Raina menandatangani lembar persetujuan untuk serentetan tindakan yang akan dilakukan pada Sofi malam ini, termasuk tindakan kuretase jika diperlukan. Mendengar keluarganya harus dihubungi, Sofi menangis sejadi-jadinya. Dia melarang Raina memberi tahu siapa pun, apalagi setelah dia tahu apa yang terjadi. Dia minta agar Raina yang menandatangani saja persetujuan tindakan itu. Toh, Raina yang katanya akan menanggung biaya rumah sakit.
Suster yang tadi menyuruh Raina menghubungi keluarga Sofi terdiam saat Sofi bilang bahwa dirinya belum bersuami. Sofi bahkan blak-blakan mengatakan dia tidak tahu siapa ayah dari janin yang sekarang meringkuk dalam perutnya. Mendengar pernyataan itu, Suster jadi paham kenapa Sofi tidak ingin keluarganya dihubungi. Sorot matanya seolah bilang oh, ternyata cewek nakal. Akhirnya, Raina pun diizinkan menandatangani surat persetujuan kuretase yang rencananya akan dilakukan besok pagi jika malam ini rahim Sofi belum juga bersih.
Setelah semua urusan beres, barulah Raina bisa dengan leluasa menunggui Sofi. Gadis berambut ombak tersebut sudah dipindah ke ruangan VK—Verlos Kamer—ruangan untuk tindakan persalinan. Sofi akan diobservasi semalaman ini sembari menunggu esok pagi. Saat Raina masuk, Sofi memalingkan wajah. Dia malu sekali pada gadis yang sempurna di matanya itu, sementara hatinya kalut bukan main. Dia hamil. Rasanya, saat mendengar itu, tubuhnya bagai dijatuhkan dari tepian jurang tak berdasar.
“Mbak … a-aku …”
Raina menggeleng pelan, mengisyaratkan Sofi untuk diam. Raina, sama terkejutnya, tapi dia dengan cepat bisa mengendalikan diri. Dia tetap tak mau menghakimi Sofi. Selain karena belum mendengar cerita utuhnya, dari bagaimana perlakuan tunangan Sofi padanya, Raina tahu Sofi pasti tidak menginginkan ini.
“Ma-maaf ya, Mbak …” Sofi terisak.
“Maaf buat?” Raina mencoba tersenyum. “Aku malah kepikiran buat hubungin keluarga kamu, Sof. Mereka pasti cemas kan, karena kamu nggak pulang malam ini?”
Gadis berambut ombak itu masih pucat pasi. Tubuh semampainya tergolek lemah tak berdaya. Sesekali dia masih memegangi perutnya sambil meringis.
“Masih sakit?” tanya Raina.
“Dikit, Mbak.”
Tindakan kuretase sebenarnya merupakan alternatif kedua jika gumpalan darah dalam rahim Sofi belum keluar semua setelah diberi obat. Malam ini, Sofi disuruh istirahat dulu di rumah sakit karena perdarahan yang dialaminya tadi cukup berat. Sofi mengalami incomplete miscarriage atau keguguran tidak lengkap. Yang mana, kondisi ini berarti sebagian bagian janin sudah keluar, tapi masih ada yang tertinggal di dalam sehingga menyebabkan perdarahan. Sofi kira, dia hanya menstruasi saja. Gadis itu tidak tahu kalau dia keguguran. Bahkan, Sofi tidak tahu kalau dirinya hamil. Dia sendiri tersentak begitu bidan yang memeriksanya bilang kalau janinnya yang berumur sebelas minggu tidak bisa diselamatkan lagi.
Bukan dia tidak tahu siapa ayah dari janin itu, tapi kalau dia mengaku bahwa Ifan adalah penyebabnya, Sofi takut masalah akan berbuntut panjang. Bisa-bisa dia dan Ifan akan dinikahkan malam ini juga. Sofi jelas tidak mau menjemput nasib buruk itu. Jadi, sekalian saja dia bilang kalau dia tidak tahu siapa ayah si janin. Sofi tidak peduli mau dicap bagaimana oleh Raina atau petugas rumah sakit. Yang penting, baik Ifan mau pun keluarganya tidak tahu soal ini.
