"Lho, Papa kok sudah pulang?" tanya istri-nya dengan wajah heran.
"Kata Mama-nya kekasih Mireya ada hal yang ingin dibicarakan, dan lebih baik bicarakannya di Rumah, jadi saya pulang," kata suami-nya dengan wajah datar.
Baru saja pria paruh baya itu mendudukkan diri di sofa panjang sembari menggulung lengan kemeja panjangnya hingga sedikit di bawah siku, bel berbunyi. Ibu tiri Mireya melangkah, melihat siapa yang datang.
"Selamat siang," ucap Mama Leo dengan tatapan mata tajam. Namun, berusaha tersenyum. Senyum yang mematikan!
"Ada apa perlu apa ya?" tanya Ibu tiri Mireya dengan tatapan bingung karena sebelumnya belum pernah melihat Mama Leo.
"Papa-nya Mireya ada?" tanya Mama Leo dengan nada berusaha sopan, walau sebenarnya ingin memaki.
Mengingat suami-nya itu sedang menunggu seseorang, sang istri pun berpikiran bahwa Mama Leo adalah orang yang ditunggu itu. "Mama kekasihnya Mireya?" tebak Ibu tiri Mireya.
"Benar sekali." Seraya tersenyum.
"Silakan masuk," Ibu tiri Mireya akhirnya tersenyum. Senyum ramah.
Mama Leo memasuki Rumah yang sudah membuat kekasih anak-nya itu terus bersedih. Memperhatikan baik-baik isi dalam Rumah, sampai langkahnya terhenti saat melihat kehadiran Papa Mireya. Mama Leo tersenyum ramah pada Papa Mireya yang menatapnya datar dengan terus duduk.
"Silakan duduk," kata Papa Mireya.
Mama Leo duduk di sofa single, Ibu tiri Mireya pergi ke Dapur. "Jadi apa yang perlu kita bicarakan?" tanya Papa Mireya yang terlihat tidak ingin bertele tele.
"Maaf, kalau saya seperti ikut campur dalam masalah keluarga ini! Tapi, bagaimana bisa seorang Ayah membenci putri-nya sendiri?!" ucap Mama Leo yang berusaha santai.
"Memangnya ada aturan saya gak boleh membenci seseorang termasuk anak sendiri? Saya juga manusia!"
Mama Leo dibuat tak percaya dengan jawaban Papa Mireya. Seperti figur Ayah yang tidak menginginkan anaknya sendiri. Atau jangan-jangan Mireya bukan anaknya?
"Seorang Ayah seharusnya memberikan perhatian penuh apalagi di saat anak itu kehilangan figur Ibu, bukankah seperti itu?"
"Mireya bisa tumbuh tanpa figur Ibu, jadi dia juga bisa tumbuh tanpa figur Ayah." Sungguh tidak terlihat bersama sekali. Wajah yang selalu datar itu rasanya ingin Mama Leo mencaci makinya, atau melayangkan sebuah tinjuan.
Di tengah amarah yang sedikit lagi mencapai puncaknya, Mama Leo masih bisa berusaha tersenyum. Ibu tiri Mireya datang dengan dua gelas orange juice yang ia letakkan di hadapan Mama Leo dan Papa Mireya. Meletakkan nampan di bawah meja, lalu mendudukkan diri samping suaminya itu.
"Silakan diminum," kata Papa Leo yang masih memiliki sopan santun.
"Bapak tahu seberapa sering Mireya nangis saat dia tahu Papa-nya membencinya? Dia terus menangis sampai ketiduran, dan paginya dia menangis lagi! Bahkan Bapak gak tahu kan kalau Mireya sempat pingsan dan demam setelah lama kehujanan."
"Walau seperti itu saya yakin Mireya bisa menjaga dirinya."
"Mireya memang bisa menjaga dirinya, tapi dia gak bahagia! Karena kebahagiaannya sudah Bapak hancurkan!" Mama Leo mulai menunjukkan kemarahannya dengan nada bicara yang mulai tidak santai.
"Gak bahagia gimana ya? Kalau Mireya sampai punya pacar, bukankah seharusnya dia bahagia?" tanya Ibu tiri Mireya yang asal bertanya tanpa benar-benar peduli.
"Bahagia, tapi gak benar-benar bahagia. Hanya rasa senang sesaat, tahu? Seseorang gak akan pernah bahagia kalau terus menyalahkan dirinya sendiri. Kalau seluruh waktu yang dia gunakan untuk membenci dirinya sendiri."
