Aira kembali ke pondok dengan langkah pelan dan napas yang masih belum stabil. Tangannya menggenggam kantong plastik putih berisi berbagai jenis obat yang diberikan dokter. Ada rasa asing setiap kali ia membuka plastik itu—seolah setiap label dan dosis yang tertulis di sana adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan lagi sama.
Setibanya di kamar, Aira membuka kantong plastik itu perlahan. Suasana kamar sedang sepi—karena semua santri masih berada di kelas sore. Hanya suara kipas angin tua yang berputar pelan, diselingi detak jarum jam di dinding. Kesunyian itu justru membuat gemuruh di dalam dirinya terasa lebih nyaring.
Ia duduk di tepi kasur, lalu mulai menghitung satu per satu jenis obat yang harus diminumnya, sambil mencoba memahami dan mencocokkan jadwal—jam berapa yang ini, berapa lama jeda sebelum yang itu, dan kapan harus minum lagi. Tapi semakin ia perhatikan, plastik obat itu justru terlihat seperti kekacauan kecil: strip berserakan, botol-botol kecil, dan kertas panduan pasien yang mudah sekali terselip.
Ia menghela napas. “Obat sebanyak ini tak mungkin hanya dibiarkan berserakan begitu saja.” Gumamnya sambil memandangi semuanya dengan bingung, merasa lelah bahkan sebelum mulai mengatur.
Karena tak tahu harus menyimpan semuanya di mana, Aira memberanikan diri menemui ustadzah. Dengan suara pelan, ia meminta tolong agar ustadzah mengirimkan pesan pada uminya—meminta dibelikan sebuah kotak berukuran sedang yang cukup untuk menyimpan seluruh obat dan kertas panduannya.
Tak butuh waktu lama, uminya langsung paham. Beberapa jam kemudian, sebuah paket datang melalui Gosend—kotak plastik berwarna biru berukuran lumayan, bersih dan rapi, lengkap dengan namanya di selembar kertas kecil yang ditempel di tutupnya. Aira menerimanya dengan tatapan sendu—tak menyangka bahwa kini ia harus memiliki kotak khusus hanya untuk menyimpan obat-obatnya. Tangannya sempat gemetar saat membuka tutupnya, lalu perlahan ia mulai menyusun semua obat ke dalamnya, satu per satu. Seolah-olah ia sedang menyusun ulang ritme hidupnya yang kini dipandu oleh resep, dosis, dan waktu minum obat.
Ada lima jenis obat yang harus ia konsumsi setiap hari. Obat wajib epilepsi, yang mutlak diminum tepat pukul 7 pagi dan 7 malam—tanpa boleh telat sedikit pun, karena keterlambatan bisa memicu kambuhnya serangan. Kemudian ada obat pendamping epilepsi yang diminum dua kali sehari, dua jam setelah obat utama. Obat ketiga adalah penenang, yang harus diminum setiap kali ia mulai merasa cemas berlebihan atau ketika tangannya mulai gemetar. Lalu, ada obat sesak napas yang harus ia minum saat mulai merasakan tanda-tandanya. Terakhir, ada satu lagi obat tambahan yang dijadwalkan setiap pukul 10 pagi.
Setelah selesai merapikan semua obat ke dalam kotak, Aira duduk diam di tepi ranjang. Tangannya mengusap pelan permukaan tutup kotak itu, sebelum kembali membukanya dan menatap isinya sekali lagi—seakan masih sulit percaya bahwa semua itu kini menjadi bagian dari hidupnya. Kotak itu kini terisi penuh dengan strip obat, botol kecil, dan kertas panduan pasien epilepsi. Di dalamnya, terlipat rapi jadwal minum, catatan efek samping, serta secarik kertas yang ia tulis sendiri dengan huruf besar dan tegas: “Jangan sampai lupa. Jangan sampai telat.”
Tulisan itu—sebagai sebuah pengingat keras untuk dirinya bahwa sekali saja ia lalai, serangan bisa datang tiba-tiba. Hari-harinya kini seolah dipandu oleh alarm dan aturan medis, membuatnya merasa seperti hidup dalam ritme yang bukan miliknya sendiri.
Kemudian Aira menarik napas dalam-dalam sembari menutup kotak obat itu dengan perlahan, baru saja ia menutup kotak itu dan hendak menenangkan pikirannya, tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan. Beberapa temannya masuk setelah pulang dari kelas sore. Salah satunya langsung menghampiri Aira dan berkata, “Haii Aira, anti udah pulangg. Euhm anti udah denger belum? Hari ini mulai ujian tasmi bulanan dan sebentar lagi kita ujian kenaikan kelas.”
