MALAM itu Naru meninggalkan Rumah Singgah. Meninggalkan Perfect Gank dengan tatapan haru mereka melihat kepergian ketua mereka setelah bersyahadat. Melihat kepergian mobil mewah berwarna krem putih yang berkilau terterpa sinar bulan.
“Aku tak menyangka jika mendengarkan orang bersyahadat untuk pertama kalinya terasa sangat mengharukan.” Lirih Dion mengusap ujung matanya yang tak basah.
“Maksudmu kau baru pertama kali bersyahadat bersamanya tadi?” Balas Leon yang langsung dibalas Dion dengan cubitan. Leon mengeluh dan membalasnya. Dion berlari mengejarnya masuk ke dalam rumah.
“Dia mengatakannya tanpa terbata sama sekali. Aku mendengarnya seolah tidak ada keraguan dari suaranya. Darimana Naru belajar membaca syahadat dengan lancar seperti tadi? Apakah kau yang mengajarkannya Johni?” Tanya Tara masih berdiri di pintu. Di sampingnya Johni menggeleng kuat.
“Aku tak pernah mengajarkannya. Mungkin dia telah mempelajarinya sendiri. Atau seseorang diam-diam mengajarkannya tanpa sepengetahuan kita. Bukankah ketua kita memang penuh kejutan? Bahkan terhitung hari ini entah berapa kejutan yang telah dia perlihatkan.” Jawab Johni yang di balas senyuman oleh Tara.
*
“Tuan Naru sepertinya sangat senang malam ini.” Seru Pak Yus membuka percakapan. Dia melihat dari spion dalam mobil. Melihat Naru yang tak hentinya menyunggingkan senyum melihat ke luar jendela. Wajahnya terlihat sumringah.
“Benarkah?” Balas Naru singkat.
“Sepertinya bukan hanya Nona Eri saja yang terlihat senang. Ternyata Tuan Naru juga rupanya.” Seru Pak Yus lagi terdengar sengaja memancing perhatian tuannya. Naru langsung tertarik. Bahkan kini dia berpindah tempat duduk lebih dekat pada kursi Pak Yus.
“Ya. Nona Eri juga terlihat senang saat saya mengantarnya pulang tadi. Wajahnya tidak berhenti tersenyum. Apalagi ketika Saya berterima kasih padanya karena telah mau meluangkan waktunya untuk mengajar Tuan dan teman-teman.”
“Apalagi yang dia katakan?” Tanya Naru antusias.
“Tidak banyak. Nona Eri hanya membalas Saya dengan ucapan terima kasih juga. Dia juga bersyukur bisa membantu orang lain. Apalagi mempelajari agama Islam. Bertemu dengan orang-orang yang baru pertama kali dia temui. Hidupnya menjadi berwarna kembali setelah dia merasa dunia menjauhinya karena harus kehilangan Ayah untuk selamanya.”
“Apakah dia mengatakan sesuatu lagi?”
“Ya. Nona Eri sekarang juga sudah ikhlas melepas kepergian Ayahnya. Walaupun keadilan tidak memihaknya. Dia tidak dendam dengan pihak perusahaan tempat Ayahnya berkerja. Nona Eri berpikir jika semua yang hidup pasti mati. Semua yang hidup adalah pemilik-Nya, tiada Tuhan selain Allah. Maka, jika yang hidup harus mati. Dia akan hidup kembali kepada pemilik-Nya.”
Naru tertegun mendengarnya. Wajahnya terlihat berubah.
“Nona Eri juga bersyukur telah mengenal Tuan Naru dan teman-teman. Baginya kalian kini adalah keluarganya. Yah, walaupun pertemuan pertama kalian tidaklah baik.” Lanjut Pak Yus lagi. Naru tersenyum kecil.
“Apakah dia mengatakan sesuatu mengenai perusahaan tempat mendiang Ayahnya meninggal?” Tanya Naru membuat Pak Yus tak mengerti.
