Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Antara Luka dan Mimpi
MENU
About Us  

Hari itu berjalan seperti biasa—kelas berlangsung tenang, dan suara hafalan matan Tuhfatul Athfal mengisi seluruh ruangan. Sekarang giliran Aira maju untuk setoran. Ia berjalan pelan menuju kursi di samping meja ustadz, tapi di dalam hatinya, gelombang kecemasan menghempas kuat. Anxiety yang sudah lama menghantuinya sejak di pondok pertamanya kembali menyerang, membuat napasnya ter-engah-engah dan tangannya mulai gemetar.

 

Sejak dipondok lamanya, Aira memang sudah berjuang dengan berbagai sakit yang membuatnya mudah lelah dan sesak napas—paru-paru yang lemah, GERD yang kerap mengganggu, dan anxiety/gangguan kecemasan yang sering menyerang tanpa ampun. Bahkan suara keras atau kejutan kecil bisa memicu napasnya menjadi tersendat dan tubuhnya melemah.

 

Setelah setoran selesai, Aira kembali ke mejanya. Ia berusaha menenangkan diri, tapi tubuhnya seperti tidak mau diajak kompromi. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Tubuhnya mulai melemah seperti kehilangan tenaga secara perlahan. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia tahu ini bukan sekadar gugup—ini adalah ketakutan yang sudah lama ia kenal, dan hari itu, ia kembali kalah olehnya.

Ka Imut, yang duduk tak jauh darinya, menangkap gelagat itu. Dengan cepat ia menghampiri.

 

“Hal anti bikhair?” tanyanya lembut, tapi jelas mengandung kekhawatiran.

Kalimat itu adalah sapaan khas anak pondok–yang artinya “apakah kamu baik-baik saja?”, yang dimana pada hari itu terasa lebih dari sekedar basa-basi.

 

Aira hanya mampu menjawab pelan, hampir tak terdengar, “Nafas ana… sesak, Ka.”

 

Kepalanya tertunduk dalam, hampir menyentuh tangan yang ia silangkan di atas meja belajar. Tangannya gemetar, tubuhnya lunglai. Napasnya tak beraturan. Namun Aira tetap berusaha tenang, berusaha tetap sadar, sambil menahan rasa sakit yang semakin menjadi.

 

 

Tanpa pikir panjang, Ka Imut segera meminta izin kepada ustadz untuk membawa Aira keluar kelas agar bisa beristirahat dan menghirup udara segar. Dengan langkah pelan, Aira mencoba berdiri, sembari ditopang oleh Ka Imut di sisi kirinya. Tapi tubuhnya benar-benar kehilangan kendali.

 

 

Di tengah jalan menuju kamar, Aira tumbang.

 

 

Tubuhnya jatuh begitu saja ke lantai— Aira pingsan untuk pertama kalinya di pondok…

 

Suasana langsung berubah. Teman-temannya panik, namun tetap sigap. Suara langkah tergesa, seruan nama Aira, dan helaan napas cemas memenuhi udara. Tapi di tengah kepanikan itu, mereka berusaha tetap tenang. Gemetar dalam kepanikan, namun tak berhenti berusaha.

 

Dengan penuh kehati-hatian, tubuh Aira dibawa ke kamar. Meski dalam kepanikan, mereka tetap mencoba menenangkan diri—menyeka keringat dingin, memanggil ustadzah, dan terus memastikan Aira tak dibiarkan sendirian. Beberapa ustadzah mulai berdatangan, dan sempat muncul keputusan untuk membawanya ke rumah sakit.

 

Namun sebelum itu terjadi, tubuh Aira mulai bergerak pelan. Kelopak matanya terbuka perlahan. Meski nafasnya masih belum stabil... tapi kesadarannya perlahan mulai kembali.

 

 

"Alhamdulillahhh…” Bisik seseorang.

 

 

“Alhamdulillah, Aira sadar…”

 

Suara-suara itu lirih, tapi terdengar di sekeliling Aira, seperti selimut hangat yang menyambutnya pulang dari gelap yang tak ia mengerti…

 

Segelas air hangat disodorkan. Ka Imut duduk di sampingnya, menenangkan dengan bisikan pelan yang hampir tak terdengar tapi terasa. Anira memijat pelan punggungnya, sementara yang lain tetap di sana—menatap sembari menghibur Aira agar keadaan tak menjadi canggung.

 

 

Aira tak bisa berkata apa-apa. Matanya hanya menatap satu per satu wajah yang mengelilinginya—wajah-wajah penuh cemas, namun juga sarat kehangatan. Di dalam tubuhnya yang masih lunglai, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sebuah kehangatan yang menyusup perlahan ke dalam relung hatinya...

