Langit sore menguning perlahan, menggurat jendela kamar Ibu dengan warna lembut yang menenangkan. Aku masih duduk di tepi ranjang dengan buku harian Ibu yang terbuka di pangkuanku. Masih basah sisa air mata di pipi yang tak sempat kuseka. Kamar ini terasa asing tanpa kehadirannya.
Aku menatap jemariku yang penuh debu kertas. Buku harian Ibu kututup perlahan meski hatiku belum selesai mencerna isinya. Aku duduk bersila di ujung ranjang, tubuhku terasa ringan, tapi kosong. Tak ada suara selain detik jam dinding yang mengisi keheningan.
Aku belum berani memindahkan barang-barang Ibu, tapi tadi siang aku membuka jendela. Bukan karena aku siap, hanya karena aku tahu hidup tak akan menunggu. Angin sore menyapa pipiku dari celah jendela kamar itu. Aku menarik napas panjang. Rasanya asing.. tapi menyegarkan.
Tiba-tiba suara ketukan terdengar. Tiga kali. Pelan, namun tegas.
Aku terdiam.
Masih terdengar suara langkah seseorang di depan pintu rumah. Bukan suara sepatu aparat. Bukan suara tetangga yang biasa datang memberi lauk. Suara ini… berbeda. Ragu, tapi penuh maksud.
Dengan hati-hati aku keluar dari kamar dan melangkah ke ruang depan. Saat kubuka pintu, aku langsung terdiam.
Wali kelasku berdiri dengan wajah teduh. Ia mengenakan jilbab abu-abu dan memegang tas kecil serta map berisi kertas-kertas.
“Assalamualaikum, Dina,” ucapnya lembut. “Boleh saya masuk?”
Aku hanya mengangguk dan mempersilakannya duduk di sofa tua yang jadi saksi semua tangisan dan keheningan sejak tragedi itu.
“Maaf kalau saya datang tanpa memberi kabar lebih dulu,” katanya. “Tapi saya khawatir. Kami semua di sekolah khawatir.”
Aku duduk berseberangan. Menunduk. Tak sanggup menatap mata siapa pun sejak kejadian itu.
“Saya ke sini bukan untuk mengganggu,” katanya, memulai pembicaraan setelah kami duduk berhadapan. “Saya hanya khawatir. Sudah dua minggu kamu tidak datang ke sekolah, dan semua anak menanyakan kabarmu.”
Aku menunduk. Rasanya sulit menjawab. Aku tak tahu kabar apa yang pantas kusampaikan.
“Saya tahu, ini pasti berat, Dina. Dan saya tidak akan pernah berpura-pura tahu rasanya. Tapi saya ke sini untuk mengingatkan bahwa kamu tidak sendirian.”
Aku menggigit bibir. Tenggorokanku kering, tapi mataku tidak lagi ingin menangis.
“Sekolah seperti... jauh sekali dari pikiranku sekarang, Bu,” ucapku jujur. “Terlalu banyak yang hilang. Saya bahkan belum tahu harus bangun pagi untuk apa…”
Bu Riska tersenyum sabar. “Kamu tahu, tidak ada yang salah dengan merasa sedih dan lelah. Tapi saya juga tahu kamu anak yang selalu kuat, bahkan kalau kamu tidak menyadarinya sendiri. Dina, Ujian Nasional tinggal seminggu lagi.”
Aku menoleh pelan. “UN?” gumamku.
“Iya. Senin depan kita mulai. Saya tahu kamu belum sempat belajar banyak. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Semua guru sudah menyiapkan ringkasan materi, dan saya pribadi siap mendampingi kamu kapan pun kalau kamu butuh.”
Aku memandang meja kosong tempat dulu Ibu biasa menyiapkan cemilan untukku belajar. Rasanya seperti hidup yang lain, seabad lalu.
“Untuk apa, Bu? Kalau lulus pun, saya nggak tahu akan ke mana. Saya sendiri sekarang…”
“Kamu memang sendiri secara fisik, Dina. Tapi kamu tidak sendirian,” potong Bu Riska lembut. “Kamu punya guru-guru yang peduli, teman-teman yang mendoakan, dan kamu punya harapan yang belum mati. Lulus bukan tentang apa yang kamu punya, tapi tentang apa yang ingin kamu perjuangkan. Ibumu ingin kamu hidup, bukan sekadar bertahan.”
Aku menarik napas dalam. Kata-katanya pelan tapi mengalir hangat ke dalam hatiku yang beku.
“Waktu saya seusiamu,” lanjut Bu Riska, “saya juga kehilangan ayah dalam kecelakaan. Rasanya seperti dunia merampas segalanya. Tapi tahu tidak apa yang membantu saya berdiri lagi? Rutinitas. Sekolah. Guru. Teman. Semua itu mungkin tidak bisa menghapus luka, tapi bisa jadi pelipur. Pegangan.”
Aku diam cukup lama sebelum akhirnya berkata pelan, “Saya takut…”
“Takut apa?”
“Saya takut, Bu. Takut dilihat orang. Takut mereka menilai. Semua tahu keluarga saya rusak. Semua tahu ayah saya dijadikan sebagai tersangka pembunuhan itu.”
Bu Riska terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang, lalu menatapku, bukan lagi seperti guru kepada murid, tapi seperti seseorang yang juga pernah berdiri di tempatku—luka, bingung, takut.
“Dina, saya tahu ini berat. Saya juga tahu apa yang orang-orang katakan bisa sangat menyakitkan. Apa yang kamu lihat malam itu... tidak akan pernah mudah untuk dilupakan. Tapi itu bukan kesalahanmu. Kamu tidak memilih dilahirkan di tengah tragedi. Tapi kamu bisa memilih—hari ini, esok, dan seterusnya—untuk tetap bertumbuh, untuk menjadi seseorang yang tidak dikendalikan oleh masa lalu. Kamu bisa memilih menjadi versi terbaik dari dirimu, Dina.”
Aku memejamkan mata. Air mataku jatuh tanpa suara. Tapi bukan air mata hancur. Ini… semacam kelegaan.
“Kalau saya mau belajar lagi, Bu… saya harus mulai dari mana?”
“Dari membuka diri. Dari datang ke sekolah. Sisanya akan kami bantu. Kami semua akan membantumu.”
Sore mulai bergeser ke senja. Warna jingga menyelimuti langit seperti peluk kasih yang tertunda. Aku menatap langit itu dari balik jendela ruang tamu, lalu kembali ke wajah Bu Riska yang kini tersenyum lebih hangat.
“Besok... saya akan ke sekolah, Bu.”
“Serius?” Matanya membulat pelan, ada nada haru dalam suaranya.
Aku mengangguk. “Saya nggak tahu bisa kuat atau tidak, Bu. Tapi saya akan coba.”
Bu Riska bangkit, menepuk pundakku lembut. “Itu kalimat paling berani yang saya dengar hari ini. Selamat datang kembali, Dina.”
Dan di momen itu, aku tahu. Aku tidak akan pernah bisa menghapus luka. Tapi aku bisa melangkah membawa luka itu, dengan kepala tegak dan niat yang baru.