“Saya tidak tahu kalau diam-diam Nona Eri sempat menyinggung soal lambang bunga matahari yang ada di setiap gerbang. Jika saya benar, mungkin Nona tahu sesuatu. Atau Tuan bisa menanyakkannya langsung padanya. Atau kepada orang tua Tuan yang paham betul tentang perusahaan di seluruh negeri ini.” Naru hanya diam tak menjawab. Bagaimanapun juga orang tuanya tidak akan bertemu dengannya dalam waktu yang lama. Bukankah mereka hanya pulang ketika ada kejadian penting saja? Batin Naru.
Pak Yus memarkirkan mobil yang dia kendarai memasuki tempat parkir. Naru langsung keluar dari mobil. Seseorang yang sudah tak asing lagi di matanya berjalan tergesa menghampiri. Wajahnya nampak gelisah.
“Tuan Naru. Akhirnya Anda pulang juga.”
“Ada apa Bejo? Kenapa kau terlihat gelisah begitu?” Tanya Naru memandang salah satu bodyguard setianya khawatir.
“Tuan dan Nyonya ada di rumah. Mereka sedang bersama dengan Nona Memei. Mereka semua telah tahu.” Satu kalimat. Satu tarikan napas. Naru mendengarnya dengan mata terbelalak. Bejo terlihat memegang alat dari dalam sakunya yang berkedip beberapa kali. Dia memencet tombolnya. Mendekatkan ke telinga.
“Semua orang sudah menunggu Tuan Naru di ruang tengah.” Bejo memberitahu. Naru sudah menduga. Dia langsung berjalan cepat masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar.
Ruangan tengah itu terasa lengang. Suasananya terasa mencekam ketika Naru sampai di sana. Melihat tatapan orang-orang yang telah menunggunya sejak lama. Ayahnya terlihat sedang duduk di sofa dengan cerutu mahalnya. Menghembuskan beberapa kali asap rokok import dengan santai.
Sementara Ibunya sedang berbicara dengan seorang gadis berpakaian serba mencolok. Rambutnya berwarna merah marun tergerai sebahu. Melambai menutupi sebagian bajunya yang seksi dan terbuka. Sepatu jingle berwarna senada dengan bajunya yang hitam juga terlihat menghiasi tubuhnya yang semampai.
Melihat kedatangannya. Semua orang langsung menghentikan aktivitas mereka. Naru tak peduli dan melewati mereka begitu saja. Berjalan ke arah lift tanpa berkata. Sebelum akhirnya sebuah suara membuatnya berhenti tepat sebelum bunyi lift terbuka.
“Dasar anak kurang ajar! Apakah ini sikapmu ketika melihat orang tuamu ada di rumah?!” Teriak Ayahnya berhenti menghirup asap. Dia berdiri dari sofa. Mengambil sesuatu dari atas meja. Memperlihatkannya di hadapan Naru.
“Bukankah itu? Kenapa Ayah bisa memilikinya? Naru sudah menyimpannya dengan aman di kamar!” Pekik Naru terkejut melihat surat perjanjian yang ada di tangan Ayahnya.
“Jika kau masih menginginkan surat perjanjian ini. Jelaskan apa yang telah terjadi di rumah ini ketika orang tuamu tidak ada. Ketika tunanganmu datang untuk melihatmu tapi justru kau mengusirnya. Membiarkannya menangis sendiri. Sedangkan kau pergi begitu saja!
Lalu, ada banyak mobil yang menghilang dari garasi koleksi. Apa yang sebenarnya terjadi?!” Ayahnya terlihat bermuka merah seakan sedang memendam amarah yang mungkin akan ia tumpahkan tak lama lagi. Sementara ibunya beranjak dari duduk. Mendekati sang Ayah dengan memegang erat lengannya. Menahannya untuk tetap bersabar.
“Apa kau tahu bagaimana kami buru-buru pulang setelah mendengar Memei yang menelepon dengan menangis karena perbuatanmu? Ayah sangat kecewa denganmu Aru!” Ayahnya meremas surat perjanjian itu.
“Apa yang Ayah lakukan pada surat itu?!” Teriak Naru menahan.
