Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

Raina bukan satu-satunya gadis di kota kecil itu yang merasakan sesak di dada. Terkadang, cara kerja takdir tak jauh berbeda untuk satu orang dan orang lainnya. Sebagian sedang dilanda gundah, begitu menghimpit sampai mengira mati adalah satu-satunya jalan; sebagian sedang di fase—hidup begitu indah. Begitu terus berganti-ganti, berkelindan, saling tersambung seperti tali-tali rumit, yang pada akhirnya akan terurai juga jika si pemilik takdir mampu melewatinya.

Hari ini, Sofi berangkat ke tempat kerja dengan gairah yang biasa-biasa saja. Dia memang tidak pernah terlalu bersemangat seperti pengunjung D’Sunset Coffe yang selalu dia siapkan pesanannya. Sofi selalu iri pada mereka yang menyempatkan waktu berkunjung untuk menikmati panorama matahari terbenam di kafe itu, meski dia bisa menyaksikannya nyaris setiap hari. Tawa mereka, atau kadang-kadang masalah yang tak bisa disembunyikan di raut wajah, selalu membuat Sofi termangu-mangu menebak. Masalah mereka pastilah tidak seberat masalahnya, begitu pikir gadis berambut ombak itu.

Dia sering menyangka Tuhan tidak adil, menumpahkan masalah serumit ini di pundaknya. Atau kenapa Tuhan tidak memberikannya pilihan. Seandainya dia bisa memilih, dia tidak ingin lahir di kota kecil ini, apalagi di lingkungan yang menurutnya masih sangat kuno, dari bapak yang kolot dan tidak berguna. 

Bapak dan kota kecil ini mengungkung mimpinya. Di umurnya yang baru akan menginjak kepala dua, Sofi tidak pernah berharap berakhir sebagai pelayan kafe begini. Dia punya mimpi, punya cita-cita, punya rencana lain untuk mengangkat derajat keluarganya alih-alih dengan bekerja atau lebih buruknya, menikah muda. Gadis cantik itu menatap lamat-lamat cincin emas yang melingkar di jari manisnya, dan seketika merasa beban di hatinya kian berat saja.

Sofi tahu betul dia bagian dari apa yang disebut para ahli sebagai sandwich generation. Dia punya tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga, menyekolahkan adik-adiknya. Sofi tidak akan lari dari takdir itu. Dia menyayangi ibu dan saudara-saudaranya. Tetapi, bukan dengan cara ini. Bukan dengan bertunangan dengan Ifan, putra juragan sawah yang kata Bapak bisa menjamin hidup keluarga mereka. 

Sofi mendengkus. Dia tidak ingin punya sawah. Sofi ingin kuliah. Dia sangat ingin kuliah. Pergi ke kampus dengan pakaian rapi, mengerjakan tugas di depan laptop, hingga bisa mengunggah foto berjas almameter sambil menenteng proposal skripsian. Dia bahkan sudah memikirkan caption-nya—one step closer—dengan emotikon haru. Sofi ingin mengangkat derajat keluarga dengan cara itu.

Kenyataannya, tanggal pernikahan sudah ditentukan. Tinggal hitungan bulan. Sofi selalu bangun di pagi hari dengan keinginan menghilang saja dari muka bumi. Meski kata orang-orang dia dan Ifan adalah pasangan yang sangat serasi, cantik, tampan, toh itu tidak membuat Sofi senang.

Sofi memang sangat menawan. Jika ada ajang putri-putrian di kota kecil itu, juri pasti akan mendapuknya sebagai pemenang dalam satu kali pandang. Wajahnya rupawan, kopian turun temurun dari sang nenek. Orang-orang mengira dulu nenek buyut Sofi adalah selir tentara Belanda. Tak heran jika Sofi memiliki kulit putih bersih, berhidung bangir, tulang pipi tinggi, mata lebar dengan pupil kecokelatan, serta rambut berombak yang tebal alami. Polesan mekap sedikit saja akan membuat Sofi tampak seperti boneka porselen. Tinggi badannya jauh menjulang dari rata-rata gadis seusianya. Alih-alih menjadi pelayan D'Sunset Coffe, Sofi sebenarnya lebih cocok jadi model yang berlenggak-lenggok memamerkan rancangan desainer ternama di catwalk.

"Sof, lagi ada masalah? Dari tadi ngelamun mulu.” Sofi tersentak saat Krisna, supervisor D’Sunset Coffe, menegurnya. 

“Oh-eh, ng-nggak, Mas. Maaf.” Gadis itu melemparkan senyuman tak enak.

Krisna mengangguk sekilas sambil berlalu. Sofi buru-buru mematikan blender dan mendapati jus alpukat yang sedang dibuatnya terlalu encer. Dia mendesah. Orang yang memesan jus ini bisa saja komplain, dan selain rasa tak enak hatinya sendiri pada pelanggan, dia bakal kena tegur lagi. Apalagi, si pemesan ini sudah mencuri perhatian Sofi sejak pertama dia memasuki pintu kafe. 

Seorang gadis, yang dia taksir berumur dua atau tiga tahun di atasnya. Gadis sempurna di matanya. Dia selalu berharap jadi gadis seperti itu—penampilannya, gestur tubuhnya, outfit-nya, semua memancarkan intelektualitas. Pasti anak kuliahan, begitu batin Sofi. Baginya, orang berpendidikan tinggi selalu punya aura yang beda. 

