Pemuda dengan motor garang dan setelan jas hujan itu berhenti di parkiran D'Sunset Coffe. "Ayo, cepat!" katanya, saat dia melihat Sofi mendekat dengan langkah tidak niat.
Si gadis berambut ombak jadi yang terakhir dijemput setelah driver ojek Alya dan Raina datang. Dalam hati, dia juga ingin pulang dengan ojek online saja daripada harus dijemput calon suaminya. Namun, tidak menurut hanya akan membawa masalah baru dengan Ifan, juga dengan bapaknya.
"Kita mampir ke tempat biasa!" ucap Ifan—nadanya tidak menerima bantahan—saat Sofi sudah mengenakan jas hujan dan duduk di jok belakang.
"Hujan gede gini, Fan, apa nggak sebaiknya kita langsung pulang aja? Nanti dimarahi Bapak." Raina menjawab takut-takut.
"Lho, justru hujan-hujan kayak gini makin mantap.” Ifan tertawa nyaring.
Sofi menggigit bibir, tahu penolakannya tidak akan mengubah apa pun. Dengan hati yang dipenuhi beban berat berlipat-lipat, Sofi hanya bisa pasrah dan berdoa saat Ifan mengemudikan motornya ke tempat yang dia maksud.
Motel kecil yang bisa disewa per jam itu terletak di ujung kota, tak jauh dari pantai tempat D’Sunset Coffe berdiri. Keberadaannya di sana sudah jamak diketahui sebagai bentuk dari kebobrokan moral muda-mudi kota itu. Ifan pertama kali mengajaknya ke situ setelah mereka resmi bertunangan.
Sofi, yang memang tidak pernah berhubungan dengan laki-laki dan tidak mengenal tempat seperti ini, awalnya kebingungan. Kenapa Ifan mengajaknya ke penginapan? Kebingungan itu segera terjawab saat Ifan memaksa Sofi menyerahkan kehormatannya. Ifan berdalih bahwa Sofi adalah calon istrinya, jadi sah-sah saja kalau mereka melakukan hubungan terlarang tersebut sekarang.
Sudah pasti, Sofi menolak. Apa pun alasannya, ini adalah hal yang salah—selain memang dia tidak menaruh hati pada Ifan sama sekali. Gadis itu melakukan perlawanan. Dia tidak mau begini! Namun, semuanya sia-sia saja. Postur Ifan yang tinggi besar dapat dengan mudah menaklukkan Sofi. Akhirnya, di tempat itulah, si gadis berambut ombak ternoda untuk kali pertama dan kali-kali lainnya. Saat itulah, di antara rentetan penderitaan hidupnya, Sofi benar-benar merasa hancur dan terinjak-injak.
"Kalian ini kalau pulang jangan malam-malam. Iya, memang sebentar lagi kalian nikah, tapi tetap saja, sebelum itu harus jaga etika. Nggak enak sama tetangga, nanti jadi bahan gunjingan." Bapak Sofi memulai kuliahnya saat dia mendapati si anak sulung pulang pukul sebelas malam.
Sofi menunduk. Sudah jadi bagian Ifan untuk menghadapi bapaknya. "Baru jam sebelas, Pak, belum malam. Omongan tetangga nggak usah didengar lah, Pak. Tadi kami mampir makan dulu sekalian berteduh. Hujannya gede," jawab Ifan santai.
Kalau sudah Ifan yang menjawab, maka sang bapak pun tidak lagi memperpanjang masalah. Lelaki paruh baya itu menyimpan kekhawatirannya sendiri kalau sampai Ifan marah. Bisa-bisa anak sulungnya tidak jadi dipersunting anak juragan sawah. Biar bagaimanapun, Sofi harus dapat suami yang mending agar beban keluarga mereka terangkat. Hanya dirinya dan Sofi yang bekerja di keluarga ini masih belum bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi setelah sekarang dia menganggur karena PHK. Belum juga utang rentenir di sana-sini. Kalau Sofi sudah bersuami, apalagi suaminya orang kaya, pikir sang bapak, itu dapat membantu ekonomi keluarga mereka.
