Mireya bahagia bahwa ada satu orang lain yang tahu hari ia dilahirkan selain Kinanti, namun rasanya terlalu berlebihan jika Mireya harus menerima hadiah yang terlihat mahal itu. "Kak, rasanya aku gak pantas menerimanya. Ini terlalu berharga," ucap Mireya yang mencoba untuk mencari kata-kata yang tepat agar tidak melukai hati Leo.
"Ini pantas untuk kamu yang selama ini mencoba melakukan yang terbaik untuk orang-orang di sekitar kamu," ujar Leo yang terlihat tulus.
"Aku gak melakukan apa, Kak. Sampai pantas mendapatkannya."
Leo ambil gelang dengan liontin kupu-kupu berwarna biru itu dari kotak, meraih salah satu tangan Mireya dengan lembut, memasangkannya di sana. Mireya masih tidak tahu harus menerimanya atau tidak. "Lihat! Sangat cocok di tangan kamu."
Mireya perhatikan gelang itu yang memang cocok di tangannya yang putih itu, seolah gelang itu memang ditakdirkan untuk berada di pergelangan tangan Mireya. Apa aku coba terus saja?
"Gak usah merasa terbebani, Mire. Kamu pantas mendapatkannya."
"Terima kasih, Kak." Mireya tersenyum.
Makanan mereka datang, dan mereka langsung menikmatinya. "Aku kira Kak Leo akan pesan nasi goreng seafood." Mireya mencoba bercanda.
"Sayangnya di sini gak ada." Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut.
"Kalau ada Kak Leo akan memesannya?"
Leo menggelengkan kepala. "Di hari spesial kamu, aku ingin coba makan yang lain."
Hari spesial? Mireya pikir 23 maret ini akan berakhir seperti hari biasanya atau mungkin hari yang cukup menyedihkan karena tidak ada perayaan apa-apa, tidak ada yang memberinya kejutan, namun takdir berkata lain. Tuhan mengirimkan sesosok Leo untuk membuat hari ini menjadi hari yang spesial. Hari yang Mireya pikir tidak akan ia lupakan.
"Kak Leo tahu? Sejak Mama aku meninggal gak ada lagi yang merayakan ulang tahun aku, bahkan gak ada yang ingat kecuali Kinanti," ucap Mireya dengan wajah sendu.
"Gakpapa, karena setelah ini aku akan mengingatnya."
Lagi-lagi Mireya tersenyum. Sepertinya hari ini ia lebih banyak tersenyum dari biasanya. Mireya masukkan sesendok makanan ke dalam mulut dengan wajah terharu, mata berkaca-kaca. Jika hari itu Mireya menolak Leo untuk menggantikan Rifki, mungkin momen seperti ini tidak akan pernah ada, bukan?
Drrrtt drrrtt drrrtt
Leo ambil handphone yang menampilkan panggilan video dari Mama-nya. Diterimanya panggilan itu. "Ada apa, Ma?" tanya Leo pada Mama-nya di seberang sana.
"Kok belum pulang juga, kamu di mana? Kok kayak di Restaurant. Wahh, parah sih. Makan di Restaurant gak ngajak-ngajak Mama."
Tiba-tiba Leo membalikan kamera depan ke kamera belakang. "Ohh, lagi sama Mireya."
Mireya yang mendengar namanya disebut sedikit terkejut. Kemudian, Leo menyodorkan handphone pada Mireya setelah sebelumnya sempat mengembalikan kamera ke kamera depan lagi. Mireya ragu, namun ia menerimanya. "Hai, Tan—Mama." Mireya pun memutuskan memanggil wanita itu "Mama" berkat Leo yang sudah memperlakukannya dengan sangat baik hari ini. Di mana rasanya mereka bukan lagi orang asing atau hanya saling mengenal.
"Lain kali Mama juga mau makan bareng Mireya, Mireya mau kan?"
"Iya."
Pelayan laki-laki datang membawa kue cokelat setelah selesai dengan makanan utama. "Kamu mau pasang lilinnya berapa?" tanya Leo yang sudah memegang kotak lilin.
"Terserah, Kak Leo."
"Lilin? Lilin untuk apa? Sebenarnya kalian lagi apa?"
Melihat wajah penasaran Mama-nya Leo, Mireya membalikan layar handphone ke arah Leo yang sedang memasang beberapa lilin di atas kue cokelat. "Mireya ulang tahun?"
"Iya, Ma."
"Selamat ulang tahun ya, cantik."
