Waktu bergulir. Menyudahi eksistensi satu generasi pada awal mula generasi lainnya. Terus menjadi saksi antara satu metamorfosis ke metamorfosis lainnya. Waktu berjalan, yang kata orang-orang bilang, bisa menyembuhkan segalanya. Mampu mengubah semua. Waktu terus maju, mengajak setiap penumpangnya untuk maju juga, menatap ke arah masa depan, sembari menatanya dari sekarang.
Namun, Ayah tidak begitu. Dia tetap tinggal di masa lalu. Detak detik jam memang berputar cepat, tapi baginya, waktunya seolah sudah berhenti. Dia tak mampu beranjak dari sana, tempatnya menjadi seorang ayah dari dua putra-putri. Terutama Abram, putranya yang membanggakan.
Rasa haru yang dia rasakan saat pertama menggendong bayi merah yang tampan itu, mengazaninya dengan bibir bergetar, masih melekat di benak dan hatinya. Seperti baru kemarin, begitu selalu dia pikir. Kemudian waktu melesat. Bayi kecil itu tiba-tiba saja sudah bisa berlarian, melempar semua barang-barang. Dia selalu menyempatkan diri mengajak balita itu ke tanah lapang setiap pagi, menemaninya lari-lari atau hanya duduk-duduk di rerumputan basah.
Saat anak lelakinya pertama masuk TK, berseragam, bukan istrinya yang menangis. Tapi dia. Sambil memotret Abram yang sudah gatal ingin segera lari—tidak bisa diam, air matanya menitik. Tahun-tahun berikutnya, saat Abram menunjukkan hal-hal luar biasa melampaui anak-anak seusianya, Ayah dipenuhi harapan dan obsesi. Dia, antara rasa bangga yang tidak bisa disembunyikan, haru, penuh semangat, mulai bangkit dari kekecewaan yang selama itu membelenggu.
Aku melahirkan seorang jenius, pikirnya. Sudah pasti dia akan giat bekerja, meski apa yang dia hadapi sekarang—murid-murid SMA—jauh dari angannya. Tapi, anak jenius itu butuh fasilitas yang layak agar bisa melesat tinggi. Setelah lima tahun selalu melewatkan ikut tes pegawai negeri, akhirnya dia bertekad bulat. Tak butuh berkali-kali percobaan, dia lolos dengan mulus. Sebengkok sawah warisan yang selama ini diabaikan, juga mulai dia urus. Dalam hati, dia berjanji akan membawa Abram ke arah mimpi-mimpinya yang dulu terbengkalai.
Menjadi orang pintar di zamannya tumbuh besar bukanlah hal yang membanggakan. Di kota kecil itu—yang dulu bahkan belum disebut kota—hanya Ayah yang berkuliah. Semua orang menatapnya dengan aneh, termasuk bapak ibunya. Bagi mereka, menjalani hidup normal sudahlah cukup—mengurus sawah, menggembala kambing, berdagang. Sekolah dan jadi orang hanya untuk orang-orang kaya, bukan mereka.
Ayah menentang keyakinan itu. Dia ingin sekali pergi dari kota kecil ini. Setelah berkelit dan negosiasi alot—sampai menurunkan cita-citanya masuk jurusan arsitektur ke matematika murni—barulah bapaknya mengizinkannya kuliah ke luar kota. Harapan Mukhlas muda membumbung tinggi. Dia melihat kehidupan baru yang pas baginya, menurutnya—sekumpulan mahasiswa yang serius belajar, dosen-dosen intelek. Pemandangan itu sungguh menyenangkan.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menarik hati sebagian besar dosen. Dia dikenal sebagai pemuda cemerlang dari kota kecil dengan mimpi besar. Mukhlas, entah gen mana yang menurunkan kecerdasan itu padanya, tapi dia memang jenius. Di tahun kedua, dia sudah dipercaya menjadi asisten dosen besar. Semua berjalan mulus, mudah, seolah dunia merestuinya.
Hingga tibalah dia di tahun terakhir. Kesempatan itu terbuka lebar untuknya—beasiswa kuliah lanjutan ke luar negeri, berkesempatan menjadi ilmuwan magang di salah satu labnya yang terkenal. Kampus mempunyai dua calon kandidat—hanya satu orang yang akan berangkat— dia dan salah satu teman yang juga sama jeniusnya. Mereka bersaing sehat, melakukan penelitian-penelitian. Di final, Mukhlas bersorak karena kesempatan luar biasa itu jatuh padanya.