Memantapkan hati, Sofi mengantar pesanan gadis itu—meja paling pojok lantai dua yang langsung menghadap laut lepas. Semakin dekat, entah kenapa jantung Sofi semakin bertalu-talu. Dia gugup, terintimidasi oleh perbedaan yang sangat mencolok antara dirinya dengan gadis itu. Meski kelihatan sedang melamun, gadis tersebut tetap kelihatan elegan dalam balutan kulot broken white dan jaket oversize semi crop berwarna lime. Pashmina kaos sewarna kulotnya membingkai wajah yang glowing dengan mekap natural. I-Phone terbaru tergeletak di meja, berikut kamera mahal.

Sofi menelan ludah. Dia menyadari telapak tangannya berkeringat. Dia membayangkan dirinya menjadi gadis itu, alih-alih terkungkung dalam seragam waitress ini. Bagaimana rasanya? Seperti apa bangganya? 

Ada satu lagi yang mengusik benak Sofi. Gadis ini sendiri. Sepanjang pengalamannya bekerja di sini, sangat jarang pengunjung yang datang sendiri. Kalau pun sendiri, biasanya sedang menunggu seseorang. Tapi, sudah cukup lama gadis sempurna itu termenung sendirian, tidak ada siapa pun yang datang. Saking terpaku, Sofi tidak menyadari dua balita yang sedang lari-larian ke arahnya, ke meja si gadis. 

Hari sial memang tidak ada di kalender. Entah sial bagi Sofi atau gadis itu, atau untuk kedua balita yang seketika menangis sambil berteriak gaduh. Insiden tersebut terjadi begitu cepat. Salah satu anak menabrak Sofi. Tangan Sofi yang berkeringat tergelincir dari nampan. Jus alpukat encer itu tumpah, membasahi jaket si gadis sempurna. 

Sofi memekik.  Kesadarannya kembali. Gugup, bingung, panik, otaknya merancang rencana yang mungkin bisa sedikit mengurangi kekacauan. Sofi meraih tisu, mengusap jaket gadis itu, siap menerima makian.

“Aduh, Mbak, maaf, maaf. Aduh, maaf ya, Mbak …”

Beberapa detik berlalu dan si gadis tetap diam. Sofi mulai khawatir. Gadis ini pasti marah sekali. Mungkin Krisna akan memecatnya di akhir shift nanti. Namun, kekhawatiran Sofi sirna saat detik berikutnya gadis itu justru menangis terisak.

“U-udah nggak apa-apa …” ucapnya lirih, pilu.

“Mb-Mbak ….” Sofi tidak tahu harus berbuat apa. Dia terkejut mendapati reaksi gadis di hadapannya. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan itu sekarang. Mengatasi masalah jus tumpah ini jauh lebih penting.

Ayo, Sof, mikir, mikir. Dan ide hebat itu muncul begitu saja.

“Mbak … jaket Mbak basah semua.” Dia menggigit bibir, berusaha memilah kalimat. “Mbak, gimana kalau Mbak pakai jaket saya dulu? Anu …”

Perkataan Sofi terhenti karena gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Sofi.

“Eh, anu, Mbak … maaf, Mbak kan berhijab, jadi nggak mungkin Mbak lepas jaket. Pakai jaket saya dulu ya, Mbak, sebagai permintaan maaf saya.”

Jeda beberapa waktu. Gadis itu mengambil tisu dan menyeka air matanya, lantas mengangguk pelan. Sofi tersenyum penuh syukur.

“Ayo, Mbak, ikut saya ke ruang ganti. Nanti … nanti jusnya saya buatkan lagi, saya yang ganti.”

Kedua gadis itu berjalan beriringan di bawah tatapan tajam Krisna. Sofi mengisyaratkan maaf pada sang atasan, bibirnya berkecumik—nanti dulu marahnya ya, Mas.

"Ini gimana balikinnya? Aku nggak sering ke sini,” ucap gadis itu setelah mengenakan sweater rajut milik Sofi.

“Gampang, Mbak. Anu, maksud saya, boleh kapan aja kalau Mbak pas ke sini lagi. Nggak usah buru-buru, Mbak. Maaf …”

“Minta nomor WA aja, ya.”

Sofi tersentak, tak menyangka. “Bo-boleh, Mbak.” Dia lalu menyebutkan nomor ponsel.

“Nama kamu siapa?” tanya si gadis.

“Sofi, Mbak.”

“Oke. Udah aku chat. Masuk nggak?”

Sofi merogoh ponsel di saku jeans, membuka aplikasi hijau dan mendapati sebuah pesan dari nomor baru. “Sudah, Mbak. Saya save, ya.”

Si gadis mengangguk. “Raina.”

Sofi menatap gadis sempurna bernama Raina itu sampai dia kembali ke mejanya. Ada gelenyar aneh di perutnya, seperti kupu-kupu yang menggelitik. Mimpi apa dia semalam, sampai bisa punya kenalan baru sekeren itu?

Namun, perasaan senangnya menyusut kempis begitu  ponselnya berbunyi. Notifikasi WA. Pesan dari tunangannya. 

Ifan New

Pokoknya nanti kita ke tempat biasa dulu setelah kamu pulang kerja.

Kayak yang aku bilang tadi.

Awas kalau nggak mau!!!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Andai Kita Bicara
674      520     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Finding the Star
1338      959     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
2410      1354     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
My First love Is Dad Dead
55      52     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Catatan Takdirku
1246      738     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
134      114     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Perahu Jumpa
294      240     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Penerang Dalam Duka
963      529     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Metanoia
53      45     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Fragmen Tanpa Titik
44      40     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...