Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Antara Luka dan Mimpi
MENU
About Us  

“Kita buat sifnya aja gimana? Ana, Fidah, Fiya dari jam sembilan sampai dua belas. Nanti Anira, Fira, dan Nata gantian dari jam dua belas sampai jam tiga. Terus nanti kita rotasi lagi. Gimana menurut kalian?” usul Ka Imut tiba-tiba.

“Ana setuju, kaa,” sahut Nata cepat.

“Ana juga, Ka. Setuju,” sambung yang lain serempak.

 

“Oke, berarti Anira, Fira, dan Nata, kalian tidur dulu sekarang yaa, biar nanti bisa gantian.”

 

“Siap, Ka. Baik,” jawab mereka hampir bersamaan, lalu beranjak ke tempat tidur.

 

Malam itu terasa panjang bagi mereka yang berjaga, tapi ketulusan yang lahir dari kasih sayang membuat semuanya terasa lebih ringan. Sejak Ustadzah Nur datang dan meminta agar lampu dimatikan dan memastikan tak ada cahaya yang menerangi Aira demi menjaga kondisinya, kamar seketika menjadi gelap seperti malam tanpa bulan. Hanya suara langkah pelan, napas tenang, dan bisikan doa yang terdengar lirih, menembus sunyi. Teman-teman Aira yang berjaga memastikan tubuhnya tak menggigil sendirian, menjaga dalam diam dan setia, di tengah ruang kesadaran Aira yang masih kabur.

 

Dengan penuh kelembutan, Ka Fidah membetulkan letak selimut yang sedikit melorot dari bahu Aira. Di sebelahnya, Ka Imut terus memijat lembut tangan Aira yang pucat. Fiya duduk bersila di ujung kasur, sesekali menatap wajah Aira yang tenang namun masih belum menunjukkan tanda-tanda sadar.

 

“Kayak tidur ya,” bisik Fiya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

 

Ka Fidah mengangguk pelan, matanya tak lepas dari wajah Aira yang masih terpejam. “Iya kayak tidur, yaa... Tapi tidurnya dalam banget.”

 

Ka Imut duduk bersandar di dinding, menatap Aira yang terbaring diam. “Masih belum bangun juga yaa… semoga gak terjadi hal yang tidak kita inginkan ya Allah.”

 

“Aamiin.” Jawab ka Fidah dan Fiya lirih.

 

Kemudian Fiya merapatkan selimut ke badan Aira yang dingin, lalu berkata pelan, “Semoga besok udah sadar yaa, semoga udah lebih membaik, syifaa'an 'aajilan laa ba'saa thohurun in syaa Allah Aira sayang.”

 

Lalu ketiganya saling diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Malam terasa lama, tapi mereka tetap di sana, bersama Aira.

 

Tiba-tiba, di tengah heningnya malam dan bisikan doa yang pelan, Aira bergerak turun dari ranjang. Langkahnya pelan namun tak beraturan. Dengan mata yang masih tertutup rapat, tubuhnya seperti digerakkan oleh sesuatu yang tak bisa dipahami. Ia berdiri perlahan, berjalan tanpa arah, matanya masih tertutup. Iyaa dia bergerak tanpa sadar. Fiya yang sedang memegangi tangannya sontak panik.

 

“Eh! Ka Imut!, Aira!” serunya dengan nada pelan namun tergesa.

 

Belum sempat Ka Imut atau Ka Fidah menanggapi, terdengar suara tubuh Aira ambruk ke lantai. “Dug!”

 

Fiya langsung menghampiri. “Aira!”

 

Tubuh Aira tergeletak di lantai, dingin dan lemas, seperti tubuh yang tidak ada ruh didalamnya. Ka Imut dan Ka Fidah cepat-cepat menghampirinya, mereka mengangkat tubuhnya bersama-sama, memapahnya perlahan kembali ke atas kasur. Nafasnya masih ada, tapi sangat pelan. Seolah-olah sedang bertarung dengan dirinya sendiri dalam ruang gelap yang tak bisa dijangkau siapapun.

 

Ka Fidah mengambil air hangat dan menyeka wajah Aira perlahan, sementara Ka Imut mengelus punggungnya. “Aira... istirahat ya. Kami di sini,” bisiknya, nyaris tak terdengar.

 

Setelah kejadian itu, mereka berjaga lebih waspada. Waktu berjalan hingga jam menunjukkan pukul 12 tengah malam. Ka Imut pun membangunkan Anira, Fira, dan Nata yang giliran menjaga. Mereka lalu bertukar sif seperti rencana awal. Setelah itu Ka Fidah, Ka imut dan Fiya segera beristirahat setelah terjaga sepanjang malam. Rasa cemas masih menggelayuti mereka, tapi tubuh mereka juga butuh istirahat.

