Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Antara Luka dan Mimpi
MENU
About Us  

Waktu berjalan begitu cepat tanpa sempat ia sadari. Kini, ia sudah berada di awal semester kembali, dan tanpa terasa, telah resmi menjadi santri kelas 3 mutawasithoh.

 

Seharusnya, masa ini menjadi momen paling sibuk dan penuh semangat. Jadwal pelajaran baru, target hafalan yang bertambah, dan rencana-rencana kecil yang biasa dibicarakan sembari menyantap makan siang bersama sahabat-sahabatnya. Tapi tubuh Aira punya kehendaknya sendiri.

 

Ia duduk diam di sudut asrama, menatap lantai dingin dengan pandangan yang buram. Suara derap langkah, tawa teman-teman, dentingan sendok di atas nampan, semuanya terdengar seperti gema yang datang dan pergi semaunya. Tubuhnya lemas, bukan karena kurang tidur. Ada yang lebih dalam dari sekadar kelelahan. Seolah-olah ada benang-benang tipis dalam dirinya yang mulai kusut dan hampir putus.

 

Pagi tadi, ketika semua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, Aira justru berdiri lama di depan rak sepatu. Diam. Lupa sedang apa. Lupa hendak ke mana. sesaat, dunia di sekelilingnya tampak melambat, atau mungkin justru ia yang tertinggal.

 

“Aira, anti lagi ngapain?” Suara Anira menyadarkannya dari lamunan.

 

Aira menjawab sembari memaksakan senyumannya. “Enggak… ana cuma lagi bingung cari sandal.”

 

Padahal sandalnya sudah ada di tangan kirinya sejak tadi.

 

Hari-hari seperti ini, rasanya seperti berjalan dalam kabut. Ia ingin ikut tertawa, ingin duduk bersama yang lain sambil menuliskan daftar hafalan mingguan di buku tulis berwarna hijau itu. Tapi pikirannya terlalu sering kosong. Tubuhnya seperti kapal yang oleng diterpa ombak yang tak terlihat. Kadang ia mendengar namanya dipanggil, tapi suara itu seperti berasal dari ujung lorong yang jauh

 

Entah mengapa akhir-akhir ini ia lebih sering melamun, lebih sering diam dan menyendiri. Bahkan ia sampai tak sadar bahwa teman-temannya memperhatikannya diam-diam. Ka Imut yang diam-diam sering menyentuh dahinya, seperti ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Fiya yang tiba-tiba memberinya gantungan gurita berwarna pink, entah bagaimana Fiya tahu ia menginginkannya. Mungkin karena Fiya berharap gurita itu bisa jadi teman yang diam-diam menjaganya?, saat ia merasa sendirian. Dan Anira, yang paling peka, cukup menepuk bahunya sambil berkata lirih, “Istighfar, Ra…” saat Aira terlalu lama melamun. Juga Elara, Azira dan Nawa yang terus memperhatikannya dan menemaninya disaat ia sedang sendirian.

 

Namun, bahkan perhatian itu pun terasa sesak di dadanya. Bukan karena tak suka, justru sebaliknya. Karena setiap tatapan khawatir, setiap bisikan doa, setiap pundak yang didekatkan untuk bersandar... menyadarkannya bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.

 

Aira tahu, ia sedang jauh tertinggal. Bukan hanya dari target hafalan, tapi dari dirinya sendiri, dan Aira menyadari bahwa ia sedang tidak baik-baik saja, ada sesuatu yang menjanggal di hatinya…, ada sesuatu yang membuatnya terasa sakit tapi tidak tahu dimana letak lukanya?.

 

Di antara rasa takut merepotkan orang lain dan rasa takut tak berguna, ada satu perasaan lain. Namun, ia pun belum bisa menamai perasaan itu.

 

Dan tentang perasaan takutnya…

Meski ia sudah seringkali menghadapi rasa ini dalam diam, dan berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik menurut-Nya… tetap saja, di saat-saat futur, rasa itu datang kembali. Menyelinap diam-diam, lalu menghantam dadanya dengan sesak yang tak bisa dijelaskan.

 

Kemudian menjelang ujian tengah semester kelas tiga datang dengan udara yang terasa berat. Langit-langit asrama masih sama, suara lonceng tetap berdenting lima kali sehari, tapi Aira, dengan kondisi yang masih sama seperti sebelumnya, semuanya seperti bergerak dalam kepingan kabut. Sejak beberapa hari menjelang ulangan tengah semester, ia kembali sering kambuh. Sakit kepala datang seperti badai tak kenal waktu, sesak napas menghampiri saat pagi baru dimulai, dan pandangannya sering kali kabur tanpa sebab yang jelas. Kadang, ia tidak bisa menjelaskan apa yang sedang ia rasakan seolah tubuh dan jiwanya bergerak tak sinkron.

 

Meski begitu, Aira tetap mengikuti ujian. Dengan tubuh lemas, dengan obat-obatan yang membuatnya mengantuk, dan dengan kepala yang tak selalu bisa diajak kompromi. Di setiap sesi ujian, selalu ada beberapa dari mereka yang menjaga. Kadang Nawa duduk tak jauh darinya, dan meskipun kadang Nawa sudah selesai mengerjakan soal lebih dulu, ia tak akan berdiri sebelum Aira berdiri. Elara akan membawakannya minuman hangat, minyak kayu putih, dan tabung oksigen yang dikirim Umi untuk membantu Aira menjalani hari-harinya di pondok, semuanya tanpa perlu diminta terlebih dahulu. Dan Ka Imut yang datang hampir tiap malam hanya untuk bertanya, “Anti bisa tidur malam ini kah Aira?”

 

Sampai akhirnya Aira berhasil melewati ujian tengah semester itu, atas izin-Nya, dengan tangan-tangan tak terlihat yang menopangnya diam-diam. Namun, rasa itu masih ada. Perasaan yang menggantung di relung hatinya, menyakitkan tapi tak bisa ia pahami.

 

Mungkin sama seperti rasa takut yang dulu: takut sakit, takut tak kuat, takut gagal. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Lebih dalam. Lebih hening. Dan juga lebih menyesakkan dada.

 

Dan di tengah semua itu, tiba-tiba saja… ia merindukan ayah.

 

Rindu yang aneh, karena ia sudah lama terbiasa tanpanya, bahkan sudah tak begitu mengingat suara ayahnya. Baru kali ini lagi ia merasakan sakitnya, sakit yang dulu ia sudah kubur sedalam-dalamnya, sakit yang dulu ia sudah lewati sendirian. Tapi sekarang saat ia mengingat, bahwa ia belum pernah melihat makam sang ayah dari sang ayah itu pergi meninggalkannya…, entah mengapa tiba-tiba rasa sakit itu datang kembali.

 

Ketika teman-temannya bercerita tentang ayahnya, tentang cara ayah menjemput saat liburan, tentang nasihat khas ayah, atau tentang betapa kerasnya hati seorang ayah bisa luruh oleh tangis anak perempuannya, Aira hanya bisa menunduk. Dan didalam hatinya, ada ruang kosong yang makin membesar.

 

Ia tak punya cerita itu. Yang ia miliki hanyalah potongan kenangan samar, dan sebentuk rindu yang sulit didefinisikan. Kadang ia ingin bertanya pada Umi. Tapi selalu ragu. Takut membuat Umi sedih. Takut membuka luka yang barangkali belum betul-betul sembuh.

 

Maka ia simpan semua itu sendiri, rasa sesak, rasa ingin tahu, dan rindu yang datang tanpa aba-aba. Seperti malam yang masuk lewat jendela tanpa suara, rasa itu pun merayap masuk tanpa permisi. Dan ia hanya bisa menahannya… dalam diam.

 

Hari-hari berlalu, tapi rasa itu tidak tak kunjung menghilang. Malah semakin tumbuh diam-diam seperti akar yang menjalar, mengikat pikirannya erat-erat. Malam-malamnya penuh dengan pertanyaan: apa ayahnya dulu pernah mengelus rambutnya sebelum tidur? Apakah ayahnya pernah menatap wajahnya dengan penuh haru seperti cerita teman-temannya?.

 

Ia menangis pelan di balik selimut, tapi tak tahu air mata itu karena rindu, lelah, atau karena rasa tak punya tempat untuk menumpahkan semua yang tak bisa ia katakan. Ia ingin bercerita, ia ingin menangis, ia ingin… tapi tak tahu harus mulai dari mana.