Jantung Aira langsung berdegup kencang. Ujian tasmi? Ia belum menyelesaikan satu juz pun. Pikirannya langsung berputar, dipenuhi rasa cemas dan penyesalan. Betapa selama ia dirawat dan bolak-balik rumah sakit, hafalannya tertinggal jauh. Ia memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai naik ke pelupuk.
Aira menoleh, matanya menyiratkan kepanikan yang tak bisa disembunyikan. “Tasmi? Ana aja belum selesai satu juz pun…”
“Anti gausah khawatir enggak apa-apa kok, Ra… yang penting itu usahanya. Allah kan lihat seorang hamba dari perjuangannya.” Salah satu temannya mencoba menenangkan sembari senyum tipis sambil merangkul bahu Aira.
Namun Aira bukan tipe yang mudah tenang. Ia merasa tanggung jawabnya besar, dan tak ingin dilihat sebagai orang yang terus-menerus tertinggal.
Sejak hari itu, Aira memilih untuk tidak tidur siang. Ia memilih duduk bersandar di dekat rak buku, menyisir hafalannya sambil menahan kantuk yang luar biasa hebat. Walau obat yang diminumnya di pukul tujuh pagi membuat kelopak matanya berat, tetapi ia memaksa tetap terjaga, mengulang ayat-ayat yang kadang bahkan tak bisa ia cerna.
“Ra, istirahat dulu aja, yuk…” ucap salah satu temannya yang duduk di dekatnya.
Aira hanya menggeleng, tersenyum kecil. “Nanti aja. Aku takut nggak keburu.”
Dan sejak hari itu setiap malam, ia selalu tidur di atas jam sebelas dan bangun pukul dua dini hari hanya untuk tahajud dan murojaah. Lelahnya menjadi bayang-bayang setia, tapi ia tak pernah menunjukkan itu di hadapan yang lain. Hanya saat sunyi menyelimuti kamar, tubuhnya terasa remuk.
Hari demi hari ia lewati dalam ritme yang melelahkan. Tubuhnya sering gemetar karena pengaruh obat, dan pikirannya mudah buyar. Namun ia tetap bertahan—karena satu hal: Allah selalu melihat setiap usaha hamba-hamba-Nya, dan karena ia tidak ingin menyerah sebelum mencoba.
Hari itu akhirnya tiba, sekarang giliran Aira untuk ujian tasmi bulanannya.
Ia duduk di depan ustadzah dengan mushaf tertutup di pangkuan. Tangannya berkeringat dingin, dan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia menarik napas dalam, lalu mulai membaca ayat demi ayat yang telah ia murojaah selama hari-hari panjang itu. Tapi seperti yang sudah ia khawatirkan, pikirannya tidak selancar harapannya. Setiap satu atau dua ayat, ia sering terdiam, tatapan kosong menembus lantai. Otaknya seakan terputus sambungan—ayat selanjutnya seperti terbang begitu saja dari ingatan.
Suara ustadzah lembut menuntunnya. Tak ada nada kesal, hanya kesabaran yang luar biasa. "Pelan-pelan, Aira. Nggak apa-apa. Coba ingat lagi..." ucap beliau dengan hangat.
Ayat pertama ia mulai dengan lancar. Namun saat masuk ke ayat-ayat berikutnya, ia mulai tersendat. Hening panjang menyusup di antara bacaan, membuatnya menggigit bibir.
Ketika diamnya terlalu lama, suara lembut datang dari arah salah satu temannya. “Wahai orang-orang yang beriman,” ucap Anira pelan, memberi petunjuk dengan cara yang memang biasa dilakukan di pondoknya.
Aira mengangguk kecil, matanya menangkap kembali ingatan. “Yaa ayyuhalladzina aamanuu…” suaranya lirih, lalu melanjutkan dengan nada rendah tapi yakin.
Begitu seterusnya. Saat pikirannya kabur, Anira membantu dengan petunjuk makna dalam bahasa Indonesia—membantu Aira mengurai hafalan yang kusut. Ustadzah pun sabar menanti, tak ada desakan, tak ada teguran, hanya ruang yang dibiarkan untuk berjuang.
Tasmi itu berjalan dengan tertatih. Kadang Aira merasa ingin menyerah, tapi setiap kali ia mengingat perjuangannya untuk bisa tasmi, akhirnya ia kembali menarik napas dan mencoba mengingat. Meskipun setiap ayat terasa berat, meski harus berhenti di tengah ayat, meski suara dan napasnya tidak stabil, dan meski hafalannya tak semulus dulu, Aira terus melanjutkan. Karena baginya, mencoba dan tetap bertahan jauh lebih berarti daripada menyerah.
