Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Antara Luka dan Mimpi
MENU
About Us  

Hari itu, langit tampak teduh, seolah ikut mengantarkan langkah Aira kembali ke tempat yang selama ini ia rindukan. Diantar oleh Umi, Aira akhirnya kembali menapaki gerbang pondok pesantren dengan langkah pelan. Meski suasananya masih sama—hangat dan menenangkan seperti dulu—kini segalanya terasa lebih dalam bagi Aira. Ia kembali dengan hati yang tak lagi utuh, namun penuh harap. Inilah momen yang ia tunggu: kembali ke tempat penuh ilmu, doa, dan perjuangan yang diam-diam telah menjadi bagian dari jiwanya. Meski getar di hatinya belum sepenuhnya reda, ia tahu... ini adalah langkah yang harus ia ambil, walaupun kakinya masih gemetar.

 

Wajah-wajah yang ia kenal menyambutnya dengan senyum yang manis dan tulus. Meski tak ada yang benar-benar menanyakan apa yang terjadi, Aira bisa merasakan kehangatan itu menjalari ruang-ruang hatinya yang sempat runtuh.

 

Hari-hari pertamanya di pondok kembali tak mudah. Tubuhnya masih lemah, pikirannya masih sibuk menyesuaikan diri, dan pelajaran yang tertinggal begitu banyak. Tapi sahabat-sahabatnya, tanpa banyak bicara, hadir dengan kehangatan yang tak pernah berubah—menyambutnya kembali seolah tak ada yang pernah hilang, dan menggenggamnya erat… seolah ingin berkata: kamu nggak sendirian.

 

Setiap malam, mereka menemaninya mengulang pelajaran. Ada yang membacakan catatan, ada yang dengan sabar menjelaskan ulang materi yang telah lewat. Aira tahu mereka lelah—dan ia pun merasakannya. Tapi dalam lelah itu, mereka saling menguatkan. Saling melengkapi. Dalam diam, mereka saling memahami bahwa perjuangan ini bukan milik satu orang, melainkan milik bersama.

 

“Anti ngikutin pelajarannya dulu pelan-pelan aja yaa, nanti kita bantuin. Gak usah takut ketinggalan yaaa,”

Nisa tersenyum lembut sambil menyerahkan catatan ringkasnya.



 

Malam-malam berlalu dengan catatan yang berserakan, suara pelan yang membacakan ulang, dan tawa kecil yang memecah kecemasan. Di sanalah Aira mulai menemukan kembali semangatnya yang dulu sempat menghilang. Bukan karena ia kuat sendiri, tapi karena ada tangan-tangan lembut yang selalu ada untuk menopang di saat langkah mulai goyah.

 

Namun ada satu kenyataan yang membuat hatinya terus-menerus was-was. Saat di rumah, Umi sudah memberitahunya bahwa Aira harus menjalani rawat jalan. Setiap minggu, ia harus pergi ke rumah sakit setelah pelajaran pertama selesai. Biasanya, ustadzah akan memesankan Grab untuknya. Aira berangkat ke rumah sakit sendirian, matanya menerawang sepanjang jalan. Di rumah sakit, Aira akan bertemu uminya.

 

Pemeriksaan pertama berjalan seperti biasa, namun hasilnya membuat jantung Aira mencelos. Dokter menyarankan pemeriksaan EEG, untuk menyelami lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dalam kepalanya. Selama ini, Aira sering mengalami kehilangan kesadaran—pingsan begitu saja, tanpa tanda-tanda pasti, tanpa sebab yang benar-benar jelas. Semua itu membuatnya bingung dan takut.

 

Di mulai dari perasaan takut yang muncul begitu saja—pelan tapi pasti, menusuk dari dalam. Lalu tubuhnya melemah, pandangan mengabur, dan kesadarannya seperti ditarik oleh sesuatu yang gelap dan tak terlihat. Setiap kali itu terjadi, Aira merasa seperti terseret ke ruang sunyi dalam dirinya sendiri—tak bisa melawan, tak sempat bersuara, hanya diam yang memeluknya erat.

