NARU sampai di sebuah rumah kosong yang berada di pinggir jalan raya. Suasananya terlihat sepi. Selain hari yang masih siang. Mungkin saja Reza dan teman-temannya masih istirahat di dalam. Batin Naru menerka.
Sebuah lapangan dengan rumah-rumah kosong di belakangnya terlihat lengang ketika Naru memarkirkan motor di sembarang tempat. Naru sesekali menoleh ke belakang. Menunggu mobil yang Tara dan Dion kemudikan tidak juga sampai. Sepertinya dia terlalu cepat hingga mereka kehilangannya.
Naru memencet sebuah tombol di jam tangannya.
“Johni. Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Tara dan Dion mungkin saja akan sampai sebentar lagi. Tapi aku harus masuk sekarang. Memastikan Reza dan yang lainnya baik-baik saja.” Kata Naru seraya berjalan masuk.
“Jangan! Kita tidak tahu apa yang sedang Reza dan yang lainnya lakukan. Jelaskan kondisinya padaku sekarang?” Seru suara Johni di seberang.
“Suasananya lengang. Sepi sekali. Aku tak tahu jika ini adalah kebiasaan mereka di siang hari. Tapi, ada banyak sekali motor terparkir dimana-mana. Selain itu…”
“Ada apa!?” Tanya Johni yang tak Naru hiraukan.
Naru berhenti tepat ketika dia memasuki bagian lain rumah kosong itu. Rumah yang terbuat dari dinding-dinding yang sudah rapuh. Namun dengan keahlian Reza dan teman-temannya kini rumah itu terlihat rapi dan layak huni dengan cat berbagai seni grafity untuk menarik perhatian. Menandakan bahwa tempat itu adalah milik para geng motor jalanan.
Naru merasakan aura negatif ketika dia memutuskan untuk melangkahkan kakinya memasuki ruangan gelap tak berpintu seraya berteriak memanggil nama Reza.
“Reza? Apakah kalian ada di dalam? Jawablah dan jangan mengagetkanku dengan cara seperti ini!” Teriak Naru lagi.
“Naru! Berhenti! Tunggu Tara dan Doni sampai di sana!” Seru Johni lagi.
“Baiklah Johni. Mungkin kau benar. Aku akan kembali saja dan-”
Brugth! Tubuh Naru terdorong oleh sesuatu. Dia jatuh ke lantai dan masuk ke dalam ruangan gelap itu seraya mengeluh pelan.
Disaat yang bersamaan lampu-lampu di ruangan itu menyala. Barulah sekarang Naru bisa melihat begitu banyak orang ada di ruangan itu. Orang-orang yang sedang menyandera Reza dan kawan-kawan geng motor lainnya.
“Selamat datang, Tuan Aru!” Sapa seseorang membuat Naru menolehkan wajahnya ke sumber suara. Tori berjalan mendekat ke arahnya sembari bertepuk tangan.
“Akhirnya kau datang juga.” Serunya lagi. Naru menelan ludah.
“Tori!” Pekiknya berdiri memperbaiki posisi.
“Mereka menyandera Reza. Hubungi polisi segera jika tidak ada kabar dariku selama satu jam ke depan. Aku mengandalkanmu Johni.” Lirih Naru menekan tombol di jam tangannya. Mematikan suara Johni yang kini telah menghilang. Menggantinya dengan mode rekam otomatis.
“Aku tak tahu kau sedang bicara dengan siapa. Tapi yang jelas kau telah datang. Aku sudah menunggu sejak lama. Mereka menunggumu.” Seru Tori berjalan lebih dekat. Naru masih diam. Dia tak menyangka jika telepon dari Reza adalah Tori yang berada di bali semuanya.
Naru sama sekali tidak mengira jika Tori akan melakukan hal itu pada Reza dan teman-teman geng motornya. Dia tak sempat memikirkannya sejauh itu.
“Dari raut wajahmu. Aku tahu kau menyimpan tanda tanya besar mengapa aku bisa menemukan tempat ini. Tempat yang selama ini kau habiskan waktu setelah bersama dengan Perfect Gank yang bodoh itu.
Aku juga tak menyangka bisa menemukan tempat ini dengan mudah. Ternyata namamu sudah di kenal banyak orang di kalangan geng motor jalanan. Dasar. Status idola sekolah pun masih kurang. Raja geng motor jalanan pun juga kau rebut.” Tori mulai mengoceh tak jelas.
Naru tak mempedulikan ucapannya. Dia lebih memperhatikan setiap orang yang ada di ruangan itu. Reza dan teman-temannya yang lain diam tak bisa berkutik ketika kawan-kawan tori bersama dengan baju anehnya memegang senjata tajam di leher mereka masing-masing.
