Pagi telah datang menyapa Mireya yang perlahan membuka matanya. Ditatapnya Kamar yang masih sama. Mencoba mendudukkan diri dengan tubuh yang terasa lebih baik dari semalam. Mireya ambil handphone yang ada di atas nakas, melihat jam yang ternyata baru pukul 6. Tak ada satu panggilan mau pun pesan pun dari Papa-nya. Papa-nya benar-benar tidak peduli Mireya tidak pulang, tidak takut sesuatu terjadi pada putri satu-satunya itu.
Wajah sendu di awal hari itu sungguh menyakitkan untuk siapa pun yang melihatnya. Mireya kembali letakkan handphone di atas nakas. Mama-nya sudah tidak ada, dan Papa-nya membencinya, lalu harapan apa yang tersisa dari berharap memiliki keluarga yang sempurna?
Ceklek
Mireya perhatikan Leo yang melangkah masuk. Mereka saling melempar senyum hingga Leo mendudukkan diri di tepi ranjang menghadap ke arah Mireya yang wajahnya masih sedikit pucat. Salah satu tangan Leo terulur begitu saja menyentuh dahi Mireya yang sudah tidak panas.
"Kak ...."
"Iya?"
"Sekarang aku benar-benar sudah gak punya keluarga. Keluarga aku yang sebelumnya sempurna sudah hancur!" Dari kalimat itu dan tatapan mata Mireya, Leo bisa melihat sepatah apa hatinya.
Leo menyentuh kedua tangan Mireya, digenggamnya lembut. "Kamu masih punya Nenek, aku, Mama, Papa, dan Kinanti. Keluarga gak perlu hubungan darah kalau mereka bisa buat kamu bahagia."
"Apa aku bisa bahagia setelah tahu penyebab Papa benci aku?"
"Mama kamu di sana pasti ingin melihat putri-nya bahagia."
"Tapi, aku yang sudah buat Mama pergi untuk selamanya! Kalau saja hari itu aku gak merajuk, Mama gak akan buru-buru belikan aku handphone baru hanya untuk membuat aku merasa lebih baik, Kak." Lagi-lagi Leo harus melihat gadisnya meneteskan air mata.
"Mire, siapa yang mau hal buruk seperti itu terjadi sama orang yang kita cinta? Kamu gak bermaksud melakukannya, kamu gak tahu kalau akan membuat keadaan menjadi buruk."
Mireya menggelengkan kepala, seolah lebih percaya dengan pemikirannya dari pada perkataan Leo. "Apa pun alasannya aku tetap salah, Kak! Aku egois! Aku gak mikirin posisi Mama."
Leo khawatir melihat Mireya terus menyalahkan dirinya sendiri. Bukannya mencintai diri sendiri lebih baik, Mireya justru begitu kecewa pada dirinya bahkan mungkin bisa berakhir membenci dirinya sendiri, dan itu buruk untuk mental Mireya.
Apa yang harus aku lakukan? Mire butuh sesuatu yang membuatnya lebih baik, tapi kalau kecelakaan itu benar karena Mire tanpa adanya kesalahan orang lain, bagaimana aku bisa membuatnya merasa lebih baik?
Tok tok
Leo dan Mireya menatap ke arah pintu di mana Mama-nya sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut. Leo berdiri dari duduk, memberi ruang pada Mama-nya. "Pagi-pagi sudah nangis saja," ucap Mama Leo yang sudah duduk di tempat Leo sebelumnya. Menghapus air mata Mireya.
"Mama tahu saat ini kamu gak bahagia sama sekali, tapi Mireya ... apapun yang terjadi, jangan terlalu menyalahkan diri kamu sendiri. Karena luka datang gak melulu berkat orang lain, kerap kali kita yang menyakiti diri kita sendiri. Kalau kamu benci sama diri kamu sendiri, apapun yang kamu lakukan, kamu gak akan pernah bahagia."
"Bagaimana bisa aku bahagia di saat aku penyebab Mama pergi, Ma?"
"Mama kamu pasti sedih di sana melihat kamu seperti ini! Kamu tahu? Sekali pun kamu yang sudah membuat Mama kamu pergi, Mama kamu pasti gak akan menyalahkan kamu. Justru dia berharap kamu bisa menjadi gadis yang kuat dan terus bahagia. Gak ada seorang Ibu yang mau anaknya gak bahagia."