 

Di ruang EEG, kabel-kabel kecil ditempelkan ke kulit kepalanya. Gel dingin menyentuh kulit, membuat rambutnya lengket dan lepek. Ia berusaha tenang, meski dadanya sesak. Ketika pemeriksaan selesai, ia kembali ke pondok dengan kepala penuh tanya.

 

Sesampainya di kamar, salah satu temannya langsung menatap rambut Aira dengan penasaran.

“Eh, rambut anti kenapa? Kok kayak habis disiram lem? Anti habis diapain kah disana?”



 

Aira ketawa sambil nyentuh-nyentuh rambutnya yang keras dan kaku karena gel EEG.

“Iya ini, tadi dipasangin kabel-kabel kecil gitu. Jadi kayak abis kena cat rambut beku deh. Wkwk kok jadi lucu begini yaa rambutnyaaa!”



 

Temannya ikut tertawa pelan, lalu berkata lembut,

“Kamu kuat yaa, ana yakin anti pasti bisa sembuh.”



 

Aira membalas dengan senyum hangat,

“Syukronn yaa, jazaakillahu khairaan ukhtii.”



 

Meski hati masih berat, kehangatan itu memberinya sedikit kekuatan untuk melangkah. Malam itu, pikirannya berputar tentang apa yang mungkin menanti keesokan harinya.

 

Esoknya, ia dipanggil kembali untuk mendengar hasil pemeriksaan. Di ruang pemeriksaan yang dingin, Aira duduk di samping Umi. Dokter membuka map, lalu mengamati hasil EEG Aira dengan raut yang tak mudah ditebak. Dan kemudian, kata itu keluar.

“Dari hasilnya, terdapat gelombang epilepsi di sini.”



 

Suara itu menusuk seperti belati kecil. Aira terpaku.

 

Dokter lalu menoleh pada asistennya.

 

“Tolong ambilkan panduan pasien epilepsi,” katanya datar.



 

Beberapa menit kemudian, beberapa lembar kertas tebal disodorkan ke Aira. Ia menatapnya—tangan gemetar, mata membaca baris demi baris yang tertulis seperti lembar vonis.

 

“Pasien dengan epilepsi harus menghindari kelelahan berlebih yaa kak,” ujar dokter sambil menunjuk poin-poin penting. “Emosi juga harus dijaga. Jangan terlalu marah, jangan terlalu sedih, juga jangan terlalu bahagia yaa, karena semua itu bisa memicu serangan.”



 

Tak hanya itu, dokter juga menyarankan pemeriksaan lanjutan—MRI.

 

“Untuk memastikan apakah ada gangguan lain pada struktur otak,” katanya pelan, seolah tak ingin menambah beban yang sudah cukup berat.



 

Aira tidak menjawab. Ia hanya diam. Tapi di dalam, ia runtuh. Seolah satu demi satu harapan dan bayang masa depannya lepas dari genggaman.

 

Sepanjang perjalanan pulang ke pondok, Aira tidak banyak bicara. Ia hanya memandangi lembaran kertas di pangkuannya. Kata-kata medis di sana terasa asing, namun justru menyakitkan. Di dalam pikirannya, ribuan pertanyaan bergema—tentang masa depan, tentang ketahanan dirinya, tentang siapa ia sekarang setelah divonis sakit.

 

Setibanya di pondok, Aira langsung menuju kamar. Beberapa teman menanyakan keadaannya, tapi ia hanya menjawab singkat dan tersenyum kecil—senyum yang tidak sampai ke mata. Ia bilang lelah dan ingin istirahat. Dan benar, tubuhnya memang lelah. Tapi yang lebih lelah adalah hatinya.

 

Malam itu, ia duduk sendiri di pojok kamar pondok. Lembar panduan itu masih di tangannya. Kepalanya tertunduk, bahunya bergetar. Air mata menetes tanpa isak. Dunia terasa mengecil, seperti menekannya dari segala arah. Seolah semua kekuatan yang selama ini ia kumpulkan luruh begitu saja.

