Sofi menerima chat Raina dengan kening berkerut. Ada apa dengan gadis sempurna itu? Batinnya. Sejak drama kekerasan Ifan terhadapnya di parkiran kafe, respeknya terhadap Raina semakin besar. Meski baru kenal, Raina dengan besar hati mau menolongnya. Membawa dia ke rumahnya yang mewah, mendengarkan ceritanya—dan yang terpenting tidak menghakimi.
Lebih dari itu, yang membuat Sofi terkesan adalah sikap Raina yang tenang. Raina tidak bertanya sama sekali ada masalah apa dirinya dengan si cowok di parkiran. Dari situ, Sofi diam-diam berjanji untuk bisa selalu ada saat Raina butuh. Melihat fakta bahwa di rumah Raina tidak ada siapa-siapa, Sofi bisa mengira-ngira apa penyebab kesendirian gadis itu dan kenapa wajahnya selalu murung.
Raina ingin curhat. Begitu inti pesannya. Sayang, hari ini dia tidak sedang libur sehingga tidak bisa menemani Raina dengan leluasa. Namun, gadis itu nyatanya tetap datang ke D'Sunset Coffe, menunggu Sofi sampai jam istirahat sehabis maghrib. Meski tidak enak karena harus membiarkan Raina menunggu, dia menurut saja. Raina bilang, dia bisa gila jika harus lebih lama lagi di rumah.
Sofi pikir, ini benar-benar masalah serius. Dia tersenyum lega saat melihat Raina tidak sendiri di mejanya. Oh, ternyata yang menemaninya adalah Alya, yang tempo lalu juga bertemu dengannya di acara Juicy Luicy. Sekarang mereka bertiga bertemu lagi? Senyum Sofi merekah. Mungkin ini yang namanya jodoh.
Suasana kafe yang ramai membuat Sofi teralihkan sama sekali dari perutnya yang terasa nyeri. Sudah sejak kemarin, Sofi mengingat-ingat. Rasanya seperti dismenorhea yang biasa menyerangnya menjelang menstruasi, tapi kali ini jauh lebih menggigit.
Mungkin karena sudah dua bulan dia tidak kedatangan tamu, begitu pikirnya. Beberapa tahun sebelum ini, siklus menstruasinya memang berantakan. Kadang dua bulan hanya mendapat haid satu kali—tapi karena keterbatasan edukasi dan bingung harus bicara dengan siapa, Sofi membiarkannya saja. Jadi, saat tadi pagi dia melihat gumpalan darah di celana dalamnya, Sofi merasa lega.
Rasa sakit itu semakin menjalar, mencengkeram, dan membuatnya dialiri keringat dingin tepat di jam istirahat. Raina, bersama Alya, menunggu di musala kafe yang nyaman dan luas usai menunaikan ibadah maghrib. Sofi tersenyum sambil meringis, menahan sakit, menghampiri mereka. Akhirnya, dia bisa juga menemani Raina.
“Maaf ya, Mbak, baru bisa nemuin,” ujar gadis berambut ombak itu ramah.
“Sof, dari tadi minta maaf terus. Lebaran masih lama.” Raina sudah bisa tertawa sekarang, meski kedua matanya sembap.
Sofi ikut tertawa, meski sedetik berikutnya dia terbeliak. Perutnya bagai dipelintir tanpa ampun. Gadis itu menggigit bibir, wajahnya berangsur-angsur pucat.
“Sof? Kamu kenapa?” Raina menyadari perubahan ekspresi Sofi.
“Iya, Mbak, Mbak Sofi sakit? Wajahnya pucat,” timpal Alya.
Sofi menggeleng, memaksakan senyumnya. “Ah, nggak apa-apa, ini lagi mens hari pertama. Dismenorhea.”
Raina mengembuskan napas lega. “Kirain kenapa.”
“Mau curhat apa, Mbak? Penasaran tahu! Atau aku udah ketinggalan, nih?” Sofi mencecar.
“Nggak ketinggalan apa-apa, kok. Malah aku yang dapat cerita seru dari Alya.” Raina mengerling pada si gadis bertahi lalat yang balas tersenyum kikuk. “Udah, jangan galau lagi, tinggalin aja Andre si kutu busuk itu.”