"Sof, gimana? Aku hubungi keluargamu, ya?" Raina kembali membuka suara. Dia merasa bertanggung jawab pada Sofi.
"Ja-jangan ya, Mbak …” Air mata Sofi meleleh semakin deras. “Nggak akan ada yang nyariin aku kok, Mbak. Bapak sama ibuku masih punya lima anak buat dikhawatirin. Mereka nggak terlalu peduli sama aku. Biar aku sendiri yang hubungin mereka nanti."
Raina terperangah mendengar jawaban itu. “Benar nggak apa-apa?”
“Beneran, Mbak.” Dia menyusut air mata dengan punggung tangan, memaksakan senyum. "Makasih, ya, Mbak. Maaf banget aku jadi ngerepotin Mbak Raina gini. Aku janji bakal ganti uang Mbak Raina.”
“Nggak usah dipikirin, Sof,” tukas Raina cepat. Dia, menurutnya, hanya melakukan apa yang semestinya dilakukan. Kebetulan Raina punya tabungan darurat, kiriman uang dari Mama yang selalu dia sisihkan. Dia selalu berpikir bahwa dia sendirian, jadi jika ada keadaan darurat, paling tidak dia punya uang. Uang itu tidak pernah disentuhnya.
“Makasih ya, Mbak.” Sofi tersenyum tulus. “Tapi Mbak Raina nggak perlu nemenin aku. Kalau mau pulang pulang aja, Mbak. Aku nggak apa-apa.”
“Kamu tahu aku di rumah sendirian kan, Sof, dan aku lagi galau. Mending aku di sini aja biar nggak kesambet setan.” Raina mencoba bercanda. Suasana terlalu tegang menurutnya.
Sofi terkekeh pelan mendengar banyolan itu. “Makasih ya, Mbak …”
“Makasih terus ih, kamu.” Raina pura-pura memutar bola mata.
“Ya soalnya Mbak Raina baik banget. Aku nggak tahu gimana cara balasnya.” Sofi berucap lesu. Ajaibnya, bahkan dalam keadaan paling tidak mengenakkan seperti ini, di mata Raina, gadis itu tetap cantik luar biasa. Rambutnya berantakan, wajah pucat, mata cekung, dan bibir kering. Kalau Raina yang seperti itu, dia yakin sudah mirip zombi.
"Gini aja …” Raina berdeham. “Balasnya adalah dengan kamu ceritain semua. Soal—”
“Ini, Mbak?” Sofi mengedik ke perutnya.
“Kalau kamu berkenan, Sof. Biar aku tahu ceritanya dan nggak … nge-judge kamu macam-macam.” Raina mengatakan terang-terangan. Dia khawatir Sofi akan marah karena itu, tapi senyum gadis itu malah semakin membusur.
“Makasih udah jujur, Mbak.”
Raina mengangguk. “Jadi … ini ulah tunangan kamu?”
Raut wajah Sofi berubah resah. Dia sudah menebak apa yang akan Raina tanyakan. Akan tetapi, sekarang dia sudah siap bercerita. Sofi tahu cepat atau lambat dia harus menceritakan semua pada Raina. Raina menyaksikan dia dipukuli Ifan, sudah pasti bertanya-tanya. Dan lebih dari itu, sore tadi, Raina bahkan menceritakan segala hal tentang dirinya.
"I-iya, Mbak. Ulah Ifan,” jawab Sofi lirih.
Raina mengesah berat. “Kamu dipaksa?”
Anggukan Sofi membuat dada Raina sesak. “Orangtua kamu tahu nggak sih, Sof, kelakuan Ifan kayak gini?”
"Nggak, Mbak.” Sofi menunduk. “Aku memang nggak bilang. Aku nggak mau nambah beban pikiran mereka.”
Raina menahan napas. “Sof … kok bisa kamu tunangan sama cowok kayak gitu? Kamu cinta sama dia?”
Sofi menggeleng, tapi Raina tidak terkejut. Dia sudah menduganya. “Bapakku yang minta, Mbak. Kayak Mbak Raina, aku juga punya alasan yang sulit buat nolak.”
