Sofi kembali melanjutkan kerjanya setelah Krisna, selama lima belas menit, menguliahinya dengan tema etos kerja yang baik dan pentingnya konsentrasi saat bekerja. Sofi hanya bisa menunduk sambil mengangguk-angguk, mengucapkan beribu-ribu maaf. Akhir-akhir ini, kata Krisna, Sofi memang sering tidak konsen. Dia menghitung, dalam satu minggu tersebut sudah ada tiga kali kesalahan Sofi. Dua kali salah mengantar pesanan, dan terakhir adalah tragedi tumpahnya jus alpukat ini. Sofi tidak mengelak. Dia memang terganggu dengan segala sikap dan desakan Ifan. Sayang, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Raina masih duduk sendiri di meja pojok. Rasa tidak nyaman karena mengenakan jaket milik orang yang baru saja dia kenal, perlahan memudar. Dia menyukai parfum Sofi yang lembut, yang menurutnya, cocok dengan gadis tersebut. Jujur saja, Raina sempat terpaku pada Sofi. Selama dia berkunjung ke kafe ini, seingatnya dia pernah beberapa kali dilayani oleh Sofi, tapi tak pernah memperhatikannya. Baru kali ini Raina serius mengamati Sofi, yang seketika membuatnya insecure karena kecantikan luar biasa gadis itu. Raina bahkan sempat berpikir betapa tidak cocoknya seragam waitress, juga tempat ini, bagi Sofi. Kalau saja Sofi ada di kota yang lebih besar, minimal kota tempatnya berkuliah—pikiran Raina mulai menceracau—pasti banyak sekali om-om hidung belang yang mau jadi sugar daddy-nya. Sofi bisa hidup bermewah-mewah dengan mudah, dengan spek wajah dan tubuh seperti itu.
Raina mengenyahkan pikiran ngawurnya. Malam sudah turun sepenuhnya, mengusir semburat-semburat jingga dari langit. Gerimis juga habis tak bersisa. Gadis itu meraih kameranya yang sejak tadi menganggur. Momen sunsetsudah lewat, tapi tak mengapa. Raina juga suka memotret orang-orang random dengan kegiatan mereka, selain pemandangan.
Dari balik lensa kamera, dia seolah bisa menyaksikan sisi lain kehidupan lebih dekat. Raina bisa melihat tawa dan kesedihan orang lain, lantas kadang ikut tersenyum sendiri. Terlebih, saat ada satu keluarga yang tengah berkumpul di tempat yang sama dengannya. Dia tidak akan melewatkan momen itu, untuk kemudian turut merasakan betapa bahagianya mereka. Setidaknya, itu cukup menghibur Raina dari kesendirian.
Bidikan lensa Raina tertuju pada sekumpulan anak-anak SMA yang duduk di Area Lesehan D'Sunset Coffe. Kafe ini memang dibangun dengan gaya semi terbuka, sehingga pengunjung bisa menikmati panorama pantai secara langsung. Terdiri dari dua lantai, lantai pertama merupakan area untuk para pengunjung rombongan. Mejanya memanjang, diiringi kursi-kursi kafe di sisi-sisinya. Area ini biasa digunakan untuk meeting, bukber, arisan, halal bihalal, atau sekadar acara kongkow-kongkow yang melibatkan banyak orang.
Sementara, lantai dua terdiri dari dua bagian, yaitu bagian meja-kursi seperti yang ditempati Raina sekarang, satu meja dengan dua atau empat kursi. Bagian berikutnya adalah Area Lesehan, khusus untuk pengunjung yang lebih suka duduk di bawah. Area ini juga dilengkapi dengan bean bag warna-warni, yang berpadu dengan konsep interior penuh lampu neon. Saat senja menjelang dan lampu-lampunya dinyalakan, D'Sunset Coffe berubah menjadi tempat yang sangat estetik dan instagramable. Tak heran kafe ini viral.
Raina membidik dengan saksama. Gerombolan anak-anak SMA itu terdiri dari delapan orang. Lima siswi dan tiga siswa. Mereka asyik bercanda, tiktokan, sementara salah satu cowok—yang Raina nilai paling keren di antara lainnya—sibuk menggenjreng gitar.
Raina berdecak heran melihat penampilan siswi SMA sekarang yang seperti mau pergi kondangan alih-alih sekolah. Bahkan, dia yang sudah kuliah saja tidak pernah bermekap berlebihan saat jam perkuliahan. Menurutnya seperti salah tempat saja.