 

Dan saat itulah, dunia Aira seperti meredup. Ia tak berkata apa-apa. Hanya memegang erat lembaran itu, seolah dengan itu ia bisa memahami sakitnya sendiri. Tapi di dalam dadanya, sesuatu runtuh. Diam-diam. Tanpa suara.

 

Beberapa menit berlalu dalam senyap, hingga suara langkah pelan terdengar mendekat. Fiya masuk tanpa mengetuk, membawa segelas air hangat dan selimut kecil. Ia langsung tahu di mana harus menemukan Aira—pojok ruangan itu seperti tempat yang dipilih hatinya saat sedang rapuh.

 

“Ra…” panggilnya lirih.



 

Aira tidak menoleh. Tapi Fiya tahu, tangis itu nyata. Ia duduk perlahan di sebelah Aira, meletakkan segelas air di sampingnya, lalu menarik pelan selimut untuk menutupi bahu Aira yang menggigil.

 

Tak lama kemudian, Nisa dan Fira juga masuk. Mereka tak membawa banyak kata, hanya kehadiran yang cukup untuk memberi kehangatan. Fira duduk di depan Aira, memegang tangannya erat. Nisa menyandarkan kepala di pundaknya.

 

“Anti nggak sendiri, Ra…” bisik Fira.



 

Fiya menghela napas dalam, lalu berkata pelan,

“Ana tahu ini berat. Tapi anti tetap Aira yang kami sayang. Bukan karena kuat atau sehat… tapi karena anti adalah anti. Dan itu cukup.”



 

Aira menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar semakin keras. Tangisnya pecah, kali ini tak lagi ditahan. Ia merasa seperti runtuh di hadapan mereka, tapi anehnya… ia tak merasa malu. Justru, ia merasa diterima sepenuhnya. Dengan segala luka dan ketidaksempurnaannya.

 

“Maaf ya…” ucapnya di sela isak, “Ana takut… takut gak bisa ngelanjutin semua ini…”



 

“Takut itu manusiawi, Ra,” sahut Nisa lembut. “Tapi jangan lupa, Allah nggak pernah tinggalin kita. Selama anti mau terus melangkah, kami bakal jalan bareng.”



 

Aira menatap mereka satu per satu, matanya masih basah.

“Tapi... gimana kalau nanti ana malah nyusahin antunna semua? Kalau ana sering kambuh, sering izin, gak bisa bantu-bantu… Ana takut merepotkan.”



 

Fiya menghela napas, lalu meraih tangan Aira.

“Ra, kami di sini bukan karena anti harus kuat setiap waktu. Kami di sini karena anti adalah bagian dari kami. Dan membantu anti bukan beban, tapi itu kewajiban kita sebagai sesama muslimah.”



 

Fira mengangguk.

“Bener. Kita semua pasti pernah ngerasa lemah. Dan kalau suatu hari giliran kami yang butuh bantuan, kami juga pasti ingin punya teman yang tetap mau ada. Nah, sekarang giliran kami dulu buat jagain anti. Karena kan Allah sendiri yang berfirman, ‘Hal jazaa’ul ihsaani illal ihsaan’—nggak ada balasan kebaikan selain kebaikan juga. juga dalam surat At-Taubah ayat 71:“Dan orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain…Jadi jangan takut merepotkan yaa''


 

Kalimat itu bergema di hati Aira. Ayat yang dulu hanya ia dengar di kelas tafsir, kini terasa hidup. Menyatu dalam peristiwa nyata, dalam wajah-wajah sahabatnya yang duduk di hadapannya malam itu.

 

Aira mengusap air matanya. Tangisnya perlahan mereda. Meski sesak itu belum benar-benar hilang, pelan-pelan ia merasa bisa bernapas lagi.

 

“Syukron yaa… Jazaakunnallahu khairann… antunna semua udah jadi cahaya buat ana di tengah gelap ini…”


 

Fiya tersenyum kecil, lalu menyandarkan kepalanya di dinding, menatap langit-langit yang hening seraya berkata:

“Kadang kita gak butuh kata-kata yang rumit, Ra. Cukup tahu kalau kita gak sendirian aja, itu udah cukup buat bertahan.”  