Dan saat tasmi itu selesai, bukan pujian atau nilai tinggi yang memenuhi hatinya—melainkan kelegaan. Karena ia sudah berusaha sebaik mungkin, sejauh yang tubuh dan pikirannya sanggup.
Saat ia melangkah keluar dari ruang tasmi, kakinya melangkah dengan ritme yang tenang dan terasa ringan. Udara sore terasa lebih hangat dari biasanya, atau mungkin itu hanya efek dari beban yang baru saja terlepas dari dadanya.
“Ra!” suara yang familiar menyambutnya. Anira berlari kecil menghampiri. “Maa syaa Allah, alhamdulillah yaa, udah selesai! Anti udah keren kok tadi, maa syaa Allah,” katanya penuh semangat.
“Ahhh, syukron yaa, Anira! Syukronnn udah bantu Anaa,” jawab Aira dengan wajah full senyum dan mata yang berbinar.
Suasana jadi hangat, dan enuh rasa lega dengan semangat baru setelah perjuangan yang berat.
Lalu tak lama kemudian yang lain pun ikut datang mengucapkan selamat.
Aira hanya bisa tersenyum hangat sembari menunduk—tak ada kata-kata yang bisa mewakili rasa syukurnya untuk kehadiran sahabat-sahabat seperti mereka.
Setelah ucapan semangat dari Anira dan sahabat-sahabatnya yang lain, Aira kembali ke kamar menghela napas panjang, lalu kembali membuka buku pelajarannya. Ujian kenaikan kelas sudah di depan mata, dan waktu terasa semakin menipis.
Meski tubuhnya masih lelah dan pikirannya sering terganggu karena efek obat, Aira bertekad untuk mengerahkan semua usaha. Ia mulai menyusun jadwal belajar yang ketat, membagi waktu antara murojaah, mengulang pelajaran, dan istirahat secukupnya.
Di setiap halaman buku, ada rasa harap dan doa yang menyertai setiap kata yang ia baca. Aira tahu, perjuangan ini belum usai. Namun, ia siap melangkah lebih jauh lagi.
Di siang hari, Aira duduk di pojok kamar, membuka buku-buku pelajaran yang harus ia pelajari. Kadang pikirannya terpecah, tapi ia terus berusaha kembali fokus, mengulang setiap materi pelan-pelan.
Saat malam tiba, suasana menjadi lebih hangat. Teman-temannya berkumpul, duduk melingkar sambil belajar bersama. Suara bisik pelan dan tawa kecil menghiasi ruangan, membuat suasana belajar terasa ringan dan tidak menekan.
“Ra, coba yang ini dulu,” kata salah satu temannya sambil menunjuk soal latihan. “Kita bisa kerjain bareng-bareng.”
Aira tersenyum, merasa sedikit terbantu dengan kehadiran mereka. Meski perjalanan ini berat, ia tidak pernah benar-benar sendiri.
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama. Aira berusaha menjaga semangatnya tetap menyala meskipun tubuhnya sering mengingatkan akan batasnya. Malam-malam dihabiskan dengan belajar bersama teman-teman yang selalu sabar dan penuh dukungan.
Suasana belajar malam itu terasa hangat, bukan hanya karena lampu yang temaram, tapi juga karena kehadiran sahabat-sahabat yang membuat beban terasa lebih ringan. Mereka saling bertukar cerita, membahas soal-soal sulit, dan sesekali tertawa bersama agar tidak terlalu tegang.
Namun, meski dikelilingi teman-teman yang mendukung, Aira tak bisa menepis rasa khawatir yang selalu mengintai. Ia tahu ujian kenaikan kelas bukan sekadar soal nilai, tapi juga ujian ketahanan dirinya—fisik dan mental.
Di tengah semua itu, Aira belajar satu hal penting: bahwa perjuangan bukan hanya soal hasil, tapi soal keberanian untuk terus melangkah walau langkah itu kadang terasa berat.
Meski langkahnya terasa berat dan malam-malam terasa panjang, Aira tahu satu hal: perjalanan ini belum berakhir. Setiap helaan napas, setiap halaman yang dibaca, dan setiap doa yang dipanjatkan adalah bagian dari perjuangannya untuk tetap bertahan.
Di antara rasa lelah dan ketakutan yang terus mengintai, ada secercah cahaya yang tak pernah padam—keyakinan bahwa selama ia masih berusaha, selama ia masih melangkah, harapan itu tetap akan selalu ada.
Dengan hati yang penuh doa dan tekad yang menguat, Aira menutup bukunya malam itu. Besok adalah hari baru, babak baru dalam perjalanan yang tak mudah, tapi ia siap menghadapi apapun yang akan datang.