 

Anira, Ka Nata dan Fira bangun lalu bergantian menjaganya. Anira menyelimuti Aira kembali, memastikan ia tetap hangat. Fira duduk di dekat kepala tempat tidur sambil menggenggam tangan Aira. Ka Nata dengan pelan, membuka mushaf kecil dan mulai membacakan ayat-ayat pendek di sisi Aira, berharap lantunan ayat suci itu mampu menembus kabut gelap yang menahan kesadarannya.

 

Karena hati yang terombang-ambing dalam rasa kecemasan membuat mereka tak sadar kalau waktu telah menjelang pagi, namun tak ada tanda-tanda Aira sudah jauh lebih baik, ia masih terbaring disitu, di ranjang itu dengan posisi awalnya tanpa perubahan sedikitpun.

 

Beberapa kali mereka mencoba membangunkannya dengan lembut.

 

“Aira…, Ira ini sudah pagi,” bisik Fira pelan sambil mengusap pelipis Aira dengan ujung jarinya yang hangat.

 

Setelah beberapa lama, kelopak mata Aira bergerak sedikit. Ia membuka matanya... hanya sedikit, benar-benar sedikit. Sorot matanya kosong, tatapannya kosong, seperti menembus ruang tanpa warna. Ia sadar, tapi tak benar-benar hadir. Tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan. Bahkan untuk menggerakkan tangannya pun ia tampak kesulitan.

 

“Aira, Aira duduk dulu yuk... pelan-pelan, Anti belum makan, tubuh anti harus di isi energi yaa sayang” ujar Anira dengan suara hati-hati.

 

Namun tubuh Aira limbung. Ia seperti tak punya tenaga, tak punya kendali atas dirinya. Anira buru-buru memegangi punggungnya, menahan tubuh Aira agar tak jatuh. Fira segera menyodorkan air minum, dan Nata menyiapkan bubur hangat. Tapi bahkan untuk menyuapkan makanan ke mulutnya pun Aira hanya mampu membuka sedikit bibirnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya begitu lemah, dan hanya bisa bergantung sepenuhnya pada mereka.

 

Hari itu, ia kembali tak sadarkan diri setelah dibantu makan. Tidur yang aneh. Bukan tidur nyenyak, bukan istirahat dalam damai, tapi seperti tenggelam dalam kesadaran yang tak bisa dijangkau.

 

Hari berikutnya pun tak ada perubahan. Matanya sesekali terbuka, namun selalu kembali terpejam. Tak ada kalimat yang keluar dari bibirnya, tak ada isyarat atau anggukan. Mereka berkali-kali mencoba menyadarkan Aira kembali tapi selalu seperti itu, sadar sebentar lalu kembali hilang.

 

Akhirnya, setelah dua hari tanpa kesadaran penuh, Umi Aira memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Begitu mendapat kabar dari Ustadzah, dan mendapatkan izin darinya, beliau segera datang ke pondok. Sementara yang lain membantu mempersiapkan barang-barang Aira, Ka Fidah dan Fiya dengan hati-hati memindahkan Aira ke dalam pelukan Mereka untuk digendong keluar dari kamar.

 

Mereka berjalan pelan menuju mobil yang sudah menunggu. Aira dibaringkan di dalamnya, tubuhnya masih lemah dan matanya terpejam.

 

Sepanjang perjalanan, hanya ada kesunyian dan gumaman doa lirih dari Umi yang menatap putrinya dengan cemas.

 

Setibanya di rumah sakit, Aira langsung dibawa masuk ke ruang IGD. Para perawat segera datang, mendorong ranjang darurat dan mempersilakan Umi mendampingi. Seorang dokter jaga datang memeriksa Aira dengan cepat. Dalam hitungan menit, jarum infus sudah terpasang di tangan Aira, dan obat-obatan penenang serta anti-epilepsi mulai dimasukkan. Tubuh Aira yang lemas terbaring tanpa suara, sementara Umi hanya bisa duduk di kursi samping dengan napas yang tak menentu, menggenggam tangan putrinya yang dingin.

 

Beberapa jam berlalu di IGD, namun kondisi rumah sakit sedang penuh. Umi duduk di samping ranjang darurat, menggenggam tangan Aira yang masih dingin, memandangi wajah pucat putrinya yang tak menunjukkan reaksi sedikit pun.

 

Malam menjalar perlahan, menggulung waktu dalam keheningan. Umi tidak beranjak. Ia tak peduli rasa pegal yang menjalari punggungnya, atau kantuk yang menyengat matanya. Yang ia tahu, anaknya belum juga membuka mata.

 

Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam ketika seorang perawat menghampiri. Kamar rawat telah tersedia. Dengan hati lega bercampur cemas, Umi mendampingi Aira dipindahkan ke kamar baru. Namun kondisi Aira masih belum membaik. Napasnya tak teratur, tubuhnya tetap pasif, dan responsnya masih nihil.

 

Dokter datang memeriksa ulang kondisi Aira. Detak jantungnya normal, namun kesadarannya belum kembali. Wajah dokter tampak cemas, dan perlahan ia menoleh ke Umi sambil berkata:

"Kalau sampai dua jam ke depan belum ada respons, kemungkinan harus kami pindahkan ke ICU.”