 

Di tengah rapuh dan sepi itu, untuk pertama kalinya ia merasa—Bahwa ia tidak sendirian.

 

 

Di tengah sakit yang tak dimengerti, Aira menemukan kehangatan dalam bentuk lain—perhatian dari orang-orang yang baru ia kenal, tapi terasa begitu tulus. Hari itu, meski tubuhnya runtuh, hatinya justru berdiri menjadi lebih kuat...

 

 

Sejak hari itu, Aira sedikit demi sedikit mulai belajar memahami—bahwa mungkin, pondok ini bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tapi juga sebuah ruang yang diam-diam mengajarkan arti pulang pada diri sendiri. Bahwa setiap sakit...., setiap air mata...., adalah cara-Nya menguatkan. Dan bahwa di balik setiap runtuh… selalu ada tangan-tangan kecil yang dititipkan-Nya untuk membantu hambaNya bangkit kembali.

Waktu begitu cepat berlalu dan malam-pun tiba.

Namun malam tak selalu membawa tenang—kadang ia datang bersama tanya yang tak sempat terucap di siang hari.

 

Malam itu, setelah semua keramaian dan hingar-bingar hari berlalu, Aira merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia bersandar pada tembok dingin, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian malam. Tirai tipis menggantung, menyisakan bayangan-bayangan samar yang menari-nari di dinding. Cahaya lampu kamar yang remang menemani tubuhnya yang lelah, masih menyisakan sisa-sisa kejadian siang tadi—pingsan yang membuat semua mata tertuju padanya.

 

Ia memeluk lututnya erat-erat, duduk setengah meringkuk di atas kasur. Seolah dengan begitu, ia bisa menahan semua rasa yang bergejolak di dalam dada. Langit-langit kamar ia tatap lama, lalu pandangannya jatuh ke tangan yang ia genggam. Air mata mengalir, tanpa suara, tanpa alasan yang mampu ia rangkai dengan kata. Malam itu, Aira menangis sendirian. Tangisnya bukan sekadar kesedihan biasa, tapi tumpahan segala rasa yang selama ini tertahan—rasa takut, kecewa, dan lelah yang mendalam. 

 

Sebuah pertanyaan yang terus muncul dikepalanya:

“Kenapa ini terjadi lagi…?”

 

Beberapa bulan sebelum masuk pondok ini, Sebenarnya Aira sudah mengalami kondisi serupa. Di pondok pertamanya, ia pertama kali mengalami sakit cukup parah—lemah paru, Gerd, dan anxiety yang menghantuinya nyaris setiap malam. Saat itu, tubuhnya benar-benar tumbang. Ia tidak sanggup melanjutkan kegiatan harian dan akhirnya harus keluar untuk menjalani masa penyembuhan di rumah selama dua bulan penuh. Setelah cukup membaik, Aira memberanikan diri kembali mondok—kali ini di tempat yang berbeda, berharap bisa memulai ulang dan bangkit dari masa lalu.

 

Tapi ternyata, semuanya tidak semudah itu. Bukannya pulih sepenuhnya, tubuhnya justru kembali memberontak. Serangan sesak nafas, dada yang terasa sempit, dan gemetar setiap kali ia dikejutkan suara keras—semuanya kembali. Bahkan kadang terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya.

 

“Kenapa bisa kambuh lagi? Bukannya aku sudah sembuh? Aira kan udah istirahat fullll yaa Allahh." Pertanyaan itu berkecamuk di dalam kepalanya, tanpa jawaban yang pasti.

 

Malam itu, Aira terus merenung. Aktivitas pondok telah selesai, lampu utama asrama telah mati sisa remang-remang lampu tidur yang tersisa dan semua orang mulai merebahkan tubuh mereka untuk beristirahat. Tapi Aira hanya duduk meringkuk di atas ranjang sembari bersandar di dinding tembok, memeluk lututnya sendiri, mencoba memahami badai yang sedang melanda tubuh dan pikirannya.

 

Ia tidak menangis keras. Hanya diam. Tapi diamnya penuh suara—suara resah yang tak tersuarakan, suara bingung yang menggema dalam hati, suara takut yang perlahan menggerogoti.

 

Tak ada jeritan, tak ada keluh. Tapi dalam keheningan itu, ada dunia kecil yang runtuh di dalam dirinya.

 

Aira tidak menyalahkan siapa pun. Bukan pondok ini. Bukan tubuhnya yang semakin ringkih. Bahkan bukan takdir-Nya yang menggiringnya ke titik ini. Ia hanya merasa… letih. Letih menahan semuanya sendiri.