 

Nisa tersenyum kecil. “Gak ada kata ‘repot’ di antara kita, Ra. Ada yang bisa kita bantu, kita bantu. Ada yang gak bisa, ya kita peluk sama-sama. Gak perlu takut. Kita satu barisan.”

 

Aira menunduk, menahan tangis yang kembali mengalir—bukan karena sedih, tapi karena hatinya dipenuhi rasa haru yang dalam. Ia tak pernah benar-benar sendirian. Meski tubuhnya lemah, tapi ada tangan-tangan yang siap menopangnya. Meski jiwanya goyah, tapi ada hati-hati yang setia menemani.

 

Dalam dekapan malam yang perlahan reda, Aira memejamkan mata. Ia masih takut, masih sakit, tapi kini ia punya alasan untuk bertahan. Karena ia tahu, cinta yang diam-diam hadir dalam doa dan pelukan… lebih kuat dari segala bayang kelam yang pernah membuatnya runtuh.

 

Dan di ruangan kecil itu, dalam pelukan sahabat-sahabat yang tak pernah menghakimi, Aira perlahan merasa utuh kembali. Bukan karena sakitnya hilang, tapi karena ia tahu—ia dicintai. Dengan sakitnya. Dengan lukanya.

 

Hari-hari kembali berjalan, meski tidak semudah dulu. Aira mulai mengikuti pelajaran sedikit demi sedikit. Ia masih sering kehilangan fokus, kadang tubuhnya terasa berat, tapi ia mencoba hadir seutuhnya di setiap momen. Ia mencatat ulang, menyimak dengan lebih pelan, dan saat lelahnya memuncak, ia belajar jujur pada diri sendiri—bahwa beristirahat bukan berarti berhenti, hanya sedang mengumpulkan tenaga untuk melangkah kembali.

Bahwa kuat pun butuh jeda, dan dirinya tak selalu harus tegar.

 

Sahabat-sahabatnya tetap setia. Mereka bergantian menemaninya mengulang hafalan, membacakan pelajaran, bahkan hanya duduk di sampingnya dalam diam saat Aira tidak sanggup berkata-kata. Hari-hari di pondok terasa seperti langkah kecil menuju pulih—bukan pulih yang sempurna, tapi cukup untuk membuat Aira merasa hidup.


 

Namun, di balik ketenangan yang perlahan tumbuh, ia tahu ujian berikutnya diam-diam sedang menanti. Hari itu akhirnya datang. Usai pelajaran pertama, Aira kembali bersiap. Umi sudah menunggunya di rumah sakit. Langkah Aira menuju gerbang pondok terasa berat, tapi tidak selemah dulu. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai menerima: bahwa ini adalah bagian dari jalan hidupnya. Bahwa mungkin ia memang harus melalui semua ini untuk mengenal dirinya yang sebenarnya.

 

Di rumah sakit, Aira memegang tangan Umi erat saat menunggu panggilan. Ketika namanya dipanggil, dadanya berdegup kencang, tapi ia tetap melangkah. Kali ini tanpa menangis. Hanya napas yang berat dan mata yang menerawang, seolah menguatkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.

 

Setelah namanya dipanggil, Aira diminta berganti pakaian. Ia melepas baju hangatnya, menggantinya dengan seragam pasien berwarna biru pucat—tipis, dingin, dan seolah menyerap keberanian dari tubuhnya. Udara di ruangan itu begitu sepi, sedingin logam dan ketakutan yang samar-samar mulai menyusup ke dalam dada.

 

Petugas mengarahkan Aira untuk berbaring di ranjang sempit. Sebuah suntikan disiapkan, infus kecil ditancapkan ke lengan kirinya. Perlahan, rasa dingin merambat dari ujung jarum ke seluruh tubuh, seperti aliran air di sungai yang membeku.

