Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

Bersama hujan deras bulan Desember yang setiap tetesnya membawa cerita masing-masing, takdir juga sedang menyusun kelindan kisah untuk gadis kedua di kota kecil itu. Beda dengan Alya yang hatinya mendadak melambung, di belahan lain yang tak jauh, Raina sedang tercenung. Campuran perasaan lebur jadi satu dalam dadanya—marah, terkejut, kecewa. Yang jelas, dia ingin sekali melampiaskan semuanya pada cowok yang sedang tertunduk putus asa di hadapannya—yang dia sebut pacar. Pacar idaman, kalau meminjam istilah mamanya.

Sejak pagi Raina sudah membayangkan, di kamarnya yang instagramable, hari ini akan berjalan indah. Dia dan Bagas akan merayakan hari jadi kedua tahun. Dua tahun! Sungguh rekor bagus bagi pengalaman percintaan Raina yang hobi gonta-ganti pacar. Cowok terakhir sebelum Bagas hanya dipacarinya selama dua minggu lantaran terlalu obsesif dan serba penuh aturan. Memangnya mereka sedang terikat kontrak kerja atau apa?

Satu dari banyak hal yang membuat Raina betah pacaran dengan Bagas adalah perangainya yang sopan. Mengingat cowok sopan di era ini hampir punah, Raina merasa perlu mempertahankannya. Bagas juga memperlakukan Raina seperti seorang ratu. Selain pacar, dia juga merangkap jadi tukang ojek yang siap antar-jemput dari kost ke kampus setiap hari; selalu siaga mengirimi Raina nasgor Bang Supri tiap malam kalau cewek itu sedang tidak punya waktu untuk cari makan; bahkan jadi tukang fotokopi atau tukang print Raina. 

Act of service banget, begitu teman-teman Raina melontarkan iri hati mereka. Dulu, Raina selalu menanggapi komentar itu dengan senyum bangga dan mengejek, sengaja membuat teman-temannya semakin panas. “Act of service, green flag parah lagi!”

Namun, sebetulnya, yang membuat Bagas berbeda adalah karena mereka memulai hubungan tersebut dari sebuah persahabatan manis. Sahabat jadi cinta—klise, kuno, bahkan Raina tak pernah membayangkan itu akan terjadi padanya. Entah bagaimana awalnya, mereka tiba-tiba saja kenal, punya hobi yang sama—fotografi—dan nyambung begitu saja. Bagas adalah kakak tingkat Raina, dua tahun di atasnya. Mereka kuliah di universitas yang sama, jurusan yang sama, akuntansi. Lalu, semuanya berjalan semudah bernapas.

Raina pikir hari ini akan sempurna. Jarak mereka yang renggang akibat libur semester akhirnya terpangkas. Mereka berencana merayakan hari jadi itu di kota kecil Raina. Bagas tentu rela menempuh waktu tiga jam perjalanan. Jangankan cuma itu, samudera saja pasti bisa diarunginya. Cinta mereka masih merekah demikian indah, hingga terasa bisa mengatasi segala masalah. Setidaknya, itu yang ada dalam benak Raina. 

Raina mengajak Bagas hunting foto bersama di destinasi wisata yang sedang viral di kotanya, meski derai hujan yang tak berjeda sejak semalam sedikit menyurutkan semangat. Walau begitu, Raina masih optimis. Hujan dan Bagas baginya adalah perpaduan romantis. Dia tak mengira khayalannya yang indah berbanding terbalik dengan takdir. 

"Aku minta maaf, Rain. Aku janji nggak akan ngulangi kebodohan ini lagi." Bagas, dengan raut wajah memelas, berkata parau.

Raina mendengkus. Lesung di kedua pipi—hal lain pada Raina yang membuat teman-temannya iri— tampak semakin dalam. "Dulu kamu juga janji kayak gitu! Tapi kamu lakuin lagi, kan? Tuman kamu, Gas!" 

Bagas menciut. Gebrakan tangan Raina di meja barusan tak hanya membuat es tehnya yang masih penuh tumpah sebagian, tapi berpasang-pasang mata di gerai makan itu juga tertuju pada mereka.

"Itu cuma temanku. Sumpah, Rain! Kami nggak ada apa-apa. Ayolah, Rain ….” Cowok itu berusaha menggenggam tangan Raina, tapi Raina sudah lebih dulu menepisnya dengan kasar.

"Kamu benar-benar mikir aku sebodoh itu?” Rasa panas yang sejak tadi meremas dadanya, kini sampai di sudut mata Raina. “Kita putus aja, Gas.”

Bagas mematung sesaat. “Ra-Rain … p-plis, jangan gini.”

“Kamu udah dua kali selingkuh, Gas!” Nada bicara Raina dingin dan menghunjam, rahangnya mengertak.

“T-tapi aku nggak bisa tanpa kamu, Raina! Kamu tahu—”

“Terus begini caranya? Dengan nyakitin aku terus?”

“Rain, Rain, semua orang ngelihatin kita.” Bagas berusaha menenangkan Raina, sambil mengedarkan pandang dan meminta maaf dengan canggung pada pengunjung lain yang mulai melontarkan tatapan jengkel.

