Saat melewati gadis yang berjalan di tepi itu tanpa berniat berteduh karena memang seluruh tubuhnya sudah terlanjur basah, Leo melihat melalui kaca spion mobil yang sedikit samar-samar berkat hujan, namun Leo sangat yakin gadis itu adalah Mireya. Leo menghentikan mobil-nya, lalu mencari payung yang berhasil ia dapatkan.
Keluar dari dalam mobil, berjalan ke arah gadis yang benar-benar Mireya itu dengan payung kuning yang dipakainya. Sesampainya di hadapan Mireya, Leo menggeser payungnya hingga melindungi Mireya dari hujan. Leo pikir jika Mireya sedikit lebih lama lagi terkena hujan, Mireya bisa flu berat.
"Mireya," ucap Leo dengan tatapan khawatir.
Mireya yang tak menyangka akan bertemu Leo dalam keadaan seperti itu, tersenyum pahit. "Kamu gakpapa?" tanya Leo hanya untuk sekedar basa-basi. Leo tahu bahwa kekasihnya itu tidak baik-baik saja.
"Aku ...."
Payung kuning itu jatuh seperti itu saja berkat Leo yang dengan sigap menangkap tubuh Mireya. Mireya tidak sadarkan diri, dan Leo segera membawanya masuk ke dalam mobil. Tak lupa memasangkan sabuk pengaman, setelah itu mengambil payung dan duduk di kursi pengemudi. Leo mematikan ac yang semula hanya sedikit dingin.
Di tengah fokus mengemudinya, Leo sesekali menoleh ke arah Mireya dengan cemas. Mireya tidak juga tersadar. Alih alih membawa ke Rumah Sakit, Leo membawa Mireya ke Rumahnya. Saat tahu kondisi Mireya, Mama Leo ikut cemas.
Leo berdiri di dekat pintu Kamar tamu, bersandar pada dinding. Sementara Mireya sedang diganti pakaiannya oleh Mama Leo. Leo sangat tidak menyesal dengan keputusannya ingin menemui Mireya, justru Leo pikir ia akan menyesal jika tidak menemui Mireya.
Ceklek
Leo langsung berdiri di depan pintu di mana Mama-nya melangkah keluar. "Gimana, Ma?" tanya Leo.
"Kita pantau saja dulu. Tubuhnya masih terasa dingin karena kehujanan, nanti kalau sudah mulai panas kita bisa mengompresnya dan memberi obat," jelas Mama-nya yang berlalu dari hadapan Leo.
Leo melangkah masuk, membiarkan pintu terbuka. Mendudukkan diri di tepi ranjang, menghadap ke arah Mireya. "Pasti gak mudah membicarakan soal luka yang ada dalam diri kamu, karena mereka terlalu gak peduli soal itu," gumam Leo dengan nada pelan.
Mama Leo menghampiri Papa Leo yang duduk di sofa single, membaca suatu buku. Helaan nafas panjang pun terdengar dari Mama Leo. Papa Leo meletakkan buku di atas meja, lalu menatap istri-nya itu yang penuh kekhawatiran. "Gimana keadaan Mireya?" tanya Papa Leo.
"Masih harus dipantau. Takut demam sama flu," jawab Mama Leo.
"Ada apa? Sepertinya ada yang sangat mengganggu pikiran kamu."
"Mama gak tega Pa, melihat Mireya yang terus terluka seperti itu. Mama takut Mireya memiliki pemikiran ingin mengakhiri hidupnya seperti Audry."
"Terus Mama maunya gimana? Mama punya solusi?"
"Apa kita bawa Mireya tinggal di sini saja? Lagi pula orang tua-nya gak peduli." Nampak kekecewaan dan kekesalan di sana.
"Papa rasa kita perlu membicarakannya degan Leo dan Mireya. Karena tindakan yang kita ambil akan mempengaruhi hidup mereka," ucap Papa Leo yang terlihat tulus.
2 jam telah berlalu dan Mireya belum juga sadarkan diri. Leo masih setia terduduk di tempat yang sama dengan sebelumnya. Leo yang takut pun memeriksa denyut nadi Mireya yang terasa normal dan masih bernafas, tapi kenapa Mireya butuh waktu untuk bangun?
"Kalau di kasih minyak kayu putih, bisa cepat sadar kali ya?" tanya Leo pada diri sendiri.