 

Lalu tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda. Pagi-pagi, ia merasa mual tanpa sebab. Langkahnya sering goyah. Kadang ia berdiri di tengah kelas, tapi lupa kenapa ia di sana. Suara orang-orang mulai terdengar seperti gema dari dalam gua—yang jauh, lambat, dan tak utuh.

 

Sampai suatu sore, saat langit mulai jingga dan suara burung-burung kembali ke sarang, Aira duduk sendirian di tangga dekat taman kecil belakang asrama. Ia memegang mushaf yang terbuka di pangkuannya, tapi matanya tak benar-benar membaca. Angin sore menyentuh pipinya pelan, membawa suara anak-anak baru yang sedang bermain di halaman.

 

Tiba-tiba suara seorang adik kelas terdengar, berceloteh, “Abi ana biasanya suka beliin es krim kalau ana lagi capek ngaji atau lagi nangis gajelass... Kakak, Kakak Aira, kalau abi Kakak suka beliin apa?”

 

Pertanyaan sederhana. Tapi dunia Aira berhenti seketika.

 

Ia menoleh pelan, menatap wajah anak itu yang sedang tersenyum seperti tanpa beban. Bibirnya terbuka, ingin menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Seketika itu juga, sesuatu dalam dirinya runtuh. Sesuatu yang selama ini coba ia jaga rapat-rapat.

 

Dadanya sesak. Dunia di sekitarnya mulai kabur. Mushaf di pangkuannya jatuh tanpa ia sadari. Suara gemuruh menggantikan suara burung. Lalu semuanya berputar, lampu-lampu, suara, warna, bahkan waktu.

 

Ketika Ka Imut memanggilnya dari kejauhan, suaranya seperti terdengar dari balik air. Samar. Jauh. Tak terjangkau.

 

“Aira... Aira! Anti kenapa, Aira!?”

 

Tapi Aira hanya menatap kosong, matanya seperti kaca yang kehilangan cahaya. Ia bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa langkah... dan terhenti. Napasnya pendek. Pandangannya buram. Tangannya gemetar.

 

“Aira!”

 

Tubuhnya ambruk ke pelukan Ka Imut.

 

Ketika Aira membuka matanya setelah beberapa jam tak sadarkan diri, dunia terasa asing. Lampu redup di atasnya, suara-suara yang berbisik, dan wajah-wajah yang memandanginya dengan cemas—semuanya seperti potongan mimpi yang tidak dikenalnya. Nafasnya memburu, tersengal seperti habis dikejar sesuatu yang tak terlihat. Matanya melebar, jantungnya berpacu seperti genderang perang yang tak tahu kapan akan berhenti.

 

“SIAPA! SIAPA! SIAPA!!” teriaknya tiba-tiba, keras, menggema dalam ruangan itu di sembari tangisan ketakutan.

 

Tubuhnya meringkuk di sudut kasur, memeluk lutut rapat-rapat seakan seluruh dunia tengah mencoba menghancurkannya. Dan sesekali tangannya menutupi wajah, bahunya gemetar hebat. Rambutnya tergerai acak-acakan, menutupi sebagian mata yang masih basah karena tangis yang belum usai.

 

“Aira! Aira, ini Ka Imut, ini aku, ini kita... Astaghfirullah, Aira istighfar Aira” suara Ka Imut terdengar panik, nadanya bergetar. Tapi Aira tak mengenali siapa pun.

 

Semakin mereka mendekat, semakin keras Aira menangis. Suaranya pecah. Jeritnya memekakkan telinga. “SIAPA KALIAN!! SIAPAA!! JANGAN SENTUH!! JANGAN SENTUHHH!!! SIAPAAA!!”

 

“Ustadzah... gimana ini... dia gak kenal siapa pun... dia... dia...” suara Anira tercekat, tubuhnya gemetar, tangannya berusaha menahan air mata.

 

“Tenang... semua tenang dulu, jangan ramai, dia ketakutan... jangan panik, nanti dia ikutan panik” Ustadzah Nur menenangkan semua. Walau oa sendiri tampak khawatir, tapi sorot matanya mencoba tetap jernih.

 

Aira mengerang pelan, tubuhnya seperti kelelahan karena semua tangis dan ketakutannya. Ka Fidah hanya bisa memegang dadanya yang sesak melihat sahabatnya tak mengenali mereka. Azira menangis diam-diam di pelukan Elara. Nawa berdiri kaku di sudut ruangan, menahan napas agar tidak pecah isaknya.

 

Setelah beberapa jam kemudian.

 

“Coba biar ana yang pegang,” suara lembut itu akhirnya muncul. Ka Imut perlahan maju, mendekat dengan hati-hati, seperti mendekati anak burung yang ketakutan di sangkarnya.

 

Ia tidak banyak bicara. Ia hanya mengulurkan tangannya, perlahan, tidak memaksa.

 

Aira tetap meringkuk, tubuhnya kaku. Tapi saat tangan itu menyentuh punggung tangannya, dengan kelembutan dari hati yang paling dalam, dan seperti menaruh harapan, tidak banyak bicara hanya hadir, sejenak Aira masih meringkuk ketakutan, namun, perlahan ia meraba balik tangan itu.

 

Jari-jemarinya menyusuri tangan itu. Sentuhan yang asing... tapi entah kenapa... terasa aman.

 

Perlahan ia mengangkat kepalanya pelan.

 

Matanya masih basah. Tapi tiba-tiba ada yang berubah. Bibirnya perlahan tertarik. Bukan lagi karena ketakutan. Tapi tiba-tiba dari wajah itu muncul senyuman. Senyuman tipis. Yang penuh rasa penasaran kekanak-kanakan.

 

“Hehehe...” tawa kecil keluar dari bibirnya secara tiba-tiba. 

“Tangannya... halus ya,” katanya dengan suara pelan, polos, penuh rasa heran seperti anak kecil yang baru mengenal dunia.

 

Semuanya terdiam. Napas mereka seolah terhenti, dan kebingungan tampak di wajah mereka.

 

Aira mulai duduk tegak, mengusap air matanya asal-asalan. “Aku... aku mau main... aku mau main ya?” ucapnya sambil menatap mata Ka Imut yang masih merah karena menangis.

 

“Aira...?” Ka Imut berbisik, suaranya nyaris patah.

 

“Hah? siapa kahh?” tanyanya polos, dengan nada kekanak-kanakan, senyum masih menempel di wajahnya. Ia menatap semua orang seperti melihat mereka untuk pertama kalinya.

 

Anira tak tahan lagi. Ia menutup mulutnya dengan tangan, berlari keluar ruangan. Suaranya tercekat. Elara menyusulnya dengan air mata yang perlahan terjatuh. Azira terduduk lemas di lantai, menatap kosong. Ustadzah Nur menahan tangis dengan menarik napas panjang, sebelum berjongkok di samping Aira.

 

“Kakak, kakak... rambutku berantakan, kok berantakan?” tanya Aira sembari memegang helaian rambutnya yang masih basah karena air mata.

 

Ka Imut mengangguk pelan. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum, menahan gemuruh di dadanya.

 

“Nanti aku mau gambar pelangi! Kakak bisa gambarin pelangi gak kakakkk?” lanjut Aira sembari memiringkan kepala, matanya berbinar seperti anak kecil yang sedang bicara dengan teman barunya.

 

Situasi itu membuat semuanya terdiam dalam kepedihan yang sunyi. Mereka tak tahu harus merasa lega karena Aira berhenti menangis, atau harus semakin hancur karena kini ia menjadi seseorang yang tidak mengenal mereka…, dan bahkan, mungkin tidak mengenal dirinya sendiri.

 

Umi Aira belum dihubungi. Mereka takut. Tak tahu bagaimana harus menyampaikannya. Mereka belum siap memberi kabar bahwa Aira yang mereka kenal—yang sabar, yang kuat meski sakit—kini duduk di tengah kasur sambil menggambar pelangi di udara, dengan tawa kecil dan mata yang tak lagi menyimpan luka... tapi juga tak menyimpan kenangan.

 

Walau Aira sudah sampai dikondisi yang seperti itu, yang luar biasa adalah mereka tidak takut atau menjauh. Sebaliknya, suasana pondok menjadi seperti taman bermain kecil yang penuh kesabaran dan kasih sayang.

