Pagi itu, udara pondok terasa lebih dingin dari biasanya. Angin subuh menyelinap lewat celah jendela, membawa gigil yang menembus sampai ke tulang. Di sudut ranjang, Aira masih terbaring, tubuhnya berselimut rapat. Tapi bukan hanya karena dingin ia tak bergerak—ada yang lain, sesuatu yang membuat pagi itu berbeda dari biasanya.
“Aira… bangun yuk, udah Subuh.”
Suara pelan terdengar, menggoyangkan bahunya dengan lembut. Tapi tak ada respons. Wajah Aira tampak pucat, kulitnya sedingin embun pagi yang menusuk.
“Dia dingin banget…,” bisik temannya, nyaris tak terdengar di antara kecemasan.
“Ra, bangun dong, ini udah Subuh,” sahut Anira, suaranya mulai meninggi, penuh cemas.
Namun Aira tetap diam. Tak ada kata, tak ada isyarat—hanya tubuh yang perlahan menggigil dalam senyap. Matanya tak sanggup terbuka; kelopaknya terpejam rapat, bukan karena lelah, tapi karena rasa sakit yang menyalak tanpa suara. Ia hanya bisa meram dan mengeram, seakan rasa perih itu mengalir lewat tulangnya, menghunjam dari dalam. Napasnya berat, tertahan, seperti ada sesuatu yang mengunci dada dan menenggelamkan paru-parunya dalam gelombang duka yang tak terlihat. Segalanya terasa sesak, dan dalam diam itu, Aira sedang berperang—bukan dengan dunia, tapi dengan luka yang tak bisa dilihat siapa pun.
Kamar itu berubah senyap. Bukan senyap yang biasa, tapi senyap yang menakutkan. Salah satu dari mereka berlari keluar, suaranya menggema di lorong:
“Ustadzah! Ustadzah! Aira nggak bangun! Nafasnya berat banget…!”
Langkah-langkah tergesa memecah kesunyian, menggema seperti detak jantung yang panik. Ustadzah muncul di ambang pintu, kerudungnya sedikit berantakan oleh angin yang ikut membawa cemas. Wajahnya berusaha tetap teduh, tapi matanya—mata seorang perempuan yang terbiasa menyembunyikan gundah—kali ini tak mampu berdusta. Ada guncangan halus di suaranya ketika ia bertanya, ‘Mana Aira?’ Sebuah pertanyaan sederhana, namun di dalamnya tersembunyi ketakutan yang menyesakkan, seperti malam yang takut kehilangan fajar.
“Ini, Ustadzah… dia dari tadi seperti itu gabisa nafas…”
Ustadzah berlutut di samping ranjang, menggenggam tangan Aira yang dingin. Dipanggilnya nama itu berkali-kali, seolah berharap suara bisa menembus kabut yang menyelimuti kesadarannya. Tapi kelopak mata Aira terlalu berat untuk terbuka. Napasnya tersendat, tubuhnya menggigil pelan.
“Aira, sayang... ayo coba tarik napas pelan, ya…”
Tangannya menepuk pipi Aira lembut, suaranya bergetar namun mencoba kokoh.
“Tarik napas dari mulut, keluarin lewat hidung… begitu, ya… Ayuk, Nak… sabar, ya… bertahan…”
Namun situasinya tak kunjung membaik. Tubuh Aira semakin lemas, dan rasa panik menyelusup perlahan. Dalam genggaman yang dingin, Ustadzah menelpon Ummu—pengurus yayasan yang selalu jadi tumpuan pada saat situasi seperti ini.
“Ummu… ini Aira. Nafasnya sesak, badannya dingin, dan dia nggak bangun sejak tadi. Tolong cepat, Ummu…”
Tak lama setelah selesai menelpon, Ustadzah kembali menenangkan Aira.
“Sabar ya, Ummu sudah telepon dokter kok, sebentar lagi sampai. Aira kuat ya… sedikit lagi.”
Tak lama kemudian, dokter pondok datang. Tindakannya cepat, matanya tajam memeriksa. Di sisi lain, Ummu pun tiba tak lama setelahnya. Langkahnya cepat namun berusaha tenang, senyum yang biasa menguatkan kini tertahan di wajah yang gelisah.
Setelah memeriksa beberapa menit, dokter sedikit membungkuk, lalu berbisik pelan di telinga Ummu. Kalimat yang disampaikan tak terdengar jelas, tapi cukup membuat raut wajah Ummu berubah. Ia menarik napas, lalu mendekati Ustadzah dan membisikkan sesuatu dengan suara rendah penuh kecemasan.
“Ustadzah... tolong siapkan Aira. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”
Ustadzah mengangguk cepat, lalu bergegas menghampiri para santri yang sedang berdiri di sekeliling.
“Kaka-kaka ayo bantu, Aira harus segera dibawa ke RS,” katanya setengah pelan namun penuh dorongan.
