Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Antara Luka dan Mimpi
MENU
About Us  

Aira kembali ke pondok dengan langkah pelan dan napas yang masih belum stabil. Tangannya menggenggam kantong plastik putih berisi berbagai jenis obat yang diberikan dokter. Ada rasa asing setiap kali ia membuka plastik itu—seolah setiap label dan dosis yang tertulis di sana adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan lagi sama.

 

Setibanya di kamar, Aira membuka kantong plastik itu perlahan. Suasana kamar sedang sepi—karena semua santri masih berada di kelas sore. Hanya suara kipas angin tua yang berputar pelan, diselingi detak jarum jam di dinding. Kesunyian itu justru membuat gemuruh di dalam dirinya terasa lebih nyaring.

 

Ia duduk di tepi kasur, lalu mulai menghitung satu per satu jenis obat yang harus diminumnya, sambil mencoba memahami dan mencocokkan jadwal—jam berapa yang ini, berapa lama jeda sebelum yang itu, dan kapan harus minum lagi. Tapi semakin ia perhatikan, plastik obat itu justru terlihat seperti kekacauan kecil: strip berserakan, botol-botol kecil, dan kertas panduan pasien yang mudah sekali terselip.

 

Ia menghela napas. “Obat sebanyak ini tak mungkin hanya dibiarkan berserakan begitu saja.” Gumamnya sambil memandangi semuanya dengan bingung, merasa lelah bahkan sebelum mulai mengatur.

 

Karena tak tahu harus menyimpan semuanya di mana, Aira memberanikan diri menemui ustadzah. Dengan suara pelan, ia meminta tolong agar ustadzah mengirimkan pesan pada uminya—meminta dibelikan sebuah kotak berukuran sedang yang cukup untuk menyimpan seluruh obat dan kertas panduannya.

 

Tak butuh waktu lama, uminya langsung paham. Beberapa jam kemudian, sebuah paket datang melalui Gosend—kotak plastik berwarna biru berukuran lumayan, bersih dan rapi, lengkap dengan namanya di selembar kertas kecil yang ditempel di tutupnya. Aira menerimanya dengan tatapan sendu—tak menyangka bahwa kini ia harus memiliki kotak khusus hanya untuk menyimpan obat-obatnya. Tangannya sempat gemetar saat membuka tutupnya, lalu perlahan ia mulai menyusun semua obat ke dalamnya, satu per satu. Seolah-olah ia sedang menyusun ulang ritme hidupnya yang kini dipandu oleh resep, dosis, dan waktu minum obat.

 

Ada lima jenis obat yang harus ia konsumsi setiap hari. Obat wajib epilepsi, yang mutlak diminum tepat pukul 7 pagi dan 7 malam—tanpa boleh telat sedikit pun, karena keterlambatan bisa memicu kambuhnya serangan. Kemudian ada obat pendamping epilepsi yang diminum dua kali sehari, dua jam setelah obat utama. Obat ketiga adalah penenang, yang harus diminum setiap kali ia mulai merasa cemas berlebihan atau ketika tangannya mulai gemetar. Lalu, ada obat sesak napas yang harus ia minum saat mulai merasakan tanda-tandanya. Terakhir, ada satu lagi obat tambahan yang dijadwalkan setiap pukul 10 pagi.

 

Setelah selesai merapikan semua obat ke dalam kotak, Aira duduk diam di tepi ranjang. Tangannya mengusap pelan permukaan tutup kotak itu, sebelum kembali membukanya dan menatap isinya sekali lagi—seakan masih sulit percaya bahwa semua itu kini menjadi bagian dari hidupnya. Kotak itu kini terisi penuh dengan strip obat, botol kecil, dan kertas panduan pasien epilepsi. Di dalamnya, terlipat rapi jadwal minum, catatan efek samping, serta secarik kertas yang ia tulis sendiri dengan huruf besar dan tegas: “Jangan sampai lupa. Jangan sampai telat.”

 

Tulisan itu—sebagai sebuah pengingat keras untuk dirinya bahwa sekali saja ia lalai, serangan bisa datang tiba-tiba. Hari-harinya kini seolah dipandu oleh alarm dan aturan medis, membuatnya merasa seperti hidup dalam ritme yang bukan miliknya sendiri.

 

Kemudian Aira menarik napas dalam-dalam sembari menutup kotak obat itu dengan perlahan, baru saja ia menutup kotak itu dan hendak menenangkan pikirannya, tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan. Beberapa temannya masuk setelah pulang dari kelas sore. Salah satunya langsung menghampiri Aira dan berkata, “Haii Aira, anti udah pulangg. Euhm anti udah denger belum? Hari ini mulai ujian tasmi bulanan dan sebentar lagi kita ujian kenaikan kelas.”