“Hehe … aku pikirin caranya dulu, Mbak.” Alya menjawab masam.
Sofi menghela napas panjang, berharap itu bisa mengurangi nyeri di perutnya, lantas berdeham. “Kayaknya lagi pada galau nih, ya. Nggak apa-apa, Guys, hidup memang gitu. Banyak cobaan yang harus dicobain.”
Raina menyeringai pada Sofi sambil memutar bola mata. Sofi menahan tawa melihat ekspresi itu, tak mau perutnya dipelintir lagi. “Jadi kalau masalah Mbak Raina apa, nih?”
“Cowokku selingkuh, Guys.” Kalimat itu enteng saja keluar dari bibir Raina. Dia tidak merasa perlu menutup-nutupi dari dua gadis di sampingnya ini. Aneh, memang, berhubung mereka belum lama kenal. Tapi, dia lebih dulu tahu cerita Sofi dan Alya, jadi untuk menceritakan kisahnya, dia tidak keberatan. Mereka saja mempercayainya, kenapa dia tidak? Kali ini, instingnya mengatakan kalau Sofi dan Alya adalah orang-orang yang tulus, tidak seperti temannya yang baru saja menusuk dari belakang.
“Spek kayak Mbak Raina diselingkuhi?” Alya terbelalak mendengar ucapan Raina barusan. Sofi juga berjengit kaget. Sakit di perutnya menggigit dalam satu cengkeraman panjang.
Raina terkekeh perih, matanya mulai panas lagi. “Tiga kali, Guys. Selingkuh tiga kali. Sama teman dekatku lagi. Aku bodoh atau buta, ya?”
“Ya ampun, Mbak …” Hanya itu yang keluar dari mulut Sofi. Dia benar-benar terkejut, tak menyangka ada cowok yang begitu bodoh menyia-nyiakan gadis sempurna seperti Raina.
“Mbak, putusin aja! Cowok nggak bersyukur. Dikasih Mbak Raina yang cakep kayak gini masih aja selingkuh!” Suara Alya sarat emosi.
Sofi mengangguk membenarkan. “Lagi pula katanya selingkuh itu penyakit yang nggak akan bisa sembuh, Mbak. Lihat aja, udah tiga kali. Berarti udah bukan khilaf lagi namanya. Sudah pasti dilakukan secara sadar!”
Raina mengusap air matanya yang jatuh sebutir di pipi. Sofi menepuk-nepuk bahu gadis itu seraya menggumamkan kata sabar. Alya, berkata lirih agar Raina putus dan tidak berurusan lagi dengan dua makhluk pengkhianat itu.
“Nggak segampang itu aku mutusin dia,” jawab Raina pelan.
“Lho, kenapa, Mbak?” Alya dan Sofi bertanya bersamaan.
Lalu, Raina menceritakan kisah pilu hidupnya dengan begitu ringan. Sofi dan Alya entah punya daya magis apa sehingga bisa membuatnya memuntahkan seluruh rahasia yang selalu dia tutup-tutupi dari semua orang. Raina malu dan merasa tak sanggup untuk menceritakan kisah hidupnya pada orang lain. Ajaib, dengan Sofi dan Alya, Raina bercerita semudah bernapas. Nyaman.
Dengan bercerita, dia merasakan kelegaan di hatinya yang selama ini penuh sesak dengan tuntutan dan aturan sang mama. Raina bisa menangis tanpa harus malu, mengumpat tanpa rasa sungkan, dan melepas semua topeng kesempurnaannya. Inilah sebenarnya Raina. Gadis rapuh dan lemah yang hidup dalam kehampaan. Tidak ada cinta dan kehangatan yang menyelimuti kesendiriannya. Karena, cinta yang dia anggap satu-satunya telah mendua. Raina tidak ingin memiliki dan mencintai hati yang tak bisa menghargainya. Raina ingin berhenti, tapi di sisi lain dia juga butuh Bagas.
"Menurutku Mbak tetap harus putus dari Bagas. Aku yakin Mbak akan dapat kerjaan bagus meski tanpa bantuan orangtua Bagas." Alya membuka mulut setelah sekian menit mereka terhanyut dalam kisah Raina. “Rezeki udah ada yang ngatur, Mbak,” lanjutnya sok dewasa.
