Satu bulan berlalu tanpa terasa bagi Alya. Kini, sesuatu yang dinantikannya pun sudah di depan mata. Lusa adalah ulang tahun Sandra, yang mana dia akan bisa melihat langsung penampilan Juicy Luicy idolanya. Hati Alya dipenuhi kegetiran, menyadari bahwa syarat dari Sandra yang disetujuinya sebanding dengan apa yang akan dia dapat—nonton Juicy Luicy gratisan—dan pengakuan teman-teman kalau dia adalah anak keren.
Namun, sejujurnya, syarat itu tidak mudah, berbahaya, serta bertentangan dengan nuraninya. Alya selalu menjunjung tinggi kejujuran. Berbuat curang merupakan salah satu hal yang dia benci setengah mati—menyontek saat ulangan, hanya menumpang nama di kerja kelompok tanpa kontribusi apa pun. Alya bahkan tega tidak mencantumkan nama temannya jika saat kerja kelompok hanya ongkang-ongkang saja.
Ironisnya, ketika bergabung dengan Andre, batinnya tak terlalu mempermasalahkan itu. Dia jelas dimanfaatkan, Andre dan geng mencuranginya, tapi menurut Alya, lagi-lagi itu setimpal dengan yang dia dapat. Pengakuan, serta bonusnya dekat dengan Andre. Kali ini, Alya agak ragu. Hal yang diminta Sandra melalui Andre mempertaruhkan segalanya.
“Sebulan setelah party aku, kita ulangan mid semester.” Ucapan Sandra pagi itu di halaman belakang sekolah, masih terngiang jelas. “Jelasin ke dia, Ndre.”
Kemudian Andre berbisik di telinganya. “Curi soal ulangan matematika dari ayah kamu.”
Singkat, tapi membuat perut Alya mengejang. “A-apa?”
Andre menatap Alya lekat, mengangguk. “Gampang, kan? Tinggal salin file-nya aja.”
Pagi itu, Alya tak tahu. Rasanya hal tersebut mustahil, tidak mungkin, kriminal. Menyadari perubahan sikap gadis itu, Sandra menatap Andre dengan alis terangkat. Tangannya bersedekap. Andre tergagap. Dia tak mau hal yang dijanjikannya pada Sandra demi bisa bergaul dan dekat dengan putri wakil bupati itu, berantakan.
“Kita kasih kamu waktu sehari buat mikir. Kalau kamu tolak, berarti kita nggak temenan lagi,” ucapan Andre menggantung. “Dan tentu aja nggak ada pesta ulang tahun.”
Sandra mendengkus kasar pada cowok itu sambil memutar bola mata. Bergegas, dia dan gengnya berlalu dari sana. Sekarang hanya ada Andre dan Alya.
“Jangan sampai kamu lewatin kesempatan ini, Ya.” Andre melewatinya sambil menepuk pundak Alya, mengusir setengah kegamangan hatinya.
Mata pelajaran matematika di kelas Sandra diampu oleh ayah Alya. Di MAN 03, ayahnya dikenal sebagai guru yang tidak kenal ampun dan pelit sekali dalam memberi nilai. Salah sedikit saja berarti salah semuanya. Sandra, meski cantik dan berkuasa, tetapi bukan termasuk siswi pintar. Ayah Alya tak seketika mendongkrak nilai gadis itu, meski dia anak wakil bupati sekalipun. Kejujuran Alya, rupanya, mengalir dari sang ayah.
Sandra sendiri punya masalah yang cukup rumit. Dia dituntut papanya untuk jadi dokter, yang mana harus punya nilai MIPA yang tidak terlalu memalukan agar bisa masuk jurusan tersebut. Papa Sandra sedang membangun rumah sakit swasta di kota kecil tersebut, dan ingin putrinya turut andil dalam program itu.
Andre, selain cowok badung dan ganteng yang populer di sekolah, juga punya masalahnya sendiri. Sejak lama dia sudah mengincar Sandra. Tak hanya lingkar pergaulannya yang akan semakin keren, luas, juga kecantikan Sandra dan pengaruhnya, Andre memang menyukai kakak kelasnya tersebut. Dia sudah berkali-kali menyatakan perasaan, tapi sayang, Sandra tak tertarik. Baginya, Andre hanya bocah ingusan.
Tak menyerah, juga berbekal tahu kelemahan Sandra, Andre punya rencana hebat. Siang itu, saat Cika memperlihatkan isi binder Alya yang ternyata menyukainya, pintu rencana itu terbuka lebar. Rupanya mudah sekali. Dia hanya memerlukan Alya melakukan semua untuknya. Didekatilah Alya, yang bagai kerbau dicocok hidungnya, langsung takluk begitu saja. Yakin bahwa Alya akan berbuat apa saja untuknya, Andre mengajukan gagasannya pada Sandra. Gadis itu mengiyakan, melihat hal tersebut menguntungkan. Andre boleh masuk dalam lingkaran pergaulannya jika berhasil menjalankan siasat tersebut.