Dia pulang dengan membawa sebongkah besar harapan dan kebanggaan bagi orangtuanya. Dia orang pertama dari kota kecil itu, dari kabupaten yang menaunginya, yang akan menempuh pendidikan ke luar negeri. Mukhlas terus membayangkan betapa bapak, ibu, dan saudara-saudaranya akan tersenyum bangga. Tak hanya untuk keluarga, dia akan menjadi kebanggaan satu kota!
Namun, kadang-kadang malang tak dapat ditentang, mujur tak bisa dipungut. Bapaknya sedang sakit keras. Alih-alih memberi restu, apalagi bangga, pria tua itu menentang keras keputusan Mukhlas. Sekolah di luar negeri? Baginya, itu sungguh hal yang terlalu berlebihan, tak teraba, tak terbayangkan.
Ibunya ikut memohon. “Kita punya sawah luas, mau apa jauh-jauh ke luar negeri?” ucap perempuan itu. Dia bersikeras menyuruh Mukhlas untuk ikut menggarap sawah alih-alih meneruskan sekolahnya.
Semudah itu, impian yang dibangun Mukhlas muda dipatahkan. Dia terus meratapi nasib, menjelma jadi sosok pendidik yang kaku dan keras lantaran rasa frustrasinya. Hatinya tidak pernah ada untuk pekerjaannya sekarang. Benaknya masih terus berandai-andai. Jika saja dulu dia punya keberanian untuk minggat saja sekalian, mungkin sambil membawa emas milik Ibu atau malah menjual sawah bapaknya untuk pergi ke luar negeri.
Sampai datanglah Abram. Harapan barunya. Dia pikir Abram adalah jawaban atas kesalahan takdir yang pernah menyapanya. Sejak kecil, Abram sudah dijejali dengan mimpi-mimpinya—membuat bocah itu takjub, juga giat sekali belajar. Mendapati gayungnya bersambut, Ayah semakin gencar. Abram tidak bersekolah di SMP dan SMA di kota kecil itu, melainkan ke kota sebelah, di sekolah yang jauh lebih bagus. Di sana, bahkan Abram bisa mengikuti kelas akselerasi.
Semua berjalan sesuai rencana, pikir Mukhlas. Mudah sekali bagi Abram masuk jurusan arsitektur—jurusan yang dulu dia impikan setiap malam—di salah satu universitas paling bersinar di nusantara. Dia memfasilitasi semuanya—kost terbaik, perangkat laptop terbaik, motor agar anaknya mudah ke mana-mana.
Abram juga sudah punya rencana. Arsitek memang tujuannya, tapi dia tidak mau berhenti di situ. Sejak semester empat, dia sudah rajin mencari info beasiswa S2 ke luar negeri, seperti cita-cita ayahnya dulu. Tak pelak, Ayah, ke mana pun dia pergi, dengan siapa pun dia bicara, selalu membawa-bawa nama Abram sebagai topik pembahasan. Semua orang tahu, Abram adalah kebanggaan pria itu, lebih berharga dari apa pun di dunia.
Namun, Mukhlas sepertinya lupa—seseorang akan diuji dengan hal-hal yang paling dicintainya. Dua tahun lalu, begitu saja, kabar itu bagai taufan yang memporak-porandakan semua. Abram kecelakaan, tabrak lari, tewas di tempat seketika. Mukhlas terperenyak dalam keheningan. Kehampaan hatinya yang tiba-tiba menganga demikian lebar, seolah mengisapnya dalam kubangan pusaran kesedihan yang begitu kuat.
Dia tidak bisa lepas dari sana. Saat tubuh Abram dimakamkan dua meter jauhnya di bawah tanah, dengan kondisi mengenaskan—hal terakhir yang selalu dia ingat dari putranya—hidup Mukhlas ikut terkubur. Tiada pernah ada kepedihan yang bisa menandingi ini dalam kehidupan manusia mana pun.