"Aku nggak jenius kayak kamu, Al." Raina terkekeh. Alya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"A-aku yakin juga begitu. Mbak Raina bakal dapat kerjaan bagus." Sofi memberikan dukungan, tangannya memegangi perut. Sedari tadi sejak Raina bercerita, sakitnya tak hanya menggigit, tapi juga bercampur perih. Dia bisa merasakan darah menyembur keluar, khawatir pembalutnya bocor. "Mbak harus put-us. A-aduh-duh!"
Alya dan Raina sontak memegangi Sofi saat gadis itu meringkuk, mengaduh memegang perut. Keringat sebesar-besar biji jagung mengalir dari pelipis Sofi. Wajahnya seputih rembulan. Tangannya yang bebas mencengkeram lengan Alya erat, hingga Alya meringis karena kuku Sofi terbenam menembus seragamnya.
“Sof, kamu kenapa?” Raina berseru panik. “Emang kalau nyeri menstruasi biasa kayak gini?”
Sofi menggeleng. Wajahnya tak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit yang kini tak berjeda lagi.
“Mb-Mbak, ya ampun …” Alya menatap Raina, lalu mengedik ke celana kulot Sofi yang sudah rembes oleh darah, merah merebak. Alya tidak pernah mengalami menstruasi dengan darah sebanyak itu. “Kita bawa ke klinik dekat sini aja, Mbak!”
Raina mengangguk cepat. “Aku pesan taksi online sekarang. Al, kamu coba ngomong sama Krisna, itu, cowok itu. Atasan Sofi.”
Alya tak menunggu perintah dua kali. Sekitar dua puluh menit setelahnya, mereka sampai di klinik kesehatan tersebut.
Setelah mengurus pendaftaran yang lumayan merepotkan karena Raina bukan keluarga Sofi—akhirnya setelah dia bilang bahwa dialah yang akan menanggung biayanya—urusan administrasi pun selesai. Raina hendak meminta ponsel Sofi untuk menghubungi keluarganya, tapi gadis itu mencengkeram erat sekali tangan Raina sebelum brankarnya didorong masuk ke IGD.
"To-tolong jangan kasih tahu si-siapa-siapa dulu, Mbak." Wajah Sofi yang kesakitan, memohon.
Raina hanya bisa menelan ludah. Bagaimana bisa? Dia Sofi, yang punya banyak keluarga dan kerabat di sini. Yang tinggal kring, dan dalam sekejap ibunya akan datang. Ayahnya juga. Tidak seperti dirinya yang misal, jika dia harus meninggal sekarang, mungkin mamanya baru akan sampai rumah seminggu lagi saat kuburannya sudah kering. Tapi Sofi, kenapa dia justru tidak mau dipanggilkan keluarganya?
"Keluarga Ibu Sofi." Suster berseragam biru muda menghampiri Raina dan Alya yang masih harap-harap cemas. Entah sudah berapa menit mereka menunggu Sofi di luar.
"Kalian berdua keluarganya?" tanya suster itu.
"Bukan, Sus, tapi kami sahabatnya. Sofi kenapa, Sus?" Raina memburu. Dia benar-benar khawatir sekali.
"Kami perlu persetujuan tindakan dari keluarganya, Mbak. Terutama suaminya. Mbak bisa bantu hubungi?" Suster menjelaskan.
Alya melongo. Mbak Sofi sudah bersuami?
"Bisa, Sus. Memangnya Sofi kenapa, Sus? Tindakan apa?" Beruntung Raina tidak lama sadar dari keterkejutannya. Suami bagaimana?
"Ya sudah, bagus kalau begitu. Tolong hubungi keluarganya secepatnya, Mbak." Suster tersebut beranjak pergi dari hadapan mereka, kalau saja Raina tidak menahan lengannya.
"Sofi kenapa, Sus? Biar saya bisa jawab kalau keluarganya tanya!" Raina tersentak dengan nada kalimatnya sendiri. Dia baru saja membentak seorang petugas rumah sakit.
"Ibu Sofi keguguran, Mbak. Cepat hubungi keluarganya."[]