 

Setiap hari, setelah pelajaran usai, teman-teman Aira selalu menyempatkan diri untuk menghampiri Aira dan bermain bersamanya. Kadang mereka duduk melingkar di bawah pohon mangga, saling lempar cerita lucu, atau sekadar membacakan buku bergambar sambil tertawa. Aira, dengan polosnya, kadang tertawa kecil sambil menggoyang-goyangkan kaki di udara, seperti anak kecil yang sedang menari tanpa beban.

 

“Eh, kamu, aku bawa permen nih! Mau gakkk?” tanya Anira sambil mengulurkan sebungkus permen warna-warni.

 

Aira meraih bungkus itu dengan mata berbinar, lalu membuka perlahan-lahan. “Wah, kayaknya enak nih!” katanya sambil tertawa lepas.

 

Mereka bercanda, berlari kecil di halaman, dan sesekali Aira menunjukkan tingkah laku lucu yang membuat semua yang melihatnya tersenyum.

 

Tapi kadang, suara keras, entah itu suara pintu yang tertutup tiba-tiba, ketukan keras di jendela, atau bahkan suara-suara anak ma'had yang nadanya lumayan tinggi bisa membuat Aira terkejut luar biasa. Dan saat ia terkejut, ia akan menunjukkan sikap awalnya yang ketakutan dan tak ingin di sentuh.

 

Mereka langsung bereaksi. Ka Imut dan Anira mendekat perlahan, tak satu pun dari mereka berani menyentuh Aira secara tiba-tiba. Elara dan Nawa berdiri menghalangi pandangan agar anak-anak lain tidak ikut panik. Ka Fidah terdiam namun berusaha tenang, lalu mengambil mukena Aira yang tertinggal, menggulungnya pelan di dekatnya sebagai pengalihan fokus.

 

Azira, Nawa dan Elara ikut menenangkan

 

“Aira, ini... mukenanya wangi, lho,” bisik Ka Fidah sambil duduk perlahan di sebelahnya.

 

Aira masih menangis tersedu-sedu, memeluk lutut, kepalanya menunduk ke bawah, hijabnya menutupi sebagian wajah. Tangannya sesekali mencakar tanah, seperti bingung ingin kabur tapi tak tahu ke mana.

 

“Shhh... nggak apa-apa... suaranya sudah ngga ada kok, Kakak sayang... sudah hilang suaranya...” bisik Nawa pelan.

 

Beberapa menit yang panjang berlalu sebelum akhirnya Aira kembali tenang. Aira perlahan membuka mata, masih dengan napas tersengal, dan mendapati tangan Nawa menyentuh pundaknya dengan lembut.

 

Ia memeluk tangan itu, menunduk pelan, lalu tiba-tiba tersenyum sendiri sambil hanya melihat sekeliling tanpa berbicara apa-apa. Lalu ia berdiri dan melangkah ke taman, dia duduk lagi di rumput, menatap langit sore yang mulai berubah jingga. Teman-teman di sekitarnya-pun ikut duduk, membiarkan Aira melakukan apa yang ingin ia lakukan.

 

Momen-momen seperti itu kadang sesekali terjadi. Setiap kali ada suara keras yang tak terduga, Aira seperti terlempar kembali ke ketakutannya yang paling dalam. Namun orang-orang yang ada di dalam pondok ini tetap sabar. Mereka tidak pernah marah atau kesal, justru sebaliknya, mereka sangat memperhatikan Aira dan berusaha agar selalu membuat Aira tetap dalam kondisi yang tenang.

 

Aira masih duduk di rumput itu, lututnya ditarik ke dada, kedua lengannya melingkari kakinya seperti ingin memeluk dirinya sendiri. Matanya menatap langit-langit yang perlahan berubah warna dari biru terang menjadi oranye keemasan, seperti sebuah lukisan yang bergerak perlahan.

 

Azira duduk tak jauh dari Aira, sembari mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggir taman. Azira tahu kalau Aira suka bunga. Entah kenapa, tiap kali Aira melihat bunga, matanya selalu berbinar seolah di dalam kelopak yang kecil itu ada sesuatu yang membuat dunia Aira terasa lebih hidup.

 

“Ini buat kamuuu,” ujar Azira pelan, sambil menyodorkan bunga kecil berwarna orange. “Namanya.. euhmm namanya apaa yaa, hehe, aduh aku gatau lagi namanya apa. Tapi menurut kamu, bunganya cantik gaa?”.

 

Aira menerima bunga itu dengan senyuman tanpa berbicara banyak, ia hanya menjawab pertanyaan Azira. “Iya bunganya cantik” sambil menatapnya dengan ekspresi polos, sembari mengangguk kecil. Sejenak kemudian, ia menempelkan bunga itu ke pipinya sendiri dan tertawa kecil.

 

“Dingin,” gumamnya.

 

Teman-teman di sekelilingnya ikut tersenyum melihat tingkah Aira, dan mungkin Aira merasa lelah lalu ia bersandar tenang di bahunya Elara. Tapi langit mulai meredup, adzan Maghrib akan segera berkumandang. Angin sore yang tadi hangat kini mulai berubah sedikit dingin, Nawa menepuk pelan bahu Aira.

 

“Udah sore, yuk masuk nanti masuk angin, loh,” bisik Nawa pelan, sambil berdiri dan mengulurkan tangan ke Aira. “Yuk, Aira... kita masuk, ya?”

 

Aira hanya menoleh sebentar, lalu mengangguk kecil. Ia berdiri pelan, masih memeluk bunga kecil di tangannya sambil memandanginya seolah itu adalah benda yang paling ia cintai. Lalu mereka berjalan perlahan kembali ke dalam asrama pondok. Aira melangkah dengan langkah yang ringan sambil sesekali ia menoleh ke belakang, ke taman yang mulai gelap, lalu kembali menatap ke depan, ke arah pintu kamar yang terbuka.

 

Begitu sampai di dalam, Elara langsung membentangkan sajadah kecil untuk persiapan shalat, Elara dan Nawa tak ikut sholat berjamaah dulu, mereka izin untuk menjaga Aira. Tapi Aira hanya duduk diam di kasurnya, menatap ranjang-ranjang yang berjejer di sekitarnya dengan wajah kosong. Nawa dan Elara saling bertukar pandang, lalu mendekat dan duduk di sebelahnya.

 

“Capek, ya?” tanya Elara sambil memiringkan kepala, senyum kecil tersungging di bibirnya.

 

Aira tidak menjawab. Tapi tangannya perlahan membuka kepalan, menunjukkan bunga kecil yang tadi ia genggam terus sejak di taman.

 

“Hei kakak, ini bunga dikasih kakak yang tadi, kakak rumput...” katanya pelan, suara seperti bisikan di antara desir kipas yang berputar lambat di langit-langit kamar.

 

Aira tidak memanggil mereka dengan sebutan nama, Aira tidak tahu dan tidak faham, jadi Aira memanggil mereka kadang dengan sebutan  'Hei' atau hanya sekedar 'Kakak'.

Lalu Nawa menoleh ke arah Aira sambil berkata:

“Kakak rumput?” Nawa tertawa kecil, karena ucapan Aira, “itu tadi Azira yang kasih, namanya dia itu Azira”

 

Aira hanya mengangguk pelan, lalu merebahkan badan begitu saja di atas kasur, dengan tetap memeluk bunga itu. Hijabnya setengah terbuka, matanya menatap kosong ke arah langit-langit seolah sedang menghitung angin yang berputar.

 

“Kalau Aira mau tidur, tidur aja, ya sayang” bisik Nawa, sambil membenarkan bantal Aira. Ia lalu duduk bersila di ujung kasur, sambil membuka mushafnya dan mulai murojaah.

 

Elara ikut duduk di sisi lain, menyisir rambut Aira pelan dengan jarinya. Suasana kamar sunyi. Hanya suara langkah teman-teman lain yang lalu lalang di luar, dan derit lembut daun jendela yang sedikit terbuka. Aira mulai memejamkan mata. Napasnya masih belum sepenuhnya teratur, tapi tubuhnya tampak lebih rileks.

 

Malam itu, Aira tertidur lebih cepat dari biasanya. Tanpa tangisan, tanpa jeritan, tanpa kegelisahan seperti tadi. 

