Ujian susulan USBN akhirnya selesai. Meski sempat ragu bisa mengejar ketertinggalan aku berhasil melewatinya. Bukan karena aku sepintar itu, tapi karena ada Mila, Rina, dan Fira yang sabar belajar bersamaku. Hari-hari menjelang ujian nasional bahkan terasa… normal. Kami tertawa, saling menyemangati, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa punya tempat. Mereka membuatku percaya bahwa tidak semua orang akan menjauhiku.
Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) akhirnya datang dan pergi seperti badai kecil yang tidak sepenuhnya memporak-porandakan. Meski degup jantungku tidak pernah benar-benar tenang setiap kali duduk di depan layar komputer aku tetap bertahan. Tidak ada yang istimewa dari ujiannya, tapi yang istimewa adalah kenyataan bahwa aku berhasil duduk dan mengerjakan semuanya tanpa kabur. Aku mulai percaya bahwa mungkin aku akan baik-baik saja.
Hingga hari itu datang. Saat terakhir ujian usai dan semua orang menghela napas lega. Aku berjalan ke kamar mandi, bukan untuk membasuh wajah atau membetulkan jilbab seperti anak-anak lain. Tapi untuk bersembunyi sebentar. Dari semuanya. Dari hiruk pikuk ucapan selamat-selamat, dari senyum lega orang-orang yang merasa perjuangan mereka terbayar. Aku duduk di dalam bilik paling ujung ini. Mengelus lenganku sendiri. Sendirian dalam diam.
Lalu pintu terbuka. Langkah kaki dua orang. Suara mereka kukenal. Siska dan… Nana?
"Aku gak habis pikir, Na. Dia tuh masih bisa dateng ke sekolah. Seolah gak ada apa-apa aja," suara itu jelas, meski diucapkan dengan nada setengah berbisik. Itu suara Siska. Suaranya khas, dan aku kenal betul karena dia sering jadi pusat perhatian di kantin.
"Siapa sih?" tanya Nana, suaranya agak penasaran.
"Dina. Yang viral itu, yang keluarganya... serem banget." jawab Siska dengan suara pelan.
"Ohh... dia yang tadi seruangan sama kamu pas ujian, kan?" suara Nana menimpali. Aku mengenalnya juga. Kami satu kelas saat kelas delapan, walau tak pernah dekat.
"Iya, dia." Siska tertawa pendek. Tawa yang terdengar seperti cemoohan.
"Bayangin aja, satu ruangan sama anak kayak gitu. Gila sih, aku deg-degan sendiri. Takut dia tiba-tiba ngamuk atau bawa apa gitu."
"Ya jangan lebay, Sis."
"Serius, Na. Aku tuh nggak ngerti gimana caranya sekolah bisa ngizinin dia balik lagi. Udah tahu keluarganya kayak gitu. Ibunya mati tragis, dan ayahnya tuh... jelas-jelas pembunuh. Udah dipenjara kan?”
“Masih tersangka katanya.”
“Please deh, udah jelas itu. Siapa lagi coba? Udah sering ribut juga katanya. Anak kayak Dina itu pasti tumbuh di lingkungan gak sehat. Pantesan aneh.”
"Aku kira dia bakal pindah sekolah," kata Nana, nadanya ringan.
"Enggak. Malah belajar kelompok segala. Aku lihat kemarin bareng Mila, Rina, sama Fira. Mereka apa gak takut ketularan aura gelap atau apa kek?"
Mereka tertawa.
Hatiku langsung mencelos. Nafasku tercekat. Aku membekap mulutku agar tak mengeluarkan suara. Jantungku berdetak tak karuan. Tangan dan kaki mulai gemetar.
“Iya. Gila sih. Udah kayak nggak punya malu. Udah keluarganya serem, sekarang tinggal sendirian. Kalau aku jadi dia sih udah pindah dari lama. Ngapain juga maksa sekolah bareng kita?”
Aku menggigit bibir, dadaku sesak, pandanganku mulai kabur. Air mata jatuh tanpa bisa kucegah. Kutahan isak dengan menutup mulut erat-erat. Mereka tak tahu aku di dalam. Mereka pikir ruangan ini kosong—aman untuk melukai seseorang tanpa terlihat.
“Mila, Rina, sama Fira kok bisa ya deket-deket sama dia? Gak ngerti lagi aku.”
“Sok baik, palingan. Tapi itu sih nekat. Dina tuh... aneh dari dulu.”
“Katanya waktu SD dia ceria. Tapi sejak ibunya sakit jiwa gitu, dia mulai nutup diri,” gumam Nana.