Perasaan Umi seperti diremas. Ia hanya mampu menunduk dan kembali duduk di sisi ranjang, membisikkan doa sambil mengelus lembut kening anaknya.

 

Hingga tiba-tiba, tepat saat perawat hendak memanggil dokter untuk membawa Aira ke ICU, jemari Aira bergerak pelan.

 

“Umi…” gumamnya lirih, nyaris seperti angin lewat.

 

Umi tersentak. Ia segera mendekat dan melihat mata Aira yang terbuka perlahan, masih sayu, bingung.

 

“Sayang… ini Umi… Umi disini sayang”

 

Aira memandangi sekeliling ruangan, napasnya berat. Jemarinya yang semula kaku sedikit menggeliat, dan dari bibir pucatnya keluar gumaman lemah.

 

“...Di...mana?”

 

“Ini dirumah sakit sayang.” Jawab Umi lirih masih dengan pandangan penuh kecemasan sambil mengelus lembut kepala Aira.

 

Aira mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menoleh lemah ke sekeliling. Suaranya nyaris tak terdengar saat bertanya, “Ka Imut mana?... Mana yang lain?... Aku... mau balik ke pondok...”

 

Umi tersenyum tipis, meski matanya basah. “Iya sayang... nanti balik ke pondok, tapi istirahat dulu ya. Sembuhin badan kamu dulu, baru bisa ke sana lagi.”

 

Aira memejamkan mata sebentar, lalu mengangguk lemah. Ia terlalu lelah untuk berkata lebih banyak, namun senyuman tipis muncul di wajahnya, senyuman kecil yang menguatkan Umi.

 

Beberapa hari setelah kondisinya mulai stabil, Aira mulai bisa duduk meskipun badannya masih lemas. Wajahnya belum benar-benar segar, tapi matanya mulai bisa di buka penuh kembali. Di sisi ranjang, Umi menyuapi bubur hangat perlahan, dengan sabar seperti merawat bayi kecil yang baru belajar menelan.

 

Di sela-sela heningnya sore, Aira berkata lirih kepada uminya. “Mi… boleh aku telepon teman-teman dipondok?, Aku kangen mereka”

 

Umi menoleh. “Boleh, setelah makan yaa Nak, Umi izin dulu ke ustadzah, karena nanti kan vc nya pasti pake hp ustadzah,” jawabnya sambil tersenyum tipis.

 

Tak lama, Umi meminta izin pada Ustadzah Nur lewat pesan. Sore itu, Aira akhirnya bisa melakukan video call pertamanya sejak ia tumbang. Suaranya masih lirih, tapi senyumnya muncul untuk pertama kalinya setelah berhari-hari.

 

Layar ponsel menampilkan wajah-wajah yang ia rindukan: Ka Imut, Fiya, Anira, Ka Fidah, dan beberapa teman dekat lainnya yang duduk berkerumun di kamar pondok.

 

Mereka berbincang cukup lama meski Aira hanya sanggup bicara sedikit-sedikit. Hanya dengan melihat wajah teman-temannya, ada yang terasa kembali utuh dalam dirinya. Seperti napas yang bisa ditarik lebih dalam, seperti ruang dadanya yang perlahan terbuka.

 

Beberapa hari kemudian, setelah dinyatakan sudah cukup membaik oleh dokter, Aira diperbolehkan pulang. Dia kembali istirahat sebentar di rumahnya untuk benar-benar memulihkan dirinya dulu sebelum kembali ke pondok.

 

Setelah beberapa hari beristirahat di rumah, Aira akhirnya kembali ke pondok. Tapi tetap saja, ada bagian yang memang benar-benar rapuh, walau sudah dia usahakan semaksimal mungkin.

 

Tubuhnya hadir disana, senyumnya pun masih tampak utuh—tapi itu hanya senyum tipis yang lebih seperti sapaan sopan, bukan tawa ringan yang dulu biasa ia bagi. Suaranya lembut, langkahnya pelan, dan gerak-geriknya seperti seseorang yang terus berhati-hati agar tidak memicu badai di dalam dirinya sendiri.

 

Dulu sebelum semuanya makin parah, Aira adalah sosok periang, banyak becanda dan suka tertawa. Bukan tipe yang pendiam dan menyendiri, tapi cukup terbuka dan sering membantu adik kelas. Sekarang, hari-harinya lebih banyak dilalui dalam diam. Bukan karena ia menjauh, tapi tubuhnya memang tak sanggup banyak bergerak. Ia makin sering kambuh—kadang bisa dua hari penuh tak sadarkan diri bahkan lebih, kadang hanya sadar beberapa menit sebelum lemas lagi dan kembali kehilangan dirinya sendiri.