 

Habis Maghrib biasanya adalah jadwal untuk halaqoh, tapi Elara dan Nawa izin untuk halaqoh di sakan (kamar) sembari menjaga Aira.

 

Beberapa menit kemudian, Aira tampak sudah tertidur nyenyak ditemani dua orang yang diam-diam menjadi tempat ia bersandar, bahkan saat ia tak tahu harus bersandar ke mana. 

 

Di luar kamar, langit sudah gelap sepenuhnya. Dari luar hanya terdengar suara-suara santriwati lain yang sedang halaqoh dan tawa-tawa kecil mereka. Dan cahaya kuning dari lampu-lampu kamar menyorot lembut kasur-kasur yang berjajar. Aira masih tidur, memeluk bunga kecil di dadanya.

 

Elara dan Nawa memastikan tidak ada yang berisik datang ke kamar dan mengganggu tidur Aira. Mereka murojaah di atas kasur itu sembari memperhatikan dengan penuh perhatian.

 

Beberapa jam saat halaqoh sudah selesai, Elara dan Nawa langsung mematikan lampu kamar, agar Aira benar-benar tertidur nyenyak tanpa gangguan apapun. Dan mereka tetap berada disisinya untuk menjaganya.

 

Hingga datang Ka Imut dan Ka Fidah, mereka berdua langsung melangkah ke arah Nawa dan Elara sembari berkata:

 

“Besok Aira pulang, Uminya udah dikasih tahu, besok Uminya jemput Dia.”

 

Elara langsung menoleh, matanya membulat. “Besok?” bisiknya pelan.

 

Ka Imut mengangguk sambil duduk di tepi kasur yang berseberangan. “Iya, besok pagi. Ustadzah Nur udah koordinasi juga sama Uminya, dan Uminya udah koordinasi sama pihak rumah sakit. Katanya Aira butuh istirahat total beberapa minggu.”

 

Nawa menatap wajah Aira yang masih tertidur pulas. “Tapi... dia belum tahu, kan?” tanyanya pelan.

 

“Belum,” jawab Ka Fidah sambil duduk di samping Ka Imut. “Juga kayaknya dia gabisa dikasih tau, pasti gapaham juga kalau di kasih tau.”

 

Elara mengangguk pelan. “Oke... berati nanti kita bantu rapih-rapihin barang-barangnya aja, biar pas Uminya nyampe ga ribet.”

 

“Iya betul, seperti itu saja.” Jawab Ka Fidah dan Ka Imut.

 

Setelah itu suasana kamar mendadak hening. Hanya terdengar suara jam dinding berdetak pelan dan napas Aira yang teratur. Ada rasa haru yang menggantung di udara malam itu semacam perasaan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Campuran antara lega, takut, dan kehilangan.

 

“Ana bakal kangen banget sama dia,” gumam Nawa sambil menarik selimut Aira dan merapihkannya. “Baru aja kemarin Ka Aira mulai nyaman di sini...”

 

Ka Imut mengusap kepala Nawa pelan. “Dia pasti balik lagi kok, doain dulu aja. Tapi sekarang yang penting dia bisa pulih dulu. Otaknya butuh istirahat... emosinya juga.”

 

Ka Fidah berdiri pelan-pelan, lalu menatap ke arah Aira yang masih memeluk bunga kecil di dadanya. “Besok pagi kita bareng-bareng bantu dia siapin barangnya ya. Semoga dia cepet pulih dan kembali lagi kesini.”


 

“Aamiin.” Jawab mereka serentak.

 

Malam berlalu begitu saja tapi masih menyisakan seluruh kejadian hari ini di benak mereka.

 

Lalu pagi itu datang dengan pelan, seperti seseorang yang membuka jendela perlahan-lahan agar cahaya tak menyilaukan mata yang masih lelap. Di dalam kamar itu, sinar matahari menyusup malu-malu lewat sela-sela gorden pink pucat. Udara masih basah oleh sisa embun dan malam yang berat. Suara burung-burung kecil dari pohon kamboja di halaman mulai bersahutan, dan aroma minyak kayu putih samar tercium dari dekat kasur tempat Aira berbaring.

 

Ia menggeliat pelan. Matanya terbuka dengan pandangan kosong, lalu mengerjap beberapa kali. Tidak ada kerutan khawatir di dahinya seperti biasanya, hanya tatapan kosong seperti kertas polos. Kemudian, ia duduk perlahan, memeluk lutut dan mulai bersenandung kecil tanpa nada, jemarinya memainkan ujung selimut dengan antusias seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan.

 

“Nawa!, itu Aira udah bangun” bisik Ka Fidah dari dekat lemari.

 

Nawa segera mendekat. “Halo Kakakkk, Ka Aira udahh bangunn?” ucapnya pelan sambil duduk di sisi kasur.

 

Aira menoleh. Senyumnya mengembang seperti matahari yang menembus kabut. “Burungnya nyanyi,” katanya polos sambil menunjuk ke arah jendela.

 

Nawa mengangguk, meski ada sembilu kecil yang menancap di hatinya. Ada rasa takut dalam hatinya, gimana kalau nanti kalau Aira pulang? dan gabisa ketemu Nawa, terus malah benar-benar lupain Nawa dan gabisa mengingatnya lagi?. Nawa gelisah dan melamun agak lama.

 

Lalu Aira langsung menepuk bahunya. “Kenapa kamu malah diem?”. Tanyanya polos.

 

Lalu Nawa tersadar dari lamunannya. “Iya, mereka nyanyi buat Ka Aira,” balasnya lembut, lalu menyisir rambut Aira yang agak kusut dengan tangan penuh kasih.

 

Aira tertawa pelan. “Burungnya juga suka bunga?”

 

“Iya, suka,” jawab Nawa sambil menahan haru.

 

Aira kemudian turun dari kasur, berjalan dengan langkah kecil sembari melompat-lompat layaknya anak kecil dan menuju sudut kamar, lalu mulai bermain dengan lipatan sajadah dan menyusunnya seperti tenda. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri, seperti anak kecil yang tidak sadar bahwa dunia di sekelilingnya sedang menangis pelan-pelan.

 

Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu.

 

“Assalamu’alaikum…”

 

Itu suara yang sangat dikenali oleh teman-temannya. Lalu salah satu dari mereka, Ka Imut segera membuka pintu. Sosok wanita berjilbab panjang dengan wajah cemas yang ditutupi senyumannya berdiri di sana, matanya bengkak, bajunya rapi tapi ada kerutan-kerutan kecil di lengan yang menunjukkan dia tergesa-gesa. Umi.

 

“Wa’alaikumsalam, silakan masuk, Ummi…” bisik Ka Imut sambil menunduk sopan.

 

Umi mengangguk dengan mata yang sudah basah. Ia melangkah pelan masuk ke dalam kamar. Di dalam, suasana yang tadi lumayan ramai seketika berubah menjadi begitu sunyi, begitu hening. Beberapa teman Aira sudah berdiri di sisi kamar, menunduk sopan, memberi jalan kepada sang ibu. Nawa menatap Umi dengan mata merah, sementara Ka Fidah memegangi tas berisi perlengkapan Aira yang telah mereka siapkan sejak subuh tadi.

 

Langkah Umi terhenti saat melihat sosok mungil di tengah kamar. Aira sedang jongkok, bermain dengan bunga kecil di tangannya, menggulung kelopak yang sudah mengering, lalu meniupnya seperti sedang meniup kapas.

 

Umi menatap anak gadisnya dengan napas tercekat. “Aira…” bisiknya nyaris tak terdengar.

 

Tapi Aira tidak menoleh. Ia tetap sibuk dengan dunia kecilnya. Maka, Umi melangkah lebih dekat, perlahan, setengah merangkak karena lututnya lemas. Ia akhirnya duduk di depan Aira, wajahnya sejajar.

 

“Sayang… ini Umi… Umi datang, Nak…” suara Umi gemetar, pecah oleh tangis yang tertahan. “Mbak… ini Umi, mbak…”

 

Aira menegakkan tubuhnya. Matanya membelalak saat melihat sosok asing di hadapannya. Seketika tubuhnya kaku, dan ia mundur dengan cepat, menabrak rak kecil di belakangnya hingga botol minyak tumpah.