 

“Jangan banyak bergerak, ya. Mesin akan berbunyi cukup keras. Jadi coba tenangkan diri ya kak, pastikan jangan sampai pingsan di dalam,” ujar petugas sembari memasang pelindung kepala.

 

Aira hanya mengangguk. Tak ada suara keluar dari mulutnya, hanya desahan doa yang bergetar dalam batin, lirih dan berulang, seolah sedang merenda ketenangan di sela napas yang pendek-pendek.

 

Di hadapannya, mesin MRI berdiri seperti kapsul raksasa—putih, besar, dan menelan ruang dengan keheningan yang menakutkan.Ia tampak seperti pintu sunyi yang membuka ruang misterius, yang belum pernah Aira jelajahi. Sebuah dunia sunyi, gelap, dan dingin.

 

“Kak, ini headset-nya ya. Nanti bakal ada suara murrotal di dalam, biar lebih tenang, kepalanya jangan gerak-gerak yaa kaa. Kalau ada apa-apa, pencet ini kuat-kuat ya kak.” Sambung petugas tadi sambil meletakkan alat kecil di tangan Aira—tombol darurat, secercah kendali di tengah rasa tak berdaya.

 

Ia menggenggamnya perlahan, seolah memegang harapan. Lalu, sebelum masuk ke dalam mesin, Aira sempat menoleh. Bukan untuk melihat, tapi untuk merasa. Ia tahu, di balik pintu ruangan yang tertutup rapat itu, ada Umi yang menunggu dengan hati gelisah. Ia tahu, meski tak tampak langsung dimata, ia tetap yakin dibalik pintu itu, mata Umi sedang menatap ke arahnya—mendoakan dalam diam, menenun kekuatan dari luar ruangan.

 

Saat tubuhnya perlahan digerakkan masuk ke dalam kapsul, ruangan terasa mengecil. Dindingnya begitu dekat dengan wajah, seperti mengurungnya dalam peti besi. Nafasnya mulai berat. Matanya memejam, mencoba mengusir rasa panik yang perlahan muncul.

 

Lalu suara itu datang—dentuman keras, bergema dan berulang.

DUGG... DUGG... DUGG...
Seperti palu besar menghantam dinding batu. Seperti langkah kaki raksasa di lorong gelap. Seperti napas monster yang bersembunyi dalam kegelapan.

Tiba-tiba, alunan surah Al-Mulk mengalun di telinganya, dibisikkan lewat headset yang melekat erat.

"Tabaarakalladzii biyadihil mulk, wa huwa 'alaa kulli syai-in qadiir..."
(Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.)

"Alladzii khalaqal mawta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amalaa..."

(Dialah (Allah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…)

 

Ayat-ayat itu membelah ketakutannya, menyusup ke ruang sempit dalam dadanya, memberi secercah ketenangan yang lembut di tengah gelombang takut yang menggulung.

Namun, di sela-sela damai yang baru menyapa, air mata mulai jatuh perlahan. Bukan dari sakit, tapi dari kelelahan jiwa yang membungkusnya selama ini—sebuah tangisan sunyi yang meluruhkan beban berat dalam hatinya.

Dentuman di sekitar masih bergema, menekan di telinganya, mengguncang hati yang rapuh. Di genggamannya, tombol darurat tetap terasa seperti satu-satunya jalan keluar dari ruang yang mengekang dan suara-suara yang mencekam.

Tapi ia tidak menekannya.

Karena Aira tahu—ia bisa melewati ini. Hanya tinggal beberapa menit lagi dalam kapsul menggigilkan yang terasa seperti ruang hampa yang mengerikan. Ia tidak ingin jadi seseorang yang gagal. Ia tidak mau pintu itu terbuka hanya untuk memperlihatkan bahwa ia menyerah. Ia ingin keluar karena berhasil. Karena bertahan. Karena ia percaya, meski tubuhnya melemah, meski dadanya sesak oleh takut dan dingin, dirinya tetap mampu menyelesaikan ini.

