Selesai dengan ritual membersihkan badan di mana Leo terlihat lebih fresh dan tampan, anak laki-laki itu ke bawah, namun tak dilihatnya Mireya dan Mama-nya di Ruang Tamu. Ke mana mereka?
Leo ke arah Dapur, tidak ada. Hingga Leo mencoba ke belakang Rumah di mana terdapat Taman kecil di sana. Taman yang banyak tanaman dengan beberapa jenis dedaunan dan bunga. Nampak Mireya dan Mama-nya duduk di gazebo. Terkekeh bersama, entah mentertawakan apa.
"Mentertawakan apa sih?" tanya Leo yang sudah berada di tengah-tengah mereka dan sontak Mama-nya langsung menutup buku berukuran besar di mana sebuah album foto.
Mama-nya menatap ke arah lain, seperti seseorang yang tertangkap basah sedang melakukan tindakan yang tidak baik. "Aku sudah tahu apa yang Mama bagikan sama Mireya," ujar Leo sembari menatap Mama-nya yang menghindari tatapan Leo.
"Mumpung Mireya di sini Mama mau buat sesuatu dulu." Secepat kilat Mama-nya menghilang dari sana. Mireya tersenyum lebar, merasa lucu melihatnya.
Leo duduk di sebelah Mireya yang menatap lurus ke depan, menikmati udara sore. "Mama gak bicara aneh-aneh kan soal aku?" Sembari menatap Mireya dari samping.
"Soal betapa tampannya putrnya hingga memiliki banyak penggemar?" Lalu, menoleh ke arah Leo.
"Aku gak butuh banyak penggemar, aku cuma butuh 3 orang perempuan dalam hidup aku," ujar Leo dengan nada tegas.
"3 orang perempuan?"
"Mama, grandma, dan calon istri aku nanti."
Mireya tersenyum sembari kembali menatap ke arah sebelumnya tanpa berniat menanggapi ucapan Leo. Mireya hanya tidak ingin obrolan yang terlalu serius seperti itu. "Kalau boleh aku tahu ke depannya kamu mau seperti apa? Hidup mandiri? Memiliki pekerjaan yang bagus? Ingin bisa kelur negeri tiap bulan?"
"Aku belum pernah memikirkannya benar-benar, tapi satu yang aku yakini dari dulu, kalau aku mau hidup tanpa harus terluka lagi."
"Kamu bisa melakukannya sekarang, Mireya. Dengan mengatakan 'nggak' untuk setiap permintaan tolong. Gak semua hal harus kamu lakukan. Sesekali gak membantu itu bukan berarti kamu egois dan terlihat buruk, hanya saja kamu memberi istirahat untuk diri kamu." Selalu Leo sepeduli itu pada Mireya yang belum bisa melepas dirinya dari hal yang bahkan membuat Kinanti kesal itu.
"Sepertinya aku belum bisa melakukannya, tapi terima kasih sudah memberitahu aku hal apa yang baiknya aku lakukan." Sembari menatap Leo. Leo dan Kinanti itu lebih baik dari seseorang yang hanya diam walau melihat Mireya terluka, seperti itulah yang Mireya pikirkan.
Leo menatap lurus ke depan, menikmati udara sore. Begitu pun dengan Mireya yang rasanya pilihan yang tepat datang ke Rumah Leo. Dari pada ikut acara makan malam Cyntia, bukan kah hanya menambah luka?
Setelah lama terdiam, datang Mama Leo yang membuat suasana kembali hidup dengan seorang asisten rumah tangga yang sudah lanjut usia, tapi masih berenergi. Art itu taruh dua piring pisang goreng yang terlihat menggiurkan dan dua gelas jus mangga di antara Mireya dan Leo.
"Silakan di mana tuan dan putri," ucap Mama Leo dengan wajah dibuat serius lalu tersenyum lebar.
"Mama gak ikut makan?" tanya Mireya.
"Ada hal yang Mama harus kerjakan, jadi kamu bisa menghabiskannya bersama Leo." Lalu, tersenyum lagi. Melangkah pergi meninggalkan Leo dan Mireya.
Tanpa ragu karena sudah sedikit nyaman, Mireya ambil pisang itu yang masih panas. Perlahan memakan pisang yang masih mengepul dengan Leo yang memperhatikan. "Nanti lidah kamu bisa melepuh, Mire!"