 

“SIAPA! SIAPA INI! AAAH KAMU SIAPAAA! SANAAAA! SANAAA! SIAPAAA!” teriaknya histeris, wajahnya menegang, lalu ia menutupi mukanya dengan tangan dan meringkuk di pojok kamar sambil menangis keras. “SIAPA! SIAPA! JANGAN! SANA! SIAPAAA!... HIKS HIKS HIKS!” tangis Aira semakin menjadi-jadi.

 

Tangisan Umi pun pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya gemetar hebat, dan air mata tak henti mengalir. “Ya Allah… Aira… ini Umi, Nak… ini Umi, sayang…”

 

Ka Imut segera mendekat dan menenangkan Umi. “Umi, sabar ya… dia memang masih seperti anak kecil sekarang, tapi insya Allah dia masih bisa mengenali melalui sentuhan tangan, coba Umi sodorin tangan Umi ke Aira perlahan-lahan Ummi.”

 

Tapi Aira masih belum bisa di kontrol, akhirnya Nawa mendekat dan berusaha menenangkannya. Nawa membelai pelan kepalanya sembari menenangkannya. Setelah beberapa saat berlalu dan Aira mulai mereda tangisnya, Ka Imut menatap Umi dengan pelan, lalu berkata, “Umi… coba ulurkan tangan ke dia, ya. Pelan-pelan…”

 

Umi mengusap air matanya, lalu menyodorkan tangan dengan gemetar ke arah Aira. “Sayang… ini tangan Umi… ayo… pegang, Mbak…”

 

Aira menoleh perlahan. Tatapannya masih ketakutan, tapi ia mulai melirik ke arah tangan yang terulur. Tangannya sendiri ragu-ragu, seperti terperangkap antara ingin menjauh atau mendekat. Lalu, ia perlahan menyentuh tangan itu.

 

Sesaat, ia diam. Jemarinya meraba kulit tangan Umi… menyusuri garis-garis halus dan tekstur yang dikenalnya dulu.

 

Dan tiba-tiba, Aira tersenyum.

 

“Halus, tangannya haluss…” gumamnya pelan, lalu memeluk tangan itu dan membelainya seolah sedang memeluk boneka kesayangan. Wajahnya berubah damai, matanya berbinar polos. “Apakah kamu membawa bunga?” tanyanya polos.

 

Umi tersedu, lalu mengangguk cepat. “Iya, sayang… nanti Umi bawain banyak bunga…”

 

Aira tertawa kecil, lalu berjongkok lagi dan mulai bermain lompat jongkok. “Terimakasih yaa…” ucapnya sembari bermain lompat jongkok.

 

Teman-teman Aira saling pandang, beberapa menunduk dan mengusap air mata. Di sudut kamar, Elara dan Nawa sudah menutup tas Aira, memasukkan mukena kesayangannya dan seikat bunga kecil yang masih segar di dalam plastik bening.

 

Umi menatap semua itu dengan dada yang nyeri tapi juga terharu. Ia berbalik ke arah teman-teman Aira dan para ustadzah lalu membungkuk sedikit. “Terima kasih… terima kasih banyak sudah menjaga anak ana yaa kakak-kakak, ustadzah-ustadzah…, jazaakunnallahu khairan katsiran, maaf kalau Aira merepotkan”

 

Ustadzah dan teman-teman yang main menggeleng pelan. “Tidak merepotkan sama sekali Umm, Kami semua sayang sama Aira, Umi. Dia adik kami juga… semoga Aira kelas pulih yaa umm, do’a kami selalu menyertainya.”

 

Lalu Umi kembali menangis dan memeluk mereka satu persatu.

 

Tak lama kemudian, Ka Fidah menggandeng Aira, sementara Nawa membawa tas kecilnya. Elara menyelipkan seikat bunga di tangan Aira, dan gadis itu langsung tersenyum seperti anak yang diberi permen. Ia mencium bunga itu lalu menggoyangkan tubuhnya ke kanan-kiri seperti menari kecil.

 

Mereka menuntun Aira keluar kamar. Dan hendak mengantarkannya sampai ke mobil, karena mereka tahu, Aira ga akan semudah itu untuk mau masuk ke dalam mobil jika tidak di barengi seperti ini. Mereka harus membuat suasana seperti layaknya ingin mengajaknya bermain.

 

Lalu Aira hanya melihat sekelilingnya seperti melihat taman bermain. Ia tertawa kecil, menyentuh dinding lorong, lalu menoleh ke belakang. “Balik lagi ya? Aku mau bunga...”

 

Di pelataran, mobil Abinya sudah menunggu. Abi berdiri di sisi pintu, wajahnya keras menahan tangis. Tapi saat Aira muncul, ia sedikit mundur, karena tatapan gadis itu bukan tatapan yang mengenali. Aira berhenti sejenak, lalu berbalik ke Ka Imut dan memeluknya.

 

“Mau peluk kakak, mau main bunga,” katanya polos.

 

Ka Imut membalas pelukan itu dengan erat dan mata berkaca-kaca. “Kakak tunggu Aira pulang ya… Aira kuat, Aira berani, Aira hebat…”

 

Saat hendak masuk ke mobil, Aira menolak. “Nggak mau! Ini apa?”

 

Abi melangkah cepat, ingin membujuk, tapi Aira mundur lagi.

 

Azira yang berdiri di dekat gerbang, sigap membuka tas kecil dan mengeluarkan satu tangkai bunga kamboja putih. Ia menyelipkannya di dashboard mobil. “Aira, tuh liat… ada bunga...”

 

Mata Aira berbinar. Ia melangkah pelan, lalu memegang pintu mobil dan memandangi bunga itu dengan senyum lebar. “Bunga... ihhh wangi bunga...”

 

Dan ia pun duduk masuk tanpa dipaksa. Saat pintu ditutup, matanya melihat ke luar jendela dan ia tampak kebingungan, apalagi saat mereka semua melambai pelan ke Aira yang berada di dalam mobil. Tangis mulai menggenang lagi di matanya. Ia kembali ketakutan, di dalam mobil Umi berusaha menenangkan, tapi tak berhasil hingga saat mobil melaju dan melintasi banyak taman bunga, mata Aira langsung terfokus ke pemandangan itu, ia melihatnya melalui jendela kaca mobil.

 

Lalu, ia menempelkan pipinya ke kaca dan menatap bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan. “Lihat... lihat... bunga... bunga… aku mau turun…”

 

Tangannya mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan lumayan keras sembari mengatakan hal yang sama. “Mau bunga… mau bunga…”

 

Lalu Umi menggenggam tangannya sembari menenangkannya, “nanti yaa, sayang, ini lagi di jalan, pas udah sampe rumah, Umi beliin banyak bunga yaa.”

 

Lalu Aira-pun mengangguk kecil, tapi pandangannya tetap ia arahkan keluar jendela mobil. Aira masih fokus melihat pemandangan itu.

 

Sebelum sampai rumah Abi dan Umi menanyakan sesuatu kepada Aira.

“Sayang, kamu laper ga?.”

 

Lalu Aira menoleh dan mengangguk kecil sembari memegang perutnya, lalu tak lama ia mengalihkan pandangannya lagi keluar jendela mobil.

 

Jadi Abi dan Umi membawa Aira ke rumah makan dahulu sebelum membawanya pulang.

 

Setelah sampai di depan rumah makan, Aira turun tanpa mengenakan sandalnya, Umi yang berlari dan berusaha memakaikan sandal ke Aira, namun Aira menolak untuk memakainya, ia suka menapaki kakinya langsung ke tanah tanpa ada penghalangnya, ia memandangi rumah makan itu dengan raut wajah bingung, tapi Umi langsung menggenggam tangannya dan menuntunnya ke dalam. 

 

Umi menanyakan kepada Aira, “kamu mau makan apa sayang?,” tanya umi lembut.

 

“Ayam, ayam, ayam,” jawab Aira dengan jawaban berulang.

 

Kemudian umi-pun memesan pesanan untuk Aira juga untuk dirinya dan Abi.

 

Abi yang duduk di hadapan Aira hanya bisa melihatnya tanpa bisa berkata apa-apa, hatinya hancur tapi ia tak bisa mengungkapkannya.

 

Mereka duduk di ujung rumah makan di dekat jendela kaca, lalu di luar jendela kaca tampak 2 kambing besar dan anak-anak kambing.