Tangannya tetap menggenggam erat tombol itu tanpa memencetnya—sebagai tanda bahwa ia masih bisa memilih. Dan ia memilih bertahan. Ketika pintu mesin itu akhirnya terbuka, ia ingin berdiri bukan sebagai gadis yang kalah oleh rasa takut, tapi sebagai seseorang yang berhasil melewati ketakutannya sendiri. Sebagai pejuang, dalam sunyi yang hanya Allah dan dirinya sendiri yang tahu.

Namun, di tengah dentuman yang terus bergema, ruang sunyi perlahan terbuka di relung pikirannya—menyusup bersama bayang-bayang gelap seperti angin dingin tanpa suara, menebar rintihan yang tak terlihat. Dengungan mesin dan lantunan murrotal yang terus bergema di telinganya. Pikiran gelap mulai menyusup pelan, membawanya pada bayangan liang kubur, kesendirian yang membekukan jiwa. Namun di tengah gelap yang menelan dan ketakutan yang mencekam, secercah cahaya tetap menyala—bukan sebagai akhir, melainkan sebagai awal harapan yang tumbuh setelah badai berlalu.

Tubuhnya menggigil, tapi ia tetap teguh, membungkam segala gelora rasa yang mencoba menggoyahkan hatinya.

Tak ada kata menyerah yang berbisik di relung jiwanya.

Sebab di balik pekat malam dan desah takut yang menyesakkan, ia yakin—Allah selalu hadir, menemani sunyinya, menjadi kekuatan yang tak pernah pudar.

Selang beberapa lama kemudian, akhirnya mesin itu berhenti, suara keras yang menakutkan itu akhirnya pergi usai petugas menariknya keluar dari lorong kapsul besar yang mengerikan.

Kakinya masih gemetar saat keluar, tapi pelukan hangat Umi segera menyambutnya. Tak perlu kata-kata—pelukan itu sudah cukup membuat Aira merasa... hidup kembali.

Mereka singgah sebentar di toko, membeli jajanan kecil sebelum Aira kembali ke pondok naik ojek. Saat memilih-milih jajanan, Umi menatap Aira penuh perhatian.

“Aira, kamu istirahat dulu di rumah, yuk. Masalah pelajaran, bisa kamu kejar nanti,” ucap Umi lembut.

Aira menggeleng cepat. “Enggak, Mi. Aku gak mau ketinggalan pelajaran’’.

Umi tersenyum, mengerti semangat anaknya. “Kamu memang pejuang. Tapi ingat, tubuh kamu juga butuh istirahat.”

Aira menarik napas dalam-dalam, berusaha meyakinkan diri sendiri. “Iya, Mi. Tapi aku percaya, aku kuat kok balik ke pondok sekarang, in syaa Allah.”

Lalu umi tersenyum walau ada gelisah di dalam hatinya yang tak dapat dilihat mata, dengan perasaan cemas umi memberikan izin Aira untuk kembali kepondok, ia mempercayakan kemampuan anaknya, umi tahu kalau Aira anak yang kuat. Sambil mengusap lengan Aira, Umi memesankan Gojek. Tak ada yang istimewa dari aplikasi itu, kecuali harapan agar anaknya bisa pulang dengan selamat dan hati yang lebih ringan.

Sepanjang perjalanan pulang, suara mesin MRI masih terngiang di telinganya Aira. Tapi yang terpenting, ketakutan itu mulai dijinakkan perlahan.

Aira kembali ke pondok dengan tubuh yang lelah, tapi hati yang sedikit lebih kuat. Hari-hari masih panjang, dan hasil MRI belum keluar. Tapi satu hal sudah ia pahami: menjadi kuat bukan berarti tak pernah takut, melainkan tetap melangkah meski ketakutan itu nyata.


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FINDING THE SUN
528      256     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
That's Why He My Man
1063      672     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
When Flowers Learn to Smile Again
1001      729     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Penerang Dalam Duka
945      526     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Simfoni Rindu Zindy
789      562     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Konfigurasi Hati
556      380     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
243      166     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Kacamata Monita
1266      562     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Andai Kita Bicara
674      520     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Behind The Spotlight
3422      1681     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...