Dan seperti biasa, pagi datang tak peduli seberapa panjang malam yang telah dilalui.
Hari-hari setelah kejadian itu berjalan perlahan, seperti angin sore yang menyapu dedaunan tanpa terburu-buru. Tak ada gejolak besar, hanya waktu yang mengalir dengan tenang, membawa Aira kembali pada rutinitas yang pelan-pelan terasa akrab. Aira belum sepenuhnya pulih, tapi ia sudah kembali ke kelas—menyimak pelajaran, menyimak dunia. Wajahnya belum sepenuhnya cerah, tapi matanya mulai punya arah.
Seiring waktu berjalan, kebersamaan mereka terasa berbeda. Lebih erat, lebih tulus, dan lebih hangat dari sekadar teman sekelas—kini terasa seperti rumah kecil yang selalu terbuka untuknya.
Hari-hari mereka diisi dengan kebiasaan yang mungkin sederhana, tapi bermakna dalam. Selepas Maghrib, mereka duduk melingkar di lantai kamar. Beberapa memeluk bantal kecil, seolah-olah bantal itu jadi pelukan hangat saat hati sedang rindu atau hafalan mulai terasa berat, dengan kitab dan buku catatan di tangan.
Udara malam yang lembap menyelinap dari jendela, membawa aroma kayu dan tanah yang khas. Beberapa melafalkan hafalan dengan suara nyaris berbisik, seolah mengirimkan doa lewat gerak lembut bibir mereka. Ada pula yang menyimak penuh perhatian, lalu pelan-pelan membenarkan bacaan temannya jika terdengar keliru. Kadang suara tertawa kecil terdengar—karena salah tajwid, atau karena lidah yang terpeleset menyebut nama kitab. Bukan karena mengejek, tapi karena kebersamaan membuat segalanya terasa lebih hangat.
Dan pagi hari? Ah, itulah momen paling sibuk. Suara langkah tergesa, pintu kamar yang dibuka-tutup dengan cepat karena sedang ada yang piket di dalam kamar, dan tawa kecil yang saling bersahutan memenuhi lorong pondok. Di tengah keramaian itu, suara khas sering terdengar dari arah kamar mandi:
“Ba’daki yaa ukhti…”
“Ukhti, ba’daki ana, ya?”
“Ba’daki ana dulu dong… anti tadi tahajud kan udah mandi!”
“Ah, lakin ana kegerahan lagiii, ukhtii!”
Saling berebut untuk mendapatkan giliran mandi, dengan suara manja yang membuat suasana terasa hidup dan hangat. Meski kadang saling ngambek kecil, semuanya berakhir dengan tawa dan pengertian bersama.
Dan ada kalanya, air tak mengalir—toren mati, keran tak menetes.
“Alma’u mayyit yaaa Rabb…” kata salah satu santriwati dengan wajah pasrah, sambil memutar keran berkali-kali.
“Kita harus nunggu toren nyala lagi deh…” sahut yang lain, sambil duduk lesu memeluk ember kosong.
Dan begitu suara air dari toren terdengar—sebuah “gluduk” yang menggetarkan harapan—teriakan pun menggema, “AIRNYAA NYALAAA!!” Semua langsung berebut, seperti perang dunia. Ember ditaruh, gayung terbang, tapi hati tetap riang. Air jadi barang mewah, dan mereka belajar bersyukur hanya karena bisa mandi.
Malam pun punya kisahnya sendiri. Kadang saat semua sudah tidur, ada yang mengetuk pelan:
“Ukhti… ana takut ke hamam sendiri. Tolong temenin ana, ya?”
Dengan mata masih sayu, sahabatnya pun berdiri. Mengambil jilbab, dan mereka menyusuri lorong sunyi menuju kamar mandi. Tak banyak bicara, tapi kebersamaan itu menenangkan. Tak perlu banyak alasan untuk saling menjaga.
Sore hari ba’da halaqoh adalah waktu yang paling ditunggu. Usai kelas dan kegiatan, mereka keluar ke halaman pondok. Beberapa duduk santai di saung kecil sambil berbincang ringan—tentang pelajaran, tentang rindu rumah, atau sekadar hal-hal sepele yang membuat mereka tertawa.
Di pojok halaman, dua santri duduk berdampingan di atas ayunan sederhana yang terbuat dari ban bekas, tergantung pada seutas tali yang diikat ke batang pohon besar. Ayunan itu sesekali berayun pelan ditiup angin sore, sementara keduanya diam, hanya suara lembut daun yang bergesekan dan lembar mushaf yang sesekali terbalik pelan. Sinar sore menyinari wajah mereka yang serius menunduk, mencoba menaklukkan ayat-ayat yang masih terasa asing.