 

Kondisinya yang seperti itu membuatnya sulit untuk benar-benar ikut dalam keseharian pondok. Ia tak bisa banyak mengobrol, sering ketinggalan banyak pelajaran, sering pulang karena sakitnya, dan bahkan kadang untuk sekadar duduk lama dalam halaqah pun tubuhnya tak selalu sanggup. Maka, dengan sendirinya, lingkaran sosialnya menyempit. Bukan karena ia memilih menjauh, tapi karena tubuhnya memaksanya begitu.

 

Dan karena itu ia hanya banyak berkomunikasi dan bermain dengan orang-orang yang memang sudah mengenalnya dan yang sudah ia kenal. Ka Imut, Ka Fidah, Ka Nata, Fira, Fiya, Anira dan teman-teman lamanya—mereka yang tahu persis bagaimana kondisinya. Mereka tahu kapan harus menuntun Aira yang jalannya mulai oleng, tahu kapan harus menyuapi karena tangannya gemetar, tahu kapan harus mematikan lampu karena cahaya membuat Aira kambuh lebih parah.

 

Santri baru sudah mulai menyesuaikan diri. Asrama ramai oleh suara mereka yang sibuk menyusun barang, bercanda di lorong, atau semangat bertanya tentang jadwal tahfidz. Tapi di tengah riuh itu, Aira tetap diam di tempat tidurnya atau duduk bersandar di dinding, ditemani oleh orang-orang yang tak pernah lelah menjaganya. 

 

Obat yang harus diminum tiap hari membuatnya sering mengantuk dan tidak fokus. Ia juga lebih sering diam dan menghindari keramaian.

 

Aira melewatkan banyak waktu sendiri. Ia hanya keluar saat jadwal mengaji, lalu kembali ke ranjang. Ia jarang berbicara dengan santri baru yang mulai ramai mengisi kamar dan lorong-lorong pondok.

 

Namun di antara puluhan wajah baru, ada satu yang diam-diam memperhatikan. Seorang adik kelas yang ranjangnya tak jauh dari Aira. Ia tak banyak bicara, tapi setiap kali Aira kambuh, ia selalu ada. Namanya adalah Elara.

 

Aira tidak tahu sejak kapan Elara mulai hadir begitu sering. Rasanya seperti satu lembar cerita yang tiba-tiba sudah ditulis separuh halaman tanpa ia sadari. Mungkin karena kesadarannya sering terputus-putus saat kambuh, atau karena dunia di sekitarnya kerap terasa jauh dan buram. Tapi yang Aira tahu pasti, saat tubuhnya menggigil dan kesakitan, Elara akan muncul—dengan langkah pelan, wajah teduh, dan tangan yang selalu membawa sesuatu: sebotol air putih, tisu basah, segenggam doa.

 

Tak pernah ada suara yang berlebihan. Elara hadir dalam diam, seperti bintang kecil yang tidak ingin mengusik malam. Ia tidak banyak bertanya, tidak banyak berkata-kata. Tapi justru dalam senyap itulah Aira merasa ditemani.

 

Sering saat Aira kambuh, dan masih belum sepenuhnya sadarkan diri, Elara datang dan mengelus lengannya dan berusaha membangunkannya dengan suara lembut.

 

"Ka Aira... makan dulu yuk, ka..."

 

Aira yang nyaris tak sanggup membuka mata, selalu merespons suara itu dengan isyarat. Kadang hanya lewat gerakan lemah di ujung bibirnya, kadang hanya dengan membuka matanya satu garis. Tapi itu cukup bagi Elara. Elara akan dengan sabar membantu menyandarkannya, menyuapi pelan, mengusap kening Aira yang basah oleh keringat dingin, lalu menyeka mulut Aira dengan hati-hati, seolah ia sudah mengenal Aira dengan sangat lama, padahal pertemuan mereka baru beberapa bulan, tapi sikap Elara benar-benar membuat Aira tercengang.

 

Yang membuat Aira semakin heran adalah meski belum banyak mengobrol dan mengungkapkan segalanya, Elara seperti sangat memahaminya, ia tahu ciri-ciri kondisi tubuh Aira saat Aira hendak kambuh dan selalu memperhatikannya, Elara bahkan menghafal semua jadwal obat Aira, tahu mana yang harus diminum pagi, siang, dan malam.

 

Tak perlu Aira kenal lebih dulu. Tak perlu perkenalan panjang. Elara hadir seperti jawaban dari doa yang tak pernah sempat Aira ucapkan.

 

Setiap kali Aira berusaha tersenyum, Elara sudah lebih dulu menatapnya dengan mata teduh dan penuh perhatian.

 

Hari-hari berlalu perlahan. Kondisi Aira mulai membaik, meski tubuhnya masih terasa lelah dan pikirannya sering melayang. Ia mulai bisa duduk lebih lama, mulai ikut kajian lagi meski harus sering izin jika tubuhnya melemah. Tapi ada satu hal baru yang membuat hari-hari dipondoknya terasa berbeda kali ini—seseorang yang diam-diam mengisi ruang kosong di sisinya: Elara.