Beberapa batang kayu, pisau, hingga celurit dan rantai mereka bawa. Sisi lain Tori yang tidak pernah Naru pikirkan sama sekali.
“Kenapa kau melakukan ini pada mereka? Bukankah kau hanya menginginkan hadiah 10 miliar dari Ayahku?” Tanya Naru setelah sekian lama.
“Hahaha! Awalnya aku memang tertarik dengan hadiah sebanyak itu hanya demi menemukan seorang pangeran yang hilang. Tapi sepertinya itu tidak seru. Sebuah ide muncul tiba-tiba ketika aku mendapatkan sebuah nomor dari seseorang yang memberitahuku tentang tempat ini.
Sebuah rencana yang akan semakin seru jika kau ikut bersamaku. Ya. Aku akan menerima hadiahnya. Tapi mungkin sedikit lebih banyak dari hadiah yang Ayahmu tawarkan. Satu triliun mungkin lebih pantas untuk mengembalikan pewaris tunggal kekayaannya.” Kata Tori enteng. Seenteng ketika dia memainkan pisau lipat di tangannya.
“Jadi, kau tinggal memintanya sesuai dengan keinginanmu. Lalu lepaskan mereka dan juga aku. Semua masalah selesai kan?” Balas Naru memegang pelipisnya yang tak pusing.
“Apa kau tuli? Bukankah sudah aku bilang kalau kau harus ikut denganku? Aku akan menculikmu!” Teriak Tori tiba-tiba menendang tubuh Naru hingga tersungkur kembali ke lantai.
Ia berjalan memutari Naru, seakan ia adalah terdakwa yang sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi.
“Kau sudah gila. Kau memang gila Tori!” Teriak Naru seraya berdiri. Berjalan menerjang tubuh Tori hingga jatuh ke lantai. Kini Naru dengan cepat merebut posisi. Tubuh Tori tak bisa bergerak. Namun, Tori justru terlihat diam saja. Dia hanya terkekeh menahan tawa. Naru tak mengerti.
“Apa kau tega menyakitiku? Jadi kau juga tega membuat mereka semua terluka? Apa kau tak lihat bagaimana ekspresi teman-temanmu yang lemah itu? Mereka terlihat sangat ketakutan. Aku tak tahu jika salah satu diantara mereka mungkin ada yang sudah kencing di celana.” Seru Tori tertawa terbahak. Begitu pun dengan kawan-kawannya yang mengikutinya. Tertawa tak berdosa.
“Jadi, kau pilih yang mana? Kita bisa menyelesaikan ini lebih cepat jika kau menurut padaku.” Kata Tori tersenyum menyeringai walau tubuh Naru menindih tubuhnya. Naru memandangnya dengan penuh kebencian.
Dengan kesal Naru berdiri. Dia mengepalkan kedua tangan kuat. Tori terlihat senang dengan apa yang Naru perbuat.
“Mata hatimu sudah buta. Pikiramu sudah gelap dan mati. Kau tak lebih dari manusia congkak dan egois. Bahkan julukan iblis tidak pantas kau sandang.
Orang pecundang sepertimu yang hanya bisa merusak kehidupan orang lain. Manusia sepertimu tak lebih dari seorang pengemis. Tidak, kau bahkan tidak pantas di panggi gelandangan karena tak memiliki hati nurani. Kau tak lebih dari seorang sampah!” Teriak Naru sengaja membuat urat wajah Tori menegang. Kini dia kehilangan tawanya. Perlahan warna merah merubah raut wajahnya yang terlihat marah. Naru tak mau berhenti. Dia terus bicara mencoba membuatnya sadar.
“Apa kau tahu? Bahkan jika kau adalah seorang muslim dan beragama Islam. Kau tak pantas dan sesuai dengan yang di ajarkan agama. Apa kau lupa bahwa kau seorang muslim? Apa kau sadar dengan perbuatanmu ini? Islam mengajarkan bahwa-”
“Jangan sok tahu! Apa yang kau tahu tentang agamaku, hah? Kau yang tak memiliki agama! Apakah pantas berkata tentang agama Islam di depanku!?” Potong Tori terdengar marah. Dia melangkah maju.
“Orang sepertimu tidak tahu apa-apa tentang agamaku, agama Islam. Jadi diamlah atau-”
“Atau kami akan memanggil polisi sekarang juga!?” Potong seseorang berteriak nyaring. Dari belakang Naru melihat Tara dan Dion terlihat terengah-engah. Naru tersenyum lega melihat kedatangan mereka.
Sedangkan Reza dan teman-temannya juga terlihat lega. Bantuan telah tiba. Kepala mereka tidak akan putus oleh benda menakutkan yang Tori dan kawan-kawannya bawa.