 

Abi Aira langsung menunjuk kambing-kambing tersebut dan berkata lembut ke Aira, “ini kambing namanya, tuh coba lihat, lucu gak kambingnya?”. Tanya Abi.

 

Aira seketika menoleh ke arah yang di tunjuk oleh Abi, dan ketika melihat kambing-kambing itu, matanya berbinar dan senyum dari wajahnya terpancar. “Wahhhhhhhh, ituu apaa?, lucuuu, aku sukaa.” Serunya sembari berlari lebih dekat ke arah jendela itu dan menempelkan kedua tangannya pas di sana.

 

“Itu namanya kambing, sayang.” Jawab Abi pelan sembari mendekat ke arah Aira berdiri.

 

“Owhhh itu kambing, lucuu yaa,” jawabnya dengan mata yang masih fokus melihat ke arah kambing-kambing itu.

 

Tak lama kemudian Umi kembali bersama makanan yang sudah siap. Lalu Umi memanggil Abi dan Aira untuk segera makan. Aira segera menghampirinya segera ketika melihat ada ayam disana.

 

Aira makan dengan lahap dan tak butuh waktu lama, ia berhasil menghabiskannya.

 

“Kamu mau nambah sayang?” tanya umi dengan nada lembut kepada putrinya itu.

 

Aira tak menjawab, ia hanya terus menggigit ayam yang sudah tinggal sisa tulang-belulangnya itu.

 

Lalu Abi langsung memberi isyarat kepada Umi untuk langsung memesankannya lagi untuk Aira. Tak lama kemudian, makanannya datang lagi, dan Aira melihatnya dengan mata yang berbinar.

 

Segera saat makanan itu telah di hidangkan di depannya, ia langsung melahapnya sampai habis. Setelah makanan habis ia kembali ke jendela dan melihat kambing-kambing itu lagi.

 

Langit telah berubah warnanya dari biru ke jingga, menunjukkan kalau hari sudah sore, Umi menghampiri Aira dan dengan nada yang lembut mengajak Aira pulang, “sayang, yuk pulang, udah sore.”

 

Aira yang masih linglung itu hanya mengangguk dengan polos. Tangannya di genggam Umi dan di tuntun oleh Umi. Aira hanya diam dan mengikuti arah Umi.

 

Setibanya di rumah, Aira menatap sekeliling rumah itu dan mulai memperhatikannya, namun tak ada yang ia ingat. Kemudian matanya tertuju pada mesin jahit di kamarnya. Ia langsung berlari dan memainkan mesin jahit itu.

 

Umi dengan segera menghampirinya dan dengan lembut memberi tahunya bahwa ini bisa berbahaya baginya kalau ia menyentuh bagian bawah yang tajamnya.

 

“Aira sayang, ini namanya mesin jahit, Aira jangan otak-atik ya sayang, ini lumayan bahaya apalagi kalau kamu pegang bagian ini (sambil menunjuk tempat jarum), ini tajem sayang, bahaya, nanti tangan kamu bisa berdarah.”

 

Aira hanya mengangguk dan kembali memperhatikan yang lainnya, hingga matanya tertuju pada satu boneka kelinci berwarna biru berkombinasi putih dengan bulu yang halus dan ukuran yang lumayan besar. Aira meraihnya lalu tertawa kepadanya dan mulai bermain bersamanya layaknya anak kecil.

 

Umi Aira hanya melihatnya sambil menahan rasa sakit di hatinya, ia memutuskan untuk membawa Aira ke dokter besok.

 

Keesokan harinya —

 

Keesokan paginya, Aira duduk di ruang tunggu rumah sakit sambil menggoyang-goyangkan kakinya pelan. Tangannya menggenggam tangan Umi erat-erat, seperti anak kecil yang takut disuntik. Ketika dipanggil ke ruang dokter, ia hanya menatap nama di depan pintu dengan tatapan kosong.

 

“Silakan duduk, Bu,” sapa dokter sambil tersenyum. Ia melirik Aira sebentar, lalu membawa Aira ke ruang pemeriksaan sendirian tanpa Umi, lanjut dokter mulai memeriksanya, pemeriksaan berlangsung lumayan lama, lalu dokter membuka catatan medisnya. Ruangan itu cukup sunyi dan hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar, berdetak lambat seolah turut menahan napas bersama semua orang yang menanti penjelasan. Umi duduk di ujung kursi, tangannya mengepal di atas pangkuan, mata sembab karena semalaman tak tidur, tak henti berdoa. Sementara Aira duduk di sebelah Umi sambil mengayun-ayunkan kakinya, wajahnya terlihat tenang, terlalu tenang, setelah semua tangis dan teriak yang pecah kemarin.

 

Dokter Dana, spesialis neurologi yang sudah lama menangani Aira, membuka map hasil pemeriksaan. Tatapannya lembut, namun penuh kehati-hatian. Ia menoleh pada Umi dengan nada suara yang tidak meyakinkan pasien, tapi juga tidak menyederhanakan kenyataan

 

“Bu, kondisi Aira bukan cuma soal fisik. Secara medis, memang benar dia mengalami epilepsi fokal kompleks. Serangannya tidak selalu berupa kejang yang kelihatan dari luar. Kadang, itu hanya berupa kebingungan, tidak merespons, atau kehilangan orientasi sesaat.”

 

Umi mengangguk pelan, walau wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia belum benar-benar memahami apa yang baru saja dikatakan.

 

Dokter melanjutkan.

 

“Yang membuat Aira terlihat ‘jauh’ beberapa waktu ini, itu bagian dari fase pasca-kejang, atau amnesia postictal. Biasanya berlangsung singkat, tapi pada sebagian pasien, terutama yang punya beban pikiran berat atau kelelahan mental, proses pemulihannya bisa lebih lama.”


 

Dokter menunduk sedikit, lalu melanjutkan lagi dengan nada hati-hati.

 

“Kami juga mendapati bahwa Aira sedang menyimpan tekanan emosional yang cukup dalam. Waktu wawancara observasi, dia sempat menyebutkan ayahnya. Terlihat bahwa ada luka atau kekhawatiran yang belum selesai di situ. Pikiran yang terus-menerus terbebani seperti ini bisa memperberat gejala neurologisnya, dan menghambat pemulihan ingatan.”

 

Umi terdiam, mengusap pelan kerudungnya.

 

“Jadi, proses pemulihan Aira nanti tidak bisa hanya dengan obat. Dia butuh tempat yang aman, suasana yang stabil, dan orang-orang yang bisa membuat dia merasa dipahami. Kita akan bantu dengan terapi ringan, stimulasi ingatan secara bertahap, dan tentu saja, pengobatan epilepsinya.”

 

Dokter tersenyum tipis, dan meyakinkan.

 

“Memorinya bisa kembali. Tapi tidak bisa terlalu dipaksa. Kita coba pelan-pelan melalui hal-hal kecil dulu, seperti suara, gambar, atau tulisan yang ia punya, itu bisa jadi pemicu untuk membuka kembali ingatan yang terkunci. Kita akan bantu dengan pengobatan yang tepat untuk epilepsinya. Obat antikejang, terapi kognitif jika perlu, dan…yang paling penting adalah dukungan emosional dari orang-orang terdekatnya...”

 

“Baik dokter, terimakasih dok.” jawab Umi Aira lirih. Umi Aira berusaha memahami itu semua, sepanjang perjalanan pulang ia masih memikirkan semua perkataan dokter tadi.

 

Hari-hari di rumah berjalan seperti mimpi yang terlalu panjang. Aira lebih banyak duduk diam, atau berjalan tanpa tujuan ke dapur, lalu ke teras, lalu kembali ke kamar. Kadang ia tertawa sendiri melihat seekor kucing melompat ke tembok, kadang ia menatap Qur'an kecil di meja dengan mata penuh tanda tanya.

 

Umi tak pernah lelah. Ia membacakan surat-surat pendek sebelum tidur. Mengusap kepala Aira sambil menyenandungkan Ar-Rahman. Menyuapi makanan favoritnya, meski kadang hanya disentuh sedikit. Dan setiap pagi menyeduhkan susu hangat, membereskan bantal, menyiapkan obat sesuai jadwal. Sesekali, umi bercerita tentang hal-hal ringan, berharap ada reaksi dari putrinya, tapi tak pernah memaksa.