 

Setelah sekian lama hanya berinteraksi lewat sentuhan lembut dan suara lirih, akhirnya Aira dan Elara benar-benar berbincang, mereka mengobrol dan bercerita dengan canda tawa.

 

Lalu pernah di suatu malam di saat Aira sedang bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba Elara menghampirinya dengan membawa sesuatu.

 

“Ka Aira minum obat dulu yuk ka, jamnya udah lewat sedikit.” ucapnya lembut sambil menyodorkan dua butir obat dan sebotol air.

 

Aira menoleh. Matanya membulat pelan. Ia benar-benar lupa. Dalam hatinya ia bergumam pelan, “Owh iya… ana belum minum obat lagi.”

 

Tanpa banyak bicara, Aira tersenyum dan menerima obat itu lalu meneguknya pelan. Tapi saat ia mengulurkan kembali botol minumnya, Elara sudah berdiri lagi.

 

“Nanti ana simpan ya, Ka,” ucapnya singkat.

 

Dan begitu saja, Elara berbalik, membawa kembali obat dan air ke kamar mereka. Seolah kehadirannya tadi memang hanya untuk memastikan Aira minum obat, tidak lebih.

 

Aira menatap punggung Elara yang menjauh. Ada perasaan hangat menjalari dadanya, lalu spontan ia bersuara, “Anti kesini cuma mau ngasih ana obat kah?”

 

Elara berhenti sejenak, menoleh, lalu tersenyum tipis sambil mengangguk.

“Iya, Ka. Ana takut Kaka telat minum obatnya, walau tadi juga sebenernya telat sedikit, afwan ya Ka.”

Jawaban sederhana itu menghujam lembut ke hati Aira. Ia terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Di dalam hatinya, ia merenung dalam diam: Betapa baiknya Allah?

Sejak malam itu, Aira mulai menyadari satu hal: perhatian Elara bukanlah perhatian yang biasa. Ia tidak banyak bicara, tidak sering memeluk atau memuji, tapi dalam tindakannya selalu ada ketulusan yang menyentuh diam-diam. Ia hadir dalam bentuk-bentuk kecil yang penuh makna, seperti mengingatkan waktu minum obat, bahkan sampai rela menghampirinya hanya untuk memberinya obat, atau hanya duduk di dekat Aira ketika yang lain sibuk bermain.

Dan rasa hangat itu semakin nyata, saat pada suatu hari, dimana tubuh Aira sudah terlalu lelah untuk bertahan. Qadarullah, ustadzah menyampaikan pesan dari Umi bahwa Aira harus pulang untuk sementara waktu, menepi dari segala aktivitas pondok agar tubuhnya bisa pulih dengan lebih baik. Tapi sore itu juga, Umi sedang berhalangan untuk datang menjemput. Ustadzah mengabarkan bahwa Umi sedang berhalangan menjemput dan Umi hanya akan memesankan grab mobil untuknya pulang.

Dan setelah Elara tahu akan hal itu, Elara adalah orang pertama yang tanpa banyak bicara langsung gerak untuk Aira. Ia yang langsung menegakkan punggung, memantapkan langkah, dan tanpa menunggu siapa-siapa, mulai berbenah. Koper Aira ia keluarkan dari bawah ranjang, lalu ia lap lembut pinggirannya, dan ia mulai melipat baju-baju Aira satu per satu. Ia tahu mana mukena favorit Aira, mana jilbab yang sering dipakai Aira, dan tahu barang-barang apa yang harus dibawa pulang untuk kebutuhannya. Ia tahu letak botol air, buku catatan, bahkan sepatu Aira yang sering hanya Aira pakai ketika ada rihlah, tapi dia hafal.

 

Tak hanya koper, Elara juga menyiapkan satu tas kecil khusus. Di dalamnya ia isi cemilan-cemilan untuk Aira ngemil di dalam mobil. Di sela-sela makanan itu juga, ia selipkan satu kantong kecil berisi minyak kayu putih, beberapa strip obat, dan tisu basah. Ia menatanya penuh ketelitian dan dengan perhatian, seperti sedang menyiapkan bekal untuk seseorang yang sangat ia sayang.

 

Ia juga membawa botol besi miliknya sendiri. Ia isi dengan teh hangat yang Aira suka, lalu ia letakkan perlahan di sisi tas, memastikan tutupnya rapat agar tak tumpah. Ia menoleh ke Aira dengan senyum kecil, meski matanya tampak menyimpan kegelisahan.

 

“Kakak,” katanya lembut sambil menyodorkan tas kecil itu, “ini isinya cemilan yaa, sama obat-obatan, sama minyak kayu putih... kalau Kakak berasa nggak enak badan. Pokoknya Kakak jangan lupa minum, jangan lupa makan ya.”

 

 

Lalu ia menyodorkan botol besi itu dengan ekspresi yang sedikit lebih serius.