Namun, di antara empat siswi menor yang sedang joget-joget tiktok itu, Raina menangkap keganjilan. Dia belum lama lulus SMA, dan tahu betul kumpulan semacam ini adalah geng anak-anak populer—biasanya dari segi fisik dan finansial. Dia sendiri tidak pernah mau terlibat dengan geng-geng semacam itu. Masa SMA Raina sangat biasa, bahkan banyak sendunya.
Raina mengernyit. Gadis kelima tampak sangat tidak cocok ada di sana, menurutnya. Alih-alih main tiktok seperti yang lain, gadis tersebut justru sibuk dengan buku dan laptop. Raina taksir sedang mengerjakan PR dan tugas. Tak hanya satu buku, di depannya ada setumpuk buku yang seolah sedang antre menunggu disentuh oleh gadis itu.
Raina mengaktifkan fitur zoom. Sekarang, dia dengan jelas bisa melihat wajah si gadis. Sama halnya saat dia SMA, wajah gadis tersebut tidak tersentuh mekap seperti teman-teman lainnya. Keningnya jerawatan. Hidungnya komedoan. Dan, tahi lalat besar di sudut dagunya membuat Raina segera menarik kesimpulan seperti detektif amatir yang memecahkan misteri. Mereka, anak-anak keren itu, memanfaatkan si gadis—yang Raina yakin pasti pintar—untuk kerja kelompok dan tugas individu. Mereka menyerahkan semua pekerjaan tersebut padanya, sedang mereka asyik bersenang-senang. Raina mengabadikan momen itu. Diam-diam hatinya menaruh iba pada si gadis, meski anehnya, gadis itu terlihat senang.
*
Desember memang penuh ketidakpastian. Sejenak lalu langit memancar terang, detik berikutnya hujan datang lagi tanpa permisi. Hujan, selalu bisa membuat orang yang sedang dalam perjalanan ingin buru-buru sampai di peraduan. Di sisi lain, hujan juga bisa membuat seseorang tertahan di suatu tempat dan tidak bisa pulang.
Raina masuk di kategori terakhir. Dia sudah berkali-kali memesan ojek dan taksi online, tapi tak ada driver yang menyambar pesanannya. Hujan memang begitu lebat. Angin bergemuruh riuh. Pucuk-pucuk pohon cemara di sisi pantai bergoyang-goyang liar. Raina memutuskan untuk menunggu bersama banyak pengunjung lainnya. Namun, sampai pukul setengah sembilan malam, yang mana jam tutup D'Sunset Coffe, hujan tersebut belum juga menunjukkan tanda-tanda mau berhenti. Banyak pengunjung kafe yang sudah pergi, nekat menerobos hujan bersama pasangan dan teman-teman.
Raina sekarang duduk di parkiran kafe, menatap cemas aplikasi ojek online yang masih berkedip-kedip mencari driver. Puluhan pesan dari Bagas yang sejak tadi hanya dibacanya, mendadak Raina tergerak untuk membalas. Di saat-saat susah begini, selalu ada Bagas yang membantu. Rupanya dia belum bisa lepas sama sekali dari kebiasaan itu.
Gadis berlesung pipi tersebut mendesah bimbang. Kemarahannya pada Bagas masih menggebu-gebu, dan cowok itu pasti sudah pulang, pikir Raina. Meminta tolong agar Bagas menjemputnya di kafe yang sudah mulai sepi ini sama dengan menjilat ludah sendiri. Raina tentu sadar, dia sudah memutuskan Bagas tadi.
"Mbak, Mbak Raina belum pulang?"
Raina kaget mendengar teguran tiba-tiba itu. Sofi, setengah berlari sambil membawa payung, sudah ada di sampingnya sekarang.
"Eh, iya ini lagi nunggu gojek," jawab Raina singkat. Dia memperhatikan lengan Sofi kebasahan terkena tampias hujan. Gadis itu sudah mengganti seragamnya dengan kaus katun berlengan pendek dan celana jeans semata kaki.
"Eh, Sofi …” Raina terpikirkan sesuatu. “Udara dingin, kamu pasti butuh jaket ini buat pulang. Kamu pakai aja.”
