"Ra, kamu sama Bagas ada masalah apa?" Wajah galak Mama muncul di layar i-Phone-nya.
Raina menggerutu. Belum juga mandi habis hujan-hujanan, sudah bakal dapat kuliah malam. Jarak dari D'Sunset Coffe ke rumahnya makan waktu dua puluh menitan, sehingga, di tengah hujan deras seperti ini, Raina tetap kebasahan meski sudah berbagi jas hujan kelelawar dengan si abang gojek.
"Ra? Ditanya itu jawab!"
Tanpa sadar, Raina memutar bola mata. Mama semakin mendelik padanya. Sudah jelas, Bagas pasti melapor. Dasar cepu! Kadang Raina merasa miris, karena hal yang menurutnya semestinya jadi privasi, selalu saja dicampuri sang mama. Termasuk urusan asmara ini. Masa iya, dia dan Bagas bertengkar saja mamanya ikut turun tangan? Sudah seperti pasutri yang mau cerai.
"Nggak ada apa-apa kok, Ma.” Raina menjawab sambil lalu.
"Bohong. Itu status WA Bagas galau begitu, ada apa memangnya kalau bukan masalah sama kamu?" tukas sang mama.
"Nggak apa-apa, Ma, masalah kecil biasa aja, kok."
Sebetulnya, Raina ingin bercerita kalau Bagas selingkuh lagi. Namun, tidak malam ini. Tubuhnya lelah, pikirannya lelah, hatinya juga. Bicara dengan Mama yang nadanya selalu nge-gas adalah hal terakhir yang dia inginkan. Apalagi kalau obrolannya soal Bagas.
"Benar nggak ada apa-apa?” Suara Mama terdengar cemas. “Ra, baik-baik dong, sama Bagas. Mama sudah bilang, kan, Bagas itu bisa diandalkan. Keluarganya mapan, anaknya juga sopan, sayang pula sama kamu. Kurang apa, sih? Dia calon pendamping yang ideal. Ra, susah nyari cowok yang paket komplet seperti itu zaman sekarang. Kamu harus pertahankan. Mama nggak mau kalau sampai kamu jadi kayak Mama karena salah pilih pasangan hidup!" Kuliah Mama masuk babak inti.
"Iya, Maaaa!" Raina menjawab cepat, tahu mamanya akan bercerita panjang lebar tentang bapaknya—yang sudah Raina hafal—jika dia membantah.
"Ya sudah, kalau gitu Mama istirahat dulu. Mama tuh khawatir, Ra, kalau kamu sama Bagas ada apa-apa. Mama udah sreg banget sama anak itu," lanjut sang mama, kemudian mematikan panggilan video call-nya.
Raina memasukkan jaket Sofi ke mesin cuci dan lekas menyambar handuk. Dia butuh mandi air hangat, berendam di bathub agar stresnya hilang. Mengawang sambil memainkan busa, Raina seringkali tidak mengerti jalan pikiran mamanya yang sudah jauh sekali. Dia bahkan masih semester enam! Tapi obrolan sang mama sudah sampai pendamping hidup. Padahal, Raina tidak mau nikah cepat-cepat. Setelah lulus dia ingin berkarier lebih dahulu, jadi perempuan independen.
Dia ingin mencapai target sukses muda; usia 30 tahun sudah punya rumah, tabungan aman, mobil pribadi, dan dana darurat sebesar dua belas kali lipat dari pendapatan bulanannya. Raina mau jadi perempuan seperti itu, bukannya mengalami quarter life crisis, bingung jati diri karena harus mendekam di rumah mengurus suami dan anak—seperti curhatan ibu-ibu muda di akun-akun pernikahan yang diikutinya. Baginya, itu mimpi buruk!
Lebih dari itu, sebenarnya dia hanya ingin lepas dari segala tuntutan sang mama. Raina harus bisa menghidupi dirinya sendiri jika dia ingin keluar dari segala aturan dan intimidasi mamanya. Dan, untuk bisa mencapai impiannya tersebut, dia membutuhkan Bagas—atau orangtuanya—yang kata Mama punya banyak orang dalam yang bisa membantunya mendapat pekerjaan bagus.
*
Tidak pernah ada cerita bahagia di balik perceraian orangtua. Apalagi, jika seorang anak sudah terlibat di dalamnya. Itulah yang Raina pertanyakan pada Tuhan ketika dia beranjak dewasa dan mengerti peran keluarga. Kenapa dia yang harus terlahir dalam keluarga tak utuh ini? Kenapa dia yang harus menjadi Raina? Kenapa dia tidak diizinkan memilih untuk lahir di keluarga yang sempurna?
Rumah mewah yang dibangun dengan jerih payah sang mama seolah menjadi saksi kesendirian gadis itu. Libur semester seperti ini menyiksanya karena dia harus pulang kampung dan tinggal sendiri di rumah. Mama yang memaksa, menghemat uang kos dan pengeluaran, katanya. Sekalipun kamarnya begitu instagramable, dengan interior desain yang classy ala kamar selebgram-selebgram, tetap saja dia tidak bisa mengajak ngobrol tembok. Atau tempat tidurnya yang super nyaman. Raina butuh teman. Butuh orangtua.
