Sebagian orang hidup dari waktu ke waktu berdasarkan kebiasaan. Apa yang turun temurun dilihat, dialami, itulah yang menjadi pondasi, membentuk pola pikir, juga dasar dalam setiap pengambilan keputusan. Bapak Sofi, Muto, salah satunya. Lahir dan tumbuh di lingkungan di bawah garis tengah memberinya sedikit banyak gambaran hidup—bahwa hidup itu keras, susah, dan nasib baik tidak hinggap pada orang-orang seperti dirinya.
Dia hanya lulusan SD. Hidup di rumah sempit di jalur pantai yang sumpek, bau amis menggantung di udara, juga delapan saudara yang entah bagaimana meski keluarga mereka sangat pas-pasan, hidup semua. Setiap kali ibunya melahirkan adik baginya, bapaknya selalu bilang, “Banyak anak banyak rezeki, Le. Anak itu bawa rezekinya sendiri-sendiri.”
Muto mengaminkan, meski yang dilihat di depan mata adalah adik-adiknya yang kurus kering, kekurangan gizi, sama sepertinya. Akan tetapi, seiring berjalan waktu, begitu anak-anak kurang gizi ini tumbuh, barulah Muto mengerti maksud sang bapak. Anak membawa rezekinya sendiri, benar, karena setelah menginjak umur tujuh atau delapan, mereka bisa bekerja. Mencari teripang, ikut kapal nelayan, atau sekadar membantu menjual ikan di pasar. Muto tahu bapaknya benar. Dia dan adik-adiknya mulai menghasilkan uang untuk orangtua mereka.
Jadi, itulah yang dia tanamkan ketika dia mulai membangun keluarga di usia yang sangat belia. Gadis Belanda, begitu orang-orang menyebutnya. Minah. Kecantikan yang tersasar di sudut kota kecil, tersia-siakan oleh kemiskinan. Mereka bertemu saat sama-sama mencari teripang. Rambut gadis itu panjang, kusut dan bau apak karena seharian terpapar matahari, tapi tak juga mengurangi kecantikannya. Iris matanya kecokelatan, hidungnya mancung dan bengkok, dagu membentuk huruf V sempurna, lancip dengan sedikit belahan di tengahnya. Dari pandangan pertama, Muto tak mampu mengalihkan mata.
Pendekatan itu terjadi secara instingtif dan begitu alami. Tahu bahwa rupa dan hartanya tak seberapa—serta yakin saingannya banyak—dia mencari cara yang lebih manis untuk memikat hati gadis itu. Setiap malam, saat adik-adiknya sudah tidur berjejer-jejer seperti ikan pindang, dia mulai bekerja. Tangan cekatan menyusun cangkang kerang yang sedari pagi dikumpulkannya, menjadi sebuah kalung. Lain waktu, jadi pula sebuah mahkota. Esok harinya, dengan dada berdentam-dentam seperti hendak loncat dari rongga, dia memberanikan diri mendekati Minah. Hanya menyerahkan rangkaian kalung itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan berlalu begitu saja.
Sampai, entah sudah kali keberapa, Minah dengan dua matanya yang lebar dan berbinar, menatapnya tanpa kedip sambil berkata. “Leherku cuma satu. Mau kupakai di mana lagi kalung-kalung ini?” Tangannya meraba kalung pemberian Muto yang melingkari lehernya yang putih dan jenjang.
Muto tertawa. Mereka berdua tertawa. Begitu saja, hubungan itu terjalin. Jamak, pada saat itu, ketika seorang laki-laki dan perempuan yang sudah baligh terlihat dekat, hukumannya adalah harus segera dinikahkan. Dan pernikahan sederhana pun terjadi. Muto, dengan bangga dan penuh kemenangan, memamerkan Minah sebagai istri pada pemuda-pemuda lain yang patah hati.
Minah tidak tinggal di lingkungan tepi pantai yang kumuh. Masih dalam satu lingkaran kemiskinan, hanya masih lebih mending dibanding tempat tinggal Muto. Dia juga punya beberapa saudara, lima, tapi berbanding terbalik dengan keluarga Muto yang tumbuh hidup, saudara Minah tinggal satu orang. Bapaknya sakit-sakitan, ibunya jadi tulang punggung. Dengan keadaan seperti itu, Muto dan Minah akhirnya tinggal di rumah Minah. Muto, melamar jadi buruh pabrik dekat sana, begitu pula istrinya.
