Sudah dua minggu berlalu sejak malam yang mengubah hidupku. Dua minggu sejak aku melihat tubuh ibuku terbujur kaku di ruang tengah dan ayah digelandang polisi dengan wajah tanpa ekspresi. Dua minggu sejak rumah kami berubah dari tempat berlindung menjadi sumber bisik-bisik dan tatapan iba. Hari ini aku kembali ke sekolah. Kebetulan hari ini jadwal ujian susulan USBN. Aku tidak mengikuti ujian utama karena saat itu aku masih terguncang, bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur.
Pagi ini udara masih menyisakan embun ketika aku melangkah keluar rumah. Seragam SMP yang sudah agak sempit di bagian bahu terasa asing membalut tubuhku. Jilbabku kukenakan seadanya, dan sepatu hitam yang sudah jarang kupakai rasanya kaku di kaki. Aku memeluk buku paketku erat-erat, seolah menjadi perisai dari pandangan dunia.
Langkahku menyusuri trotoar menuju sekolah lebih pelan dari biasanya. Setiap derit pagar yang kulewati, setiap suara motor yang melintas, seolah mengingatkanku bahwa dunia tidak berhenti bersedih bersamaku. Ia terus berjalan. Dan pagi ini, aku memaksakan diriku ikut melangkah bersamanya.
Gerbang sekolah terlihat dari kejauhan. Ada sekelompok siswa duduk-duduk di taman depan, sebagian lainnya berlarian kecil menuju kelas. Langkahku terasa berat saat memasuki gerbang. Aku tahu akan ada banyak mata yang menatap. Dan benar saja, begitu aku melangkah ke halaman sekolah, suasana langsung terasa berbeda. Beberapa anak yang sedang duduk-duduk di bangku taman berhenti bicara saat aku lewat. Ada yang menunduk cepat-cepat, ada yang saling menyikut dan berbisik. Aku pura-pura tidak melihat. Aku hanya ingin cepat sampai ke ruang ujian.
"Peserta ujian susulan harap menuju ke aula," suara speaker sekolah terdengar jelas. Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju aula yang biasanya dipakai untuk acara besar. Tapi hari ini, aula itu terasa asing. Lengang. Kosong. Hanya ada beberapa meja dan kursi di tengah ruangan.
Seorang guru duduk di ujung ruangan, entah siapa, karena aku tidak terlalu menoleh. Ia hanya mengangguk kecil saat aku masuk. Aku duduk, membuka lembar soal, dan berusaha fokus. Tapi denting jam dinding dan suara kipas angin tua membuat suasana terasa lebih sunyi dari yang seharusnya.
Beberapa soal kujawab cepat, tapi selebihnya… entah. Otakku seperti belum sepenuhnya siap. Tapi aku tetap mencoba. Karena aku tahu, hidup tidak akan menunggu.
Setelah ujian selesai, aku berjalan kembali ke kelas. Suasana sedikit lebih hangat. Rina melambai kecil, Mila tersenyum tipis, dan Fira menepuk bangku kosong di sebelahnya. Aku duduk. Tidak bicara. Tapi cukup tahu bahwa setidaknya di kelas ini, aku masih punya tempat.
"Selamat datang kembali, Dina," kata Bu Riska dengan senyum tulus saat beliau masuk ke kelas. Tatapan matanya penuh empati, bukan iba. Aku mengangguk.
Saat jam istirahat kedua, beberapa anak dari kelas lain sengaja datang ke kelasku. Mereka duduk tak jauh dari mejaku. Awalnya hanya ngobrol biasa, tapi kemudian...
"Serius, katanya pas itu mayat ibunya masih di rumah ya pas dia pagi-pagi ke rumah Pak RT? Ih ngeri banget."
"Dan katanya dia sempat liat kejadian itu lho. Ayahnya pegang palu gitu. Aku gak bisa bayangin."
Aku mencoba tak mendengar. Tapi suaranya cukup jelas. Mereka tak peduli aku ada di sana. Mereka hanya ingin memuaskan rasa ingin tahu mereka. Tentang tragedi hidupku.
Setelah pelajaran usai, Bu Riska memintaku untuk menemuinya di ruang guru. Aku menurut. Di sana, beliau sudah menunggu bersama Mila, Rina, dan Fira.
"Dina, saya tahu dua minggu ini pasti berat banget buat kamu," kata Bu Riska sambil menggenggam tanganku, "Tapi ujian nasional tinggal sebentar lagi. Kamu harus tetap siap, ya. Kita semua akan bantu."
