Loading...
Logo TinLit
Read Story - Suara yang Tak Pernah Didengar
MENU
About Us  

Beberapa hari terakhir rumahku tidak lagi sesepi biasanya. Sejak Paman dan keluarganya datang setidaknya ada suara-suara yang menemani. Tapi hari ini rumah kembali sunyi. Paman harus kembali ke kota tempat tinggalnya, begitu juga Aldi yang harus masuk sekolah. Hanya Tante Rani yang memutuskan tinggal lebih lama untuk menemaniku. Katanya, dia belum tenang meninggalkanku sendirian setelah semua kejadian itu.

Aku tidak banyak bicara. Bahkan sejak kejadian di toilet sekolah—ketika tanpa sengaja aku mendengar Siska dan Nana membicarakanku seolah aku adalah makhluk hina—aku semakin menutup diri. Rasanya seperti dihantam keras tepat di dada. Aku pikir aku sudah cukup kuat. Tapi ternyata luka-luka itu belum benar-benar sembuh. Dan saat kudengar kalimat mereka, luka itu seperti dikoyak ulang.

Sejak hari itu aku tak membalas chat siapa pun. Tidak membuka pintu. Bahkan Tante Rani pun harus mengetuk berkali-kali setiap kali ingin masuk ke kamarku. Aku hanya ingin tidur, atau duduk di sudut tempat tidurku memeluk lutut. Aku takut keluar. Takut melihat dunia. Takut bertemu mata-mata yang menatap penuh penilaian, atau mungkin kasihan, atau… jijik. Aku tidak tahu. Dan aku lelah menebak-nebak.

Tapi hari ini berbeda. Ada suara-suara dari luar kamar. Aku mendengar suara Tante Rani berbicara dengan seseorang. Lalu suara langkah kaki menaiki tangga. Dan sebelum aku sempat menarik selimut, pintuku diketuk perlahan.

"Dina, boleh kami masuk?" Suara itu... Rina. Aku tercekat. Belum sempat kujawab, pintu itu sudah terbuka perlahan. Di baliknya, Rina, Mila, dan Fira berdiri dengan mata berkaca-kaca. Mereka tidak langsung bicara. Mereka hanya berjalan pelan ke arahku, lalu memelukku bersamaan. Dan entah bagaimana, aku akhirnya menangis lagi. Bukan karena sedih. Tapi karena ada yang masih peduli.

"Kami tahu semuanya, Dina," ujar Mila pelan. "Tante kamu cerita. Kami juga udah datang berkali-kali, tapi kamu selalu menolak."

Fira menggenggam tanganku. "Kami nggak akan maksa kamu untuk cerita atau kuat sekarang juga. Tapi kami di sini. Selalu di sini."

Aku mengangguk pelan. Air mataku mengalir tanpa bisa kuhentikan. Rina mengelus rambutku sambil berkata, "Kamu nggak sendiri, Din. Dan kamu nggak salah. Orang-orang bisa ngomong apa aja, tapi mereka nggak tahu rasanya jadi kamu."

Kami duduk lama dalam keheningan. Aku merasa lebih tenang. Seakan pelukan mereka memberi sedikit ruang bernapas dalam hidupku yang gelap.

"Dina," kata Mila setelah beberapa saat. "Kami ke sini juga mau ajak kamu balik ke sekolah."

Aku menatap mereka. Bibirku gemetar. "Aku takut…"

"Kami tahu," jawab Rina cepat. "Tapi ini tentang perpisahan kita. Mungkin ini momen terakhir kita bareng. Setelah ini, kita nggak tahu bisa sekolah bareng lagi atau nggak."

Fira menambahkan, "Dan kami nggak mau momen terakhir ini tanpa kamu. Karena kamu bagian dari kami."

Aku terdiam. Perpisahan. Kata itu membuat hatiku berdesir aneh. Ada rasa takut, tapi juga keinginan untuk tidak melewatkan kesempatan yang mungkin tak datang dua kali.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Boleh aku coba?"

Mereka serentak tersenyum dan mengangguk. Rina memelukku lagi. 

***

Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah. Bukan untuk belajar, tapi untuk ikut latihan perpisahan. Rasanya aneh. Tidak ada ucapan "selamat datang kembali" seperti waktu pertama kali aku kembali setelah tragedi itu. Mungkin karena ini bukan kembalinya seorang gadis yang kuat, tapi gadis yang pernah patah dua kali.