"Terima kasih, Ma."
"Seharusnya kamu bilang Leo! Jadi Mama bisa siapkan hadiah."
Leo menatap layar handphone. "Aku sudah melakukan semuanya." Lalu, mencoba menyalahkan korek gas.
Mireya kembali membalikan layar handphone ke arahnya. "Sekali lagi selamat ulang tahun, Mireya." Seraya tersenyum. Mireya tidak berkata, hanya tersenyum.
"Kalau gitu, Mama gak ganggu kalian lagi. Bye bye."
"Bye bye, Ma." Panggilan berakhir. Mireya taruh handphone di atas meja di hadapan Leo.
Mireya tatap kue cokelat serupa yang tadi malam dipegang Cyntia. Siapa sangka bahwa ia akan menerimanya juga? Bahwa hari spesial Mireya akan dirayakan seromantis itu. Rasa terharu Mireya semakin menjadi. "Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Mireya." Leo bernyanyi untuk Mireya yang memperhatikannya dengan sangat dalam.
Sebelum meniup lilin, Mireya make a wish. Setelahnya meniup lilin itu. "Apa yang kamu minta?" tanya Leo yang sebenarnya tidak terlalu penasaran.
"Aku akan memberitahunya kalau terkabul." Mireya tersenyum.
"Okay." Lalu, mereka berdua makan kue cokelat itu yang rasanya berbeda dari kue cokelat milik Cyntia, walau sama sama kue cokelat.
Drrrtt drrrtt drrrtt
Mireya keluarkan handphone dari dalam ransel di mana terdapat panggilan masuk dari Cyntia. "Hallo, Kak."
"Kamu pulang jam berapa? Soalnya aku mau pesan tempat untuk kita makan malam di luar merayakan ulang tahun aku. Kadang kan kamu pulang terlambat."
Haruskah Mireya membiarkan dirinya terluka lagi untuk hari ini setelah Leo mengobati luka itu?
"Maaf, aku gak bisa ikut. Aku pulang jam 10."
"Gitu, ya? Ya sudah, gakpapa."
"Mm." Panggilan berakhir dengan Mireya yang mematikannya lebih dahulu.
"Kamu akan pulang jam 10? Memangnya apa yang mau kamu lakukan?"
"Gak tahu. Mungkin singgah di Rumah Kinanti hanya untuk menghabiskan waktu. Aku gak mau pulang cepat." Terdapat kesedihan di sana dan Leo bisa melihatnya.
"Kamu sering ke Rumah Kinanti?"
"Iya, kenapa?"
"Gimana kalau kali ini kamu ke Rumah aku? Kamu bisa ngobrol banyak sama Mama, Mama pasti senang."
"Apa gak merepotkan?"
"Bagian mananya yang merepotkan, Mireya?"
Bukan kah tak ada salahnya mengiyakan? Bukan hal yang merugikan pula. Mireya pun mengikuti saran Leo yang hatinya tersenyum puas.
Setelah dari Restaurant, Leo langsung membawa pulang "calon pacar". Mireya melangkah masuk ke dalam Rumah yang besar itu, tak beda jauh dengan Rumah-nya, hanya saja Rumah Leo sedikit lebih besar.
"Sudah pulang anak Mama," ucap Mama-nya Leo sembari menuruni anak tangga tanpa menyadari kehadiran Mireya.
Sudah sampai di bawah, Mama-nya Leo terlihat senang saat mendapati bahwa ada Mireya juga. "Mireya," sapa Mama-nya Mireya sembari tersenyum lembut.
"Sini-sini." Sembari merentangkan kedua tangan, mengisyaratkan bahwa mereka perlu berpelukan.
Dengan senyum manis Mireya mendekati wanita itu, memeluknya. Mireya pun menemukan rasa yang telah lama hilang. Pelukan yang terasa hangat dan nyaman itu seperti milik Mama-nya.
Mama-nya Leo lepaskan pelukan. "Mama senang Leo bawa kamu."
"Aku juga senang bisa bertemu Mama lagi."
"Akan ada banyak hal yang akan kita bicarakan sepertinya." Mama-nya Leo tersenyum.
"Kalau gitu, aku serahkan Mireya sama Mama. Aku mau ke Kamar dulu." Leo berlalu dari sana. Namun, saat sudah di lantai 2 ia tidak langsung masuk ke dalam Kamar. Memperhatikan kedua wanita beda usia itu yang terlihat senang bisa bertemu.
Aku senang melihat senyum bahagia kamu...