Obrolan basa-basi Bapak dan Ifan akhirnya usai, mengakhiri penderitaan Sofi yang harus menunggui keduanya di ruang tamu sambil menahan nyeri di area intim. Sofi melepas Ifan di depan pintu, setengah berharap pemuda itu tidak pulang dengan selamat, dan menatap dingin pada sang bapak sebelum masuk kamar.
Lantas, dia tercenung. Seprai dari bahan santung dengan motif bunga-bunganya yang sudah kusam, menjadi saksi kepedihan gadis itu. Sofi masih berharap, dalam beberapa bulan ini, ada keajaiban yang bisa membuat pernikahannya batal. Dia belum ingin menikah. Dia tidak mencintai Ifan. Pemuda itu bukan lelaki yang baik untuk dijadikan suami.
Entah sudah berapa kali dia main tangan pada Sofi jika Sofi menolak keinginannya. Termasuk malam ini, saat dia tidak mau masuk ke kamar motel. Calon suaminya tersebut menariknya paksa. Sofi dirudapaksa. Yang dia rasakan hanyalah sakit, lahir dan batin. Namun, gadis berambut ombak itu tak berani bicara. Dia takut Ifan akan semakin kasar padanya jika sampai dia buka mulut.
Kali pertama Ifan melakukan hal bejat itu padanya, Sofi sempat frustrasi. Dia mengurung diri di kamar berhari-hari. Hatinya remuk redam karena harga dirinya dilecehkan. Sofi benci sekali pada Ifan. Dia jijik menatap pantulan dirinya di cermin. Dia membenci Tuhan dan ketidakadilan yang terjadi padanya. Kenapa harus dia?
Setelah Sofi tahu betapa pun dia melawan hasilnya tidak akan berguna, gadis itu lebih memilih pasrah. Dia lelah menjadi samsak hidup Ifan. Hati dan perasaannya yang telah hancur seperti telanjur mati. Sofi tidak merasakan emosi apa pun kini, saat Ifan dengan kurang ajar mencumbunya. Sofi benci pada pemuda itu, tapi dia juga tidak berdaya.
Di sisi lain, dia juga benci pada keadaan. Kenapa Tuhan menciptakannya di tengah-tengah keluarga seperti ini? Mengapa dia yang harus jadi Sofi? Punya orangtua yang percaya betul bahwa semakin banyak anak, rezeki juga akan semakin banyak. Tapi nyatanya apa? Sofi justru harus mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan ekonomi keluarga. Dia, dengan pemikiran sederhananya, menentang pola pikir sang bapak.
Menurutnya, jika anak bertambah, maka upaya untuk mencari rezeki juga harus bertambah. Biar bagaimanapun, rezeki harus dicari. Memangnya saat bayi lahir, Tuhan juga menurunkan uang dari langit? Rezeki anak dititipkan pada orangtuanya, sehingga orangtua yang harus mencari. Bukan seperti bapak Sofi, anak ada enam tapi tidak ada upaya untuk mencari tambahan rezeki. Kalau begitu, bagaimana mereka bisa tercukupi?
Gadis itu mengembuskan napas panjang. Malam-malamnya selalu penuh dengan keresahan. Bunyi kodok yang bersahut-sahutan dari sawah sebelah rumahnya tidak bisa menghibur Sofi. Ritme gerimis yang berjatuhan di atap kamarnya juga tidak menimbulkan ketenangan. Yang dirasakan Sofi hanyalah kesakitan. Organ intimnya sakit karena paksaan Ifan. Hatinya sakit karena perlakuan Ifan. Bagaimana mungkin dia akan menjalani seumur hidupnya dengan lelaki seperti ini?