"Aku kan makannya pelan-pelan." Sembari menatap Leo.
Tanpa mereka sadari dari kejauhan dari dalam Rumah ada Mama Leo yang memperhatikan dari jendela dengan si bibi yang ada di sampingnya. "Gadis itu mengingatkan saya pada seseorang. Seorang perempuan hebat," gumam Mama Leo.
"Kenapa kamu memilih mencalonkan diri jadi ketua osis pada saat itu? Memangnya kenapa kalau hanya jadi anggota?" tanya Leo sembari menatap Mireya.
"Karena menjadi ketua osis memiliki lebih banyak ruang. Bisa memerintah, contohnya?" Sembari menatap Leo. Lalu, mengigit kecil pisang goreng.
"Memerintah? Termaksud mereka jadi seenaknya minta bantuan kamu? Karena kamu terlalu baik jadi ketua."
Mireya tersenyum tipis. "Seburuk itu kah menjadi terlalu baik?"
"Bukannya buruk, mungkin bisa dibilang keren karena jarang sekali manusia yang seperti itu. Tapi, ada hal yang gak bagusnya juga karena terlalu baik bisa merugikan diri sendiri."
"Kamu pernah dirugikan karena baik sama seseorang?"
"Seingat aku, nggak. Memangnya kamu lupa citra aku gimana?"
"Dingin, gak mudah didekati."
Mireya mengambil satu pisang goreng lainnya, padahal di tangannya masih ada setengah pisang goreng sebelumnya. Ternyata Mireya memberikannya pada Leo. "Dari tadi Kakak gak makan-makan. Sudah gak panas loh."
Leo ambil pisang goreng itu, memakannya. "Kamu tahu gak kenapa Mama sewelcome itu sama kamu?" Mireya menggelengkan kepalanya.
"Karena Mama ingin sekali memiliki anak perempuan, dan sempat memiliki tapi kehilangan. Aku sempat merasakan selama beberapa bulan memiliki adik perempuan yang lucu, tapi Tuhan berkata lain. Setelahnya, Mama mencoba program hamil lagi tapi sampai hari ini belum berhasil," jelas Leo dengan wajah sendu.
Mireya pun jadi tahu akan satu hal bahwa pada dasarnya tidak ada manusia yang sempuran hidupnya. Setiap kehidupan memiliki ujian dan setiap manusia memiliki kekurangan masing-masing. Kamu selama ini tidak bahagia, bukan karena kamu pantas mendapatkannya, hanya saja hidup memang seperti itu, dan pastinya suatu hari nanti setiap rasa sakit itu akan hilang. Tak ada yang selamanya merasakan sakit, bukan?
"Kalau gitu aku mau jadi anaknya Mama," ucap asal Mireya.
"Berarti kamu jadi adik aku dong?"
"Iya, Kakak Leo," goda Mireya.
"Aku gak mau punya adik kamu!" Lalu, memakan habis pisang goreng.
"Loh, kenapa? Aku mudah diurusnya kok."
"Karena ...." karena kamu calon pendamping aku, Mire.
"Karena apa?"
"Aku gak suka punya adik yang keras kepala! Apa lagi terlalu baik sama orang."
"Ya sudah kalau gak mau." Mireya makan habis pisang goreng sebelumnya.
Waktu berjalan cukup cepat sampai dikit lagi jam 10 malam di mana Mireya harus pulang. "Apa gak mau nginap di sini saja?" tanya Mama Leo sembari menatap Mireya yang ada di sampingnya. Mereka tengah berkumpul di Ruang Tamu sembari nonton suatu acara di tv dengan Papa Leo yang telah hadir.
"Lain kali gimana, Ma?" Cara halus Mireya untuk menolak.
"Benar ya?" Dengan raut wajah meminta kejelasan Mireya. Bahwa ucapan Mireya bukan hanya omong kosong.
"Iya." Seraya tersenyum.
Mireya pakai ransel, lalu berdiri dari duduk. "Kalau gitu, Mireya pulang dulu Mama, Papa." Mireya pun diberi izin untuk memanggil Papa Leo dengan sebutan 'Papa'.
"Iya," ucap Mama Leo seraya tersenyum.
"Hati-hati bawa motornya, Le!" kata Papa Leo.
Malam ini pun berakhir dengan kenangan baru yang akan Mireya ingat selama hidupnya.