Aku menatap beliau. "Aku akan coba, Bu."
"Bagus," jawab beliau. "Nah, saya sudah bicara dengan Mila dan yang lain. Kita akan bikin kelompok belajar bergilir. Pertama, kita belajar di rumahmu ya, Dina. Besok sepulang sekolah."
Mila tersenyum, "Kita bawa cemilan juga. Biar nggak tegang."
Aku terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. "Boleh."
***
Besoknya, setelah sekolah, mereka datang. Mila membawa kue bolu, Fira membawa keripik, dan Rina entah kenapa membawa dua botol besar minuman soda.
"Rumahmu bersih banget, Din..." komentar Mila sambil melepas sepatunya di teras. Aku hanya tersenyum kecil.
Kami duduk di ruang tamu. Meja sudah aku siapkan dengan buku pelajaran, dan kertas-kertas latihan soal. Kami mulai membuka buku dan saling mengulas soal-soal latihan. Suasana perlahan cair. Meski kadang ada jeda karena pikiranku masih suka melayang ke masa-masa sebelum semuanya berubah.
Beberapa saat kemudian, Mila berdiri dan berkata, "Aku ambil gelas ya ke dapur. Boleh, Din?"
"Oh, boleh... di rak atas,” jawabku sambil mengangguk. Aku kembali memeriksa soal latihan. Tapi beberapa detik kemudian, suara Mila terdengar lagi dari arah dapur.
"Dina...?" panggilnya dengan nada ragu.
Aku menoleh, sedikit heran. Mila muncul membawa dua gelas, tapi matanya tidak lepas dari dapur. "Kamu yang masak semua makanan itu?"
Aku mengangguk. "Iya. Kenapa?"
Dia mendekat, masih kelihatan bingung. "Ada opor ayam, tahu dan tempe goreng, sambal... Ini tuh masakan rumah yang beneran lengkap, Din. Aku kira kamu beli."
Rina ikut berdiri, berjalan ke dapur dan mengintip. "Serius ini kamu masak sendiri? Nggak ada yang bantuin?"
Aku menarik napas pelan. "Nggak. Aku masak sendiri. Dulu waktu Ibu masih sakit, aku belajar dari nonton Youtube. Sekarang, ya... keterusan."
Fira yang dari tadi diam ikut bersuara, suaranya pelan. "Aku aja masak mie instan bisa gosong. Kamu hebat, Din."
Mila menoleh padaku, matanya penuh tanya. "Tapi kamu tinggal sendiri, kan? Gimana bisa... maksudku... kamu masak sendiri? Bersih-bersih juga? Rumahmu rapi banget."
Aku tersenyum, walau ada rasa sesak di dada. "Semenjak Ibu sakit... aku memang biasa ngurus rumah. Ayahku juga kerja dari subuh sampai malam. Jadi ya, aku yang masak dan beberes. Setiap pagi aku bangun lebih awal. Masak, bersih-bersih, terus siap-siap sekolah. Kadang kalau lagi nggak kuat, aku cuma bikin telur dadar. Belakangan ini Paman Satya yang kerap mengirimiku uang belanja dapur. Hari ini... kalian datang ke rumah, aku pengen masak sesuatu yang lebih."
Mila duduk kembali, matanya berkaca-kaca. "Aku di rumah bahkan belum pernah goreng telur sendiri. Bantu ibuku aja masih sering disuruh-suruh dulu."
Hening. Tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti keheningan yang sarat dengan rasa hormat. Rina menggenggam tanganku pelan. "Din... kamu luar biasa."
Aku mengangguk kecil. Tidak berkata apa-apa. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa kehadiran mereka bukan sekadar kasihan. Mereka melihatku. Sebagai aku.
Belajar kelompok sore itu berjalan lancar. Kami mengulas soal-soal Matematika dan Bahasa Indonesia. Kadang diselingi tawa saat Fira salah hitung, atau saat Mila kesal karena lupa rumus. Tapi tidak ada yang menyinggung soal tragedi. Tidak ada yang menyebut kata 'pembunuhan', 'ayah', atau 'ibu'.
Untuk pertama kalinya setelah dua minggu, aku merasa... hidupku belum selesai. Masih ada halaman-halaman yang harus kutulis. Pelan-pelan. Tapi pasti.
Sebelum mereka pulang, Mila menepuk bahuku. "Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ya. Kita teman."
Aku mengangguk. Tidak bisa berkata apa-apa karena tenggorokanku tercekat. Tapi dalam hati, aku tahu. Aku tidak sendiri.