dalam negeri. Dia sudah bertekad akan melanglang buana menjelajahi dunia, pas dengan ilmu yang digelutinya.

*

Sebuah awal tidak harus dimulai dengan sesuatu yang besar. Kadang, hal-hal sederhana seperti mesin jahit bekas juga bisa mengubah denyut kehidupan. Keluarga Sofi mengakrabi kemiskinan sejak kali pertama beregenerasi. Di rumah mereka yang sempit dengan banyaknya anggota, deru mesin jahit itu benar-benar terdengar seperti harapan baru.

Setiap hari Ibu mengerjakan sanggan dari pabrik batik yang memang tak jauh dari sana. Ibu menjahit daster berkodi-kodi, tapi senyum wanita itu tak pernah hilang. Dia bilang, itu adalah pekerjaan terbaiknya sepanjang hidup. Dia punya kendali atas waktunya, juga bisa sambil mengawasi anak-anak. Tak perlu keluar rumah, tak perlu menerima tatapan tak menyenangkan dari tetangga yang menggunakan jasanya.

Padahal, menurut Sofi, pekerjaan Ibu tidak mudah sama sekali. Saat dia libur, dia melihat Ibu yang sedang menjahit selalu dirusuhi adik-adiknya yang masih kecil. Yang satu minta disuapi, yang satu minta diceboki, di sisi sana bertengkar dan menjerit-jerit. Sofi selalu turun tangan menggantikan Ibu menjahit, karena mengurusi balita bukan keahliannya. Dari Ibu, Sofi sedikit-sedikit belajar menjahit. Adiknya yang masih SMP juga ikut belajar. 

Tiga bulan setelah mesin jahit bekas Pak Sup menemani Ibu, Sofi menghadiahkan satu lagi mesin jahit bekas yang lebih layak. Adiknya merengek-rengek minta dibelikan, untuk dipakai menjahit sepulang sekolah, katanya. Dia ingin cepat-cepat bisa mencari uang. Setelah berdiskusi dan adiknya janji kegiatan itu tidak akan mengganggu sekolahnya, Sofi mengupayakan. Semua orang senang. Ibu bisa mengambil sanggan lebih banyak lagi.

Keadaan banyak berubah. Tampaknya takdir sedang mencurahkan kebaikannya untuk keluarga besar ini. Bapak, atas pengalamannya yang cukup lama di pabrik sebelumnya, diterima menjadi satpam di pabrik sepatu yang baru berdiri. Itu saja sudah sangat membantu Sofi. Dia semakin semangat bekerja, tak pernah memakai gajinya selain untuk keperluan yang benar-benar penting. Semua ditabung.

Meski, tak bisa Sofi pungkiri, rasa sakit dan trauma karena Ifan masih sering dirasakannya, apalagi jika dia sedang lelah atau tidak sengaja bertemu Ifan. Biar bagaimanapun, mereka masih satu kota. Tidak diteror pemuda itu saja rasanya sudah beruntung bagi Sofi, walau kekerasan yang dilakukan Ifan masih sering membayanginya dalam mimpi-mimpi buruk.

Kasak-kusuk tetangga yang sempat meledak heboh lantaran Sofi tidak jadi menikah dengan putra juragan sawah, meretih dengan sendirinya. Bapak, menahan malu, berusaha memperbaiki keadaan dengan membeberkan perilaku kurang ajar Ifan. Pengakuan Bapak itu membuat banyak orang bersimpati pada keluarga mereka, menyayangkan betapa Sofi yang cantik bak aktris tak sepatutnya diperlakukan demikian. Bapak merasa menang. Bertarung di depan pihak berwenang, di pengadilan, mungkin mereka kalah. Tapi, di ranah sosial yang penuh penghakiman kejam, Bapak memenangkan pertarungan.

Atas informasi dari Raina, Sofi jadi tahu bahwa sekarang di puskesmas sudah ada psikolog, termasuk di kota kecil mereka. Awalnya Sofi ragu, dia terlalu malu untuk mendatangi orang asing dan membuka segala hal tentang dirinya yang baginya adalah aib. Namun, Raina terus mendorong. Jika ingin sembuh dari luka batin, Sofi melakukannya. Akhirnya, Sofi menurut. Raina sendiri yang pertama mengantarnya ke puskesmas, memastikan Sofi benar-benar menemui psikolog.

Gadis berambut ombak itu sangat berterimakasih atas kebaikan Raina. Sesi-sesi dengan psikolog puskesmas berjalan lancar baginya—satu bulan sekali. Sofi memang tidak punya BPJS, tapi ternyata biaya untuk konsultasi sangat terjangkau. Psikolognya meminta gadis itu untuk tidak menyangkal perasaannya, menerima semua, dan menuliskan apa yang dia rasakan. Tiga bulan berjalan, Sofi sudah menghabiskan dua buku tulis yang penuh dengan catatan isi hatinya. Sofi sungguh tak tahu ternyata menulis bisa mengangkat beban hati sebanyak itu. Pelan tapi pasti, Sofi berdamai dengan dirinya sendiri.

Detik jam terus berjalan. Pekerjaan Sofi di D’Sunset Coffe lancar. Sebagai karyawan yang sudah lama bekerja di sana, dia mendapat promosi pertamanya. Kini, dia adalah kepala bagian pelayanan atau co-supervisor. Jabatan barunya itu, selain memberinya gaji yang lebih tinggi dibanding sebelumnya, juga membuat dia lebih dekat dengan Krisna. Sofi bisa menangkap perhatian-perhatian kecil Krisna padanya, tapi dia tidak mempedulikan hal itu. Selain karena dia belum bisa membuka hatinya untuk orang lain, Sofi juga punya urusan yang jauh lebih penting.

Kuliah. Setelah menabung susah payah, ditambah sedikit uang dari Bapak, akhirnya Sofi mendaftar kuliah. Di kota kecil itu ada Universitas Terbuka yang fleksibel jam kuliahnya, sehingga Sofi masih tetap bisa bekerja di kafe. 

Kali pertama Sofi menginjakkan kaki di gedung universitas yang tak seberapa dibanding bayangannya tentang universitas, Sofi gemetar. Jantungnya berpacu. Dia tidak percaya bisa sampai di sini. Sofi baru tahu, kehidupan bisa terasa begitu indah. Setelah semua yang dia lewati—rasa sakit, trauma, kehilangan harga diri—Tuhan menyiapkan ini! Gadis cantik itu menyusut air mata yang lolos, sembari menggumamkan mantra yang diajarkan oleh psikolognya. Nggak apa-apa, ya, Tuhan, aku terima semuanya. Terima kasih.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Andai Kita Bicara
571      456     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
My First love Is Dad Dead
52      49     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
FAYENA (Menentukan Takdir)
356      261     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
63      55     1     
True Story
Seharusnya Aku Yang Menyerah
114      98     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Smitten Ghost
181      148     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Perjalanan yang Takkan Usai
344      288     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
YANG PERNAH HILANG
1365      557     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
My Private Driver Is My Ex
380      249     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Tanda Tangan Takdir
157      133     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...