Raina melepas kancing atas jaket rajut Sofi, tapi gadis itu buru-buru menolak usulan Raina. "Nggak, Mbak, nggak usah. Dipakai Mbak Raina saja. Rumah saya dekat, kok. Bener, Mbak, saya nggak enak kalau Mbak Raina mesti lepas jilbab gara-gara kecerobohan saya. Nanti saya ikut nanggung dosanya lagi, hehe." Sofi nyengir.
Raina mau tidak mau ikut tersenyum. “Aku pakai inner baju panjang kok, sebenarnya. Ya tipis sih, tapi nggak perlu sampai lepas jilbab.”
“Nggak, Mbak, dipakai Mbak Raina saja. Itu permintaan maaf saya, nanti saya malah kepikiran terus kalau Mbak Raina tolak.” Sofi memohon dengan raut wajah memelas. Raina sampai tak berkedip dibuatnya, karena bahkan dengan ekspresi seperti itu, Sofi terlihat semakin cantik dan menggemaskan.
“O-oke kalau gitu, aku balikin secepatnya. Makasih, ya.” Raina berdeham kikuk. “Btw kamu mau pulang? Naik motor?"
Sofi tersenyum lebar sambil mengembuskan napas lega. "Iya, Mbak, mau pulang. Nunggu jemputan."
“Oh …” gumam Raina.
Mereka pun terlibat dalam obrolan basa-basi biasa, meski kadang ditengahi jeda panjang juga. Saat sepertinya sudah tidak ada obrolan dan keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing, seseorang datang dan duduk di bangku panjang di sebelah bangku mereka.
Si cewek pintar, batin Raina. Dengan ransel berwarna hijau muda yang menggelembung besar. Akan tetapi, Raina mengernyit heran. Kenapa dia sendirian? Ke mana teman-temannya yang lain? Terdorong rasa penasaran, Raina memanggil si gadis SMA untuk mengajaknya duduk bersama mereka. Raina juga heran atas sikapnya sendiri hari ini yang begitu lepas dan mudah bergaul dengan orang baru. Biasanya dia tidak begitu. Mungkin karena dia sedang merasa begitu kesepian, hatinya juga remuk redam.
"Dek!"
Si gadis SMA menoleh.
"Iya, kamu," lanjut Raina. "Sini, duduk sini."
Gadis bertahi lalat tersebut awalnya terlihat ragu, tetapi kemudian mendekat juga.
"Daripada sendirian, sini duduk aja bareng kita. Lagi nunggu teman-teman, ya?" tanya Raina.
Si gadis tersenyum sungkan. "Iya, Mbak, makasih. Nggak, lagi nunggu gojek," jawabnya, sambil beringsut duduk di sebelah Sofi.
"Wah, sama dong, kita. Sama-sama nunggu jemputan." Sofi berseloroh ceria, sementara Raina semakin penasaran.
Kenapa hanya gadis ini yang ngojek sendirian? Teman-temannya ke mana? Tapi, pertanyaan tersebut dia pendam.
"Kamu sekolah di mana?" Sofi memecah keheningan setelah mereka terdiam beberapa saat.
"MAN 03, Mbak," jawab si gadis kalem.
"Wah!" Raina memekik antusias. "Aku juga alumni sana."
"Oh, ya? Lulusan tahun berapa, Mbak?"
"Tiga tahun lalu. Apa kabar tuh, sekolah? Kepala sekolahnya masih Pak Bandot?"
Si gadis SMA tertawa sambil mengangguk menanggapi gurauan Raina. Pak Bandot adalah julukan untuk kepala sekolah MAN 03 yang model jenggotnya seperti kambing bandot.
"Syukur deh, kalau beliau masih sehat. Nama kamu siapa, Dek?" Raina bertanya.
"Alya, Mbak," jawab si gadis tahi lalat, refleks mengulurkan tangan.
Gadis lesung pipi tersenyum menerima jabatan tangan Alya. “Raina.”
“Aku Sofi.” Si gadis rambut ombak tak mau kalah.
Alya ganti menjabat tangan Sofi erat, dengan mata terbelalak lebar. “Mbak Sofi cantik banget, mirip Mawar de Jongh,” ucapnya tanpa tedeng aling-aling. Sofi tertawa renyah menanggapi pujian Alya, seolah hari ini berjalan baik baginya. Begitu pula Raina, tertawa karena kepolosan gadis SMA yang ternyata adik kelasnya, membuatnya sejenak melupakan Bagas.
Malam itu, di D’Sunset Coffe, hujan mempertemukan dan menahan ketiga gadis, membuka kisah persahabatan mereka.[]