“Huft!” Raina mengesah lelah sambil menutup Macbook-nya. Sudah satu jam dia berkutat dengan makalah ekonomi yang akan dipresentasikan pekan ini, dan belum selesai juga. Sementara, mejanya penuh dengan perkakas makan—piring tempat mi goreng yang tinggal noda-noda bumbu, cilok yang dia beli dari mamang-mamang langganan, segelas jus alpukat yang sudah tandas. Perutnya terasa penuh sekali sekarang.
“Nugas makan, nugas makan, gimana nggak gendats.” Gadis itu berceloteh sendiri.
Perkuliahan sudah dimulai lagi, tapi akhir pekan ini dia dapat tugas dari Mama untuk berbagi sembako ke tetangga. Jadilah, dia ada di rumah, kesepian. Biasanya, di kos, akhir minggu begini, dia menghabiskan waktu bersama Bagas. Itu pun kalau sedang tidak banyak tugas. Dan sebelum Bagas berulah lagi.
Sekarang, Raina mulai menjaga jarak dengan pacarnya tersebut, banyak beralasan jika diajak jalan. Selain kepercayaan gadis itu sudah luntur terlalu banyak, rasa cintanya juga berkurang banyak sekali. Yang penting tidak putus, sampai dia lulus saja. Bagas senang, dia senang. Setelah dapat kerjaan bagus karena koneksi dari orangtua Bagas seperti yang selalu Mama gembar-gemborkan, Raina berniat meninggalkan cowok itu. Gadis berlesung pipi itu menyeringai licik.
Mendinginkan otaknya yang berasap, Raina mengambil kamera kesayangan. Memindahkan file foto dari kartu memori ke laptop merupakan salah satu kegiatan favoritnya. Dia sekalian bisa memilah-milah jepretan yang bagus untuk diunggah ke instagram. Feed instagramnya cukup estetik, berisi potret random—kucing jalanan sedang menggigit paha ayam curian, bunga-bunga cantik di alun-alun kota, sampai pasangan kakek nenek yang sedang berjemur dan berbagi cinta pun ada.
Raina tersenyum. Jepretannya akhir-akhir ini banyak berisi panorama pantai. Senja, ombak, matahari terbenam yang megah, juga kerlip lampu dan suasana semarak D’Sunset Coffe. Dia menemukan foto Alya tempo lalu, sedang sibuk mengerjakan tugas sementara teman-temannya berjoget-joget seperti ulat bulu. Iseng, Raina mengirimkannya pada Alya dengan pesan si paling pinter, disertai emotikon jahil menjulurkan lidah sambil mengerling.
Tak lama, Alya membalas pesannya dengan stiker kaget. Wah, ada paparazzi. Raina hanya tertawa. Lain waktu, kalau bertemu lagi, dia berniat memberi tahu Alya bahwa dia tidak boleh membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu.
Senyum Raina pudar perlahan saat sampai di sebuah foto—Sofi, membawa nampan, melayani meja milik pasangan kekasih, tersenyum ramah. Sebetulnya foto itu lucu, karena si cowok tertangkap basah oleh kamera Raina—sedang melongo menatap Sofi. Namun, Raina baru menyadari satu hal kini. Lebam di dagu Sofi, dekat sudut bibirnya, sangat kentara. Apakah tidak ada yang bertanya dia kenapa? Krisna dan yang lainnya?
Tak pelak, ingatan Raina kembali pada kejadian di parkiran kafe. Setelah Sofi selesai menangis dan mampu mengendalikan diri, otomatis acara jalan-jalan ke alun-alun batal. Pelipis Sofi yang berdarah diperban seadanya. Raina dan teman-teman Sofi ingin membawanya ke rumah sakit—bahkan Krisna berapi-api akan langsung lapor polisi—tapi Sofi menolak semuanya. Tidak mau berbuntut panjang, dia bilang.
Akhirnya, semua bubar. Raina berniat mengantar Sofi pulang, tapi gadis itu juga menolak. Akan membuat orang rumah bertanya-tanya, katanya. Jadi, Raina menawarinya singgah di rumahnya untuk bersih-bersih dan menenangkan diri.
“Aku sendirian kok, di rumah. Nggak akan ada yang tanya-tanya.”
Sofi pun mengangguk samar. Akhirnya, kedua gadis itu pulang ke rumah Raina. Raina menyuruh Sofi mandi dan meminjaminya baju. Karena hanya ada mi instan, Raina membuat sepanci mi rebus, yang disuguhkannya pada Sofi. Mereka makan dalam diam. Raina sengaja tak membuka percakapan. Kalau Sofi mau cerita, dia pasti akan cerita. Raina tidak ingin membuat teman barunya itu tak nyaman.
“Dia … tunangan aku, Mbak.”
Raina hampir tersedak kuah mi. Sontak, dia menatap Sofi. “Tu-tunangan?”
Sofi mengangguk. Sendoknya berdenting menyentuh mangkuk. Gadis itu hanya makan beberapa suap. “Dia udah biasa kayak gitu.”
Kali ini, hati Raina ikut teriris perih. Mulutnya ternganga. Bagaimana bisa? Seorang Sofi yang cantik jelita diperlakukan begitu buruk oleh seorang cowok. Dia yakin banyak yang mengantre untuk bisa bersama Sofi. Dia—pikirannya melantur lagi—akan bernasib jauh lebih baik jika jadi sugar baby seperti teman-temannya di kampus. Meski bukan pilihan baik, setidaknya teman-temannya tidak ada yang jadi samsak hidup begini.
“Ka-kalau udah tahu gitu kenapa nggak kamu tinggalin, Sof? Dia nggak akan jadi suami yang baik!” Rahang Raina mengertak.