 

Jantung Aira langsung berdegup kencang. Ujian tasmi? Ia belum menyelesaikan satu juz pun. Pikirannya langsung berputar, dipenuhi rasa cemas dan penyesalan. Betapa selama ia dirawat dan bolak-balik rumah sakit, hafalannya tertinggal jauh. Ia memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai naik ke pelupuk.

 

Aira menoleh, matanya menyiratkan kepanikan yang tak bisa disembunyikan. “Tasmi? Ana aja belum selesai satu juz pun…”

 

“Anti gausah khawatir enggak apa-apa kok, Ra… yang penting itu usahanya. Allah kan lihat seorang hamba dari perjuangannya.” Salah satu temannya mencoba menenangkan sembari senyum tipis sambil merangkul bahu Aira.

 

Namun Aira bukan tipe yang mudah tenang. Ia merasa tanggung jawabnya besar, dan tak ingin dilihat sebagai orang yang terus-menerus tertinggal. 

 

Sejak hari itu, Aira memilih untuk tidak tidur siang. Ia memilih duduk bersandar di dekat rak buku, menyisir hafalannya sambil menahan kantuk yang luar biasa hebat. Walau obat yang diminumnya di pukul tujuh pagi membuat kelopak matanya berat, tetapi ia memaksa tetap terjaga, mengulang ayat-ayat yang kadang bahkan tak bisa ia cerna.

 

“Ra, istirahat dulu aja, yuk…” ucap salah satu temannya yang duduk di dekatnya.

 

Aira hanya menggeleng, tersenyum kecil. “Nanti aja. Aku takut nggak keburu.”

 

Dan sejak hari itu setiap malam, ia selalu tidur di atas jam sebelas dan bangun pukul dua dini hari hanya untuk tahajud dan murojaah. Lelahnya menjadi bayang-bayang setia, tapi ia tak pernah menunjukkan itu di hadapan yang lain. Hanya saat sunyi menyelimuti kamar, tubuhnya terasa remuk.

 

Hari demi hari ia lewati dalam ritme yang melelahkan. Tubuhnya sering gemetar karena pengaruh obat, dan pikirannya mudah buyar. Namun ia tetap bertahan—karena satu hal: Allah selalu melihat setiap usaha hamba-hamba-Nya, dan karena ia tidak ingin menyerah sebelum mencoba.

 

Hari itu akhirnya tiba, sekarang giliran Aira untuk ujian tasmi bulanannya.

 

Ia duduk di depan ustadzah dengan mushaf tertutup di pangkuan. Tangannya berkeringat dingin, dan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia menarik napas dalam, lalu mulai membaca ayat demi ayat yang telah ia murojaah selama hari-hari panjang itu. Tapi seperti yang sudah ia khawatirkan, pikirannya tidak selancar harapannya. Setiap satu atau dua ayat, ia sering terdiam, tatapan kosong menembus lantai. Otaknya seakan terputus sambungan—ayat selanjutnya seperti terbang begitu saja dari ingatan.

 

Suara ustadzah lembut menuntunnya. Tak ada nada kesal, hanya kesabaran yang luar biasa. "Pelan-pelan, Aira. Nggak apa-apa. Coba ingat lagi..." ucap beliau dengan hangat.

 

 

Ayat pertama ia mulai dengan lancar. Namun saat masuk ke ayat-ayat berikutnya, ia mulai tersendat. Hening panjang menyusup di antara bacaan, membuatnya menggigit bibir.

 

Ketika diamnya terlalu lama, suara lembut datang dari arah salah satu temannya. “Wahai orang-orang yang beriman,” ucap Anira pelan, memberi petunjuk dengan cara yang memang biasa dilakukan di pondoknya.

 

Aira mengangguk kecil, matanya menangkap kembali ingatan. “Yaa ayyuhalladzina aamanuu…” suaranya lirih, lalu melanjutkan dengan nada rendah tapi yakin.

 

Begitu seterusnya. Saat pikirannya kabur, Anira membantu dengan petunjuk makna dalam bahasa Indonesia—membantu Aira mengurai hafalan yang kusut. Ustadzah pun sabar menanti, tak ada desakan, tak ada teguran, hanya ruang yang dibiarkan untuk berjuang.

 

Tasmi itu berjalan dengan tertatih. Kadang Aira merasa ingin menyerah, tapi setiap kali ia mengingat perjuangannya untuk bisa tasmi, akhirnya ia kembali menarik napas dan mencoba mengingat. Meskipun setiap ayat terasa berat, meski harus berhenti di tengah ayat, meski suara dan napasnya tidak stabil, dan meski hafalannya tak semulus dulu, Aira terus melanjutkan. Karena baginya, mencoba dan tetap bertahan jauh lebih berarti daripada menyerah.

 

Dan saat tasmi itu selesai, bukan pujian atau nilai tinggi yang memenuhi hatinya—melainkan kelegaan. Karena ia sudah berusaha sebaik mungkin, sejauh yang tubuh dan pikirannya sanggup.

