Raina bukan satu-satunya gadis di kota kecil itu yang merasakan sesak di dada. Terkadang, cara kerja takdir tak jauh berbeda untuk satu orang dan orang lainnya. Sebagian sedang dilanda gundah, begitu menghimpit sampai mengira mati adalah satu-satunya jalan; sebagian sedang di fase—hidup begitu indah. Begitu terus berganti-ganti, berkelindan, saling tersambung seperti tali-tali rumit, yang pada akhirnya akan terurai juga jika si pemilik takdir mampu melewatinya.
Hari ini, Sofi berangkat ke tempat kerja dengan gairah yang biasa-biasa saja. Dia memang tidak pernah terlalu bersemangat seperti pengunjung D’Sunset Coffe yang selalu dia siapkan pesanannya. Sofi selalu iri pada mereka yang menyempatkan waktu berkunjung untuk menikmati panorama matahari terbenam di kafe itu, meski dia bisa menyaksikannya nyaris setiap hari. Tawa mereka, atau kadang-kadang masalah yang tak bisa disembunyikan di raut wajah, selalu membuat Sofi termangu-mangu menebak. Masalah mereka pastilah tidak seberat masalahnya, begitu pikir gadis berambut ombak itu.
Dia sering menyangka Tuhan tidak adil, menumpahkan masalah serumit ini di pundaknya. Atau kenapa Tuhan tidak memberikannya pilihan. Seandainya dia bisa memilih, dia tidak ingin lahir di kota kecil ini, apalagi di lingkungan yang menurutnya masih sangat kuno, dari bapak yang kolot dan tidak berguna.
Bapak dan kota kecil ini mengungkung mimpinya. Di umurnya yang baru akan menginjak kepala dua, Sofi tidak pernah berharap berakhir sebagai pelayan kafe begini. Dia punya mimpi, punya cita-cita, punya rencana lain untuk mengangkat derajat keluarganya alih-alih dengan bekerja atau lebih buruknya, menikah muda. Gadis cantik itu menatap lamat-lamat cincin emas yang melingkar di jari manisnya, dan seketika merasa beban di hatinya kian berat saja.
Sofi tahu betul dia bagian dari apa yang disebut para ahli sebagai sandwich generation. Dia punya tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga, menyekolahkan adik-adiknya. Sofi tidak akan lari dari takdir itu. Dia menyayangi ibu dan saudara-saudaranya. Tetapi, bukan dengan cara ini. Bukan dengan bertunangan dengan Ifan, putra juragan sawah yang kata Bapak bisa menjamin hidup keluarga mereka.
Sofi mendengkus. Dia tidak ingin punya sawah. Sofi ingin kuliah. Dia sangat ingin kuliah. Pergi ke kampus dengan pakaian rapi, mengerjakan tugas di depan laptop, hingga bisa mengunggah foto berjas almameter sambil menenteng proposal skripsian. Dia bahkan sudah memikirkan caption-nya—one step closer—dengan emotikon haru. Sofi ingin mengangkat derajat keluarga dengan cara itu.
Kenyataannya, tanggal pernikahan sudah ditentukan. Tinggal hitungan bulan. Sofi selalu bangun di pagi hari dengan keinginan menghilang saja dari muka bumi. Meski kata orang-orang dia dan Ifan adalah pasangan yang sangat serasi, cantik, tampan, toh itu tidak membuat Sofi senang.
Sofi memang sangat menawan. Jika ada ajang putri-putrian di kota kecil itu, juri pasti akan mendapuknya sebagai pemenang dalam satu kali pandang. Wajahnya rupawan, kopian turun temurun dari sang nenek. Orang-orang mengira dulu nenek buyut Sofi adalah selir tentara Belanda. Tak heran jika Sofi memiliki kulit putih bersih, berhidung bangir, tulang pipi tinggi, mata lebar dengan pupil kecokelatan, serta rambut berombak yang tebal alami. Polesan mekap sedikit saja akan membuat Sofi tampak seperti boneka porselen. Tinggi badannya jauh menjulang dari rata-rata gadis seusianya. Alih-alih menjadi pelayan D'Sunset Coffe, Sofi sebenarnya lebih cocok jadi model yang berlenggak-lenggok memamerkan rancangan desainer ternama di catwalk.
"Sof, lagi ada masalah? Dari tadi ngelamun mulu.” Sofi tersentak saat Krisna, supervisor D’Sunset Coffe, menegurnya.
“Oh-eh, ng-nggak, Mas. Maaf.” Gadis itu melemparkan senyuman tak enak.
Krisna mengangguk sekilas sambil berlalu. Sofi buru-buru mematikan blender dan mendapati jus alpukat yang sedang dibuatnya terlalu encer. Dia mendesah. Orang yang memesan jus ini bisa saja komplain, dan selain rasa tak enak hatinya sendiri pada pelanggan, dia bakal kena tegur lagi. Apalagi, si pemesan ini sudah mencuri perhatian Sofi sejak pertama dia memasuki pintu kafe.
Seorang gadis, yang dia taksir berumur dua atau tiga tahun di atasnya. Gadis sempurna di matanya. Dia selalu berharap jadi gadis seperti itu—penampilannya, gestur tubuhnya, outfit-nya, semua memancarkan intelektualitas. Pasti anak kuliahan, begitu batin Sofi. Baginya, orang berpendidikan tinggi selalu punya aura yang beda.