“Baiklah... Situasi sepertinya berbalik. Apakah kau masih mau menculikku?” Tanya Naru percaya diri. Tara dan Dion yang mendengarnya terlihat terkejut. Tori terkekeh mendengarnya. Bahkan dia terlihat tertawa terbahak-bahak. Kini dia justru terlihat seperti seorang psikopat di matanya.
Brught! Tiba-tiba tubuh Naru tersungkur ke lantai. Dia merasa lemas. Tanpa sadar dia memegang perutnya. Sebuah pisau lipat telah tertancap di sana. Tara dan Dion berteriak kompak. Begitupun dengan Reza yang panik melihat kejadian itu. Tidak ada yang menyangka jika dengan cepat Toeu menusukkan pisau lipatnya ke perut Naru.
Tanpa di komando, Reza dan teman-temannya dengan cepat mendorong dan menghajar teman-teman Tori. Situasi mulai kacau. Tara dan Dion tertahan dengan kehadiran kawan-kawan Tori yang menghadangnya.
Tidak ada yang menyangka jika Naru perlahan berdiri. Dengan berteriak lantang dia menghantamkan tendangan terbaiknya ke arah Tori. Membuat tubuhnya tersungkur ke lantai. Bibirnya mengeluarkan darah segar. Tori mengeryit menahan sakit. Naru terlihat puas walaupun rasa sakit mulai menjalar di perutnya.
Perkelahian tidak dapat dihindari. Ketika semua orang sedang sibuk berkelahi mempertahankan diri. Naru menggunakan kesempatan itu untuk mengalahkan Tori. Namun siapa yang menyangka. Sebuah sirine polisi terdengar dari kejauhan. Wajah Tori terlihat panik. Ketika kepanikan itu menyelimuti Tori dan kawan-kawannya.
Tanpa di duga, dari arah yang tak disangka-sangka. Dari arah belakang yang hilang dari pandangan Naru, seseorang memukul kepalanya menggunakan botol kaca. Serpihannya terlihat berhamburan. Tubuh Naru tak kuasa menahan. Dia jatuh tersungkur ke lantai dengan darah yang kini menghiasi kepalanya. Pingsan.
Situasi terlihat semakin kacau. Jumlah Tori dan kawan-kawannya memang terlihat lebih banyak. Sehingga Reza dan teman-temannya pun kesulitan melawan. Apalagi Tara dan Dion yang mengalami luka di sekujur tubuh. Sibuk dengan pertahanan mereka yang mulai goyah. Tidak melihat Naru yang telah diam-diam dibawa pergi oleh Tori dan beberapa kawannya meninggalkan rumah kosong.
Suara sirine mobil polisi semakin mendekat ke rumah kosong itu. Namun, entah kenapa teman-teman Tori tidak terlihat akan menyerah atau pergi. Mereka justru tetap bertahan dan melawan. Hingga kedatangan beberapa polisi dengan suara pistolnya yang memekakan telinga terdengar. Semua orang berhenti berkelahi.
“Kalian semua berhenti!” Tara dan Dion langsung jatuh terduduk. Mereka terlihat babak belur walaupun masih memiliki kesadaran. Reza dan teman-temannya pun terlihat lega. Beberapa dari mereka terlihat menangis. Sementara kawan-kawan Tori terlihat melarikan diri kocar-kacir menghindari kejaran polisi.
Tara yang masih memiliki sisa tenaga beranjak berdiri. Berjalan mendekat melihat ke sekelilingnya. Berharap menemukan sosok yang dia cari.
“Naru! Dimana dia!? Dimana Naru!?” Teriak Tara seperti orang kesetanan. Dia semakin gelisah melihat ke setiap orang yang ada di ruangan itu. Bahkan melihat mereka satu per satu dari dekat. Nihil.
Melihat hal itu. Reza berdiri dan ikut mencari. Memerintahkan semua teman-temannya yang masih memiliki tenaga untuk mencari keberadaan Naru.
“Kalian semua diam di tempat! Tidak ada yang boleh bergerak sampai-” Seorang polisi berhenti berteriak ketika melihat Dion yang berjalan ke arahnya dengan wajah menakutkan.
“Temanku hilang! Sahabatku menghilang! Apakah ini waktunya hanya untuk berdiam diri!? Tidak hanya di sinetron saja. Kenapa kalian selalu datang terlambat dalam keadaan penting seperti ini sih?!” Teriak Dion mencengkeram kerah baju polisi itu dengan marah.
Reza terlihat sedih. Dia terduduk bersujud menahan tangis. Sementara Tara yang melihat hal itu hanya bisa pasrah. Dia memandang kosong darah dengan serpihan kaca botol di atas lantai seraya berkata lirih..
“Naru, dimana kau sekarang?”