“Kau tahu bagaimana respon keluarganya yang langsung menelepon Ayah karena mendengar anaknya menangis? Tidak hanya hubungan keluarga tapi hubungan bisnis Ayahmu akan terganggu. Sebaiknya kamu menurut saja dengan apa yang Ayahmu katakan Aru.” Seru Ibunya menengahi.
“Ya. Sebaiknya kau ikuti apa yang Ayah dan Ibumu katakan. Ini juga untuk kebaikanmu. Kebaikan kita juga Aru.” Sebuah suara tiba-tiba membuat darah Naru mendidih seketika. Dia memandang Memei yang tersenyum ke arahnya.
“Jadi karena inilah kalian buru-buru datang untuk pulang dan mengganggu waktu istirahatku? Karena cewek menyebalkan pengadu inilah Ayah dan ibu datang buru-buru ke rumah. Benar-benar mengecewakan.” Lirih Naru datar. Dia memandang penuh kebencian.
“Jelaskan apa yang terjadi pada rumah ini? Kenapa ada suara aneh terdengar ketika masuk ke ruang tamu? Kenapa ada pakaian dan buku aneh di rumah ini? Apakah kau memiliki teman yang kau ajak ke rumah ini? Katakan semuanya-”
“Suara aneh itu adalah alunan indah murotal seseorang yang sedang mengaji membacakan ayat Al Quran. Pakaian aneh itu adalah pakaian terbaik bagi seorang umat Islam. Sedangkan buku aneh yang Ayah tunjuk-tunjuk dengan tidak sopan itu adalah kitab Al Quran yang berisi wahyu yang Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat manusia di seluruh dunia.” Potong Naru cepat. Dia mengambil baju dan Al Quran yang ada di meja. Memeluknya di depan dada.
"Oh iya, mobil-mobil itu tidak menghilang. Aku hanya bosan dengan model mobil di garasi koleksi. Jadi aku memberikannya pada teman-teman yang membutuhkan. Hanya empat saja. Kalian juga bisa membelinya lagi dengan mudah. Itu tidaklah sulit kan?" Lanjut Naru yang langsung membuat Ayahnya menepuk jidat.
“Astaga! Apa yang baru saja kau katakan? Islam? Al Quran? Kau belajar agama Islam secara diam-diam tanpa sepengetahuan kami?! Dan apa tadi kau bilang memberikan mobil seharga milyaran rupiah secara cuma-cuma? Menurutmu mencari uang itu mudah?!” Pekik Ayahnya tak percaya. Dia semakin meremas kertas perjanjian di tangannya penuh amarah.
"Sayang, tenanglah. Naru benar, kita bisa dengan mudah membeli mobil-mobil itu lagi. Bukankah kita punya banyak uang?" Kata sang ibu berusaha memberitahu. Naru mengangguk tanpa merasa bersalah. Sementara Memei diam-diam mengusap air di sudut mulutnya.
"Iya! Tapi... Akh! Pokoknya kau harus diberi pelajaran!" Sang Ayah terlihat masih marah. Melihat korek api di atas meja. Dia pun meraihnya. Menarik pelatuknya. Menyalakannya dan mendekatkannya di ujung kertas surat perjanjian itu.
“Apa yang Ayah lakukan!? Surat perjanjian itu tak ada sangkut pautnya dengan semua ini! Itu adalah kebebasan Naru! Itu adalah-” Teriak Naru tertahan.
“Kau bilang ini adalah kebebasanmu? Karena surat perjanjian inilah kau semakin bebas dan liar. Semakin jauh dari harapan kedua orang tua. Lihat bagaimana jika kebebasanmu sudah tidak ada lagi.” Kata sang Ayah seraya memperlihatkan api yang perlahan merambat ke bagian kertas yang lain. Surat perjanjian itu terbakar. Jatuh di atas lantai marmer.
Naru berlari menghampiri. Mencoba memadamkan api itu. Percuma. Naru memandang nanar kertas yang berisi surat perjanjian kebebasannya kini habis terbakar menjadi abu. Petaka yang pernah Pak Yus khawatirkanpun kini terjadi.