Dia ingin merasakan bagaimana senangnya disambut masakan Mama saat pulang. Dia ingin merasakan bagaimana hangatnya ngeteh sore-sore bersama sosok bapak sambil ngobrol soal kuliahnya. Dia selalu iri saat teman-temannya memajang foto liburan keluarga di story mereka.
Raina punya segala hal yang diimpikan gadis-gadis kuliahan seusianya. Perangkat paling canggih, skincaremahal, perkakas mekap lengkap, outfit trendi dan kekinian, bahkan mamanya menjanjikan mobil untuk Raina dalam waktu dekat. Sayang, semua itu hanyalah casing. Sampul yang sempurna untuk menutupi hati Raina yang kosong dan hampa. Dia merasa tidak pernah betul-betul mengenal sang mama. Baginya, mamanya hanya sebatas mesin ATM, yang menginvestasikan uang padanya, agar dia mau dibentuk menjadi seperti apa yang mamanya mau.
Orangtua Raina bercerai sejak Raina masih duduk di bangku SMP. Mamanya tidak tahan lagi dengan sikap sang bapak yang menjemukan. Bapak Raina pengangguran. Kerjaannya hanya melamun dan bermimpi tinggi, tapi tidak ada aksi. Sudah pula pengangguran, dia juga tidak punya jatah warisan yang bisa diandalkan. Sementara, kebutuhan dapur harus tetap mengepul. Karena keadaan, mama Raina terpaksa jadi tulang punggung keluarga. Namun, persoalan meruncing sehingga kata pisah pun tidak terelakkan.
Merasa bebas dari lelaki yang cuma jadi parasit dalam hidupnya, sang mama memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Dia pun mengumpulkan modal untuk berangkat ke negeri Tirai Bambu. Di sana, Mama bekerja di sebuah panti jompo, sementara Raina tinggal bersama neneknya. Sang mama bertekad untuk memapankan hidupnya serta anak semata wayangnya, hingga sampailah dia di titik ini setelah sekian tahun bekerja.
Tanah dan rumah mewah adalah simbol pencapaian sang mama. Namun, ada lagi simbol lain yang tidak kalah pentingnya. Raina sendiri. Bisa membiayai anaknya sampai sejauh ini membuat Mama, seorang single parent, begitu bangga. Apa-apa yang berhubungan dengan Raina dia posting di sosial media.
Namun, di balik itu, dia juga menuntut Raina untuk menjadi sempurna. Pokoknya, Raina harus menurut apa katanya. Tidak ada pendapat Raina. Selama Mama masih menopang hidup Raina, maka yang berlaku di hidupnya adalah pendapat Mama. Keputusan Mama. Itulah yang membuat Raina kesal. Lelah karena terus menerus dituntut menjadi sempurna, menjadi simbol kesuksesan mamanya.
Latar belakang keluarga broken home juga membuat Raina malu. Dia bingung harus menjawab apa ketika teman-temannya bertanya soal orangtua. Bahkan, hal itu dulu juga sempat menjadi ganjalan dalam hubungannya dengan Bagas. Berbulan-bulan berpacaran, tapi Raina belum jujur tentang keadaan keluarganya. Ada rasa berat ketika dia harus mengaku bahwa bapaknya adalah pria tidak bertanggung jawab, sedang mamanya hanya seorang buruh imigran. Dia merasa rendah diri, khawatir Bagas dan keluarganya yang terhormat tidak bisa menerima keadaannya.
Namun, hal itu tidak terbukti. Ketika mamanya mencari tahu tentang dunia asmara Raina, sang mama langsung minta kontak Bagas. Dengan bangga, mama Raina memperkenalkan dirinya sendiri pada belahan hati anaknya tersebut. Begitu saja. Ketakutan Raina tidak terbukti. Bagas bisa menerima. Keluarganya juga menyambutnya tanpa syarat. Raina, di sudut hati, merasa bersalah karena sempat merasa malu mengakui keadaan keluarganya yang retak.
Lamunan Raina berakhir saat dia mendengar bel pintu berbunyi. Buru-buru mengeringkan badan dan mengenakan piyama bergambar lotso favoritnya, dia sengaja menunggu. Semalam ini, siapa yang bertamu? Hujan deras pula. Akan tetapi, bel tidak berhenti bersuara. Raina mulai bimbang, mungkin tetangga butuh bantuan?
Akhirnya, Raina keluar kamar, melangkah ke pintu kaca yang tertutup korden mahal. Seketika gadis itu tersentak. Di balik gerbang rumahnya, Bagas berdiri. Hujan-hujanan. Tak mau menarik perhatian tetangga dengan pemandangan aneh itu, Raina membuka pintu, bermaksud mengusir Bagas.
Namun, kedua matanya yang sipit terbelalak. Bagas tidak hanya berdiri di sana, dramatis, terguyur hujan. Di antara tetes air yang membasahinya, Raina melihat darah segar menetes-netes dari tangan Bagas.[]