Jiwaku seperti dirampas. “Sakit jiwa,” kata itu menamparku.
Siska tertawa sinis. “Pantes. Pasti keturunan. Jadi dari dulu keluarganya udah bermasalah. Ih, takut deh aku deket-deket. Nanti ketularan... hahaha.”
Tawa mereka pecah menggema di ruang kecil itu. Tubuhku menggigil. Aku tak sanggup berdiri. Lututku lemas. Wajahku basah oleh tangis. Napasku memburu seperti habis berlari jauh. Keringat dingin membasahi pelipis. Suhu di dalam bilik seakan menyempit, menekan dari segala arah.
Tanganku meraba dinding bilik, mencoba bangkit. Tapi tubuhku menolak. Aku hanya bisa menunduk, membiarkan rasa sesak itu makin menumpuk di dada.
Lalu kudengar suara pintu terbuka. Derap langkah menjauh. Hening.
Dan saat itulah, aku membiarkan diriku menangis sekeras-kerasnya.
Setelah yakin ruangan kosong aku membuka pintu bilik perlahan. Kakiku lemas. Aku meraih wastafel untuk menopang tubuh. Lalu kutatap bayanganku di cermin. Mata bengkak. Wajah kusut. Napas tak beraturan. “Inikah aku... yang mereka takuti?” bisikku.
Air mataku kembali tumpah.
Aku keluar dari sekolah tanpa menoleh ke belakang. Tak menunggu Mila atau Fira. Tak pamit ke guru. Jalan setapak itu kupijak seperti orang yang baru saja keluar dari medan perang. Tapi luka yang kudapat bukan dari senjata, melainkan dari lidah yang begitu tajam dan suara yang menusuk hati.
Sesampainya di rumah, aku tak melepas sepatu. Tak membuka jilbab. Aku langsung merebah di lantai ruang tengah. Menangis sejadi-jadinya. Rumah ini kosong. Seperti hatiku.
Sejak hari itu, aku tak keluar rumah.
Ponselku terus berdering. Pesan masuk bertubi-tubi. Mila. Fira. Rina. Bahkan Bu Ratna. Tapi aku tak buka satu pun. Tak kubalas satu pun.
Aku mematikan semua suara notifikasi. Kutarik tirai. Kututup pintu rapat-rapat.
Aku hanya hidup dari mi instan dan air galon. Kadang tak makan sama sekali. Kadang hanya tidur seharian. Kadang duduk di pojok kamar sambil memeluk lutut. Diam. Mengulang di kepala—apa yang mereka katakan hari itu. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Semuanya masih menempel.
Mereka takut padaku, mereka menganggapku aneh, mereka tak ingin dekat-dekat, mereka menertawakanku.
Hari keempat aku mengurung diri, aku menulis di buku catatanku:
"Mereka semua takut padaku. Haruskah aku juga takut pada diriku sendiri?"
Aku menatap tulisan itu lama. Lalu aku menangis lagi.
Kadang aku bertanya dalam hati, kenapa aku tetap hidup? Apa gunanya aku sekolah, belajar, kalau semua orang hanya melihatku sebagai... hantu dari kisah kelam?
***
Hari-hari berlalu. pengumuman kelulusan tiba. Namaku ada di daftar itu—aku lulus. Tapi rasanya hampa. Tidak ada rasa lega, tidak ada senyum. Bahkan aku tak tertarik untuk melihat nilai atau datang mengambil surat kelulusan. Lulus atau tidak, aku tetap merasa tertinggal. Tetap merasa sendiri.
Lalu suatu hari, undangan perpisahan datang ke rumah, tapi tak pernah kubuka. Mila berkali-kali mengirim pesan. Fira bahkan mengirim voice note yang tak pernah kubuka. Semua usahanya—semua cinta yang mereka coba tawarkan—terasa terlalu jauh karena tembok yang kubangun kembali sudah terlalu tinggi.
Aku memilih diam. Di balik pintu kamar, aku mengulang satu pertanyaan: "Kalau semua orang melihatku sebagai luka, apa aku layak untuk sembuh?"
Dan untuk sementara, aku tidak tahu jawabannya.
Suatu pagi, seseorang mengetuk pintu. Lalu suara Bu Riska terdengar samar dari luar pagar. “Dina, ini Ibu. Kami semua khawatir. Kamu nggak apa-apa, Nak?”
Aku diam. Menahan napas. Pura-pura tidak ada siapa-siapa di rumah. Beberapa menit kemudian, suara itu menghilang. Hanya menyisakan hening yang justru lebih menyesakkan.
