RUANG tamu Rumah Singgah terlihat hening. Leon dan Eri memandang Johni dengan perasaan tegang. Sementara Ibu Eri sibuk bermain dengan kucing Naru di halaman. Membiarkan wanita paruh baya itu tidak mengetahui situasi genting yang sedang mereka alami.
“Berengsek!” Pekik Johni hampir saja melempar tablet kesayangannya. Namun dia urungka ketika melihat kedua mata Eri yang memandangnya dengan tajam.
“Eh, maksudku. Astaghfirullahhal'adzim!” Lanjut Johni mengusap wajahnya yang terasa bias.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” Tanya Eri terdengar khawatir. Begitu pun dengan Leon yang masih menunggu.
“Aku tak tahu apa yang terjadi setelah Naru memutuskan panggilan di jam tangannya. Naru memilih untuk tidak menunggu Tara dan Dion sampai datang. Dia langsung masuk ke dalam tempat tinggal Reza sendiri dan… dan…”
“Ayolah Johni! Jangan seperti tokoh dalam sinetron yang rasanya kesal menunggu ucapan yang lama tak selesai!” Leon mengeluh melihat Johni terkesan berbelit dalam memberitahu informasi. Johni menelan ludah.
“Aku tak bisa memastikan ini benar atau tidak. Tapi sepertinya dia bertemu dengan Tori di sana.” Johni terlihat sibuk dengan tabletnya lagi. Eri dan Leon saling pandang tak mengerti.
“Bagaimana dengan Tara dan Dion? Apakah mereka bisa di hubungi?” Tanya Leon mendekat. Johni tak bergeming.
“Nihil. Mereka sama sekali tak membawa alat komunikasi. Ceroboh sekali. Bagaimana aku bisa menghubungi mereka kalau begitu!” Keluh Johni.
“Kalau begitu, bagaimana dengan rekaman yang tersambung dengan jam tangan Naru? Bukankah kita bisa mengetahui semua percakapannya lewat benda itu yang terhubung dengan tabletmu?” Tanya Eri yang langsung Johni lakukan tanpa banyak bertanya. Leon dan Eri menunggu dengan perasaan tegang.
“Baiklah. Ini adalah kemampuan terbaik yang bisa aku lakukan. Aku harap kita bisa segera mengetahuinya.” Seru Johni meletakan tabletnya di atas meja. Membiarkan Leon dan Eri mendengarkan bersama.
Beberapa menit terasa berjalan begitu lama. Ketika mereka bertiga hanya saling pandang dan terdiam saat mendengar hasil rekaman suara dari tablet Johni berhenti.
Sesaat kemudian Eri jatuh terduduk di lantai. Jantungnya berdegub kencang bahkan melebihi ketika dia mendengar kabar tentang kematian Ayah angkatnya.
Johni dan Leon terlihat panik. Bimbang apa yang harus di lakukan selain mengusap peluh yang tiba-tiba memenui dahi mereka masing-masing. Jantung mereka juga tak berhenti berdebar kencang. Semua kejadian secara detail telah mereka ketahui walaupun hanya melalui rekaman.
“Bagaimana bisa Tori bisa melakukan hal segila itu? Bukankah ucapan Dion benar jika dia adalah seorang psikopat gila?!” Kata Leon terlihat kesal. Sesekali dia meremas rambutnya. Momen langka yang terlihat oleh Leon yang sangat menyukai kerapian.
“Tidak ada yang tahu setelah kedatangan Tara dan Dion di tempat itu. Kita hanya bisa mendengar suara ribut orang-orang berkelahi. Jika itu benar, Naru pasti ada diantara mereka. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, kenapa setelah itu rekamannya mati? Apakah dia sengaja mematikannya? Atau-”
“Johni... Bukankah jam tangan Naru memliki gps? Apakah kau bisa melacaknya?” Potong Eri membuat Johni baru sadar. Dia langsung melakukan apa yang Eri katakan.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Siapa yang menyangka jika melacak keberadaan Naru melalui gps di tangannya membutuhkan waktu selama itu.
Braakkk! Tiba-tiba suara pintu terbuka keras. Ibu Eri terlihat gelisah sambil membawa kucing di tangannya. Leon, Johni dan Eri baru tahu jika wajah gelisahnya itu karena melihat Tara dan Dion yang telah kembali. Penampilannya seperti zombie di film-film. Baju mereka sobek dan penuh bercak darah.
“Apa yang terjadi dengan kalian? Dimana Naru?” Tanya Leon menghampiri mereka. Tara langsung terduduk di sofa. Sementara Dion tergeletak di lantai. Mereka terlihat kelelahan.