Raina berdeham, memperbaiki posisi duduknya, berusaha mengacuhkan tatapan orang-orang. Dia tahu wajahnya pasti merah padam sekarang karena panasnya terasa membakar. Pedih di hatinya bergumul dengan rasa malu. Tak mau diusir dari situ oleh waitress, Raina mengambil ponsel di tas dan memesan ojek online. Senja mulai turun, hujan menyisakan gerimis kecil-kecil. Tak masalah dia sedikit kebasahan, daripada harus semobil dengan Bagas dan membiarkan cowok itu mengantarnya ke rumah.

“Mending sekarang kamu pulang,” ucap Raina tanpa menatap Bagas.

“Rain, plis, jangan gini …”

“Aku nggak bisa lagi, Gas.” Raina berdiri dari kursi, menyusut sebulir air mata di sudut matanya dengan punggung tangan. “Kita sampai sini aja.”

Saat membonceng motor ojek online-nya, Raina setengah berharap Bagas akan menyusul, meneriakinya dengan dramatis di bawah gerimis seperti di film-film. Namun, sampai di tikungan yang melenyapkan pandangan Raina dari gerai makan tersebut, sosok itu tak juga muncul. Entah perasaan apa yang bergumul di dadanya sekarang—pedih, tapi juga lega—dia berusaha untuk tidak menangis lagi. Air matanya, dirinya, terlalu berharga untuk cowok tak berkomitmen seperti Bagas!

Senja menutup siang yang muram dengan seiris harapan. Awan-awan tebal perlahan memudar dari langit. Satu dua bintang terlihat bekerlipan. Bulan sabit, meski malu-malu, menampakkan dirinya. Raina menikmati panorama itu lengkap dengan kesiur angin pantai dan suara debur ombak. Sedikit banyak, dia tenggelam dalam kedalaman pikirnya sendiri, mengabaikan hatinya yang sakit dan canda tawa pengunjung lain kafe itu.

Dia menuliskan D’Sunset Coffe sebagai tujuan di aplikasi ojek online tadi, tentu untuk bersembunyi dari Bagas. Raina yakin Bagas akan mendatangi rumahnya. Kafe di tepi pantai ini adalah salah satu spot favorit Raina saat pulang. Tak terlalu berisik, pemandangannya juga tak pernah mengecewakan kameranya. Semalam dia berniat mengajak Bagas ke sini. Sudah lima kali berkunjung ke kotanya, Raina memang belum pernah menunjukkan tempat ini pada Bagas.

Gadis berlesung pipi itu menghela napas. Kisah cintanya dengan Bagas memang beda. Di satu sisi Raina memang merasa dicintai ugal-ugalan. Dia suka cara Bagas memperlakukannya, caranya memanggilnya. Rain. Membuat Raina merasa seperti hujan yang selalu bisa membawa kesejukan. Tapi ini juga pengalaman pertamanya diselingkuhi. Dengan yang lain-lain tidak pernah, karena waktu pacarannya mungkin terlalu singkat. Selain itu, yang menambah cerita mereka bertambah runyam adalah karena mamanya, juga orangtua Bagas, tahu hubungan mereka. Lampu hijau sudah menyala di antara kedua belah pihak. 

Ibu Bagas, perempuan priyayi, independen, seorang kepala sekolah SMP favorit, entah kenapa begitu menyukai Raina. Perempuan itu sungguh baik, pikir Raina. Buktinya, dia bisa menerima Raina sehangat itu walau sudah tahu kualitas bibit, bobot, bebetnya. Kalau saja dia melihat ketiga hal tersebut, tentu Raina sudah akan didepak dari hidup Bagas. Alih-alih, ibu Bagas justru mengemis maaf padanya saat Bagas selingkuh—sebelum ini.

Sedangkan Mama … Raina memijat keningnya yang terasa berdenyut. Mama seperti punya obsesi mengerikan terhadap Bagas. Bagas sempurnaNggak kayak bapakmu, katanya. 

“Dari keluarga mapan. Hidupmu bakal terjamin. Orangtuanya punya banyak kontak penting biar kamu bisa langsung kerja setelah lulus. Jangan putusin Bagas.”

Begitu orasi Mama saat tahu putrinya diselingkuhi. Sekarang, Raina penasaran. Apakah Mama akan tetap berkata seperti itu setelah Bagas mengulang kesalahan yang sama?

Pikiran gadis itu mengawang—Bagas, Mama, kisah hidupnya yang pilu—muncul satu-satu dalam gelembung imajiner. Saking terbawa angan, dia butuh beberapa detik untuk menyadari jaketnya basah kuyup karena kecerobohan waitress yang membawa pesanannya.

“Aduh, Mbak, maaf, maaf. Aduh, maaf ya, Mbak …” Waitress itu panik, lekas-lekas mengambil tisu dan mengusap jaket Raina, yang sebenarnya percuma saja.

Raina tercengang. Sebetulnya ini sasaran yang tepat untuk meluapkan emosi. Orang tak dikenal, berbuat kesalahan. Namun, alih-alih meledak marah, yang keluar dari bibir Raina justru kalimat lirih disertai isakan. Benteng pertahanannya luluh lantak.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Finding My Way
780      473     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
A Sky Between Us
46      41     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Sebelah Hati
1056      662     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Happy Death Day
593      334     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Pasal 17: Tentang Kita
139      59     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Loveless
7260      3420     609     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Di Antara Luka dan Mimpi
761      439     66     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Broken Home
32      30     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Fusion Taste
163      150     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Glitch Mind
47      44     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......