Hari-hari berlalu penuh kebahagiaan bagi pasangan suami istri muda itu. Kurang harta bukan berarti tidak bisa tertawa dan saling membahagiakan, bukan? Tak masalah makan ikan asin setiap hari, pikir Muto, yang penting makannya bersama orang yang dia cintai. Satu tahun bergulir, dan hal ilmiah yang menjadi tujuan penyatuan dua insan itu terjadi. Minah hamil.
Muto, di antara sedikit bahagia yang pernah dia cecap, merasa bahwa ini adalah jenis kebahagiaan yang berbeda. Dia akan punya anak. Seperti kata bapaknya, berarti rezekinya akan bertambah. Tentu saja dia menyambut rezeki itu dengan suka cita.
Sembilan bulan kurang, Minah merasa perutnya kencang-kencang. Dukun beranak dipanggil. Muto, menunggui istrinya yang berjuang hidup-mati dengan banyak doa. Saat kemudian kepala si bayi terlihat dan sang dukun menariknya, dia baru bisa bernapas lega.
“To, anakmu ini bayi pesisir paling cantik yang pernah kulihat,” ucap sang dukun sambil mengunyah sirih. Hati Muto melambung. Dia tidak salah memilih istri.
Minah harus mengurus bayi Sofi. Muto menganjurkannya berhenti bekerja, karena toh dia sudah punya rezeki yang lain. “Jangan khawatir,” katanya. “Saat Sofi besar nanti, dia akan bawa banyak rezeki buat kita.”
Kemudian, pikiran itu mengendalikan tingkah laku Muto. Dia melarang Minah ikut program KB yang gencar digalakkan oleh bidan desa dalam penyuluhan-penyuluhan. Saat Sofi belum usai disapih, Minah sudah hamil lagi. Begitu seterusnya, sampai Sofi punya lima orang adik. Muto bersorak. Dia tahu, semua hanya payah di awal. Layaknya menernak hewan, dia harus merawat putra-putrinya dengan maksimal, untuk ketika mereka besar bisa diperah dan menghasilkan uang. Rezeki.
Begitulah. Ketika Sofi beranjak remaja, menjelma jadi sekuntum kembang kota yang teramat cantik dan harumnya, Muto sudah punya peta rencana. Dia tahu Sofi bisa menjadi sesuatu yang lebih untuknya, untuk keluarga mereka. Pria itu sangat menjaga Sofi, menghalau setiap pemuda tidak jelas yang berusaha mendekati putrinya. Sofi, baginya adalah panen. Panen melimpah jika dia bisa menemukan pemuda dari keluarga yang tepat.
Sampai covid melanda. Pabrik memecat buruh rendahan sepertinya. Muto gelap mata karena tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Dia berutang ke sana kemari pada rentenir. Tak ada jalan lain. Utang itu terus menumpuk, sementara dia dan Minah pontang-panting bekerja serabutan. Dibantu Sofi dan satu adiknya yang juga sudah bekerja, kebutuhan mereka tetap tak tercukupi.
Hingga datanglah Ifan. Akhirnya, batin Muto. Akhirnya dia akan panen. Tanpa berpikir panjang, dia memaksa Sofi menerima apa yang diinginkan pemuda itu.
“Kamu bisa hidup enak. Ifan anak Pak Haji Mukri, juragan sawah. Tahu kamu, Sof?” Begitu ucapnya saat Sofi menolak perjodohan tersebut. “Kamu harus bantu keluarga. Adik-adikmu butuh biaya buat sekolah. Utang Bapak juga banyak. Bisa-bisa rumah ini diminta rentenir kalau kamu nolak lamaran Ifan.”
Muto tahu Sofi tidak akan bisa menolak dalih itu. Putri sulungnya adalah gadis yang lembut, ceria, dan penurut. Dia juga sangat menyayangi adik-adiknya. Menjadikan adik-adik sebagai alasan dan motivasi akan memantapkan hati Sofi. Benar saja, Sofi akhirnya mengangguk. Meski, Muto tahu ada sorot kepedihan di mata sang putri. Dia tahu mimpi besar Sofi, yang diceritakan Minah. Putrinya ingin kuliah. Namun, Muto juga tahu, sedari dulu, hal-hal seperti itu bukan untuk golongan mereka.
*
"Selama ini kita salah, Pak.” Minah angkat bicara. Malam setelah acara ribut-ribut di ruang tamu tadi antara keluarga mereka dengan Ifan dan Haji Mukri terasa membebani. Rumah sempit mereka semakin sesak saja. Telak, hal itu membuat dia dan suaminya susah memejamkan mata.
