MOBIL jeep milik Tara terparkir sembarangan di pinggir jalan raya. Di sisi kiri kanannya hutan gelap dengan pepohonannya yang lebat menyembunyikannya membuatnya tak terlihat. Beberapa puluh meter darinya, dua orang cowok tergesa berlari semakin menjauhi mobil memasuki hutan.
Bermodal lampu senter dari tablet yang Johni bawa. Leon berjalan beriringan sambil membawa senter telepon di tangannya. Mereka berjalan melewati bebatuan licin di tengah hutan.
“Apakah masih jauh? Aku sudah mulai lelah.” Keluh Leon. Johni hanya diam tak bergeming. Matanya fokus pada layar tablet yang menyinari wajahnya. Keringat yang memenuhi wajahnya bahkan tak dia hiraukan.
Tiba-tiba Johni terlihat berhenti berjalan tepat ketika Leon memutuskan untuk istirahat. Tampilannya yang selalu terlihat oke kini terlihat berantakan.
“Sinyal gps terakhir yang bisa aku terima dari jam tangan Naru berhenti di sekitar sini. Aku rasa kita sudah mulai dekat dengan keberadaannya.” Leon terkesiap dan langsung mengikuti langkah Johni. Dari kejauhan mereka melihat sebuah bangunan yang sudah tua. Terlihat berantakan dan gelap gulita.
Johni dan Leon saling pandang. Sebelum akhirnya mereka mengangguk bersamaan. Memutuskan untuk berjalan mendekat.
Cahaya lampu senter telepon milik Leon memperlihatkan sebuah pemandangan yang membuat Johni berhenti di dekatnya. Di lantai yang mereka pijak terlihat berceceran darah merah yang terlihat belum lama hilang. Sementara deguban jantung mereka kian berdetak cepat. Johni menemukan sesuatu yang membuat jantungnya ingin berhenti saat itu juga.
Leon terkejut melihat Johni yang jatuh terduduk di dekat ceceran darah. Ketika cahaya lampu senter teleponnya memperlihatkan apa yang membuat Johni terdiam. Kini Leon tahu penyebabnya.
“Bukankah itu jam tangan milik Naru? Kenapa bisa hancur seperti ini?” Pekik Leon tak percaya.
“Di sinilah sinyal gps jam tangan milik Naru menghilang.” Lirih Johni mengambil serpihan nam tangan yang masih bisa di pegang.
“Oh tidak! Jangan bilang kita datang terlambat?!” Tanya dan pekik Leon histeris. Johni menganggukkan kepala.
“Kita kehilangan jejaknya lagi.” Lirih Leon hendak melemparkan teleponnya. Namun dia urungkan.
*
Pukul sembilan malam. Eri terlihat membuka pintu Rumah Singgah. Dia berjalan keluar halaman. Berhenti di depan pohon Tabebuya. Memandangnya tanpa berkedip untuk waktu lama. Padahal baru saja kemarin dia melihat keindahan bunga merah mudahnya yang menawan hati jatuh berguguran menimpa kepalanya.
Kini bahkan pohon itu hampir tak memiliki bunga. Warna pohon dan rantingnya yang hitam terlihat menyatu dengan gelapnya malam itu. Walaupun ada rembulan yang bersinar di langit malam. Eri merasa kehilangan.
Dia ingat ucapan seseorang jika ingin melihat bunga-bunganya yang indah menawan itu lagi. Menunggu selama satu tahu adalah jalan satu-satunya. Eri menghela napas panjang. Bahkan seseorang itu kini sedang tak bersamanya. Diam-diam dia sedang menunggu kedatangannya.
Suara mengeong seekor kucing dengan bulu warna putih bersihnya membuat pikirannya terganggu. Dia melihat makhluk kecil itu mengusapkan bulu-bulunya di ujung roknya. Mencoba mencari perhatiannya. Eri mengambilnya. Mengelus lembut bulunya.
“Siapa namamu? Bahkan orang yang menemukanmu belum memberimu nama.” Bisik Eri bicara pada makluk kecil itu. Dia mengeong membalasnya.
“Siroi. Mulai sekarang namamu Siroi. Seperti warna bulumu yang putih bersih.” Kata Eri lagi tersenyum. Memeluk kucing itu dengan penuh kasih.
Momen itu tiba-tiba terganggu ketika dari kejauhan suara mobil Tara memasuki halaman Rumah Singgah. Suara mobilnya yang lumayan keras membuat Tara dan Dion keluar rumah. Mereka melihat Johni dan Leon yang berjalan lunglai keluar dari mobil.
Eri berjalan mendekat ke arah mereka yang bahkan baru beberapa detik menginjakkan kaki di tanah. Penampilan mereka terlihat kacau. Namun tak semengerikan Tara dan Dion sore tadi.
“Syukurlah kalian baik-baik saja.” Kata Eri setelah sekian lama terdiam.
“Ibu sudah menyiapkan makan malam untuk kalian. Setelah kalian membersihkan diri tentunya.” Lanjutnya terdengar seperti sedang menahan tangis.
Johni paham apa yang sedang dia rasakan. Seseorang yang mungkin sejak lama dia tunggu kehadirannya tidak ada bersama mereka.
Dari kejauhan Johni memandang satu per satu anggota Perfect Gank, Tara dan Dion yang berdiri tak jauh dari mereka. Seolah mengerti apa yang telah terjadi. Mereka tidak banyak bicara.
“Maafkan aku. Aku…” Johni berhenti bicara. Dia melihat tubuh Eri yang kini terlihat gemetar. Sepertinya dia hendak menangis. Atau sebelumnya dia telah menangis? Batin Johni menerka.
“Kami telah berusaha keras menemukannya. Tapi nihil. Keberadaan Naru yang dinyatakan hilang tanpa jejak adalah fakta yang harus kita terima saat ini.” Lirih Leon menjelaskan. Memperlihatkan jam tangan mahal milik Naru yang kini telah hancur. Membantu Johni yang sepertinya tak bisa memberitahu.
Mendengar sesuatu yang buruk dalam satu hari berturut-turut tanpa jeda. Mengetahui jika ketidakpastian yang dia hindari terjadi memenuhi pikirannya. Eri berusaha menahan deguban jantungnya yang semakin berdetak tak karuan. Menahan berita yang tak mau dia dengar.
Eri tak kuat lagi. Dia jatuh terduduk di atas tanah. Membuat kucing yang sejak tadi berada di tangannya berlari menjauh. Dia menyentuh dadanya yang tiba-tiba terasa sakit.
Baginya menunggu adalah hal yang menyakitkan. Namun mendengar kabar buruk lebih terasa menyakitkan lagi. Bahkan dia belum mendengar cerita seutuhnya. Eri tergugu menangis sejadi-jadinya. Tak menghiraukan tatapan pilu dari anggota Perfect Gank yang telah kehilangan ketua mereka.
Seandainya mereka juga bisa menangis sepertinya. Namun, Perfect Gank ingat dengan peraturan yang pernah mereka buat. Jika mereka tak boleh memperlihatkan kelemahan didepan seorang gadis. Apalagi menangis. Peraturan yang pernah mereka buat dan sepakati bersama dengan ketua Perfect Gank, Naru.