Lalu, sekilas bayangan Raina muncul begitu saja dalam benaknya. Betapa cantik Raina dengan penampilan modisnya. Betapa keren dia dengan seperangkat gadget canggih yang ditentengnya. Sofi sungguh merasa iri, terlebih karena Raina bisa mengenyam bangku kuliah, sementara dia tidak. Sofi tahu itu dari perbincangan ringan mereka tadi.
Alangkah mujur nasib Mbak Raina, batinnya. Dia pasti punya orangtua yang kaya dan tidak kolot seperti bapaknya. Keluarganya pasti bahagia, bukan sedikit-sedikit bingung karena tidak ada uang untuk beli susu atau sekadar beli beras. Orangtua Raina pasti tipikal yang akan menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, bukan malah dijual pada juragan sawah dan dijadikan sapi perah. Sofi mendesah pedih.
"Sof …." Suara lembut ibunya membuyarkan imajinasi. Tanpa perlu menunggu jawaban, wanita itu sudah masuk kamar si putri sulung. Gerendel pintu kamar Sofi rusak, belum sempat diperbaiki.
"Ada apa, Bu?"
"Adik kamu, besok butuh uang buat bayar SPP. Tadi dia bilang, kalau SPP-nya yang nunggak nggak dibayar, dia nggak boleh ikut ujian. Ibu bingung sekali, sudah cari pinjaman sana sini tapi nggak ada yang mau minjamin uang." Raut wajah ibunya yang dua tahun lagi menginjak kepala lima itu digelayuti kesedihan.
Sejak bapaknya kena PHK, ibu Sofi melakukan pekerjaan apa saja. Cuci-cuci, bersih-bersih rumah tetangga, atau sekadar buruh di sawah. Kadang, ibunya bekerja sambil membawa adik nomor enam Sofi yang masih berusia delapan bulan dan tidak mau ditinggal. Sebelumnya, ibu Sofi hanya ibu rumah tangga. Bagaimana bisa dia bekerja kalau anaknya yang masih kecil-kecil saja sudah menyita waktunya seluruhnya?
Sofi iba sekali pada Ibu. Itulah sebabnya dia terpaksa mau menerima saat bapak Ifan datang ke rumah dan melamarnya. Padahal, dia dan Ifan tidak pernah betul-betul saling kenal. Hanya sama-sama remaja yang tinggal di bagian kota yang sama. Sofi memang sering melihat Ifan nongkrong di pos kamling atau main kartu di pangkalan ojek. Hanya itu. Bertegur sapa pun tidak pernah.
"Kamu ada, Sof? Ibu pinjam dulu," lanjut sang ibu, memelas.
Sofi menggeleng, sama memelasnya. Uang gajiannya yang tidak seberapa sudah habis semua. Setelah gajian, dia langsung ditodong bapaknya.
"Aduh, Ibu harus pinjam ke mana lagi ya, Sof?" Ibu Sofi mendesah sembari mengurut pelipisnya yang penuh kerutan.
Sofi mematung. Rasa perih di hatinya kian menjalar. Dia sudah tahu maksud Ibu dengan mengutarakan persoalan uang seperti ini. Akhirnya, dengan enggan, senyum dipaksakan, Sofi menjawab, "Aku coba bilang ke Ifan ya, Bu. Mungkin dia bisa bantu."
Ibunya tersenyum getir. Sorot matanya penuh iba pada sang putri sulung, meski Sofi menangkap ada sedikit kelegaan pada pancaran tatapan Ibu. Wanita itu tahu Sofi tidak mau menikah dengan Ifan, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Selain karena di rumah ini keputusan ada di tangan Bapak, Ibu juga tidak melihat kesalahan dalam perjodohan Sofi dan Ifan.
"Makasih, ya, Nak. Maaf Ibu ngerepotin kamu terus."
Sofi menggeleng lemah. "Nggak, Bu," ucapnya nanar.
Padahal, Sofi tahu betul apa yang akan Ifan minta sebagai timbal balik jika dia minta uang pada pemuda itu—waktu lebih lama di kamar motel terkutuk.[]