Mendengar itu, perut Raina bergelenyar. Dia dan Sofi saling tatap, menyelami luka masing-masing. Raina tersenyum getir, tak menyangka gadis cantik seperti Sofi juga terjerat dalam kisah rumit semacam ini.
"Bapakku nyuruh aku nerima lamaran Ifan karena menurutnya Ifan itu kaya, Mbak. Sementara keluarga kami pas-pasan. Bapakku kena PHK pas covid. Ibuku buruh apa aja. Kelima adikku butuh makan dan biaya sekolah. Gajiku di D'Sunset Coffe nggak cukup buat menuhin semua kebutuhan itu. Ifan janji, kalau aku mau nikah sama dia, bapakku nggak perlu pusing lagi soal urusan dapur keluarga kami. Karena itu Bapak maksa aku buat nerima Ifan." Sofi memberi jeda. Dia refleks memegang perutnya, membuat darah naik ke selang infusnya dengan sedikit gelembung.
"Aku belum kepengin nikah, Mbak. Aku pengin banget kuliah kayak Mbak Raina. Kelihatan keren. Berpendidikan. Apalagi nikahnya sama Ifan, yang sebelumnya sama sekali nggak aku kenal. Ternyata, tabiatnya buruk. Tiap kali ngasih uang ke Ibu atau Bapak, tiap itu pula Ifan maksa aku buat memenuhi nafsu bejat dia. Kalau aku nggak mau, dia bakal mukul aku, nyakitin aku. Apa pun sampai aku mau." Gadis itu menelungkupkan kedua tangannya di wajahnya yang pucat, menangis sampai bahunya berguncang-guncang. Darah di selang infusnya naik makin banyak.
Raina mengusap punggung Sofi sambil menenangkan diri sendiri. Dia tidak menduga kisah Sofi setragis itu. Mendadak dia merasa malu dengan semua fasilitas yang dimilikinya. Kata-kata Tiwi tadi terngiang kembali. Di luar sana banyak gadis yang mengorbankan diri mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tiwi, Raina kira, sudah paling menyedihkan. Ternyata Sofi lebih menyedihkan. Bukan untuk dirinya, gadis cantik itu berkorban untuk keluarga. Dia bahkan menderita.
"Bapak kamu nggak tahu kalau Ifan sering nyakitin kamu, Sof?"
Si gadis berambut ombak menggeleng. "Ifan ngancam nggak akan ngasih uang lagi ke Bapak dan bakal bikin aku makin tersiksa kalau aku bilang, Mbak."
“Seenggaknya, soal kehamilan ini kamu bilang, Sof. Ifan udah keterlaluan.”
“Mbak …” Sofi mengatur napas, menatap Raina tajam. “Pernikahanku tinggal beberapa bulan lagi. Selama itu aku masih berharap ada keajaiban. Kalau aku bilang aku hamil, Bapak pasti nyuruh Ifan nikahin aku secepat mungkin.”
Raina, mau tak mau, mengerti kegundahan Sofi, meski pernyataan tersebut juga semakin membuatnya mendidih. Dia pikir Bagas sudah paling busuk, ternyata Ifan masih lebih busuk.
"Tapi kamu nggak bisa terus-terusan begini, Sof! Mau sampai kapan? Kamu bisa laporin perbuatan Ifan ke pihak berwenang. Jangan diam aja, Sofi!" Napas Raina memburu. Dia mendadak jadi benci sekali pada lelaki. Tidak dirinya, tidak Sofi, tidak Alya, semua berurusan dengan cowok-cowok toksik. "Belum jadi suami kamu aja dia udah seenaknya kayak gini. Gimana nanti kalau kamu beneran jadi istrinya? Bisa-bisa kamu mati berdiri! Seumur hidup itu lama banget, Sof!”
Sofi hanya menanggapi amarah Raina dengan desahan putus asa.
“Kalau kamu nggak berani ngomong ke bapak kamu, biar aku yang ngomong! Aku punya buktinya!" ujar Raina berapi-api, sambil mengangkat i-Phone-nya ke depan hidung mancung Sofi. "Di sini!"[]