Semalaman setelah kejadian itu, Alya tak bisa memejamkan mata. Pertarungan sengit bergolak di hatinya. Mengiyakan syarat Sandra artinya dia berbuat fatal—curang saja tidak cukup membahasakannya. Itu artinya dia juga mengkhianati Ayah. Namun, menolak syarat itu berarti dia harus mengubur mimpi nonton langsung Juicy Luicy, yang entah kapan lagi kesempatan itu akan datang. Akan tetapi, itu adalah alasan kedua. Tidak mau diputus Andre dan gengnya tentu jadi alasan pertama. Logika dan hasrat remajanya sama-sama kuat. Alya benar-benar ada di persimpangan.
Derik jangkrik di kejauhan menemani benaknya mengawang-awang. Alya membayangkan, seandainya dia mengiyakan syarat Andre dan ketahuan, mungkin Ayah akan mengusirnya dari rumah. Tapi itu kan kalau ketahuan, sisi lain batinnya berbisik nakal. Tanpa sadar, otaknya secara ritmis menyusun cara agar dia bisa melakukan hal terlarang itu dengan mulus.
Antara ya dan tidak, beberapa jam lalu masih seimbang di hati dan pikiran Alya. Namun, kini posisi ya sudah sedikit lebih berat, jika ini diibaratkan timbangan. Lalu, begitu saja, Alya teringat bagaimana Ayah selalu memarahi, membanding-bandingkannya dengan Abram. Apalagi belum lama ini, saat dia pulang malam. Hanya sekali, baru sekali, tapi Ayah seperti orang kesetanan melabraknya.
Denyut perih di sudut hati Alya yang nyaris terlupakan, terasa lagi. Ayah yang tak pernah bangga padanya. Tak pernah mengapresiasinya. Tak pernah mengakui kepintarannya. Ayah yang selalu bilang geografinya sia-sia, padahal Alya amat mencintai ilmu itu.
Neraca ya-nya seolah tertindih beban berat yang seketika memantapkan hati Alya. Tidak ada yang akan mengkhianati ayahnya jika dia melakukan syarat Andre. Yang ada hanya impas. Perbuatannya ini akan membayar sakit hati Alya atas sikap ayahnya yang keterlaluan.
Gadis bertahi lalat itu sudah memutuskan. Dia mengambil ponselnya, angka satu dan tiga puluh berkeredep di layar. Sudah dini hari, lama sekali dia berpikir. Tapi Alya tak peduli, dikirimnya pesan pada Andre—menyetujui apa yang cowok itu minta. Tak dinyana, tak ada lima menit, pesan Alya sudah dibalas.
Gitu dong, sengku. Makasih :*
Emotikon di belakang kalimat balasan Andre mengantarkan Alya pada mimpi indah.
*
Alunan musik pop dengan suara vokalis Juicy Luicy yang lembut menyentuh sudut-sudut D’Sunset Coffe yang hari ini didekorasi serba pastel. Tema pesta ulang tahun Sandra adalah So Seventeen, So Demure—yang menurut Alya dan Fifi berbanding terbalik dari citra diri Sandra. Dresscode untuk tamu undangan juga serba pastel, bahkan pegawai D’Sunset Coffe juga diberi seragam khusus—pink pastel berpadu biru pastel.
Alya, yang berhasil menyelundupkan Fifi masuk ke pesta eksklusif tersebut, berdiri di pojokan sambil merekam penampilan Juicy Luicy. Bibirnya ikut bernyanyi, tangan melambai-lambai seirama dentuman musik. Fifi, tak henti bersorak setiap kali band tersebut mengakhiri satu lagu.
Saking asyiknya, Alya sejak tadi tidak memperhatikan Andre dan gengnya ada di mana. Janji Andre untuk berangkat bersama ke kafe pun dibatalkan. Ada bagusnya, jadi Alya bisa berangkat bersama Fifi. Sejak sampai di sini, Alya belum melihat batang hidung Andre. D’Sunset Coffe tidak terlalu luas, dan malam ini penuh dengan tamu Sandra serta pelayan yang mondar-mandir.
Band mengakhiri lagu ketiganya, yang kemudian acara beralih pada acara inti. Sambutan dari Sandra dilanjut potong kue. Alya takjub melihat penampilan Sandra, terutama karena dia belum pernah melihat kakak kelasnya itu tanpa jilbab. Rambut Sandra panjang sepinggang, licin dan lurus, mengkilat. Riasan di wajahnya sangat natural, gaun pink pastel selututnya, bagian bahu terbuka, mengekspos lehernya yang putih dan jenjang. Malam ini, Sandra benar-benar seperti peri.
“Eh, itu Andre!” Fifi menyenggol lengan Alya saat acara potong kue. Alya kini tahu Andre di mana—tepat di samping Sandra. “Mereka pacaran, ya?”