*
“Jangan keterlaluan sama Alya, Mas.” Perempuan berparas kalem itu membawakan secangkir kopi untuk Mukhlas yang belum juga beranjak dari teras. Rembulan terlihat bulat sempurna, langit bersih dan bintang bertebaran. Suara burung hantu ber-uhu-uhu di kejauhan, tengah berpesta dengan tikus gemuk di cengkeraman.
Mukhlas tetap mematung. Selama ini, dia memang tidak terlalu peduli pada anak perempuannya. Enam tahun setelah kelahiran Abram, Alya terlahir juga ke dunia. Namun, saat itu fokusnya sudah terserap hanya pada Abram. Apalagi, Alya perempuan, yang dia pikir tak akan bisa sejenius Abram.
Lelaki itu mengakui, dia membesarkan Alya sambil lalu saja. Semua waktu dan pikirannya hanya tersita untuk Abram seorang. Setelah Alya semakin besar dan menunjukkan ketertarikan yang sangat berkebalikan dengannya, dengan kakaknya, semakin jauh dia meninggalkan gadis itu.
“Kalau saja kamu dengar gimana tetangga-tetangga membicarakan anak perempuanmu.” Marni berkata lagi. Amarahnya yang tadi menggumpal di dada sudah terurai. “Bagaimana bisa kamu nggak bangga sama dia, Mas?”
Mukhlas menyeruput kopinya, menatap sang istri lekat-lekat. “Di-dia—”
“Tidak bisa jadi arsitek?” Marni memotong.
Tak ada jawaban. Hanya jeda panjang diiringi derik jangkrik dari rimbun pepohonan.
“Yang kepengin jadi arsitek kan kamu sama Abram, Mas. Apa hanya karena Alya punya mimpinya sendiri, itu artinya dia bersalah?”
“Bukan begitu, Mar—”
“Tapi kamu memperlakukannya seperti itu, Mas. Seolah-olah dia melakukan kesalahan besar.”
Mukhlas mengesah, lalu memijat keningnya yang terasa berdenyut. Entah kenapa, segumpal penyesalan muncul di hatinya.
“Aku cuma mendidiknya biar dia nurut, jadi orang. Aku juga memperlakukan Abram demikian. Nggak ada yang tak beda-bedakan.” Lelaki itu bahkan menyadari dirinya sedang berdusta.
“Kurang nurut apa dia, Mas? Pernah kamu lihat dia joget-joget Tiktok seperti semua anak seusianya? Kerjaannya cuma belajar.”
Mukhlas menelan ludah susah payah. Dia tahu benar itu. Namun, entah, untuk mengakuinya terasa susah. Apalagi sejak Abram tiada, rasa kecewanya pada Alya semakin dalam. Dan puncaknya adalah ini. Anak perempuannya melakukan hal yang tidak pernah dia bayangkan.
“Anak perempuan kita juara olimpiade geografi! Mau cari di mana yang seperti itu? Buka matamu, Mas.” Marni mengusap bahu suaminya, dengan air mata yang mulai menitik.
Dia tahu suaminya begitu terluka karena kepergian Abram. Tapi dia juga. Tak ada yang mampu menandingi luka seorang ibu yang kehilangan anaknya. Namun, Marni sadar suaminya sangat terlarut dalam kubangan kepedihan. Mukhlas jadi sosok yang berbeda. Lebih dingin, lebih kaku. Satu hal yang sangat Marni sesalkan, suaminya melampiaskan itu semua pada putri mereka.
“Bukan cuma kamu yang kehilangan Abram.” Marni mendesah. Setiap sudut rumah ini selalu mengingatkannya pada sang putra. Dia juga terbelit kenangan yang susah dilepas. “Dan mungkin Alya tumbuh jauh dari yang kamu harapkan. Tapi bukan berarti kamu bisa menjadikan dia pelampiasan lukamu, Mas.”
Mukhlas menatap sang istri. Suara Marni yang bergetar telak mengenai relung hatinya.
“Lepaskan Abram …” Tangis Marni tumpah. “Dan hiduplah untuk putrimu.”
Entah suasana yang begitu tenang, entah tangisan istrinya yang menyayat, atau memang hatinya yang baru saja terketuk, tapi Mukhlas bisa merasakan benteng kokoh yang selama ini dibangunnya, mengurung setiap harapan dan kenangan tentang Abram, roboh. Lelaki itu menangis, jauh lebih hebat dibanding saat melihat jasad sang putra berkalang tanah.[]