Besoknya, giliran Rina, Mila dan Fira yang datang. Suara mereka jelas dari depan rumah.
“Dina... please, buka pintunya. Kita cuma mau ngobrol. Nggak lebih.”
“Kami bawa roti cokelat kesukaan kamu. Dan ada stiker-stiker lucu yang kamu suka juga…”
Aku tetap diam. Aku dengar mereka berdiskusi pelan, berharap-harap cemas. Lalu pergi. Tapi aku tahu mereka akan datang lagi. Dan benar saja, mereka datang hampir setiap hari. Kadang membawa makanan, kadang hanya duduk di depan rumah sambil ngobrol berdua, seolah berharap aku mendengarkan. Dan aku memang mendengar. Tapi tak pernah kubalas. Tak pernah kubuka pintu.
Mereka mengirim pesan setiap pagi dan malam. Mengingatkan untuk makan, menyemangati, mengirim foto langit sore, atau sekadar ucapan, “Kita kangen, Din.”
Tapi tetap saja… aku diam.
Hingga suatu malam, hujan turun deras. Aku masih duduk di pojok kamar, memeluk lutut, menatap kosong ke arah pintu yang selalu tertutup. Tiba-tiba ponselku berdering—kali ini dari nomor tak dikenal. Aku abaikan.
Beberapa menit kemudian, pintu rumah diketuk keras. Suara lelaki memanggil namaku, panik dan tegas. Aku kenal suara itu—Paman.
“Dina! Bukain pintunya! Ini Paman! Dinaaa!”
Aku gemetar. Suara itu terus memanggil. Lalu kudengar pintu pagar dibuka. Beberapa orang masuk. Aku ingin bangkit, tapi tubuhku berat.
Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki mendekat. Pintu kamarku diketuk.
“Dina, ini Paman. Boleh kami masuk?”
Aku tak menjawab.
Pintu terbuka perlahan. Paman berdiri di sana bersama istrinya dan sepupuku, Aldi. Wajah mereka terkejut melihat kondisiku. Rumah berantakan. Aku kusut. Kurus. Lemas.
Tanpa kata, Tante memelukku erat. Aku kaku. Tapi kemudian tubuhku bergetar dan aku menangis di pelukannya.
“Maaf, Nak. Kami telat datang. Kami kira kamu sudah lebih baik…” suara Paman pelan, matanya sembab.
Hari itu mereka tinggal bersamaku. Membersihkan rumah. Memasakkan makanan hangat. Menemaniku tidur.
Lalu suatu hari, sesuatu yang tak kuduga terjadi. Tanteku duduk di tepi ranjang, menatapku dengan wajah cemas yang belum pernah kulihat sebelumnya. Matanya penuh kekhawatiran, tapi juga kelembutan.
“Kalau kamu ngerasa nggak baik-baik aja,” ucapnya pelan, “kamu boleh cerita, Nak. Kita bantu pelan-pelan, ya…”
Aku menarik napas dalam-dalam. Kata-katanya menyentuh, tapi rasanya jauh. Seolah ada dinding tebal yang tak mudah roboh hanya karena kalimat manis.
“Aku tahu kalian sayang sama aku,” suaraku lirih, “tapi itu nggak cukup, Tante. Sekolah bukan tempatku lagi. Mereka… nggak mau aku di sana. Bahkan waktu aku berusaha jadi lebih baik, berusaha kuat… yang mereka lihat cuma masa laluku.”
Tanteku terdiam sejenak. “Ada yang bilang sesuatu ke kamu?”
Aku menunduk. Tak sanggup menjawab. Suara yang kudengar di toilet masih terngiang jelas—dan menyayat.
“Aku cuma pengin hilang sebentar,” bisikku. Suara itu nyaris tak terdengar. Tapi ia mendengarnya.
Untuk beberapa saat, kami hanya diam. Tapi untuk pertama kalinya, diam itu terasa aman. Tidak menghakimi. Tidak memaksa.
Perlahan-lahan, aku mulai membuka diri. Suaraku pelan, gemetar, tapi terus mengalir. Tentang hari-hari di sekolah. Tentang percakapan Siska dan Nana di toilet Tentang betapa sepinya aku bahkan di tengah keramaian.
Tanteku mendengarkan tanpa memotong. Wajahnya tak berubah, tetap lembut. Seolah ingin bilang: lanjutkan, aku di sini. Dan aku pun melanjutkan. Kata demi kata akhirnya menemukan jalan keluar. Aku membiarkan seseorang tahu—tentang rasa sakit yang selama ini kupendam dalam diam.