Sofi tertunduk. Bahunya berguncang perlahan. Dia terisak lagi. Kemarahan Raina luntur. Dia merasa bersalah karena sudah menyudutkan gadis itu, padahal tidak tahu cerita utuhnya. Tentu ada alasan kenapa Sofi masih mau bertahan jika perlakuan tunangannya buruk begitu.
“Nggak bisa, Mbak …” Sofi tersedu. “Rumit ceritanya.”
Akhirnya, Raina hanya bisa mengusap-usap punggung Sofi, menenangkannya. Rasa iba dan prihatin merebak di dadanya. Dia baru menyadari bahwa permasalahan mereka rupanya sama—sama-sama punya pasangan yang red flag parah, tapi sulit untuk lepas.
Raina tersentak dari lamunannya tentang Sofi saat sebuah panggilan video masuk. Dia mengira itu Mama, tapi ternyata bukan. Tiwi, teman satu kampus, satu kos juga. Raina lekas-lekas mengangkatnya tanpa prasangka.
Pemandangan kamar kos Tiwi terpampang di layar. Raina biasa menghabiskan malam-malamnya mengerjakan tugas di teras kamar itu, bersama teman-teman yang lain. Alasannya karena letak kamar Tiwi strategis, di depan ruang kumpul-kumpul. Di antara yang lainnya, Tiwi termasuk dekat dengan Raina. Mereka biasa curhat, pergi-pergi belanja berdua.
“Wi?” Raina membuka suara, heran karena Tiwi tidak juga muncul di layar.
Tak lama, pintu toilet kamar Tiwi terlihat terbuka. Tiwi keluar dari sana dengan pakaian tipis, rambut acak-acakan. Raina mengernyit. Kenapa dia menghubunginya dengan keadaan seperti itu?
“Eh, diangkat sama Raina,” cengirnya.
Layar ponsel Raina sekarang penuh dengan wajah Tiwi. Omongannya melantur, kedua matanya merah dan berair, seperti orang yang habis mabuk. Raina tak terlalu heran, dia tahu betul lingkaran pergaulan Tiwi. Raina selalu menolak, bahkan sampai dikatakan cupu, saat Tiwi mengajaknya keluar malam. Pernah sekali Raina ikut, tapi dia kapok karena hampir jadi korban pelecehan. Dunia Tiwi, menurutnya, sangat bobrok.
“Ada apa, sih? Kepencet?” ucap Raina, ingin segera mengakhiri panggilan.
“Eh, nggak, dong! Kok kepencet, sih? Sengaja video call kamu lah, mau nunjukin sesuatu.”
Tiwi berjalan ke arah kasurnya, springbed berukuran standar dengan sprai kotak-kotak estetik yang acak-acakan. Bed cover senada menutupinya, menggelembung, membentuk lekuk tubuh seseorang.
“Apaan sih, Wi? Aku tutup, ya. Nggak penting banget.” Raina menggerutu.
“Eh, tunggu-tunggu!” Tiwi menyibak bed cover yang menggelembung itu.
Raina awalnya tidak mengerti, berpikir Tiwi hanya bercanda atau gabut, tapi setelah Tiwi mendekatkan ponselnya pada sosok di balik bed cover itu, Raina mengejang. Perutnya terasa terjun bebas. Hatinya seolah diremas. Dia menahan napas.
“A-apa-apaan, nih?”
Tiwi tertawa, tawa lain yang belum pernah Raina dengar. Tawa penuh kepuasan. “Aku bangunin, ya, biar seru.”
Terasa seperti ada yang menonjok perut Raina, mendesak mi goreng dan cilok naik ke kerongkongan. Kedua matanya tiba-tiba terasa panas. Dadanya juga panas. Tubuhnya panas dingin. Amarah yang tak pernah dia rasakan menggelegak sampai ubun-ubun. Raina terkunci dengan gigi bergemeletuk dan tangan terkepal. Jantungnya menggebuk-gebuk kencang, sampai rasa-rasanya hampir keluar dari rongga.
“Gas, Bagas, bangun. Ada yang mau ngomong nih, beb …”
Raina menjeluak. Dia bergegas ke toilet dan menumpahkan isi perutnya. Terguncang, gadis itu membentur-benturkan kepala ke tembok. Apa yang baru saja dia lihat? Bermimpikah dia? Bagas bersama Tiwi? Seharusnya Raina sudah tahu ini akan terulang lagi. Raina merutuki diri sendiri. Harusnya dia sudah siap dan tidak terlalu sakit hati. Tapi kenapa rasanya tetap begitu menyakitkan? Dan dengan Tiwi? Ya, Tuhan!
Tak mau terpuruk dan terlihat menderita, gadis itu mencuci muka. Menghapus air mata. Sudah cukup! Dirinya muak sekali dengan Bagas. Dia kembali ke kamar dan meraih ponselnya dengan tegar. Tiwi belum mematikan panggilan. Dia sedang berbaring di samping Bagas yang masih setengah sadar.
Air mata Raina mendesaknya lagi, tapi dia menahannya sekuat tenaga. Dia tidak boleh menangis untuk pengkhianat seperti mereka.
“Bangunin dia,” ujarnya dingin. Tiwi terkikik. “Bangunin dia, Wi!”
“Oke, santai, Ra, santai.” Tiwi mengguncang-guncang tubuh Bagas sambil tertawa-tawa.
Raina mengumpat. Dia melihat Bagas menggeliat di balik bed cover, mengucek-ngucek matanya.
“Bagus.” Bibir Raina bergetar. Layar ponsel dipenuhi wajah Bagas yang sangat terkejut sekarang. “KITA PUTUS!”[]