 

“Kakak, kalau sopirnya macem-macem, langsung Kakak lempar aja sama botol ini ya kaa...” katanya separuh bercanda, separuh cemas yang nyata. “Kakak hati-hati, kuat-kuat, jaga-jaga.”

 

 

Aira hanya bisa mengangguk waktu itu sembari tersenyum, suaranya sudah terlanjur tercekat. Di antara semua sakit yang pernah ia rasa, mungkin yang ini ditinggal dan harus meninggalkan adalah salah satu bentuk sakit yang paling diam-diam menyayat.

 

Sebelum Aira benar-benar berangkat, Elara dan teman-temannya menulis surat untuknya. Surat itu mereka lipat rapi dan masukkan ke dalam sisi tas kecilnya yang juga berisi obat-obatan dan cemilan-cemilan.

 

 “Baca nanti di mobil ya kakak, biar kakak nggak bosan. Jangan dibuka sekarang oke.”

 

Dan seperti sebuah ritual perpisahan kecil yang penuh cinta, mereka semua berjalan bersama ke saung dekat gerbang. Di sana, mereka duduk melingkar, menemani Aira menunggu kedatangan mobil grab yang dipesan Uminya. Mereka tak banyak bicara, hanya sesekali tertawa kecil, mengalihkan gugup yang menggantung di udara.

 

Lalu mobil itu datang. Satu per satu mereka memeluk Aira, dan Elara adalah yang terakhir memeluknya. Ia memeluk sedikit lebih erat, sedikit lebih lama, seolah ingin menitipkan seluruh ketenangan yang ia miliki ke dalam dada Aira.

Aira masuk ke dalam mobil. Jendela tertutup perlahan. Mereka melambaikan tangan Elara, Ka Imut, Anira, Azira, Nawa dan yang lain—sampai bayangan mobil itu benar-benar menghilang di tikungan jalan.

Baru setelah itu, satu per satu mereka berbalik. Masuk kembali ke pondok. Masuk kembali ke rutinitas. Tapi hari itu, langkah mereka sedikit lebih pelan. Dan sore itu, langit menggantungkan perasaan rindu yang belum sempat mereka ucapkan dengan kata.

Dan setelah ia mengingat kejadian itu, ia kembali merenung dan bertanya sekali lagi. “Betapa baiknya Allah?”.

Disaat tubuhnya melemah, ketika pikirannya penuh dengan tanya dan perasaan tak mampu, ketika ia sempat merasa sendiri bahkan di tengah keramaian, Allah mengirimkan seseorang yang hadir tanpa banyak kata, tapi mampu mengisi celah-celah kosong yang bahkan tak disadari Aira selama ini.

Begitu halus cara Allah bekerja, pikir Aira. Saat Dia menimpakan ujian secara bertubi-tubi, saat Dia mencabut rasa nyaman, kepercayaan diri, bahkan kekuatan raga… ternyata di waktu yang sama, Dia juga mengirimkan uluran tangan yang lembut dan menenangkan. Dia tak pernah benar-benar membiarkan hamba-Nya berjalan sendirian.

 

Aira memeluk lututnya erat-erat. Pandangannya menerawang jauh ke arah serambi yang kosong, tapi pikirannya tenggelam dalam rasa syukur yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Rasanya seperti dipeluk tanpa pelukan. Ditenangkan tanpa suara. Diselamatkan tanpa ia sempat memohon.

 

Dan siapa sangka? Orang itu adalah Elara. Gadis kecil yang bahkan belum ia kenal dengan baik, tapi sudah hadir seperti bagian dari hatinya sendiri.

 

Sejak saat itu, Aira menganggap Elara sebagai adiknya. Ia menyayanginya selayaknya adik karena Allah. Perhatian Elara adalah hadiah yang tak pernah ia minta, namun Allah hadirkan tepat saat ia paling lemah. Dan Aira menerima itu dengan rasa syukurnya.

 

Namun Allah belum selesai menunjukkan caranya menjaga Aira.

 

Di hari-hari berikutnya, di sela-sela perjuangan Aira menghadapi tubuhnya yang sering melemah, ia mulai menyadari kehadiran sosok lain. Diam. Tenang. Tidak mencolok. Tapi keberadaannya terasa.

 

Namanya Azira.

 

Aira awalnya mengira Azira hanyalah santri baru yang sesekali membantunya karena kasihan. Tapi lama-lama, ia menyadari satu hal yang tak bisa diabaikan, Azira selalu ada di saat-saat genting. Bukan dengan kelembutan seperti Elara, tapi dengan ketegasan yang membuatnya merasa aman.

 

Jika ada yang menyinggung Aira, meski hanya bercanda atau celetukan ringan, Azira akan berdiri di antara mereka dengan sorot mata tajam.

 

"Ngomongnya yang bener. Jadi orang itu jangan asal jeplak, yang denger juga punya hati," ucapnya suatu kali, dingin tapi tegas, saat seseorang menggoda Aira karena lambat merespon dalam diskusi kelas.