Para teman Aira sontak panik. Suara bisik-bisik berubah jadi gumaman tak terkendali. Salah seorang di antaranya, karena gugup, tak sengaja bersuara lebih keras dari yang seharusnya, “Ya Allah, Aira dibawa ke rumah sakit?”
Aira yang mendengar itu terdiam. Matanya menerawang, tubuhnya makin lemas, dan nafasnya tercekat. Hatinya bergetar, bukan karena sakit yang terasa, tapi karena pikiran yang mulai berlarian tanpa arah.
“Kenapa… harus separah ini lagi?” pertanyaan itu menggema dalam benaknya, mencubit luka lama yang belum selesai sembuh.
Ustadzah kembali meminta bantuan.
“Ayo kita harus cepat, tolong bantu Aira bersiap…”
Teman-temannya bergerak cepat. Ada yang mengambilkan hijab, ada yang memakaikan kaos kaki. Tangan-tangan kecil itu, meski gemetar, tak pernah melepaskan Aira dari lingkar hangat persahabatan.
“Tenang ya, Ra… kita bareng anti kok,” ucap seseorang sambil menggenggam tangannya.
“Aira, kuat ya… sebentar lagi diobatin, anti pasti sembuh…”
“Kita di sini… kamu nggak sendiri…”
Lalu Aira digendong ke mobil. Di perjalanan, Ustadzah memeluknya erat. Ia membisikkan kata-kata seperti doa,
“Sabar ya, sayang… Allah sayang sama kamu… tarik napas pelan-pelan…”
Dan dalam pelukan yang tak pernah lepas, Aira tahu—meski tubuhnya sedang bertarung dengan sakit, hatinya tak lagi sendirian. Ada cinta yang menguatkannya, ada harapan yang tetap menyala, meski di tengah gelap yang menyesakkan.
Tapi takdir seperti ingin menguji lagi. Jalan menuju rumah sakit macet. Panjang. Padat. Mesin mobil menderu pelan dalam antrean yang nyaris tak bergerak.
“Ya Allah… macet banget,” bisik sopir dengan nada khawatir.
Ustadzah menggenggam tangan Aira lebih erat. “Sabar ya, sayang… dikit lagi…”
Akhirnya di tengah kemacetan, pak sopir segera mengubah jalur dan mengambil jalur alternatif. Di dalam mobil, Aira dipeluk erat. Peluh dingin membasahi pelipisnya, lalu ustadzah kembali memeluknya sembari menenangkannya kembali. “Sabar ya, sayang… Sebentar lagi sampai kok in syaa Allah, bertahan ya sayang, kamu kuat…”
Mobil akhirnya berhenti di depan ruang Instalasi Gawat Darurat.
Begitu pintu terbuka, Ustadzah segera turun, sigap namun tetap lembut, lalu memanggil petugas medis untuk membantu menurunkan Aira. Dengan tubuh yang masih lemah, Aira dipapah pelan-pelan menuju ranjang IGD.
Sesampainya di dalam, tubuhnya langsung dibaringkan dengan hati-hati. Seorang perawat segera memasangkan selang oksigen di hidungnya, lalu menyusul alat nebulizer yang diletakkan dengan teliti di wajahnya. Asap tipis mulai mengepul, memenuhi rongga pernafasannya yang sejak tadi tersengal. Dada Aira naik-turun pelan, ritmenya belum stabil—tapi sedikit demi sedikit, tubuhnya mulai tenang.
“Tenang, ya… sekarang anti akan baik-baik saja, kamu kuat Aira,” bisik Ustadzah lembut di telinganya, mencoba meredakan gemuruh yang mungkin tak tampak dari luar, namun terasa begitu riuh di dada Aira.
Tak lama setelah itu, Ummu-Pengurus pondok menghubungi Ummi Aira. Tak butuh waktu lama, pintu IGD terbuka. Ummi Aira datang. Langkahnya cepat, mata langsung mencari, lalu sekejap kemudian ia sudah memeluk Aira dari sisi ranjang.
“Sayang… Ummi di sini,” ucapnya pelan, menenangkan sambil menyeka keringat di pelipis Aira.
Di luar ruangan, Ummu dan Ummi Aira berbicara dengan nada yang pelan namun sarat makna. Tak banyak kata, tapi keputusan penting diambil di situ.
“Aira butuh istirahat total dulu ya umm,” ujar Ummu setelah mendengar keterangan dokter. “Kami izinkan pulang untuk sementara waktu. Selesaikan dulu obatnya. Biarkan tubuh dan hatinya tenang sejenak.”
Ummi Aira pun mengangguk dengan penuh pengertian.
Tapi sebelum kembali, Aira meminta kembali ke pondok—setidaknya untuk berpamitan dan mengambil beberapa barang.
Beberapa jam berlalu, dan setelah kondisi Aira sedikit membaik, mereka kembali ke pondok untuk mengambil barang dan berpamitan.