 

Saat ia melangkah keluar dari ruang tasmi, kakinya melangkah dengan ritme yang tenang dan terasa ringan. Udara sore terasa lebih hangat dari biasanya, atau mungkin itu hanya efek dari beban yang baru saja terlepas dari dadanya.

 

“Ra!” suara yang familiar menyambutnya. Anira berlari kecil menghampiri. “Maa syaa Allah, alhamdulillah yaa, udah selesai! Anti udah keren kok tadi, maa syaa Allah,” katanya penuh semangat.

 

“Ahhh, syukron yaa, Anira! Syukronnn udah bantu Anaa,” jawab Aira dengan wajah full senyum dan mata yang berbinar.

 

Suasana jadi hangat, dan enuh rasa lega dengan semangat baru setelah perjuangan yang berat.

 

Lalu tak lama kemudian yang lain pun ikut datang mengucapkan selamat.

 

Aira hanya bisa tersenyum hangat sembari menunduk—tak ada kata-kata yang bisa mewakili rasa syukurnya untuk kehadiran sahabat-sahabat seperti mereka.

 

Setelah ucapan semangat dari Anira dan sahabat-sahabatnya yang lain, Aira kembali ke kamar menghela napas panjang, lalu kembali membuka buku pelajarannya. Ujian kenaikan kelas sudah di depan mata, dan waktu terasa semakin menipis.

 

Meski tubuhnya masih lelah dan pikirannya sering terganggu karena efek obat, Aira bertekad untuk mengerahkan semua usaha. Ia mulai menyusun jadwal belajar yang ketat, membagi waktu antara murojaah, mengulang pelajaran, dan istirahat secukupnya.

 

Di setiap halaman buku, ada rasa harap dan doa yang menyertai setiap kata yang ia baca. Aira tahu, perjuangan ini belum usai. Namun, ia siap melangkah lebih jauh lagi.

 

Di siang hari, Aira duduk di pojok kamar, membuka buku-buku pelajaran yang harus ia pelajari. Kadang pikirannya terpecah, tapi ia terus berusaha kembali fokus, mengulang setiap materi pelan-pelan.

 

Saat malam tiba, suasana menjadi lebih hangat. Teman-temannya berkumpul, duduk melingkar sambil belajar bersama. Suara bisik pelan dan tawa kecil menghiasi ruangan, membuat suasana belajar terasa ringan dan tidak menekan.

 

“Ra, coba yang ini dulu,” kata salah satu temannya sambil menunjuk soal latihan. “Kita bisa kerjain bareng-bareng.”

 

Aira tersenyum, merasa sedikit terbantu dengan kehadiran mereka. Meski perjalanan ini berat, ia tidak pernah benar-benar sendiri.

 

Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama. Aira berusaha menjaga semangatnya tetap menyala meskipun tubuhnya sering mengingatkan akan batasnya. Malam-malam dihabiskan dengan belajar bersama teman-teman yang selalu sabar dan penuh dukungan.

 

Suasana belajar malam itu terasa hangat, bukan hanya karena lampu yang temaram, tapi juga karena kehadiran sahabat-sahabat yang membuat beban terasa lebih ringan. Mereka saling bertukar cerita, membahas soal-soal sulit, dan sesekali tertawa bersama agar tidak terlalu tegang.

 

Namun, meski dikelilingi teman-teman yang mendukung, Aira tak bisa menepis rasa khawatir yang selalu mengintai. Ia tahu ujian kenaikan kelas bukan sekadar soal nilai, tapi juga ujian ketahanan dirinya—fisik dan mental.

 

Di tengah semua itu, Aira belajar satu hal penting: bahwa perjuangan bukan hanya soal hasil, tapi soal keberanian untuk terus melangkah walau langkah itu kadang terasa berat.

 

Meski langkahnya terasa berat dan malam-malam terasa panjang, Aira tahu satu hal: perjalanan ini belum berakhir. Setiap helaan napas, setiap halaman yang dibaca, dan setiap doa yang dipanjatkan adalah bagian dari perjuangannya untuk tetap bertahan.

 

Di antara rasa lelah dan ketakutan yang terus mengintai, ada secercah cahaya yang tak pernah padam—keyakinan bahwa selama ia masih berusaha, selama ia masih melangkah, harapan itu tetap akan selalu ada.

 

Dengan hati yang penuh doa dan tekad yang menguat, Aira menutup bukunya malam itu. Besok adalah hari baru, babak baru dalam perjalanan yang tak mudah, tapi ia siap menghadapi apapun yang akan datang.

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ikhlas Berbuah Cinta
924      688     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
YANG PERNAH HILANG
1409      559     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Lantunan Ayat Cinta Azra
815      535     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
90      83     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
Unframed
545      368     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
God, why me?
190      155     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Tok! Tok! Magazine!
94      82     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Perahu Jumpa
248      207     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...