Muto mengembuskan napas berat. Di pelupuk matanya, wajah Sofi yang babak belur tak mau hilang. Putri yang dijaganya sangat hati-hati karena tahu akan jadi asetnya kelak, dihajar oleh pemuda yang dia percayai akan jadi pendampingnya. Rasa bersalah seolah menindih dada. Tanpa perlu istrinya katakan, dia juga tahu dia salah besar. Meski bodoh dan miskin, dia tidak pernah mengenal kekerasan. Bapak ibunya adalah gambaran keluarga besar yang miskin, tapi tidak semena-mena pada anak-anak mereka. Sekali lagi, mereka meyakini anak-anak adalah rezeki, aset.
“Cari kerjaan yang mending, Pak. Jangan bebani Sofi lagi.” Bibir Minah bergetar. “Dia sudah menderita sekali.”
Keheningan menjadi jeda. Di kasur kapuk lapuk di bawah dipan, ketiga adik Sofi tidur berjejer.
“Kita laporkan Ifan ke polisi saja?” Kalimat itu lolos dari mulut Muto, hasil pemikiran panjang.
Minah ternganga mendengarnya. Berurusan dengan petugas berseragam seperti itu tidak pernah terlintas dalam bayangan. “Ba-bagaimana caranya, Pak?” Di sisi lain hatinya, Sofi harus mendapat keadilan.
Muto mengesah putus asa. Dia sendiri tidak yakin tahu bagaimana caranya, apalagi yang akan dilaporkan adalah Ifan, anak juragan sawah. Dia kerap mendengar aparat berseragam itu hanya bekerja untuk orang yang punya banyak uang.
“Kita lapor Pak RT dulu mungkin, biar dia bantu.”
Minah mengangguk. “Iya, Pak. Ifan harus dapat hukuman setimpal.”
Muto memijat keningnya yang berdenyut. Sekarang dia sibuk berpikir bagaimana cara mencicil utangnya yang masih banyak, juga nasib Sofi. Putri sulungnya ternodai, lantas bagaimana masa depannya? Masa depan mereka? Rasa bersalah kembali menyeruak karena kekhawatiran tentang Sofi yang mungkin tidak akan bisa membawa keluarga mereka ke arah berbeda, muncul.
Rasa tamak dan tidak puas Muto sebagai manusia benar-benar diuji saat Ifan melamar putrinya. Dia, bosan hidup susah, sudah bermimpi tinggi akan jadi orang kaya baru. Ke mana-mana, di pos ronda, di pasar, di bengkel, sudah digembar-gemborkannya perihal Sofi yang akan menikah dengan anak Pak Haji Mukri. Semua orang memandangnya takjub, tidak heran kalau putrinya bisa menggaet anak Pak Haji. Sofi memang cantik bukan main.
Lantas, sekarang, mau ditaruh mana wajahnya? Menyadari kehidupannya tidak akan berubah, kekecewaan menghantam hatinya. Kecewa dan merasa salah. Sebagai seorang bapak, tentu dia tidak mau menyerahkan putrinya pada lelaki temperamen seperti Ifan. Tapi, sebagai manusia yang dikuasai nafsu, rasa sesal melepas calon mantunya yang kaya juga ada.
“Anak memang membawa rezekinya sendiri-sendiri, Pak.” Suara Minah memecahkan lamunan Muto. “Tapi mungkin maksudnya bukan seperti ini. Bukan menjadikan mereka sapi perah.”
Laki-laki itu menoleh. Bahasa istrinya membuat dia berjengit. Sapi perah.
“Mungkin kita sebagai orangtua yang harus mengupayakannya. Niat mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan anak-anak agar mereka tumbuh dengan baik.” Minah menggenggam tangan sang suami. “Kalau niat kita begitu, mungkin gusti Allah akan buka pintu rezeki dari banyak jalan. Rezeki mereka, datang karena usaha kita.”
Muto mematung. Bapaknya tidak berpikir begitu. Namun, diam-diam, kalimat Minah mengusik hati dan pola pikir yang selama ini tertanam. Begitukah seharusnya?
“Sofi pengin sekali kuliah.” Minah bergumam. “Biar dia pakai gajinya untuk itu, Pak, jangan dipakai buat ngempani kita terus.”
Kuliah merupakan kata-kata yang sangat asing bagi Muto. Dia dan Minah bahkan tidak bisa baca tulis, bagaimana mungkin anaknya akan kuliah? Namun, kegusaran lelaki itu, bercampur rasa bingung dan bersalahnya, membuat dia mengangguk.[]