Padahal perkataan Mama Leo sudah semenusuk itu namun Papa Leo masih terlihat tidak peduli. Mama Leo merasa pria itu tidak pantas menjadi Ayah Mireya, tidak, lebih tepatnya Ayah dari siapa pun.
"Bapak tahu kenapa seorang istri ingin memiliki anak? Karena dia berharap saat dia gak ada anaknya itu bisa menggantikan posisinya memperhatikan dan menghibur suami-nya. Tapi, apa yang terjadi? Bapak gak mencintai darah daging Bapak sendiri. Mireya itu anak dari wanita yang Bapak cinta. Di mana Bapak seharusnya mencintai Mireya juga."
"Mungkin bisa cinta dan peduli kalau Mireya bukan yang menyebabkan wanita yang dicinta meninggal!" ucap tegas Ibu tiri Mireya.
"Ini masalahnya! Memangnya Mireya mau? Mireya sengaja melakukannya? Dia hanya seorang anak yang sedang bertumbuh tanpa berpikir panjang dan memiliki kemungkinan-kemungkinan. Lagi pula siapa yang akan berpikir bahwa saat itu, istri Bapak akan menjadi korban kecelakaan?! Mireya gak pernah membayangkan bahwa hal itu akan terjadi pada Mama-nya. Ini semua sudah garis takdir yang harus kita terima tanpa harus menyalahkan siapa pun!"
"Tapi, andai Mireya gak merajuk, Mama-nya gak akan pergi pagi itu bahkan gak peduli cuaca buruk," ucap Ibu tiri Mireya yang nampak tidak ingin kalah dalam berdebat.
Mama Leo menghela nafas panjang, berusaha untuk tidak memaki. "Itu sudah pilihan Nadia! Nadia hanya berpikir membuat putrinya gak sedih lagi. Itulah yang seorang Ibu lakukan pada anak tercintanya. Andai? Mau sampai kapan berandai-andai? Semua sudah terjadi dan tugas kita itu menerima dan merelakan."
"Anda pikir menerima dan merelakan semudah itu?! Jangan sok tahu!"
Mama Leo tersenyum getir. "Memangnya Papa Mireya saja yang kehilangan orang yang dicinta? Di luar sana banyak yang merasakannya, bahkan mungkin ada beberapa orang dengan cerita yang sama dengan Papa Mireya, karena harus terus berjalan, mereka gak waktu untuk membenci orang lain, justru mereka berusaha untuk merelakan saja." Sembari menatap Ibu tiri Mireya dengan tatapan tak habis pikir. Padahal wanita itu juga seorang Ibu.
Papa Mireya berdiri dari duduk. "Saya rasa sudah cukup pembicaraan ini! Saya harus kembali ke Kantor." Sembari menatap Mama Leo, lalu melangkah pergi dari sana, tanpa menatap istri-nya sama sekali.
Mama Leo berdiri dari duduk. "Bagaimana mungkin Anda bersikap seperti itu! Anda juga seorang Ibu! Walau Mireya anak tiri, seharusnya Anda punya hati karena Anda juga memiliki anak perempuan." Seperti itulah kalimat terakhir Mama Leo sebelum melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Ibu tiri Mireya yang kesal dengan Mama Leo yang selalu bisa menjawab setiap perkataannya.
Di kediaman orang tua Leo, Mireya terlihat sedang duduk di tepi kolam renang dengan kaki yang menyila bersama Kinanti yang kakinya dibiarkan berada dalam air.
"Aku gak pantas bahagia kan, Kin?" tanya Mireya sembari menatap air kolam renang.
"Jangan jadikan rasa bersalah itu membuat kamu gak bahagia, Mi. Justru seharusnya rasa bersalah itu kamu jadikan untuk membuat hidup kamu lebih baik. Kalau kamu akan hidup dengan baik dan bahagia. Rasa bersalah gak melulu kita gak boleh bahagia atau membenci diri ini. Hidup dengan baik itu juga salah satu bentuk dari menyiratkan rasa bersalah." Lalu, menoleh ke arah Mireya.
"Apa gakpapa?" Sembari menoleh ke arah Kinanti yang tersenyum hangat padanya.
"Gakpapa. Hidup dengan baik tanda kamu gak menyia-nyiakan dan melupakan rasa sakit yang harus dilalui Mama kamu." Mireya memeluk Kinanti.