Salah satu dari mereka menoleh, suaranya pelan namun penuh perhatian.
“Anti udah sampai mana hafalannya, ukh?” tanyanya sambil menatap sahabatnya yang masih menunduk pada mushaf.
Yang ditanya tersenyum kecil, lalu menjawab pelan, “Baru sampai ayat ke-3 hehe… lambat yaa?”
“Gapapa kokk… anti terusin aja, pelan-pelan. Allah pasti mudahkan kok, in syaa Allah. Semangat yaa, ukhtii,” ucap sahabatnya, suaranya seperti pelukan yang tak terlihat.
Kalimat itu bukan sekadar penyemangat. Itu adalah doa yang mereka ucapkan untuk satu sama lain—diam-diam, dari dalam hati.
Bukan tentang cepat atau lambat, tapi tentang berjalan bersama. Tentang saling menepuk punggung tanpa harus saling mendahului.
Malam sebelum tidur pun tak kalah indah. Saat lampu kamar sudah mulai dipadamkan, suasana menjadi lebih tenang. Namun, suara-suara lembut masih mengisi ruang kecil itu, mengalir pelan seperti bisikan rahasia.
“Anti dulu pas kecil suka nonton apa?” tanya salah satu dari mereka, suaranya nyaris berbisik.
Yang lain tersenyum, mencoba mengingat masa kecil yang penuh warna, “Eh, tau gak, aku dulu pas SD pernah jatuh dari sepeda karena kejar layangan lohh!”
Tawa kecil pecah, lalu yang lain menimpali dengan semangat, “Kalau udah hafal 30 juz, kita bikin rumah tahfidz yukk…”
Obrolan mengalir tanpa batas. Kadang tertawa, kadang mendadak hening karena satu dari mereka mulai menangis. Tapi yang lain langsung tahu harus melakukan apa—memeluk, atau cukup duduk di sampingnya, tanpa berkata apa-apa.
Dan di tengah keheningan itu, kadang muncul satu celetukan yang jujur dari dalam hati yang menghangatkan suasana:
“Kita udah kayak keluarga, ya…”
Seketika tawa-tawa kecil menyelip di antara kalimat itu. Dan di dalam hati Aira, sesuatu perlahan tumbuh. Bukan sekadar perasaan bahagia karena ditemani, bukan pula euforia sesaat karena canda dan tawa—tapi lebih dalam dari itu. Sebuah rasa yang tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. Hangat, pelan, dan diam-diam mengakar.
Sebuah perasaan bernama rindu—yang bahkan belum sempat benar-benar pergi, tapi entah mengapa sudah lebih dulu datang kembali. Rindu pada detik-detik kecil yang sederhana: tatapan penuh dukungan, bisikan semangat di antara hafalan yang tersendat, atau genggaman tangan saat tubuh mulai melemah. Rindu pada senyum yang tak dibuat-buat, pada tangis yang dibagi tanpa rasa takut dihakimi.
Dan perlahan, Aira mulai memahami sesuatu yang tak pernah ia sadari sebelumnya… Tempat ini, orang-orang ini, sedang mengajarinya arti pulang—bukan pulang yang ramai dengan pelukan dan sambutan meriah, tapi pulang yang sederhana… sunyi… namun menghangatkan sampai ke relung hati terdalam.
Pulang yang tak berbentuk rumah, tapi terasa seperti rumah. Yang tak selalu diisi kata-kata, tapi penuh pengertian. Yang tak selalu hadir dalam wujud nyata, tapi mengakar kuat dalam rasa.
Malam itu, sambil memeluk bantal yang entah sejak kapan jadi pengganti pelukan sebenarnya, Aira menatap langit-langit kamar. Tak ada suara, hanya gemuruh perasaan yang tak bisa ia beri nama satu per satu.
Ia sadar… semua ini tak akan selamanya. Bahwa detik-detik yang sekarang ia nikmati pelan-pelan, kelak hanya akan tinggal dalam ingatan.
Ia tahu, suatu hari nanti semua ini akan menjadi kenangan… Maka ia merekamnya diam-diam dalam hati, dalam setiap senyum dan tawa kecil yang tumbuh di tengah lelah dan tangis.
Hari itu, Aira belajar. Bahwa luka bukan satu-satunya hal yang membentuknya di pondok ini. Tapi juga tawa, cinta sunyi, dan ikatan tak kasat mata yang disebut: ukhuwah.
Pelan-pelan, ia belajar bahwa pondok ini bukan sekadar tempat yang dipenuhi hafalan dan aturan. Tapi rumah kecil yang, diam-diam, mengajarkannya menjadi manusia seutuhnya—dengan luka, dengan tawa, dengan tangis, dan cinta sunyi yang tak butuh alasan untuk tetap tinggal.