Saat melangkah masuk ke gerbang itu, aroma khas asrama dan lantai yang dingin menyambut Aira seperti pelukan lama yang tak pernah berubah. Teman-teman Aira datang menghampiri, memeluknya erat seolah tak ingin melepaskan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. Tak banyak kata yang diucapkan—namun dari senyum tulus mereka, tersampaikan pesan yang jelas: "Tenang, kamu nggak sendiri."
Saat mobil jemputan tiba dan Aira harus berpamitan, pelukan terakhir itu terasa lebih lama dari biasanya. Ia menoleh sejenak ke arah asrama, ke lantai-lantai tempat tawa dan tangisnya tertinggal, ke wajah-wajah yang telah menjadi rumah kedua. Ada rindu yang belum sempat tumbuh, namun sudah harus dihadapi.
Lalu, perjalanan pulang dimulai—dengan tubuh yang lemah, dan hati yang menggenggam harapan.
Di rumah, waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya. Hari-harinya dipenuhi keheningan, obat-obatan, dan Aira yang banyak merenung dalam diam—menyusuri lorong-lorong pikirannya yang penuh tanda tanya. Tubuhnya terbaring lemah, namun benaknya terus bergerak, mengais sisa-sisa cahaya yang dulu pernah menyala di sudut hatinya. Dalam kesunyian itu, ia membuka sebuah buku kosong—dan mulai menulis. Tangan kecil yang gemetar itu mencoba menyulam kata-kata.
“Tak semua perpisahan adalah akhir,” tulisnya dengan tinta yang bergetar.
“Kadang, ia hanya jeda yang dipeluk kasih sayang. Aku tak kalah—aku hanya sedang pulang, untuk mengobati luka yang terlalu dalam.
Aku akan kembali… dalam bentuk yang lebih tenang, lebih kuat, lebih tahu untuk apa aku bertahan.”
Tulisan itu bukan untuk siapa pun selain dirinya sendiri. Kalimat-kalimat kecil itu menjadi jendela kecil tempat ia mengintip cahaya, walau di luar dunia sedang gelap gulita.
Lalu kalimat-kalimat itu ia simpan rapi di samping tempat tidur, menjadi saksi bisu perjuangan yang tak terlihat oleh mata. Dan Aira tahu, perjalanan ini belum berakhir. Masih ada jalan panjang yang harus dilalui, masih ada badai yang harus dihadapi. Namun, dengan setiap goresan tinta, ia merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih berani. Di sana, di tengah sunyi dan istirahatnya, Aira menyulam ulang harapan.
Hari-hari berlalu, dan perlahan rasa jatuh itu mulai berubah menjadi kekuatan baru. Meski tubuh masih lemah, semangat di dalam hati mulai menyala kembali, seperti lentera kecil yang menuntun langkah di kegelapan. Ia mulai mengingat teman-temannya yang selalu tetap setia di sisinya, memberikan pelukan hangat yang membuat Aira sadar bahwa ia tidak pernah benar-benar sendiri.
Dan di tengah segala ketidakpastian itu, Aira belajar bahwa jatuh bukanlah kegagalan. Jatuh adalah bagian dari perjalanan, bagian dari proses untuk bangkit dan menjadi lebih baik. Ia mulai memahami bahwa kesabaran dan waktu adalah obat terbaik untuk segala luka.
Dengan perlahan, Aira mengangkat kepala, memandang ke arah jendela kamar yang menyisakan secercah cahaya pagi. Ada sesuatu yang berbeda hari ini—ada harapan yang mulai tumbuh kembali, dan tekad yang semakin kuat untuk terus berjalan, meski langkahnya masih berat.
Seminggu di rumah terasa begitu panjang baginya. Dalam senyap dan kesendirian yang menelusup setiap sudut hari, Aira mulai menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik kesibukan, rasa sakit, dan langkah yang tertatih—sebuah rasa cinta yang tak pernah benar-benar ia sadari, namun diam-diam tumbuh dan mengakar: cinta yang dalam pada pondok, tempat ia menimba ilmu, berjuang, dan merawat luka-lukanya.
Ia baru benar-benar merasakannya ketika jarak mulai membentang—saat tak lagi terdengar lantunan doa bersama di waktu subuh, tak ada lagi tawa sahabat yang menyambut pagi, atau pelukan hangat yang biasa hadir di tengah lelah. Dalam diam, ia mengakui: ia rindu.
Kini, pondok bukan sekadar rumah. Ia adalah pelukan yang menyembuhkan, tempat jatuh cinta pada perjuangan yang sunyi, dan ladang bagi luka-luka untuk belajar bertahan. Aira jatuh cinta pada pelajaran yang menajamkan batinnya, pada udara fajar yang menguatkan jiwanya, dan pada setiap detik yang—meski tak mudah—membentuk dirinya menjadi sosok yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Aira tahu, perjalanan ini masih panjang. Tapi dia siap, untuk berdiri, untuk melangkah, dan untuk pulang—bukan ke tempat yang sama, tapi ke versi dirinya yang lebih utuh dan kuat.