Alya mengedik pelan, tapi dia tahu ada yang runtuh di hatinya. Harapan.
“Tapi cocok sih, cantik sama ganteng. Daripada Andre sama Cika, ya, kan?”
Perkataan Fifi barusan telak membuat sisa-sisa hati Alya remuk. Bahkan, Fifi, sahabatnya, tidak mengatakan Alya dan Andre. Apakah memang setidak mungkin itu? Apakah memang dia hanya bermimpi selama ini? Alya, menyadari perasaannya yang semula tumbuh diam-diam pada Andre, sekarang meruah subur sejak dia dekat dengan cowok itu. Dia gadis polos, hasil didikan militer Ayah yang tak kenal kata pacaran atau sekadar suka-sukaan. Tapi, sejak kelas sepuluh, sekelas dengan Andre, Alya tak bisa menepis gejolak remajanya. Dia menyukai cowok itu, jantungnya berdebar tak biasa, malu, bahkan hanya ketika Andre menatapnya tak sengaja. Hal tersebutlah yang membuat Alya mau melakukan segalanya. Dia merasa punya harapan, meski hanya nol koma persen.
Acara potong kue selesai. Alya memperhatikan Sandra turun dari panggung, disambut Andre, lalu duduk di kursi khusus untuk tamu-tamu VIP yang baru Alya lihat. Sekarang saatnya games, tapi Alya tak bernafsu. Fifi semringah mendekat ke panggung, meninggalkan Alya sendiri. Tapi dia toh memang berniat menghampiri Andre dan Sandra, mengucapkan selamat ulang tahun.
Baru saja melangkah, Alya dihentikan oleh suara yang dikenalnya.
“Alya!”
Rupanya itu Sofi. Berbalut pakaian serba pastel begini, meski sambil membawa nampan minuman, kecantikan si empunya acara bahkan jauh di bawahnya. Alya sampai tak berkedip.
“Kamu di sini juga? Kenapa nggak kasih tahu aku?” Gadis itu menyapa ceria.
Alya tersenyum lebar. “Iya, Mbak, kebetulan aku diundang. Udah kepikiran mau ngabarin Mbak Sofi, tapi … buat apa juga, hehe.”
“Iya juga, ya.” Sofi tertawa. “Ya udah kalau gitu have fun ya, maaf aku nggak bisa nemenin.”
“Siap, Mbak. Selamat bertugas!”
Alya melanjutkan niatnya. Beberapa langkah saja, dia sudah berada di sisi meja Andre dan Sandra, juga anggota geng lainnya yang mengelilingi mereka. Kebanyakan teman-teman Sandra, yang satu sekolah dengan mereka, juga wajah-wajah asing bagi Alya. Semua tertawa-tawa, saling bersulang. Alya semakin teriris saat melihat Andre dan Sandra begitu dekat, gestur mereka memang seperti pasangan kekasih.
Baru saja Alya membuka mulut hendak menyapa Andre, bibirnya terkatup lagi lantaran ada yang mendahuluinya. Salah satu teman Sandra yang bukan berasal dari sekolah mereka.
“San, lo ngundang Mamah Dedeh juga, ya?”
Sandra mengernyit tak mengerti. Temannya itu mengedikkan dagu ke arah Alya. “Itu. Siapa?”
Alya bisa melihat perubahan ekspresi wajah Sandra, juga Andre yang terlihat lebih pucat dari sebelumnya.
“Pelayan kafe? Kok nggak pakai seragam?” Yang lainnya menimpali. “Nggak mungkin kan modelan kayak gini lo yang undang ke party?”
“Itu sih bukan mau party, mau pengajian!”
Sahutan tawa menusuk telinga Alya, jauh sampai hatinya. Setengah mati, gadis itu menahan air mata. Tubuhnya gemetar. Dia merasa salah—salah tempat, salah waktu.
“Pacar si Andre kali tuh!” ucap Sandra, sambil tertawa merendahkan.
Untuk sedetik Alya mengira Andre akan menghampiri dan mengajaknya pergi, marah pada orang-orang yang sudah mengolok-oloknya ini. Namun, harapan Alya mungkin memang terlalu jauh. Andre tak bergeser sesenti pun menujunya. Dia malah mengatakan kalimat yang membuat Alya semakin jatuh berkeping.
“Enak aja, gue nggak kenal juga. Lagian pacar aku kan kamu, seng.” Sembari melirik Sandra dengan mesra.
Hati Alya seolah diremas. Panas di kedua matanya tak tertahan lagi. Membalikkan badan, dia menyeruak di antara tamu-tamu, keluar dari D’Sunset Coffe. Di belakangnya, Sofi menatap bingung, ditengahi Juicy Luicy yang mendendangkan Lampu Kuning—sudah tahu hanya sepihak rindu, masih coba lempar dadu peruntunganku.[]