 

Aira kaget waktu itu. Bukan karena kata-katanya, tapi karena cara Azira mengatakannya. Tegas. Melindungi. Tak peduli dia sedang bicara pada kakak kelas atau teman seangkatannya.

 

Bersama Elara, yang menyayanginya layaknya adik kecil, dan Azira, yang menjaganya seperti seorang kakak—meski mereka adik kelas—Aira pelan-pelan belajar lagi tentang arti hadir dalam diam, dan mencintai dalam bentuk paling sederhana: perhatian tulus.

 

Lalu ada satu lagi.

 

Nawa.

 

Gadis itu tak seintens Elara dan tak sedingin Azira. Ia hadir dengan cara yang berbeda—lembut, gercep, dan diam-diam sangat perhatian. Aira bahkan tak sadar kalau ia punya adik kelas bernama Nawa, ia belum mengenalnya, dan masih terasa sangat asing. Lalu saat ia mencoba mengingat kembali yang ia ingat hanyalah momen sederhana, suatu malam saat ia masuk ke hamam sambil mengenakan sandal, buru-buru karena ingin cepat-cepat tidur malam.

 

"Kakaaa, Ka Aira... kalau ke hamam nggak boleh pakai sandal, kakaa~," suara lembut itu terdengar dari arah belakang.

 

Aira menoleh cepat. Ia sedikit tercengang, lalu tersenyum kikuk. "Hah? Eh... iya kah? Hehe, maaf yaa..."

 

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, ka. Soalnya itu hamamnya udah dipiketin ka hehe.”

 

"Owhh iyaa iyaa, afwann yaa,” jawab Aira dengan nada tercengang sedikit, lalu Aira kembali mengeluarkan suaranya “euhm anti... qism nadzofah kah?" tanya Aira penasaran, menebak dari cara gadis itu memberi arahan.

 

"Iya, ka," jawabnya ramah.

 

Aira memicingkan mata. "Anti anak baru kan?"

 

"Hehe, udah lumayan lama kok ka. Ini udah setengah semester," balasnya sambil terkekeh kecil.

 

Aira membulatkan mata. Ia baru sadar bahwa waktu telah berjalan sejauh itu, dan dirinya bahkan belum mengenal banyak wajah baru. "Ohh iyaaa..." jawabnya singkat, masih agak cuek, lalu langsung melangkah masuk ke hamam.

 

Setelah kejadian itu, Aira beberapa kali melihatnya lagi. Kadang hanya sekilas saat mengantri di dapur, atau ketika sedang duduk menyimak musyrifah berbicara di depan aula. Tapi yang membuat Aira bingung dan kadang tersenyum heran sendiri adalah saat betapa ia sering tertukar antara Nawa dan seorang adik kelas lain bernama Yaya. Entah kenapa, wajah mereka terlihat hampir mirip di matanya. Mungkin karena ia belum cukup mengenal, atau karena dirinya masih terlalu asing dengan dunia baru yang terus bergerak meski ia sedang tak sadarkan diri.

 

Dan entah sejak kapan, Nawa mulai memanggilnya dengan sebutan aneh tapi menghangatkan dada: Kaka cantik.

 

Panggilan itu muncul begitu saja. Secara tiba-tiba. Tanpa alasan yang Aira ketahui, itu mengingatkannya pada Faidah, seorang adik kelas yang saat di awal memanggilnya ‘Kaka mata cantik’ karena belum tahu namanya.

 

Dan pada suatu sore, saat Aira datang ke dapur untuk mengambil sesuatu, Nawa yang sedang bertugas memasak menyodorkan sepotong makanan dengan senyum sumringah.

 

"Kaka cantik, tolong cobain, enak nggak kaka cantik?" tanyanya, seolah panggilan itu adalah nama asli Aira sejak awal.

 

Aira sempat terkekeh kecil. Menjawab, “Enak kok,” sambil tersenyum. Tapi di balik senyum itu, ada sesuatu yang menetes lembut di hatinya. Rasa hangat, yang sudah lama tidak ia rasakan. Kehangatan itu terasa asing sekaligus familiar, datang dari hati yang memberi tanpa meminta kembali.

 

Dan pernah pada suatu kali, saat Aira melangkah agak cepat di jalanan setelah hujan, kakinya terpeleset sedikit dan tubuhnya nyaris kehilangan keseimbangan. Nawa yang tiba-tiba ada di belakangnya langsung sigap menahan lengannya.

 

“Hati-hati, ka,” katanya pelan.

 

Tak lebih. Hanya itu.

 

Tapi entah kenapa, kalimat sederhana itu mampu membuat Aira merasa… dijaga.

 

Dan pada suatu siang yang tenang, ketika Aira menyendiri di saung sambil menulis, Nawa datang membawa dua gelas minuman dingin. Ia duduk di samping Aira tanpa banyak bicara, lalu mulai mengajak mengobrol.