Memantapkan hati, Sofi mengantar pesanan gadis itu—meja paling pojok lantai dua yang langsung menghadap laut lepas. Semakin dekat, entah kenapa jantung Sofi semakin bertalu-talu. Dia gugup, terintimidasi oleh perbedaan yang sangat mencolok antara dirinya dengan gadis itu. Meski kelihatan sedang melamun, gadis tersebut tetap kelihatan elegan dalam balutan kulot broken white dan jaket oversize semi crop berwarna lime. Pashmina kaos sewarna kulotnya membingkai wajah yang glowing dengan mekap natural. I-Phone terbaru tergeletak di meja, berikut kamera mahal.
Sofi menelan ludah. Dia menyadari telapak tangannya berkeringat. Dia membayangkan dirinya menjadi gadis itu, alih-alih terkungkung dalam seragam waitress ini. Bagaimana rasanya? Seperti apa bangganya?
Ada satu lagi yang mengusik benak Sofi. Gadis ini sendiri. Sepanjang pengalamannya bekerja di sini, sangat jarang pengunjung yang datang sendiri. Kalau pun sendiri, biasanya sedang menunggu seseorang. Tapi, sudah cukup lama gadis sempurna itu termenung sendirian, tidak ada siapa pun yang datang. Saking terpaku, Sofi tidak menyadari dua balita yang sedang lari-larian ke arahnya, ke meja si gadis.
Hari sial memang tidak ada di kalender. Entah sial bagi Sofi atau gadis itu, atau untuk kedua balita yang seketika menangis sambil berteriak gaduh. Insiden tersebut terjadi begitu cepat. Salah satu anak menabrak Sofi. Tangan Sofi yang berkeringat tergelincir dari nampan. Jus alpukat encer itu tumpah, membasahi jaket si gadis sempurna.
Sofi memekik. Kesadarannya kembali. Gugup, bingung, panik, otaknya merancang rencana yang mungkin bisa sedikit mengurangi kekacauan. Sofi meraih tisu, mengusap jaket gadis itu, siap menerima makian.
“Aduh, Mbak, maaf, maaf. Aduh, maaf ya, Mbak …”
Beberapa detik berlalu dan si gadis tetap diam. Sofi mulai khawatir. Gadis ini pasti marah sekali. Mungkin Krisna akan memecatnya di akhir shift nanti. Namun, kekhawatiran Sofi sirna saat detik berikutnya gadis itu justru menangis terisak.
“U-udah nggak apa-apa …” ucapnya lirih, pilu.
“Mb-Mbak ….” Sofi tidak tahu harus berbuat apa. Dia terkejut mendapati reaksi gadis di hadapannya. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan itu sekarang. Mengatasi masalah jus tumpah ini jauh lebih penting.
Ayo, Sof, mikir, mikir. Dan ide hebat itu muncul begitu saja.
“Mbak … jaket Mbak basah semua.” Dia menggigit bibir, berusaha memilah kalimat. “Mbak, gimana kalau Mbak pakai jaket saya dulu? Anu …”
Perkataan Sofi terhenti karena gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Sofi.
“Eh, anu, Mbak … maaf, Mbak kan berhijab, jadi nggak mungkin Mbak lepas jaket. Pakai jaket saya dulu ya, Mbak, sebagai permintaan maaf saya.”
Jeda beberapa waktu. Gadis itu mengambil tisu dan menyeka air matanya, lantas mengangguk pelan. Sofi tersenyum penuh syukur.
“Ayo, Mbak, ikut saya ke ruang ganti. Nanti … nanti jusnya saya buatkan lagi, saya yang ganti.”
Kedua gadis itu berjalan beriringan di bawah tatapan tajam Krisna. Sofi mengisyaratkan maaf pada sang atasan, bibirnya berkecumik—nanti dulu marahnya ya, Mas.
"Ini gimana balikinnya? Aku nggak sering ke sini,” ucap gadis itu setelah mengenakan sweater rajut milik Sofi.
“Gampang, Mbak. Anu, maksud saya, boleh kapan aja kalau Mbak pas ke sini lagi. Nggak usah buru-buru, Mbak. Maaf …”
“Minta nomor WA aja, ya.”
Sofi tersentak, tak menyangka. “Bo-boleh, Mbak.” Dia lalu menyebutkan nomor ponsel.
“Nama kamu siapa?” tanya si gadis.
“Sofi, Mbak.”
“Oke. Udah aku chat. Masuk nggak?”
Sofi merogoh ponsel di saku jeans, membuka aplikasi hijau dan mendapati sebuah pesan dari nomor baru. “Sudah, Mbak. Saya save, ya.”
Si gadis mengangguk. “Raina.”
Sofi menatap gadis sempurna bernama Raina itu sampai dia kembali ke mejanya. Ada gelenyar aneh di perutnya, seperti kupu-kupu yang menggelitik. Mimpi apa dia semalam, sampai bisa punya kenalan baru sekeren itu?
Namun, perasaan senangnya menyusut kempis begitu ponselnya berbunyi. Notifikasi WA. Pesan dari tunangannya.
Ifan New
Pokoknya nanti kita ke tempat biasa dulu setelah kamu pulang kerja.
Kayak yang aku bilang tadi.
Awas kalau nggak mau!!!