Mireya tidak tahu harus seperti apa. Mireya hanya tahu bahwa ia tidak bisa memaafkan dirinya. Rasanya lebih buruk dari saat Papa-nya selama ini bersikap tak peduli. Bukankah lebih baik Mireya tidak tahu penyebab Mama-nya meninggal yang sebenarnya?
Merasa Mireya butuh banyak waktu sendiri, Mama Leo mengajak Leo keluar. Setelah mengambil beberapa langkah jauh dari depan pintu Kamar tamu, langkah Mama Leo terhenti begitu pun dengan Leo. Mama Leo menghadap ke arah Leo yang ada di belakangnya. "Mama rasa sudah waktunya harus menemui Papa-nya Mireya!" Dengan wajah 100 persen yakin.
"Aku juga berpikiran kayak gitu, Ma. Biarkan saja mereka berpikir kita terlalu ikut campur, mereka sudah keterlaluan!" Dengan amarah yang menyelimuti dirinya.
"Sebaiknya kamu rapi-rapi untuk ke sekolah," ucap Mama-nya yang sedikit sudah lebih santai.
"Selama aku gak ada tolong jaga Mireya ya, Ma."
"Sudah pasti."
.
.
Leo melangkah masuk ke dalam gedung sekolah, dan saat melihat Kinanti tengah berjalan di depan sana yang sepertinya baru datang, Leo sedikit mempercepat langkah kaki. "Kinanti," panggil Leo saat sudah dekat.
Kinanti menoleh, lalu menghentikan langkah kaki. "Ada apa, Kak?" Sembari menatap Leo yang sudah di hadapannya.
"Tolong izinkan Mireya, dia sakit."
"Apa?!" Selain terkejut, Kinanti langsung memasang wajah khawatir.
"Gak perlu terlalu khawatir, Mireya hanya butuh istirahat."
"Pulang sekolah aku mau ke rumah-nya!"
"Gak perlu,"
"Kenapa?" Kinanti bingung.
"Mireya ada di Rumah aku!"
Kinanti penasaran bagaimana Mireya yang sedang sakit bisa berada di Rumah Leo, namun Kinanti memilih tidak menanyakannya.
"Mireya di Rumah lo? Apa yang terjadi nih?!" tanya Willy dengan nada dibuat heboh. Willy yang baru datang dan langsung merangkul Leo.
"Terlalu ingin tahu!" ucap Leo, tegas. Melangkah pergi dari sana.
"Aww, gue serius nanya, Le?!" kata Willy sedikit berteriak.
Kinanti yang sedang tidak mood, hendak melangkah pergi juga namun tiba-tiba Willy menghalangi jalannya. "Gimana ceritanya Mireya ada di Rumah Leo?" tanya Willy dengan menaruh perhatian penuh.
"Aku juga gak tahu," Kinanti jujur, namun Willy tidak percaya. Menatap intens Kinanti, seolah menyembunyikan sesuatu.
"Kamu tahu, cuma memilih gak mengatakannya!"
"Aku benar-benar gak tahu, Kak. Aku cuma tahu Mireya sakit dan ada di Rumah Kak Leo."
Melihat wajah serius Kinanti yang terlihat jujur, Leo pun melangkah pergi dari sana dengan akhir, ia mempercayai Kinanti.
Tok tok
Pintu terbuka menampakkan Mama Leo dengan nampan berisi segelas air putih dan semangkuk bubur ayam. Melangkah ke arah Mireya yang sedang terduduk di atas kasur sambil melamun.
Suara meletakkan nampan di atas nakas, membuat lamunan Mireya buyar. Menoleh ke arah Mama Leo yang mengambil segelas air yang ia sodorkan pada Mireya. "Minum dulu, sayang." Mireya mengambilnya, meneguk sedikit lalu gelas diambil Mama Leo.
Mama Leo duduk di tepi, menghadap ke arah Mireya dengan mangkuk bubur ayam yang ia pegang. Menyodorkannya pada Mireya yang langsung mengambil. "Kalau ada yang kamu inginkan, kamu bisa bilang sama Mama."
"Iya, Ma." Mireya mencoba makan bubur itu dengan tidak berselera makan. Namun, untuk menghargai Mama Leo, ia memakannya.