Langkahku terasa berat, tapi kehadiran Rina, Mila, dan Fira membuatku bertahan. Kami masuk ruang aula bersama. Suasana cukup ramai. Anak-anak sibuk latihan menyanyi, membaca puisi, atau mempersiapkan dekorasi. Tapi mataku tak bisa lepas dari dua sosok di sudut aula: Siska dan Nana.

Mereka tertawa sambil melihat ke arahku sebentar. Entah itu tawa biasa, atau… sesuatu yang lain. Aku tak tahu. Tapi jantungku langsung berdegup tak karuan. 

Aku menarik napas, menunduk, dan memilih duduk di dekat Fira. "Kamu bisa, Dina," bisiknya. "Kami di sini." Kalimat itu menyelamatkanku.

Hari demi hari latihan berlangsung. Aku mulai merasa sedikit nyaman, walau kecemasan itu masih sering menyusup di sela tawa. Tapi aku mencoba. Aku benar-benar mencoba. Hingga pagi itu datang.

Tante Rani menyerahkan sebuah amplop putih padaku. Matanya tak biasa. Aku tahu ada yang serius dari ekspresinya.

"Surat panggilan dari pengadilan, Din. Sidang kasus Ayahmu. Mereka minta kamu jadi saksi."

Dunia terasa berhenti berputar. Tanganku gemetar saat membuka surat itu. Kalimat demi kalimat menari di hadapanku. Aku harus hadir. Aku harus bicara. Aku harus mengingat semuanya lagi. 

Aku tak sanggup. Tubuhku lunglai di kursi. Nafasku pendek. Dan tanpa bisa kutahan, air mata kembali turun. Aku tidak ingin ke sidang itu. Aku tidak ingin kembali membuka luka. Aku tidak ingin kembali mengingat malam itu. Tapi... bisakah aku menghindarinya? 

Malam di mana suara jeritan itu memenuhi rumah. Malam di mana aku menemukan Ayah berdiri dengan palu berlumuran darah di tangan dan ibu tergeletak di lantai, darah menggenang di sekelilingnya. Malam di mana semua berubah. Malam yang masih menghantui setiap mimpiku.

Tante Rani memelukku. “Kamu nggak harus kuat sendirian, Dina. Tapi kamu juga nggak bisa terus lari.”

Aku menggeleng. “Aku takut. Aku... aku bahkan nggak yakin apa yang kulihat malam itu.”

“Kamu hanya perlu jujur, Din. Itu cukup.”

Aku ingin percaya. Tapi keraguan menjerat. Bagaimana jika aku mengatakan hal yang salah? Bagaimana jika ucapanku justru menyakiti Ayah? Bagaimana jika orang-orang makin yakin aku anak dari seorang pembunuh?

Sore harinya, Rina dan yang lain datang. Aku menunjukkan surat itu. Mereka terdiam lama.

“Din, kamu boleh takut,” kata Mila pelan. “Tapi keberanian bukan berarti nggak takut. Keberanian itu tetap berdiri walau takutnya belum pergi.”

Fira menambahkan, “Kalau kamu butuh kami, kami bisa ikut ke sana. Nggak apa-apa. Kami nggak akan ninggalin kamu.”

Aku terisak. “Kenapa kalian masih mau bersamaku? Aku... produk gagal.”

Rina menggeleng cepat. “Kamu bukan produk gagal, Din. Kamu terluka. Dan luka itu butuh waktu buat sembuh. Tapi bukan berarti kamu nggak utuh.”

Untuk pertama kalinya, aku percaya sedikit bahwa mungkin... aku masih bisa diperbaiki. Mungkin tidak utuh seperti dulu. Tapi cukup untuk bertahan. Cukup untuk berjalan maju. Meski pelan. Meski gemetar.

Aku menatap surat itu sekali lagi. Lalu menatap wajah sahabat-sahabatku yang penuh cahaya.

“Kalau aku pergi… kalian mau tunggu aku di ruang sidang?”

Tiga kepala mengangguk serempak. “Kami di sini, Din,” jawab mereka bersamaan.

Entah sejak kapan terakhir kali aku merasakannya, tapi kini muncul lagi: mungkin aku bisa menghadapi dunia.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The First 6, 810 Day
597      430     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Deep End
40      38     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
A Missing Piece of Harmony
228      181     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Kaca yang Berdebu
94      75     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Trust Me
58      51     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Rumah Tanpa Dede
133      83     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Sweet Punishment
170      105     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
Spektrum Amalia
736      494     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Heavenly Project
506      350     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...