Hari-hari setelah Aira berada di pondok terasa seperti membuka satu per satu lembar baru dalam hidupnya. Waktu berjalan perlahan, membawa Aira menyelami dunia yang asing tapi mulai terasa akrab seiring berjalannya waktu. Ia mulai terbiasa dengan ritme kehidupan pondok—jadwal bangun pagi, tilawah bersama, kelas-kelas pelajaran diniyah dan umum, hingga suara bel yang menandai waktu makan dan ibadah.
Namun, tak semua hal berjalan seperti yang di inginkan. Meski banyak hal yang membuatnya nyaman, ada pula hari-hari yang menguji tekad. Tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari masa sakit sebelumnya sering kali membuatnya kelelahan lebih cepat dari yang lain dan menimbulkan keterbatasan. Ia berusaha menutupi letihnya dengan senyum, tapi dalam diam ia tahu bahwa tubuhnya masih butuh banyak penyesuaian.
Keputusannya untuk kembali mondok memang bukan hal yang mudah. Tapi Aira tetap mengambil langkah itu karena ia merasa ada yang belum selesai, Aira merasa bahwa disana lah semua impiannya bisa di capai. Ada sesuatu yang menuntunnya untuk mencoba lagi, meski kali ini lebih berhati-hati dan penuh harap. Dan ketika ia memutuskan untuk melangkah kembali ke dunia pesantren, ia memilih pondok ini—tempat yang masih asing baginya, namun perlahan menjelma menjadi ruang ternyaman menurutnya.
Hari-hari di pondok tak selalu mulus. Dan kadang Aira merasa tertinggal karena teman-temannya sudah masuk pondok terlebih dahulu dibanding dirinya dan memulai hafalannya lebih dulu. Aira harus mengejar banyak hal, mengejar hafalan, belajar dari awal, dan menyesuaikan diri dengan metode yang berbeda. Tapi bukan berarti ia sendiri dalam perjuangannya. Dukungan dari teman-teman yang tulus, seperti merawat saat ia sakit, menjadi teman cerita atau menemani belajar di malam hari, menjadi penguat Aira di saat-saat rapuh.
Malam-malam di pondok adalah saat yang paling sunyi sekaligus paling menenangkan. Di sanalah Aira sering kali menangis dalam diam. Merindukan Rumah, berjuang memahami pelajaran, dan menghadapi rasa takut akan ketertinggalan. Tapi di sela isak yang pelan, ia sering menemukan kekuatan baru—kekuatan dari doa-doa panjang yang tak pernah ia ucapkan lantang, tapi selalu ia bisikkan lirih di atas sajadah.
Pelan-pelan, pondok ini bukan lagi sekadar tempat belajar. Lebih dari itu ia menjadi tempat belajar mencintai ilmu, pada ketulusan teman, pada proses yang menyakitkan namun mendewasakan. Di tempat ini, Aira belajar bahwa pulang bukan selalu tentang kembali ke rumah, tapi tentang menemukan rumah dalam hati yang mulai menerima dan berdamai.