 

Percakapan itu mungkin tak panjang. Tapi cukup untuk membuka ruang baru dalam hati Aira—ruang kosong yang kini semakin terisi oleh mereka, adik-adik kelas barunya yang membuatnya merasa ‘lebih ada’.

 

Nawa memang tak banyak bicara, tapi perlakuannya menyampaikan lebih dari cukup. Ia bukan tipe yang akan menunjukkan perhatian secara gamblang, apalagi melimpahi seseorang dengan kata-kata manis. Ia seringkali terlihat biasa saja, bahkan kadang tampak acuh, seolah tak peduli pada apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Namun di balik sorot matanya yang tenang, ada kehadiran yang diam-diam memperhatikan. Ia tahu kapan harus muncul tanpa diminta, kapan harus membantu tanpa membuat orang merasa berutang budi. Dan Aira, meski tak selalu menyadarinya secara langsung, perlahan mulai merasakan bahwa kepedulian yang hening seperti itulah yang justru membuatnya paling menetap di hati.

 

Seperti suatu hari, saat Aira kembali kambuh. Tubuhnya lemas, dan ia hanya bisa terbaring sepanjang pagi. Hari itu kebetulan adalah jadwal piketnya, tapi semuanya berjalan seperti biasa tanpa ada yang memanggilnya.

 

Menjelang siang, saat Aira mulai membaik dan bisa bangun dari tempat tidur, ia bertanya pada salah satu temannya yang lewat di depan kamar.

 

“Eh, ana piket hari ini kan? Tadi… siapa yang gantiin ya? Ana mau bilang makasih, sekalian minta maaf.”

 

Temannya menjawab santai, “Udah diberesin kok, Nawa yang ngerjain sendiri dari tadi pagi.”

 

Mendengar itu, Aira langsung berdiri pelan dan keluar kamar. Ia melihat Nawa sedang menyapu dekat tangga. Dengan langkah cepat, ia mendekat sambil mengerucutkan bibir.

 

“Ihhh, kok anti gantiin ana piket sih?” Aira menepuk pelan bahu Nawa. “Kan anti juga piket hari ini, kenapa nggak pakai badal yang lain ajaa?”

 

Nawa tersenyum kecil, sedikit kaget tapi tetap berusaha kalem seperti biasa.

 

Azira yang kebetulan lewat di situ langsung menimpali dengan nada santai tapi juga dengan sedikit candaan. “Gapapa ka, bilang makasih dulu aja.”

 

Aira langsung nyengir, “Owh iyaaa! Maappp yaa… makasihhh Nawa!” Ia menunduk sedikit sambil sedikit merasa bersalah karena malah langsung nyerocos tanpa bilang makasih terlebih dahulu. “Tapi lain kaliii, pake yang lain aja yaa, yang emang jadwal badalnya.” Lanjut Aira.

 

Nawa hanya mengangguk kecil sambil tersenyum. “Iyaa kakaa, afwan yaaa”

 

“Ihh enggakk, ana yang afwan, syukron yaa, jazaakillahu Khairan Nawaa.” Jawab Aira dengan nada excited.

 

“Iya kaka, afwann, waiyyaki”. Jawab Nawa sambil tersenyum.

 

Sejak hari itu, Aira merenungi satu hal: dunia tempatnya berdiri mungkin nggak selebar dulu. Nggak seindah masa-masa sebelum sakit juga. Tapi cukup. Cukup buat bernapas, cukup buat merasa hidup… lagi.

 

Sekarang, selain teman-teman lamanya, Aira mendapatkan teman barunya yang sama perhatiannya seperti teman lamanya. Ada Elara yang selalu nyamperin tiap Aira keliatan capek, lelah, dan mulai menunjukkan gejala-gejala awal kekambuhannya kayak adik kecil yang sayang banget sama kakaknya. Ada Azira, yang meski lebih muda, justru sering jadi tempat Aira bersandar seperti seorang kakak. Dan ada Nawa, yang nggak banyak bicara, tapi selalu ada pas Aira butuh, seolah jadi pelindung diam-diam di langit yang hening.

 

Tiga orang itu—bukan cuma teman barunya. Bukan juga sekadar adik kelasnya.

 

Mereka itu hadiah dari-Nya.

 

Dan di tengah rasa sakit yang kadang nggak kunjung reda, di tubuh yang sering nggak kuat, Aira belajar satu hal lagi: Allah memang Maha Baik. Dia kirimkan pelipur lewat cara yang paling nggak disangka, lewat tangan-tangan kecil yang nggak minta dilihat, tapi selalu ada.

 

Dan Aira bersyukur. Sebab Allah telah menjawab doa yang bahkan tak sempat ia panjatkan, dan Allah faham kalau ia butuh.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Can You Be My D?
79      73     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1029      656     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Deep Sequence
562      465     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
May I be Happy?
467      307     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Jalan Menuju Braga
387      301     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
That's Why He My Man
818      561     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Perahu Jumpa
247      206     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Konfigurasi Hati
458      325     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.