 

Hari itu, Aira mendapati umi duduk di kursi kayu dekat jendela dengan setumpuk foto di tangan. Awalnya ia hanya melirik, tapi ketika satu foto terjatuh dan tergeletak di lantai, pandangannya tertarik. Ada senyum di sana. Senyum yang dikenalnya samar. Sekelompok anak perempuan duduk di rerumputan, tertawa. Salah satu dari mereka duduk di tengah, mengenakan jilbab ungu muda—Aira. Dan di sebelahnya, seorang gadis bermata teduh yang wajahnya seperti pernah ia lihat dalam mimpi: Anira.

 

Perlahan Aira berdiri, berjalan mendekat. Langkahnya ragu-ragu, tapi ia tetap maju.

 

Umi menoleh. “Mau lihat?” tawarnya lembut, menyodorkan tumpukan foto ke pangkuan Aira.

 

Aira tak menjawab, hanya menerima. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh kertas-kertas itu. Satu per satu ia lihat. Ada foto saat ia berdiri di dekat asrama, di depan mushaf ukuran lumayan besar yang selalu ia bawa-bawa kemanapun. Ada foto saat ia duduk bersisian dengan Anira, dengan senyum yang begitu cerah, seperti tak pernah menyimpan luka apa-apa.

 

Dan sesuatu mulai bergerak di dalam dadanya.

 

Aira tak tahu, apakah itu kenangan… atau hanya perasaan kosong yang tiba-tiba terasa familiar. Tapi sejak hari itu, malam-malamnya mulai berubah. Ia terbangun dari tidur dengan bayangan suara-suara yang samar: “Ka Aira… mau makan bareng?” atau “Semangat ya, hari ini setorannya.” Kadang ia menangis tanpa sebab. Kadang ia hanya duduk di lantai kamar sambil memegang foto-foto itu tanpa berkedip.

 

Suatu siang, setelah cape bermain dan mengganti pakaian, Aira berjalan ke lemari tempat umi menyimpan kopernya. Koper itu belum pernah dibuka sejak ia dibawa pulang. Dan Aira belum tahu siapa yang mengemasi koper itu. Saat ia membuka resletingnya perlahan, bau kain yang lama tertutup langsung menyergap. 

 

Kondisi Aira sudah tidak terlalu parah sejak ia di beri obat dan di terapi. Lalu malamnya, Aira masuk ke kamarnya sendiri. Sudah lama ruangan itu tak disentuh. Ia membuka koper yang ditaruh di pojok, koper yang teman-temannya kemasi saat ia tiba-tiba harus dibawa pulang.

 

Di dalamnya ada mukena, selembar baju gamis, sajadah, Al-Qur’an kecil berwarna pink. Di bawah semuanya, terlipat agak dalam, ia menemukan sebuah plastik besar transparan. Sudah sedikit kusut.

 

Dan penuh—dengan amplop.

 

Amplop warna-warni, kertas-kertas dilipat kecil, beberapa dengan coretan stiker hati dan tulisan tangan yang ia bahkan belum bisa kenali. Tapi saat ia menyentuhnya, ada sesuatu yang bergetar di dada. Entah apa. Belum jelas. Tapi hangat.

 

Dia belum tahu siapa yang menulis. Dia belum tahu sedang membaca apa. Tapi ada air yang mulai naik ke pelupuk matanya.

 

Selembar amplop biru muda, dengan tulisan miring: “Kalau kamu lupa, baca ini, jangan lupain kami, kita semua sayang Aira.”

 

Tangannya bergetar saat membukanya. Tulisan itu seperti mengetuk sesuatu di dalam dirinya yang nyaris terkunci.

 

"Aira sayang, anti harus cepat sembuh. Kamu kangen kamu duduk di tengah-tengah lingkaran kita lagi."

— Anira 

 

"Kakak mata cantik! Kakak nggak boleh sedih. Allah itu sayang kakak. Aku pun juga!"

— Faidah (adik kelas yang suka memanggil Aira dengan sebutan itu)

 

"Semangat Aira, sabarr dunia ini cuma sementara, sakitnya Aira juga sementara. In syaa Allah. Surga hanya bisa diraih dengan kesabaran. Sabar dalam ketaqwaan kepada Allah.

— Ka Imut

 

“Pulang dan kembalilah, kita semua sayang Kakakkk, kita semua kangen Kakak dan menanti Kakak”

—Nawa

 

Aira membaca satu per satu, seperti membongkar kembali kenangan yang ia pikir sudah hilang. Surat demi surat menampar hatinya. Ia tiba-tiba mengingat suara mereka. Tawa mereka. Bahkan bau sarung sandal di rak sepatu pondok.

 

Tangisnya pecah. Ia memeluk surat-surat itu seperti memeluk orang-orang yang ia rindukan diam-diam.

 

Di antara isaknya, sebuah ayat melintas di benaknya. Potongan Al-Mulk. Ia menyebutkannya pelan.

 

"Alladzii khalaqal mawta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amalaa..."

 

Tiba-tiba, ia berhenti. Menangis makin keras. Itu ayat yang biasa ia baca setiap malam bersama teman-temannya yang lain.

 

Beberapa hari berikutnya, Ingatan Aira sudah semakin pulih dan saat ini Aira mencoba membuka kembali Al-Qur’annya. Ia membaca pelan-pelan, tapi tak semua ayat bisa ia kenali. Ia merasa seperti anak kecil yang baru belajar lagi. Ia mencatat beberapa pelajaran fiqih dari buku tulis lamanya. Tapi banyak yang ia tak mengerti.

 

Saat frustrasi mencapai puncak, Aira mengepalkan tangan, matanya memerah. Ia memukul meja kecil di depannya.

 

“Umi… aku... aku nggak ingat hukum tajwid. Aku bahkan lupa ayat-ayat Qur'an yang dulu aku hafal. Aku... kayak kosong, Mi. Kayak aku bukan aku lagi...”

 

Umi mendekat, memeluk Aira dari belakang, erat dan hangat. Suaranya pelan, penuh perhatian.

 

“Sayang... gapapa kok. Kamu sedang mencari lagi arahmu. Dan itu nggak apa-apa. Yang hilang bisa ditemukan, dan yang redup bisa menyala lagi. Itu bukan salahmu, Nak. Mungkin Allah kasih kamu ujian ini... supaya kita bisa mengenalnya dari awal bersama-sama, dengan cinta-Nya yang lebih dalam.”

 

Aira berbalik dan tanpa sepatah kata-pun, ia langsung memeluk Umi.

 

Beberapa hari setelahnya, ponsel Umi berdering. Nama di layar: Ustadzah Nur.

 

“Aira, sini… ada yang mau bicara sama kamu.”

 

Umi menyodorkan ponsel.

 

Saat video call tersambung, muncul wajah Ka Imut, Ka Fidah, Anira, Azira, Elara, Nawa, dan beberapa teman lainnya. Mereka serentak berteriak:

 

“AIRAAA!!!”

 

Aira kaget. Lalu matanya membulat. Lalu berkaca-kaca.

 

“Kalian…,” gumamnya. Ia menangis, menutup wajah dengan tangan.

 

“Airaaaa, kamu harus balik yaa,” kata Ka Imut sambil tersenyum tipis sembari menahan air matanya.

 

“Ayo kita mulai hafalan dari awal bareng-bareng!”

 

“Kalau kamu lupa, kami juga ikut ulang!”

 

“Kalau kamu jatuh, kami tarik bareng, Ra…”

 

Suara mereka seperti hujan di tanah gersang. Malam itu, Aira tertidur sambil memeluk surat-surat itu. Dan malam itu… ia tidur dengan hati yang sedikit jauh lebih tenang.

 

Malam berlalu, dan saat sore hari tiba, Aira menghampiri Umi yang sedang duduk sendirian di taman belakang rumah.

 

Aira ikut duduk di sebelahnya, tanpa banyak bicara. Sekadar duduk. Lama-lama, suara ranting kecil jatuh dari pohon mangga memecah diam.

 

“Aira,” suara umi tenang, “boleh umi cerita dikit?”

 

Aira mengangguk. Ia masih menatap ke jalanan sepi depan rumah.

 

Umi menarik napas. “Umi tahu, kadang… kita diam-diam menunggu seseorang yang bahkan nggak nanya kabar kita lagi, atau tidak memperdulikan kita lagi.”

 

Aira tak bereaksi. Tapi hatinya menghangat dan perih bersamaan.