Saat Leo hendak berdiri dapat ia lihat pergerakan pada kepala Mireya. Mengurungkan niat untuk pergi, memperhatikan baik-baik Mireya yang perlahan membuka matanya. Leo pun bisa bernafas lega.
"Kak ...." dengan nada suara lemah.
"Mau minum?"
Mireya menganggukan kepala pelan, dan Leo langsung pergi dari sana. Hal pertama saat sadar, Mireya kembali teringat setiap momen di Rumah-nya itu sebelum ia memutuskan keluar. Mireya rasa setiap luka yang ada selama ini, rasa bahagia yang tidak ada karena Mireya pantas mendapatkannya atas apa yang sudah ia lakukan pada mendiang Mama-nya.
Leo kembali dengan gelas berisi air putih hangat pada salah satu tangan. Menatap Mireya yang sedang melamun. Leo mendudukkan diri beriringan dengan Mireya yang bangun dari posisi tiduran. Leo serahkan gelas itu pada Mireya. Mireya meminumnya perlahan, dan hanya sedikit, setelahnya menaruh di atas nakas.
Melihat wajah Mireya yang lebih pucat dari sebelumnya membuat Leo sontak menyentuh dahi Mireya yang terasa panas. Leo pun cemas. "Kepala kamu pusing?" tanya Leo yang sedang mencoba menjadi kekasih yang baik.
"Iya, sedikit."
Sebelum Leo mengatakan sesuatu Mama-nya datang. Memeriksa keadaan Mireya dan langsung memberi perintah pada Leo untuk mengambil ice bag dan obat yang ada di rak yang penuh obat-obatan. Obat penurun demam yang bisa menghilangkan pusing juga.
Dengan langkah sedikit cepat Leo pergi dari sana. "Apa kamu merasa seperti flu?" tanya Mama Leo yang sudah duduk di tepi ranjang, menghadap ke arah Mireya.
"Gak, Ma."
"Saat Leo membawa kamu pulang dalam keadaan pakaian sudah basah gitu, Mama cemas, Mireya. Mama takut kalau terjadi hal lebih buruk dari itu sama kamu."
"Maaf ya, Ma. Aku sudah buat khawatir. Aku menyusahkan ya?" Saat memakai kata 'menyusahkan' Mireya pun teringat Mama-nya.
"Nggak kok, sayang. Kamu gak menyusahkan, kamu gak merepotkan sama sekali. Justru Mama takut gak bisa membantu kamu melalui setiap rasa sakit itu."
"Kenapa ya, Ma, Tuhan gak ambil aku saja? Kalau Tuhan ambil aku, Papa gak akan sesakit itu. Papa gak akan terus sedih kehilangan wanita yang ia cinta."
Mama Leo yang mendengar itu mata nya langsung berkaca-kaca dan dengan cepat menggelengkan kepala. "Nggak, sayang. Kamu gak boleh berpikiran kayak gitu. Justru kalau kamu yang pergi, Mama kamu akan sangat sedih. Seorang Ibu gak akan sanggup kehilangan anaknya. Luka kehilangan seorang anak berbeda dengan kehilangan orang tua." Mama Leo mulai takut jika Mireya berpikiran sama dengan Audry saat itu.
"Tapi, Papa gak akan benci aku." Setetes air mata pun jatuh, membuat Mama Leo yang melihat itu hatinya seperti teriris.
"Mungkin memang nggak, tapi pasti akan ada kesedihan yang bersarang di hatinya. Papa kamu gak mungkin bahagia, dan biasa saja. Dia mungkin akan menyalahkan dirinya karena gak bisa melindungi kamu."
Leo yang baru tiba, mendengar perkataan Mama-nya, ikut merasakan kesedihan Mireya. Leo berikan obat itu pada Mama-nya yang langsung meminta Mireya meminumya.
Setelah meminum obat dan sedang dikompres, Mireya tertidur. Leo dan Mama-nya yang berdiri memperhatikan baik-baik wajah Mireya. "Kamu harus jaga Mireya baik-baik," kata Mama-nya yang terdengar tulus dan tatapan mata penuh kasih.
"Aku janji akan membuatnya menjadi perempuan paling beruntung di dunia ini!" Dengan wajah serius. Leo sudah berada di ujung kesabaran melihat Mireya tersakiti seperti itu.