“Masalahnya semakin rumit. Aku tak tahu harus mulai menjelaskannya darimana.” Lirih Tara berusaha memberitahu. Ibu Eri yang sigap telah membawa dua gelas air putih. Memberikannya pada Tara dan Dion yang langsung menghabiskannya tanpa sisa.
“Kami sudah tahu semua. Jadi ceritakan saja apakah kalian tahu dimana keberadaan Naru setelah perkelahian itu.” Tara dan Dion memandang Johni dengan saling tatap.
“Maafkan kami. Kami sibuk melawan teman-teman Tori ketika hendak menyelematkan Naru yang tertusuk pisau oleh Tori. Situasi semakin kacau ketika kami kuwalahan melawan teman-teman Tori yang menggila. Mereka membawa benda tajam berbagai bentuk.
Lihat, Dion yang kita kenal sebagai anggota Perfect Gank yang pandai berkelahi saja sampai terluka karena goresan celurit. Walaupun kami bisa bertahan sampai polisi datang. Namun, kami tak tahu jika Naru telah menghilang...”
Ibu Eri telah membawa sekotak P3K dan semangkok air hangat. Dari belakang Eri terlihat membawa kain dan handuk bersih. Eri hanya bisa terdiam ketika mengobati luka mereka. Hening. Keheningan itu terjadi selama beberapa saat. Ketika Johni tiba-tiba berdiri dari duduknya.
“Ketemu! Aku menemukan keberadaan Naru!” Pekik Johni membuat semua orang terkesiap. Terutama Eri yang langsung berdiri.
“Ayo kita pergi kesana. Tidak. Kita harus memberitahu ini pada orang tuanya. Mereka pasti sangat khawatir.” Seru Eri membuat Johni melepaskan kacamatanya. Wajahnya terlihat lelah.
“Aku tak tahu sejauh mana ilmu dan pengetahuan yang kau miliki tentang agama Islam. Sehingga kau begitu percaya diri mengatakan hal ini. Datang dan menemui orang tua Naru? Memberitahu keberadaannya? Apa kau masih waras?” Semua orang melihat Johni tak mengerti. Lebih tepatnya bertanya kenapa.
“Apa kau tahu kenapa Naru susah payah mengumpulkan kita semua untuk tetap berada di Rumah Singgah ini? Dia menyuruh kami untuk membawamu dan Ibumu agar tidak ada orang yang bisa menyakiti kalian. Menyakiti kita semua.
Bukankah Naru sudah memberitahu bagaimana sikap keras kepala Ayahnya. Begitu kejam mengurung dan membuat anaknya sendiri menjadi buronan dan hadiah?
Apalagi tahu jika anaknya belajar agama Islam darimu. Lalu tiba-tiba kau datang dan memberi ceramah pada orang tuanya dengan tiba-tiba. Apa kau mau bunuh diri!?” Pekik Johni membuat Eri mundur beberapa langkah.
Semua mata melihat ke arah Johni yang terlihat marah dan juga khawatir. Eri terlihat menunduk dalam.
“Katakan padaku jika pilihan ini adalah yang terbaik. Kita akan segera pergi dan mencari Naru. Atau datang ke rumah orang tuanya. Menunggu masa depan yang sudah kita tahu akan bagaimana nasib kita selanjutnya.” Semua orang terdiam. Termasuk Ibu Eri yang hanya bisa merangkul lembut tubuhnya. Tak mengerti apa yang sedang terjadi pada mereka.
“Baiklah... Aku tak mau membuat semua orang khawatir lagi. Membuat semua usaha Naru sia-sia. Aku serahkan semuanya padamu. Maaf jika aku hanya bisa mendoakan keselamatan kalian. Keselamatannya.” Lirih akhirnya Eri menjawab. Johni memakai kacamatanya lagi. Mengangguk.
“Itu sudah lebih baik.” Balasnya seraya memandang Leon. Dia mengangguk kuat.
“Tara dan Dion. Kalian masih terluka. Aku ingin kalian tetap di sini. Istirahat sembari menjaga Eri serta Ibunya. Kami akan segera kembali.” Seru Johni memberi perintah. Mereka mengangguk kompak.
Senja datang tanpa di undang. Sinar oranye dan kuningnya mewarnai kepergian Johni dan Leon. Mengendarai mobil Tara meninggalkan halaman Rumah Singgah. Meninggalkan setitik air mata yang tanpa Eri sadari tumpah menghiasi pipinya.