 

“Dulu umi juga pernah kayak gitu. Nunggu orang yang nggak balik. Yang nggak peduli. Tapi makin lama, umi sadar… rasa nunggu itu pelan-pelan bisa berubah. Bukan hilang, tapi berubah.”

 

Aira menoleh perlahan. Matanya basah. Tapi tak tumpah.

 

Umi memandangi langit. “Umi nggak pernah bilang kamu harus melupakan ayah. Umi tahu kamu nyari dia. Bahkan waktu kamu sakit dan nggak sadar penuh, nama yang sering kamu sebut... ya ayahmu.” Umi tersenyum kecil, pahit. “Tapi kalau kamu terus hidup dalam rasa kehilangan itu, kamu sendiri yang hilang, Nak.”

 

Aira menunduk. Jemarinya saling meremas di atas rok.

 

Umi berkata pelan, “Ada hal-hal yang nggak pernah kita minta, tapi Allah izinkan terjadi.”

 

Aira menutup mata. Ia tahu apa yang ingin Uminya bahas.

 

“Dulu,” lanjut umi, “ayahmu pernah sangat sayang sama kita. Sama kamu. Tapi kadang… manusia bisa berubah. Bisa tersesat. Bisa lupa pulang.”

 

Aira tidak menjawab. Tapi napasnya terdengar lebih berat.

 

“Dan saat umi tahu… ia sudah berada di tempat yang seharusnya bukan tempatnya… umi nggak langsung marah. Yang paling terasa saat itu… cuma hancur. Dia memang meninggalkan kita, tapi kamu nggak harus membayar semua itu dengan rasa bersalah,” suara umi bergetar sedikit. “Kalau ada yang salah, itu bukan kamu.”

 

Aira terdiam.

 

Sunyi. Hening.

 

Umi menatap lurus ke depan. “Umi tahu, kamu sayang banget sama ayahmu.”

 

Aira diam. Tapi matanya langsung basah.

 

Umi melanjutkan, suaranya tenang tapi penuh sesak, “Umi lihat cara kamu nyimpan semuanya. Kamu nggak pernah cerita. Nggak pernah marah. Nggak pernah nanya. Kamu cuma... terus bertahan… sendirian.”

 

Aira menarik napas, tapi tak bisa menahannya. Isaknya pecah, walau ditahan sekuat mungkin.

 

“Umi… aku takut…,” ucapnya pelan. “Kalau aku cerita... umi makin sakit.”

 

Umi langsung meraih tangan Aira. Menggenggamnya erat.

 

“Justru umi sedih, Ra... karena kamu terluka sendirian. Umi yang harusnya jadi tempat kamu cerita, tempat kamu menumpahkan kesedihannya, tapi hanya karena kamu takut umi sakit, akhirnya kamu memilih menyimpan semuanya sendiri.”

 

Air mata Aira tumpah. “Aku sayang Ayah, Mi... banget. Bahkan waktu aku tahu semuanya... aku tetep nungguin dia. Aku masih inget caranya manggil aku, caranya peluk aku. Tapi setiap aku mau cerita... rasanya kayak aku ngehianatin umi...”

 

Umi menutup mata sesaat. Lalu membuka dan menatap Aira penuh kasih.

 

“Sayang sama Ayah... bukan bentuk pengkhianatan, Nak. Kamu punya hak buat rindu, buat marah, buat bingung. Kamu hanya seorang anak… kamu berhak memiliki perasaan seperti itu.”

 

Aira menggeleng. “Tapi semua orang udah tahu dan sudah lihat kalau dia salah, dan aku tahu dia salah, aku tahu dia udah nyakitin umi, juga aku. Tapi entah kenapa aku masih sayang sama ayah, Mi…”

 

Umi mengangguk pelan. “Dan itu... nggak salah. Nggak pernah salah, itu perasaan yang wajar, Nak.”

 

Aira menunduk, bahunya terguncang.

 

Umi merengkuhnya ke dalam pelukan. Erat. Hangat. Nyaman.

 

“Umi juga belajar, Nak,” bisik umi. “Belajar jadi rumah. Tempat kamu bisa pulang, dengan luka sekalipun.”

 

Seketika air matanya semakin deras.

 

“Maaf, Umi... aku... aku nyari Ayah terus, sampai lupa... kalau hanya bersama umi-pun itu sudah cukup.” Suaranya patah-patah, tubuhnya mulai gemetar.

 

Umi memeluknya. Erat. Tak ada petuah. Tak ada kalimat nasihat panjang. Hanya pelukan.

 

Setelah beberapa lama, umi berkata pelan, di dekat telinga Aira. “Maaf juga, Nak... kalau selama ini umi belum bisa jadi ibu yang cukup baik, yang cukup hangat. Mungkin umi terlalu diam waktu kamu butuh kata-kata. Sampai kamu harus berusaha kuat  terus.”

 

Aira menggeleng dalam pelukan. “Umi cukup. umi udah lebih dari cukup, dan umi baik. Aku sayang umi.”

 

Lalu umi menarik napas panjang, menahan air mata yang menggantung.

 

“Mulai sekarang, Nak... jangan simpan semuanya sendiri, ya? Kamu nggak harus kuat terus. Kalau kamu sedih, bilang. Kalau kamu rindu, cerita. Jangan sampai kamu tumbang cuma karena kamu takut umi yang akan sakit, justru umi akan lebih sakit jika melihat anaknya sakit”

 

Aira mengangguk dalam pelukan itu. Malam nanti mungkin ia akan tetap menangis. Mungkin kenangan tentang ayahnya akan tetap datang, dan rindunya tetap menusuk. Tapi sekarang, ia tahu, ia tak sendiri.

 

Satu bulan kemudian, dokter menyatakan kondisi Aira cukup stabil. Obat tetap harus diminum rutin, tapi ia diperbolehkan kembali ke pondok dengan beberapa syarat: tidak boleh kelelahan, tidak boleh banyak beban pikiran dan harus segera beristirahat saat gejala mulai terasa.

 

Pagi itu, udara terasa lembut. Aira duduk di lantai kamar, perlahan mengepak barang-barangnya. Mukena dilipat rapi, buku catatan diselipkan di antara baju-baju, dan terakhir, surat-surat dari teman-temannya ia masukkan kembali ke dalam tas khusus, seperti menyimpan semangat kecil dari orang-orang yang ia rindukan.

 

Sebelum berangkat, Aira berdiri lama di depan Umi. Lalu memeluknya erat. Lama.

 

“Mi…” suaranya pelan, nyaris berbisik. “Aku belum hafal semuanya. Pelajaran juga masih banyak yang belum nyangkut. Tapi aku mau balik. Aku takut... kalau aku terus di sini, aku malah makin tertinggal. Makin kehilangan banyak hal, sedangkan aku punya banyak mimpi yang ingin ku kejar.”

 

Umi tidak langsung menjawab. Ia hanya mengusap punggung Aira, lembut seperti biasa. Lalu, setelah jeda yang hangat, ia berkata, “Kamu nggak kehilangan apa-apa, Nak. Karena yang kamu cari… justru sedang nunggu kamu di sana.”

 

Aira terdiam. Tapi di hatinya, kata-kata itu seperti cahaya kecil yang menuntunnya pulang.

 

Lalu umi kembali menarik tangan Aira pelan, menatap matanya dengan penuh kasih.

“Mimpi itu bukan tentang seberapa cepat kamu melangkah, atau seberapa banyak yang sudah kamu kuasai. Tapi tentang seberapa gigih kamu bangkit, walau berkali-kali jatuh. Jangan takut terlambat, Nak, karena setiap langkah yang kamu ambil… adalah bagian dari perjalananmu. Umi percaya, kamu punya kekuatan itu untuk menggapai mimpi-mu, yang terpenting adalah ketika kamu tidak menyerah meski telah terjatuh berkali-kali.”

 

Aira mengangguk pelan, hatinya terasa lebih ringan mendengar ucapan itu, meski ia tahu bahwa tantangan-tantangan selanjutnya masih menunggu di depan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1370      816     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Hello, Me (30)
19252      938     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
114      98     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Trust Me
57      50     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Ikhlas Berbuah Cinta
865      685     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Intertwined Hearts
997      560     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
My First love Is Dad Dead
52      49     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
May I be Happy?
466      307     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
426      193     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...