 

Tubuhnya mulai melemah, pikirannya penat seperti tak tahu arah. Dan semangat yang dulu selalu menyala di matanya—kini seperti lilin kecil yang tertiup angin, nyaris padam tapi belum sepenuhnya hilang.

 

“Apa ini takdirku?” gumamnya pelan dalam bisu, suara kecil yang nyaris tenggelam di antara desiran angin malam.

 

Namun di tengah rasa sesak dan kebingungan itu, ada bisikan kecil yang tetap bertahan di dalam hatinya.

"Pasti ada hikmahnya… meski aku belum tahu hikmah apa itu sekarang, tapi pasti semua yang terjadi itu ada hikmahnya...”

 

Ia mengingat pesan yang selalu diulang oleh ustadz dan orang-orang yang ia percaya: “Tidak ada yang Allah takdirkan tanpa sebab.” Kata-kata itu berusaha ia pegang erat, menjadi jangkar kecil dalam lautan kebimbangan. Tapi rasa sakit dan kecemasan yang menggerogoti hati membuat semuanya terasa sangat berat.

 

Aira ingin sekali berteriak, membiarkan semua rasa itu keluar, tapi suaranya tercekik oleh kesunyian malam. Ia merasa terjebak dalam diri sendiri, berhadapan dengan bayangan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. Tangannya menggenggam sehelai kain di sebelahnya, seperti mencari pegangan yang nyata.

 

Dalam kesendirian itu, Aira berusaha keras menenangkan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan sejenak, lalu menghembuskannya perlahan. Diulanginya terus, seperti sebuah mantra yang diucap dalam diam—bukan sekadar untuk menenangkan tubuh, tapi juga untuk meredakan gelombang kacau dalam pikirannya.

 

Tangannya menggenggam erat ujung selimut, seolah menggenggam sisa-sisa kekuatan yang belum sepenuhnya hilang. Matanya sembab, tapi ia menolak menyerah pada air mata yang kembali mendesak turun. Ia ingin kuat—walau hatinya tahu, hari ini ia sedang tidak baik-baik saja.

 

Sabar, Aira… sabar,” bisiknya pelan, lebih terdengar seperti doa daripada nasihat. Kata-kata itu ia ulang, lagi dan lagi, seakan dengan mengucapkannya, rasa sakit itu bisa sedikit mereda.

 

“Ini semua ujian… bukan untuk menjatuhkanmu, tapi mungkin… untuk membentukmu.”

 

Ia menatap dinding di hadapannya, kosong tapi menenangkan. Lalu menutup mata sejenak, membiarkan dirinya larut dalam keheningan. Ada luka yang belum sembuh, ada pertanyaan yang belum terjawab, tapi Aira tahu… ia tidak akan berhenti di sini.

 

Aira mulai mengingat lagi betapa keras dirinya selama ini mencoba terlihat kuat. Ia terlalu sibuk membuktikan bahwa ia bisa, bahwa ia mampu, hingga lupa bahwa menjadi rapuh pun adalah bagian dari perjalanan. Ia lupa bahwa tidak apa-apa jika tidak selalu kuat. Tidak apa-apa jika harus beristirahat sejenak.

 

Karena setiap rasa yang menyesakkan, setiap tetes air mata yang jatuh, adalah bagian dari proses yang harus dilalui.

 

Dan ia memilih bertahan, walau pelan, walau sakit. Sebab jauh di dasar hatinya, ia masih percaya… akan datang hari di mana semua ini terasa ringan. Hari di mana ia bisa berkata: "Aku sudah melewati semuanya, dan aku tetap berdiri.”


 

Malam itu, meski tubuhnya masih terasa lemas dan pikirannya masih diliputi banyak tanya, Aira mulai mengerti sedikit demi sedikit… bahwa mungkin, ini bukan tentang sakit semata. Tapi tentang cara Allah menuntunnya untuk mengenal dirinya lebih dalam. Untuk kembali menyadari bahwa hidup bukan tentang terus berlari, tapi juga tahu kapan harus beristirahat sejenak.

 

Dan Aira… malam itu ia bernapas pelan, menatap langit-langit kamar, lalu memejamkan mata dengan satu keyakinan kecil yang tumbuh:

Mungkin aku belum sembuh, tapi aku sedang diperbaiki.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Penerang Dalam Duka
607      401     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Mimpi & Co.
947      611     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Reandra
1540      1030     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Glitch Mind
45      42     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Metanoia
46      39     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Da Capo al Fine
275      233     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Main Character
1123      678     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Ameteur
82      75     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Metafora Dunia Djemima
88      72     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?